Citra tertegun. Pria itu adalah Raka. Bukan Raka yang dilihatnya di foto beberapa hari yang lalu—kusut, tidak terurus, dan kasar. Ini adalah Raka yang sangat berbeda, Raka yang tampan, matang dan gagah, dengan aura yang membuat setiap orang di ruangan itu terpana.
Nadya dan Anita tidak bisa berkata-kata. Mereka hanya saling pandang, bingung dan terkejut, sementara Raka berjalan mendekati Nadya dengan langkah mantap. “Apa yang kalian katakan tadi?” tanya Raka lagi, kali ini dengan nada yang lebih tenang, tetapi masih dipenuhi dengan otoritas.
Anita berusaha mencari kata-kata, tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Nadya pun hanya bisa menggeleng, tidak mampu menghadapi tatapan tajam Raka. Kemudian keduanya pergi meninggalkan ruangan.
Raka kemudian memalingkan wajahnya ke arah Citra dan tersenyum tipis. “Maaf, Citra. Aku sedikit terlambat,” bisiknya dengan lembut, berbeda sekali dari kesan keras yang terpancar dari penampilannya.
“Terima kasih telah menolongku,” ucap Citra dengan suara pelan.
Raka masih menatap Citra dengan mata yang dalam dan penuh arti, “Tidak masalah, sudah kewajibanku untuk menjaga calon istriku, kan?” Citra tidak tahu harus mengatakan apa.“Aku tahu bahwa pernikahan ini berawal dari perjodohan yang tidak terduga. Tapi, aku akan memastikan bahwa pernikahan ini berjalan lancar dan tidak mengecewakanmu,” lanjut Raka dengan penuh ketegasan.Perasaan gugup dan cemas yang tadi menghantuinya mulai menghilang, digantikan oleh perasaan kagum yang aneh. Dia tidak pernah membayangkan Raka akan seperti ini. Semua anggapan buruk yang dia punya tentang Raka perlahan mulai menguap.
***Pernikahan Citra dan Raka akhirnya resmi digelar di sebuah aula yang dihiasi dengan bunga-bunga indah. Citra dan Raka berdiri di altar, dan mengucapkan janji suci mereka. Setelah dinyatakan ‘Sah’, suara tepuk tangan terdengar memenuhi ruangan. Namun, suasana bahagia itu tak sepenuhnya dirasakan oleh Arga. Dari sudut ruangan, Arga mengamati setiap detail acara, mulai dari senyuman penuh kebanggaan kakeknya hingga pujian yang mengalir untuk pasangan pengantin. Di dalam hatinya, Arga merasa perasaannya semakin terancam.Terlebih karena sebelumnya Arga sempat mencuri dengar percakapan antara kakeknya dan salah satu tamu VIP. “Tuan Bramantyo, selamat atas pernikahan cucu Anda. Saya tidak menyangka bahwa Anda ternyata memiliki cucu lain, selain Tuan Muda Arga,” ujar pria itu sambil menjabat tangan Bramantyo.“Ya, tidak lama lagi saya akan mengenalkannya ke publik dan memintanya untuk bekerja di perusahaan,” Bramantyo tampak tersenyum puas. Mendengar hal itu, hati Arga kian menjadi panas. Hanya dialah yang boleh menjadi satu-satunya pewaris di perusahaan kakeknya. Kakak sepupunya, Raka seharusnya tetap hanya menjadi cucu yang selamanya terbuang. Setelah acara selesai, Citra dan Raka menghampiri Bramantyo untuk pamit. Mereka telah memutuskan untuk tidak mengadakan bulan madu dan Citra mulai malam ini akan ikut tinggal di rumah Raka yang ada di Namba. "Citra, Kakek tahu bahwa pernikahanmu dan Raka begitu mendadak. Kalian juga belum sempat saling mengenal, tetapi kakek yakin kamu dan Raka bisa melalui semuanya dengan baik," ujar Kakek Bramantyo dengan suara lembut dan penuh kehangatan.Citra mengangguk, sambil memberikan senyum sopan, meskipun hatinya sedikit berat, "Baik, Kek. Citra akan berusaha sebaik mungkin."
Kakek Bramantyo kemudian meminta Raka untuk berbicara dengannya berdua. Citra memutuskan untuk menghampiri keluarganya. Meskipun dirinya tahu bahwa ayahnya mungkin juga tak peduli jika dirinya kini tidak akan tinggal bersama lagi, namun Citra setidaknya masih ingin berpamitan dengan Ayahnya. Melihat Citra yang menghampiri, Nadya dari jauh sudah tersenyum sinis sambil membisikan sesuatu kepada ibunya, Anita. “Ayah, aku pamit dulu. Mulai malam ini aku akan ikut tinggal bersama Mas Raka di Namba.”Tawa meremehkan keluar dari mulut Nadya dan Anita, “Namba? Sudah jelas sekali kamu hanya akan tinggal di rumah lapuk yang ada di perkampungan.”Nadya kemudian melanjutkan ucapan Anita, “Tinggal di daerah seperti itu memang cocok untuk orang-orang terbuang seperti kalian. Jangan harap hidupmu akan senyaman sebelumnya."Citra merasa geram dengan ucapan mereka, namun juga tak dapat menampik bahwa ucapan itu tak sepenuhnya salah. Ketika memutuskan untuk menerima pernikahan ini dengan Raka, Citra sudah menguatkan hatinya bahwa hidupnya akan menjadi lebih sederhana dan harus lebih berhemat, mengingat Raka yang hanya bekerja serabutan.Citra bahkan tak berharap bahwa Raka dapat memberikannya nafkah.Ayahnya, Ahmad, yang mendengar percakapan itu hanya menghela napas. "Citra, karena sekarang kamu sudah menikah. Semua tanggung jawabmu sudah berpindah ke suamimu. Jadi, Ayah tidak akan membiayai kuliahmu lagi," kata Ahmad tegas. Citra tahu bahwa keputusan ini pasti bukan ide ayahnya sendiri, melainkan hasil hasutan ibu tirinya. Namun, dia menolak untuk memohon atau menunjukkan kelemahan. "Tak masalah, Aku bisa mengurus hal itu," jawab Citra singkat. Dirinya tak ingin berlama-lama lagi di sana, sehingga ia kemudian berbalik dan melangkah meninggalkan keluarganya.Namun, baru beberapa langkah, suara Nadya masih terdengar di telinganya, “Paling-paling dia tidak bisa melanjutkan kuliah dan akan ikut bekerja serabutan atau justru kembali untuk memohon pada kita.”
Citra mengepalkan tangannya merasa geram, namun tetap melanjutkan langkahnya untuk pergi dari sana. Hingga seseorang menarik pergelangan tangannya secara tiba-tiba dan menariknya ke pojok ruangan dekat tangga darurat. Begitu menyadari siapa yang menarik dirinya, mata Citra membulat, “Arga! Apa yang kamu lakukan?” “Jadi bagaimana Citra, sekarang pasti kamu mulai merasa menyesal karena telah sok jual mahal denganku, kan? Apa kamu kira, Bang Raka bisa menafkahimu? Dia saja bahkan sulit untuk menghidupi dirinya sendiri. Coba jika sejak awal, kamu tetap memilihku, kamu pasti tidak akan kesulitan.” Citra menghela nafas, baru saja dirinya pusing menghadapi Ibu dan Kakak tirinya, sekarang ia kembali harus berhadapan dengan Arga, “Kami kini sudah resmi menikah, jadi tidak ada lagi yang perlu dibahas. Lagi pula, setidaknya aku menikah bukan dengan pria yang suka berselingkuh.”Arga mendengus mengejek, “Ya, bagaimana dia bisa berselingkuh, dia saja tidak memiliki ketertarikan seksual. Dia itu tidak normal! Bukan hanya tidak bisa menafkahimu, dia juga bahkan tidak akan bisa memuaskanmu di ranjang.”Rasa amarah mulai membara dalam hati Citra, terlebih karena Arga kini berani menyentuh wajahnya. Citra berniat menghempaskan tangan Arga dengan kasar, namun suara deheman berat membuatnya menoleh ke asal suara. Mata tajam Raka bertatapan dengan mata Citra, membuatnya seakan kelihatan seperti baru saja tertangkap sedang berselingkuh. Raka menghampiri mereka, dan menarik tangan Arga dari wajah Citra, “Aku tidak suka orang lain menyentuh istriku sembarangan,” suara Raka terdengar tegas dan berat.Citra dapat merasakan aura intimidasi dari Raka. Bahkan Arga saja yang tadi masih menjelek-jelekan pria itu, kini tak dapat berkata sepatah kata pun.
“Citra, ayo pulang,” Citra mengangguk dan kemudian mengikuti Raka dari belakang. Arga mengepalkan kedua tangannya sambil mendengus kesal dan menghentakan kedua kakinya melihat kepergian mereka. ***Di sepanjang perjalanan, Citra memilih untuk tidur. Dia perlu menenangkan dirinya setelah menghadapi orang-orang menyebalkan, selain itu dia juga masih merasa canggung berduaan saja dengan Raka. “Citra, kita sudah sampai,” suara lembut Raka membuat Citra akhirnya tersadar. Ia mulai membuka matanya dan melihat sekeliling. Citra tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya begitu melihat penampakan rumah di depannya ini. Rumah yang cukup besar dengan bangunan modern. Taman di depannya juga terlihat terawat dengan baik, bahkan ada garasi untuk memarkirkan mobil yang sedang mereka kendarai ini. Citra merasa bingung, bagaimana mungkin Raka memiliki rumah seperti ini, belum lagi juga mobil yang mereka kendarai? "Apakah Raka mendapatkan semua ini dari kakek karena pernikahan ini?" pikirnya. Namun, dia memilih untuk tidak mengungkapkan kecurigaannya.Ketika masuk ke dalam rumah, Citra semakin terkejut. Interior rumah itu dihiasi dengan furniture mewah dan dekorasi elegan. Semua barang-barang di sana tampak baru dan mahal, jauh dari bayangan hidup sederhana dan rumah lapuk yang ada di pikiran Citra.
Raka memimpin Citra ke kamar mereka di lantai atas, "Ini kamar kita," katanya sambil membuka pintu. Kamar itu luas, dengan tempat tidur besar di tengahnya dan jendela yang menghadap ke taman belakang.
Citra masuk ke dalam kamar dengan langkah ragu-ragu. Dia duduk di tepi tempat tidur, merasa canggung dan gugup.
Raka bisa merasakan kegelisahan Citra, tetapi dia memilih untuk tidak banyak bicara. Dia tahu bahwa mereka berdua butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru ini.“Beristirahatlah dulu, aku akan turun untuk menurunkan koper.” Citra mengangguk dan seakan baru bisa bernafas lebih lega, begitu Raka meninggalkannya di kamar sendirian. Hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan bagi Citra. Dirinya tahu bahwa Raka memiliki penyakit aseksual, dan dirinya tak perlu khawatir tinggal berdua saja dengan Raka. Namun, entah mengapa dirinya tak bisa menampik bahwa ia masih merasa gugup jika berduaan dengan pria itu. Sepertinya ini karena pertama kalinya, ia tinggal berdua saja dengan seorang pria. Citra kemudian memutuskan untuk mandi, berharap dapat menyegarkan pikiran dan tubuhnya.Malam itu, sesudah membersihkan diri. Citra mengambil napas dalam-dalam dan memutuskan mendekati Raka yang sedang duduk di ruang tengah, "Mas, aku punya sesuatu untukmu," katanya dengan suara bergetar.
Raka menoleh, menatap Citra dengan penuh perhatian. "Apa itu?"
Citra mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya dan memberikannya kepada Raka. "Ini … perjanjian pernikahan. Aku pikir, mungkin ini bisa membantu kita memahami batasan masing-masing," ujarnya sambil menunduk, tidak berani menatap Raka.
Namba adalah daerah pinggiran yang dikenal karena perkampungan dan sawahnya, terletak dua jam dari Ibu kota.
Raka menerima amplop dari tangan Citra dengan alis terangkat. Dia membuka amplop dan membaca isinya. Citra mencoba memperhatikan raut wajah Raka ketika membaca surat kontrak tersebut. “Kalau Mas mau menambahkan poin lainnya atau ada keberatan, kita bisa diskusikan kembali,” suara Citra terdengar lemah. Dalam benaknya, ia merasa khawatir apabila Raka menolak perjanjian itu. “Apa ada alasan kenapa kamu mengajukan ini?” Citra ragu untuk mengatakan alasan sebenarnya. Setelah menimbang beberapa saat, Citra akhirnya berkata, “Uhmm, aku hanya merasa ini akan menguntungkan kita berdua. Kita sama-sama terpaksa menerima pernikahan ini. Dan, aku juga tahu bahwa Mas Raka memiliki aseksual, jadi…” Ucapan Citra terhenti begitu melihat wajah Raka yang kelihatan tidak senang setelah mendengar aib-nya dibuka begitu saja. Citra menggigit bibirnya, merasa telah salah berbicara dan takut menyinggung Raka. “Aseksual?” Raka mendengus geli. Ia kemudian kembali menatap Citra, “Baiklah kal
Citra terbangun begitu sinar matahari masuk melalui celah jendela seakan mengingatkannya bahwa sudah saatnya memulai hari. Citra melihat jam dinding dan melangkah ke dapur untuk mulai menyiapkan sarapan. Raka ikut terbangun begitu mendengar suara dari arah dapur. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya tersadar bahwa kini dia tidak lagi tinggal sendirian di rumahnya. Raka kemudian keluar masih mengenakan piyama, dan berjalan menuju dapur. Ketika melihat Citra yang sibuk di dapur, entah mengapa hatinya menjadi hangat. Seakan mengingatkannya pada sosok almarhum ibunya yang selalu menyiapkan sarapan. Citra yang menyadari kehadiran Raka menoleh dan tersenyum, “Selamat pagi, Mas. Tunggu sebentar ya, aku sedang menyiapkan sarapan.” Raka mengangguk dan berjalan menuju meja makan dan duduk di kursi yang sudah ditata dengan rapi. Raka mengangkat alis sedikit begitu melihat piring yang dibawa oleh Citra kehadapannya, "Nasi goreng?" Citra mengangguk sambil tersenyu
Citra baru saja memasuki rumah larut malam, mendapati suasana yang sunyi dan lampu ruang tamu yang redup. Hari ini terasa cukup panjang baginya, selain karena suasana kafe yang sibuk, dia juga masih harus meladeni Nadya yang menyebalkan. Untungnya tak lama setelah itu, Nadya kembali ke perusahaan karena jam makan siang hampir berakhir. Membuat Citra akhirnya bisa kembali fokus bekerja. Merasa haus karena cukup lama di perjalanan, Citra melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mengambil segelas air. Namun, baru saja ia masuk ke dapur. Matanya langsung bertatapan dengan mata Raka. “Loh, Mas belum tidur?” Citra mencoba memecah kecanggungan yang ada di antara mereka. Bukannya menjawab pertanyaan Citra, Raka justru balik bertanya dengan nada tegas, “Kenapa pulang larut malam dan tidak ada kabar sama sekali?” Citra menelan ludahnya gugup, mengakui bahwa dirinya memang salah karena lupa memberi kabar. Mungkin karena dirinya juga lupa jika sekarang telah memiliki seorang suami. Karena du
Jam sudah menunjukan pukul dua siang lewat lima belas menit. Citra berjalan dengan cepat menyusuri lorong kampusnya dan menuju ke arah parkiran mobil. Dia tidak enak karena telah membuat Raka menunggu cukup lama. Seharusnya jadwal kuliahnya sudah selesai satu jam yang lalu, namun tiba-tiba ia dipanggil oleh dosen pembimbing skripsi untuk membahas sejauh mana proses skripsinya telah berlangsung. Dan karena itu pula, Citra juga tidak bisa mengabari Raka karena tidak bisa membuka ponselnya di depan dosen. Pikirannya jadi kembali teringat betapa Raka semalam terlihat tidak suka, saat tidak diberi kabar. Mata Citra langsung melihat pada sedan hitam yang terparkir dan segera menghampirinya. Citra mengintip sedikit melalui kaca dan mendapati Raka berada di dalam mobil. Tangannya mengetuk pelan, membuat Raka akhirnya menoleh kepadanya dan membuka kunci mobil. “Maaf, aku terlambat, Mas, tadi ada bimbingan skripsi mendadak,” Citra mengucapkannya sesaat ketika membuka pintu mobil dan
Citra merasa bosan menunggu Raka yang masih berbincang di ruang kerja bersama Kakek Bramantyo. Selain itu, dia juga tidak ingin berdekatan dengan Arga dan Nadya, sehingga ia langsung memisahkan diri dan lebih memilih untuk duduk di pinggir kolam renang yang ada di taman belakang. Saat sedang menikmati menonton film di layar ponselnya. Citra terkejut karena ponselnya ditarik dengan kasar dan dilempar begitu saja ke dalam kolam renang. Citra menoleh dan mendapati Nadya, pelakunya. “Apa yang kamu lakukan?” seru Citra merasa tak senang. Baginya Nadya semakin keterlaluan. Padahal bukankah Nadya sudah mendapatkan apa yang dia inginkan? Yaitu menikah dengan Arga. Lalu, apa lagi yang membuatnya bersikap seenaknya pada dirinya seperti ini? Nadya teringat pernikahan Citra dengan Raka, yang diselenggarakan dengan begitu mewah. Bahkan Kakek mengundang para teman pengusaha yang lain hingga cukup mendapatkan perhatian. Sehingga mendengar keputusan Kakek, Nadya merasa kesal, namun tak
“Tanyakan pada istrimu sendiri. Dia hampir saja mencelakai Nadya dan bayi di dalam kandungan Nadya,” nada tak senang begitu kentara dari suara Ibu Arga. Raka semakin menggenggam tangan Citra.Ada perasaan hangat yang tiba-tiba mengalir di hati Citra. Ia merasa seakan sedang dilindungi. Sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan, semenjak ibunya meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi. Raka menatap dengan dingin. "Aku tahu Citra tidak mungkin melakukan hal itu."Arga tertawa mengejek, “Tahu dari mana? Kalian saja baru saling mengenal. Citra melakukan itu karena dia masih mencintaiku, dan menyesal telah menikah denganmu.”Dalam sedetik tawa mengejek itu langsung terhenti begitu Arga menyadari Raka kini menatapnya tajam. Arga enggan mengakuinya, namun ia memang masih merasa takut dan terintimidasi oleh kakak sepupunya itu. Padahal Arga tahu, bahwa Raka kini bukanlah siapa-siapa, hanya saja dirinya tetap tak mau memancing amarah pria itu. Raka menghembuskan nafas kasar, “Minta pela
Pagi - pagi, Citra sudah sibuk menyiapkan sarapan seadanya sambil memikirkan jadwal kuliahnya yang padat. Saat dia memindahkan piring ke meja makan, tiba-tiba sebuah tangan diulurkan ke hadapannya. Tangan itu memegang sebuah dus berukuran sedang. Citra mendongak dan melihat ke arah Raka dengan raut wajah bingung. Sedangkan yang ditatap, masih saja menampakan wajah datar. Merasa Citra tak juga mengambil dus itu dari tangannya, Raka akhirnya berkata dengan singkat, “Ambil, ini untukmu.”Citra membulatkan mulutnya, membentuk kata ‘Ohh’ dan mengambil dus itu dari tangan Raka. Namun, ketika akhirnya tersadar, Citra membulatkan matanya, “I-ini kan handphone keluaran terbaru? Kenapa Mas memberikannya padaku?” “Bukankah ponselmu rusak?”Sejujurnya Citra tak menyangka bahwa Raka akan membelikannya ponsel baru, karena mengingat sikap pria itu semalam yang terlihat cuek begitu saja. Siapa sangka, Raka masih menaruh perhatian padanya. Namun, rasa khawatir kembali terbesit di pikirannya. Baga
Sesampainya di rumah, Citra hanya bisa terduduk lesu di ruang tengah. Tak lama kemudian, pintu depan terbuka, dan Raka masuk. Ia sempat terkejut begitu melihat Citra, "Citra? Kukira kamu akan pulang larut malam?" tanyanya dengan nada heran.Citra hanya menunduk, tidak mampu menjawab.Raka mendekat, merasakan ada sesuatu yang salah, "Kamu baik-baik saja?"Citra masih enggan berbicara. Dari sudut matanya, Raka dapat melihat bekas air mata di wajah Citra. Tapi, ia juga tak dapat memaksa gadis itu untuk bercerita padanya. Sehingga dengan nada lembut, Raka kembali berkata, “Malam ini tidak perlu memasak, aku akan membeli makanan dari luar.” Citra hanya merespon ucapan Raka dengan mengangguk kecil. Kemudian membiarkan Raka pergi meninggalkannya. Di kamar, Raka segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. “Bantu cari tahu apa yang terjadi di Kafe Scarlett siang tadi,” Raka segera memerintah setelah panggilan tersambung dan mematikan sambungan itu. Malam itu, Citra bahkan tak
“Citra itu selalu jadi yang terbaik di mata mereka, kan?” gumam Nadya pada dirinya sendiri, duduk di meja riasnya yang penuh dengan parfum mahal dan kosmetik. “Sementara aku? Aku cuma bayangan yang tak dianggap.”Pikirannya terus berkecamuk, mengingat bagaimana keluarga Bramantyo lebih memuja kakak tirinya, yang kini sedang hamil anak Raka. Kakek Bramantyo bahkan memberikan perhatian yang tak pernah Nadya rasakan. Semuanya terasa menusuk harga dirinya.Ketukan pintu kamar membuyarkan lamunannya. Nadya segera merapikan wajahnya.“Nadya, kamu sudah siap?” suara Bu Ratna, ibu mertuanya, terdengar dari luar.Nadya berdehem pelan. “Iya, Ma. Sebentar lagi.”“Cepat sedikit, ya. Jangan terlambat.”Setelah suara langkah menjauh, Nadya menatap bayangannya di cermin. “Keluarga ini tidak pernah benar-benar menerima aku. Tapi aku akan buat mereka lihat betapa pentingnya aku.”*"Mana Arga?" tanya Kakek Bramantyo, sambil menyendokkan sup ke piringnya. Matanya menyapu seluruh meja, jelas mencari sos
“Arga, kamu nggak pernah pikirin masa depan kita, ya?” tanya Nadya tajam saat mereka sedang duduk di ruang tamu. Suaranya bergetar menahan emosi, tetapi tatapannya menusuk.Arga hanya menatap layar ponselnya tanpa memberi respons berarti. “Masa depan? Kita baik-baik aja sekarang, kan?” jawabnya singkat, tanpa berpaling.Nadya meremas tangannya, menahan diri untuk tidak meledak. “Baik-baik aja? Kamu serius? Arga. Apa kamu nggak mau punya keluarga yang utuh?”Arga mendengus pelan, akhirnya meletakkan ponselnya di meja. “Nadya, aku capek. Bisa nggak kita nggak bahas ini sekarang? Aku lagi nggak mood.”“Lagi nggak mood?” Nadya menatapnya dengan tatapan penuh amarah. “Setiap kali aku bahas soal anak, kamu selalu nggak mood! Aku ini istri kamu, Arga! Aku juga punya hak untuk menginginkan sesuatu dalam hidup kita.”Arga mengangkat bahu, menatap Nadya dengan dingin. “Kalau kamu mau anak, kenapa nggak cari orang lain aja yang mau kasih itu ke kamu? Aku udah bilang, aku nggak tertarik.”Kalimat
“Citra, kamu sudah minum jusnya?” Raka bertanya sambil melepas jasnya dan menggantungnya di balik pintu. Suara lembutnya membuat Citra menoleh dengan senyum tipis.“Iya, sudah tadi pagi,” jawab Citra.Raka mendekat dan memegang tangan Citra, membimbingnya ke sofa. “Itu bagus, tapi aku siapkan lagi jus baru nanti. Kamu perlu vitamin yang cukup.”Citra tersenyum, namun dalam hatinya ia merasa sedikit sungkan dengan sikap protektif Raka yang semakin intens. “Mas, aku masih bisa melakukan beberapa hal sendiri, kok.”Raka tertawa kecil. “Aku tahu. Tapi, aku mau kamu benar-benar istirahat dan menikmati masa-masa kehamilan ini.”Citra menggigit bibirnya. Sebenarnya Citra senang dan perasaannya menghangat tiap kali Raka memerhatikannya, hanya saja sepertinya ini terlalu berlebihan. “Aku tahu, Mas, tapi rasanya ini … agak berlebihan. Aku nggak apa-apa, Mas.”Raka meraih tangan Citra dan mengusapnya lembut. “Aku cuma khawatir. Kita baru saja masuk trimester pertama. Dokter bilang kandunganmu ma
“Citra, pelan-pelan saja. Kamu jangan terlalu cepat berdiri begitu,” suara Raka terdengar cemas, memegang tangan Citra yang baru saja turun dari tempat tidur rumah sakit.Citra tersenyum kecil, namun matanya lelah. "Aku baik-baik saja, Mas. Aku juga nggak selemah itu."Raka menggeleng, wajahnya penuh ketegasan. “Kamu harus banyak istirahat, Cit. Kandungan kamu masih lemah, dokter juga sudah ingatkan.”Citra menghela napas panjang, menatap suaminya dengan tatapan lembut. “Kamu sudah seperti penjaga pribadi saja, Mas. Aku sampai nggak bisa bergerak sedikit pun karena ada kamu.”Raka tertawa kecil, namun tetap memasang wajah serius. "Kalau itu artinya kamu dan bayi kita tetap aman, aku rela jadi penjaga pribadimu."Citra menunduk, perasaan hangat dan terharu menyelimuti hatinya. "Terima kasih, Mas. Kamu nggak tahu betapa aku menghargai semua yang kamu lakukan."Raka menggenggam tangan Citra erat. "Kamu nggak perlu berterima kasih. Aku cuma ingin memastikan kamu dan anak kita aman. Jadi m
"Raka, aku mohon, kami cuma ingin memastikan Citra baik-baik saja. Bagaimana pun juga Citra masih adikku." Suara Nadya terdengar lembut, hampir seperti merayu. Namun, wajahnya penuh dengan senyum pura-pura yang biasa ia pakai untuk bersembunyi di balik topeng kepalsuan.Raka memandang Nadya dengan tatapan yang tajam, menahan amarah yang jelas terpancar dari matanya. "Untuk apa kalian ingin memastikan Citra baik-baik saja? Tanpa kalian Citra baik-baik saja.” Raka menjeda ucapannya dan melangkah lebih dekat pada Nadya dan Arga.Aura intimidasinya membuat Arga tanpa sadar mundur satu langkah kecil hingga dia berada di belakang Nadya.“Citra tidak perlu melihat wajah penuh kepalsuan dari kalian.”Arga menghela napas pelan, matanya tak berani bertatapan langsung dengan Raka. Wajahnya pucat, jelas ketakutan. Namun, Nadya tetap memaksa, tidak tahu malu."Tapi, Raka, kami kan keluarga juga. Kami ini peduli pada Citra," Nadya mencoba membela diri dengan nada memelas. "Lagipula, siapa tahu keha
"Ingat, Arga, kamu jangan terlihat panik,” ujar Nadya, mencoba menenangkan suaminya yang tampak gelisah di lorong rumah sakit. “Kalau kamu panik, Kakek akan tahu dengan mudah kalau kamu memang yang mendorong Citra.”Arga menelan ludah, wajahnya pucat. Ia takut harus menemui kakeknya, tetapi kini ia juga merasa takut pada Nadya. "Aku nggak siap, Nadya. Aku ... aku nggak tahu harus ngomong apa kalau Kakek tanya soal Citra."Nadya tersenyum tipis, menarik tangan Arga dan menggenggamnya erat. "Dengarkan aku baik-baik. Kamu nggak perlu jujur. Bilang saja kalau kamu nggak tahu apa-apa, justru kamu menemukan bahwa Citra pingsan begitu saja."Arga memandang Nadya dengan cemas. "Tapi Nadya, kemarin kamu sendiri lihat aku … aku mendorong Citra. Bagaimana kalau ada yang melihat lagi selain kamu?"Nadya menatap Arga datar. Arga terlihat sangat lemah sekarang, terlalu penakut. Entah bagaimana dulu ia ingin bersama Arga, namun saat ini bukan hal itu yang menjadi fokus utama Nadya. “Kamu terlalu ban
Arga, kamu kelihatan tegang sekali," suara Nadya terdengar santai di belakang Arga yang sejak tadi mondar-mandir di kamar mereka. Arga berhenti, menatap Nadya dengan wajah cemas. "Aku nggak tahu harus bagaimana, Nadya. Ini... ini di luar kendaliku. Citra … dia pingsan karena aku," Arga mengusap wajahnya, tampak bingung. Nadya justru tersenyum tipis, tak terlihat cemas sedikit pun. "Menurutku, apa yang kamu lakukan nggak salah. Malah seharusnya sudah lama dilakukan. Kamu kan tahu, hamilnya Citra justru membuat kita semakin terancam di keluarga ini." Saat Arga mengonfrontasi Citra, Nadya ada di sana. Diam-diam melihat mereka berdua bertengkar di balik pilar. Nadya senang Arga bisa meluapkan kekesalan pada Citra karena selama ini Arga selalu membela Citra padahal jelas-jelas selama ini Nadya yang selalu ada untuk Arga. Arga mendelik ke arah Nadya, terkejut mendengar ucapannya. "Kamu ... benar-benar nggak merasa bersalah, ya? Citra itu sedang hamil dan aku mendorongnya! Bagaimana kalau
"Citra, kamu sudah sadar?" Suara lembut Raka menyapa saat Citra perlahan membuka mata.Citra mengerjap, melihat sekeliling dan menyadari bahwa dia berada di ruangan putih dengan peralatan medis. Napasnya pelan dan lemah.Wajah Raka terlihat khawatir di sebelahnya, sedangkan kakek Bramantyo yang duduk di kursi sebelahnya, tampak menunjukkan raut kelegaan di wajahnya yang tua dan berwibawa itu."Mas Raka… Kakek… Kenapa aku ada di sini?" Citra bertanya, suaranya serak dan pelan.Raka menatapnya dalam, ada pancaran kemarahan matanya, tetapi Raka tetap terlihat tenang. "Aku yang harusnya bertanya, Citra. Bagaimana kamu bisa pingsan? Apa yang terjadi sebelum itu?"Citra mengerutkan keningnya, mengingat kejadian saat itu. "Aku ... aku terjatuh, Mas.""Terjatuh? Apa maksudnya kamu terjatuh?" tanya Raka pelan dan dingin. Tidak mungkin Citra bisa ceroboh dengan terjatuh sendiri dan Raka juga tidak bodoh untuk mengerti bahwa mungkin ada seseorang yang ingin mencelakakan istrinya. “Katakan padaku
Setelah makan malam merayakan ulang tahun Kakek Bramantyo, Kakek Bramantyo memanggil Raka ke ruangannya dan berbicara berdua.Entah apa yang kakeknya dan cucu terbuang itu bicarakan, tetapi Arga menjadi semakin sebal melihat kepergiam Raka bersama Kakek Bramantyo dan mengetahui Citra kini telah hamil.Kepalan tangan di kedua sisi tubuh Arga mengerat dan rahangnya mengeras. Posisinya kini benar-benar terancam dan Arga tidak bisa membiarkan hal itu lebih parah lagi.Tanpa pikir panjang Arga menghampiri Citra yang ditinggal sendiri oleh Raka.“Citra, kamu sengaja, ‘kan?!” Arga mendesis sambil melangkah mendekati Citra yang duduk sendirian di ruang tamu.Citra mengangkat wajahnya, menatap tajam ke arah Arga. “Apa maksudmu, Arga? Aku nggak tahu apa yang kamu bicarakan.”Arga mencibir, matanya berkedip penuh amarah. “Jangan pura-pura nggak tahu! Kamu pasti merasa menang sekarang karena berhasil hamil. Kamu pikir kamu bisa menguasai keluarga Bramantyo hanya karena itu?”Napas Citra tertahan