Citra tertegun. Pria itu adalah Raka. Bukan Raka yang dilihatnya di foto beberapa hari yang lalu—kusut, tidak terurus, dan kasar. Ini adalah Raka yang sangat berbeda, Raka yang tampan, matang dan gagah, dengan aura yang membuat setiap orang di ruangan itu terpana.
Nadya dan Anita tidak bisa berkata-kata. Mereka hanya saling pandang, bingung dan terkejut, sementara Raka berjalan mendekati Nadya dengan langkah mantap. “Apa yang kalian katakan tadi?” tanya Raka lagi, kali ini dengan nada yang lebih tenang, tetapi masih dipenuhi dengan otoritas.
Anita berusaha mencari kata-kata, tetapi tidak ada yang keluar dari mulutnya. Nadya pun hanya bisa menggeleng, tidak mampu menghadapi tatapan tajam Raka. Kemudian keduanya pergi meninggalkan ruangan.
Raka kemudian memalingkan wajahnya ke arah Citra dan tersenyum tipis. “Maaf, Citra. Aku sedikit terlambat,” bisiknya dengan lembut, berbeda sekali dari kesan keras yang terpancar dari penampilannya.
“Terima kasih telah menolongku,” ucap Citra dengan suara pelan.
Raka masih menatap Citra dengan mata yang dalam dan penuh arti, “Tidak masalah, sudah kewajibanku untuk menjaga calon istriku, kan?” Citra tidak tahu harus mengatakan apa.“Aku tahu bahwa pernikahan ini berawal dari perjodohan yang tidak terduga. Tapi, aku akan memastikan bahwa pernikahan ini berjalan lancar dan tidak mengecewakanmu,” lanjut Raka dengan penuh ketegasan.Perasaan gugup dan cemas yang tadi menghantuinya mulai menghilang, digantikan oleh perasaan kagum yang aneh. Dia tidak pernah membayangkan Raka akan seperti ini. Semua anggapan buruk yang dia punya tentang Raka perlahan mulai menguap.
***Pernikahan Citra dan Raka akhirnya resmi digelar di sebuah aula yang dihiasi dengan bunga-bunga indah. Citra dan Raka berdiri di altar, dan mengucapkan janji suci mereka. Setelah dinyatakan ‘Sah’, suara tepuk tangan terdengar memenuhi ruangan. Namun, suasana bahagia itu tak sepenuhnya dirasakan oleh Arga. Dari sudut ruangan, Arga mengamati setiap detail acara, mulai dari senyuman penuh kebanggaan kakeknya hingga pujian yang mengalir untuk pasangan pengantin. Di dalam hatinya, Arga merasa perasaannya semakin terancam.Terlebih karena sebelumnya Arga sempat mencuri dengar percakapan antara kakeknya dan salah satu tamu VIP. “Tuan Bramantyo, selamat atas pernikahan cucu Anda. Saya tidak menyangka bahwa Anda ternyata memiliki cucu lain, selain Tuan Muda Arga,” ujar pria itu sambil menjabat tangan Bramantyo.“Ya, tidak lama lagi saya akan mengenalkannya ke publik dan memintanya untuk bekerja di perusahaan,” Bramantyo tampak tersenyum puas. Mendengar hal itu, hati Arga kian menjadi panas. Hanya dialah yang boleh menjadi satu-satunya pewaris di perusahaan kakeknya. Kakak sepupunya, Raka seharusnya tetap hanya menjadi cucu yang selamanya terbuang. Setelah acara selesai, Citra dan Raka menghampiri Bramantyo untuk pamit. Mereka telah memutuskan untuk tidak mengadakan bulan madu dan Citra mulai malam ini akan ikut tinggal di rumah Raka yang ada di Namba. "Citra, Kakek tahu bahwa pernikahanmu dan Raka begitu mendadak. Kalian juga belum sempat saling mengenal, tetapi kakek yakin kamu dan Raka bisa melalui semuanya dengan baik," ujar Kakek Bramantyo dengan suara lembut dan penuh kehangatan.Citra mengangguk, sambil memberikan senyum sopan, meskipun hatinya sedikit berat, "Baik, Kek. Citra akan berusaha sebaik mungkin."
Kakek Bramantyo kemudian meminta Raka untuk berbicara dengannya berdua. Citra memutuskan untuk menghampiri keluarganya. Meskipun dirinya tahu bahwa ayahnya mungkin juga tak peduli jika dirinya kini tidak akan tinggal bersama lagi, namun Citra setidaknya masih ingin berpamitan dengan Ayahnya. Melihat Citra yang menghampiri, Nadya dari jauh sudah tersenyum sinis sambil membisikan sesuatu kepada ibunya, Anita. “Ayah, aku pamit dulu. Mulai malam ini aku akan ikut tinggal bersama Mas Raka di Namba.”Tawa meremehkan keluar dari mulut Nadya dan Anita, “Namba? Sudah jelas sekali kamu hanya akan tinggal di rumah lapuk yang ada di perkampungan.”Nadya kemudian melanjutkan ucapan Anita, “Tinggal di daerah seperti itu memang cocok untuk orang-orang terbuang seperti kalian. Jangan harap hidupmu akan senyaman sebelumnya."Citra merasa geram dengan ucapan mereka, namun juga tak dapat menampik bahwa ucapan itu tak sepenuhnya salah. Ketika memutuskan untuk menerima pernikahan ini dengan Raka, Citra sudah menguatkan hatinya bahwa hidupnya akan menjadi lebih sederhana dan harus lebih berhemat, mengingat Raka yang hanya bekerja serabutan.Citra bahkan tak berharap bahwa Raka dapat memberikannya nafkah.Ayahnya, Ahmad, yang mendengar percakapan itu hanya menghela napas. "Citra, karena sekarang kamu sudah menikah. Semua tanggung jawabmu sudah berpindah ke suamimu. Jadi, Ayah tidak akan membiayai kuliahmu lagi," kata Ahmad tegas. Citra tahu bahwa keputusan ini pasti bukan ide ayahnya sendiri, melainkan hasil hasutan ibu tirinya. Namun, dia menolak untuk memohon atau menunjukkan kelemahan. "Tak masalah, Aku bisa mengurus hal itu," jawab Citra singkat. Dirinya tak ingin berlama-lama lagi di sana, sehingga ia kemudian berbalik dan melangkah meninggalkan keluarganya.Namun, baru beberapa langkah, suara Nadya masih terdengar di telinganya, “Paling-paling dia tidak bisa melanjutkan kuliah dan akan ikut bekerja serabutan atau justru kembali untuk memohon pada kita.”
Citra mengepalkan tangannya merasa geram, namun tetap melanjutkan langkahnya untuk pergi dari sana. Hingga seseorang menarik pergelangan tangannya secara tiba-tiba dan menariknya ke pojok ruangan dekat tangga darurat. Begitu menyadari siapa yang menarik dirinya, mata Citra membulat, “Arga! Apa yang kamu lakukan?” “Jadi bagaimana Citra, sekarang pasti kamu mulai merasa menyesal karena telah sok jual mahal denganku, kan? Apa kamu kira, Bang Raka bisa menafkahimu? Dia saja bahkan sulit untuk menghidupi dirinya sendiri. Coba jika sejak awal, kamu tetap memilihku, kamu pasti tidak akan kesulitan.” Citra menghela nafas, baru saja dirinya pusing menghadapi Ibu dan Kakak tirinya, sekarang ia kembali harus berhadapan dengan Arga, “Kami kini sudah resmi menikah, jadi tidak ada lagi yang perlu dibahas. Lagi pula, setidaknya aku menikah bukan dengan pria yang suka berselingkuh.”Arga mendengus mengejek, “Ya, bagaimana dia bisa berselingkuh, dia saja tidak memiliki ketertarikan seksual. Dia itu tidak normal! Bukan hanya tidak bisa menafkahimu, dia juga bahkan tidak akan bisa memuaskanmu di ranjang.”Rasa amarah mulai membara dalam hati Citra, terlebih karena Arga kini berani menyentuh wajahnya. Citra berniat menghempaskan tangan Arga dengan kasar, namun suara deheman berat membuatnya menoleh ke asal suara. Mata tajam Raka bertatapan dengan mata Citra, membuatnya seakan kelihatan seperti baru saja tertangkap sedang berselingkuh. Raka menghampiri mereka, dan menarik tangan Arga dari wajah Citra, “Aku tidak suka orang lain menyentuh istriku sembarangan,” suara Raka terdengar tegas dan berat.Citra dapat merasakan aura intimidasi dari Raka. Bahkan Arga saja yang tadi masih menjelek-jelekan pria itu, kini tak dapat berkata sepatah kata pun.
“Citra, ayo pulang,” Citra mengangguk dan kemudian mengikuti Raka dari belakang. Arga mengepalkan kedua tangannya sambil mendengus kesal dan menghentakan kedua kakinya melihat kepergian mereka. ***Di sepanjang perjalanan, Citra memilih untuk tidur. Dia perlu menenangkan dirinya setelah menghadapi orang-orang menyebalkan, selain itu dia juga masih merasa canggung berduaan saja dengan Raka. “Citra, kita sudah sampai,” suara lembut Raka membuat Citra akhirnya tersadar. Ia mulai membuka matanya dan melihat sekeliling. Citra tak dapat menyembunyikan rasa terkejutnya begitu melihat penampakan rumah di depannya ini. Rumah yang cukup besar dengan bangunan modern. Taman di depannya juga terlihat terawat dengan baik, bahkan ada garasi untuk memarkirkan mobil yang sedang mereka kendarai ini. Citra merasa bingung, bagaimana mungkin Raka memiliki rumah seperti ini, belum lagi juga mobil yang mereka kendarai? "Apakah Raka mendapatkan semua ini dari kakek karena pernikahan ini?" pikirnya. Namun, dia memilih untuk tidak mengungkapkan kecurigaannya.Ketika masuk ke dalam rumah, Citra semakin terkejut. Interior rumah itu dihiasi dengan furniture mewah dan dekorasi elegan. Semua barang-barang di sana tampak baru dan mahal, jauh dari bayangan hidup sederhana dan rumah lapuk yang ada di pikiran Citra.
Raka memimpin Citra ke kamar mereka di lantai atas, "Ini kamar kita," katanya sambil membuka pintu. Kamar itu luas, dengan tempat tidur besar di tengahnya dan jendela yang menghadap ke taman belakang.
Citra masuk ke dalam kamar dengan langkah ragu-ragu. Dia duduk di tepi tempat tidur, merasa canggung dan gugup.
Raka bisa merasakan kegelisahan Citra, tetapi dia memilih untuk tidak banyak bicara. Dia tahu bahwa mereka berdua butuh waktu untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru ini.“Beristirahatlah dulu, aku akan turun untuk menurunkan koper.” Citra mengangguk dan seakan baru bisa bernafas lebih lega, begitu Raka meninggalkannya di kamar sendirian. Hari ini terasa begitu panjang dan melelahkan bagi Citra. Dirinya tahu bahwa Raka memiliki penyakit aseksual, dan dirinya tak perlu khawatir tinggal berdua saja dengan Raka. Namun, entah mengapa dirinya tak bisa menampik bahwa ia masih merasa gugup jika berduaan dengan pria itu. Sepertinya ini karena pertama kalinya, ia tinggal berdua saja dengan seorang pria. Citra kemudian memutuskan untuk mandi, berharap dapat menyegarkan pikiran dan tubuhnya.Malam itu, sesudah membersihkan diri. Citra mengambil napas dalam-dalam dan memutuskan mendekati Raka yang sedang duduk di ruang tengah, "Mas, aku punya sesuatu untukmu," katanya dengan suara bergetar.
Raka menoleh, menatap Citra dengan penuh perhatian. "Apa itu?"
Citra mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya dan memberikannya kepada Raka. "Ini … perjanjian pernikahan. Aku pikir, mungkin ini bisa membantu kita memahami batasan masing-masing," ujarnya sambil menunduk, tidak berani menatap Raka.
Namba adalah daerah pinggiran yang dikenal karena perkampungan dan sawahnya, terletak dua jam dari Ibu kota.
Raka menerima amplop dari tangan Citra dengan alis terangkat. Dia membuka amplop dan membaca isinya. Citra mencoba memperhatikan raut wajah Raka ketika membaca surat kontrak tersebut. “Kalau Mas mau menambahkan poin lainnya atau ada keberatan, kita bisa diskusikan kembali,” suara Citra terdengar lemah. Dalam benaknya, ia merasa khawatir apabila Raka menolak perjanjian itu. “Apa ada alasan kenapa kamu mengajukan ini?” Citra ragu untuk mengatakan alasan sebenarnya. Setelah menimbang beberapa saat, Citra akhirnya berkata, “Uhmm, aku hanya merasa ini akan menguntungkan kita berdua. Kita sama-sama terpaksa menerima pernikahan ini. Dan, aku juga tahu bahwa Mas Raka memiliki aseksual, jadi…” Ucapan Citra terhenti begitu melihat wajah Raka yang kelihatan tidak senang setelah mendengar aib-nya dibuka begitu saja. Citra menggigit bibirnya, merasa telah salah berbicara dan takut menyinggung Raka. “Aseksual?” Raka mendengus geli. Ia kemudian kembali menatap Citra, “Baiklah kal
Citra terbangun begitu sinar matahari masuk melalui celah jendela seakan mengingatkannya bahwa sudah saatnya memulai hari. Citra melihat jam dinding dan melangkah ke dapur untuk mulai menyiapkan sarapan. Raka ikut terbangun begitu mendengar suara dari arah dapur. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, sebelum akhirnya tersadar bahwa kini dia tidak lagi tinggal sendirian di rumahnya. Raka kemudian keluar masih mengenakan piyama, dan berjalan menuju dapur. Ketika melihat Citra yang sibuk di dapur, entah mengapa hatinya menjadi hangat. Seakan mengingatkannya pada sosok almarhum ibunya yang selalu menyiapkan sarapan. Citra yang menyadari kehadiran Raka menoleh dan tersenyum, “Selamat pagi, Mas. Tunggu sebentar ya, aku sedang menyiapkan sarapan.” Raka mengangguk dan berjalan menuju meja makan dan duduk di kursi yang sudah ditata dengan rapi. Raka mengangkat alis sedikit begitu melihat piring yang dibawa oleh Citra kehadapannya, "Nasi goreng?" Citra mengangguk sambil tersenyu
Citra baru saja memasuki rumah larut malam, mendapati suasana yang sunyi dan lampu ruang tamu yang redup. Hari ini terasa cukup panjang baginya, selain karena suasana kafe yang sibuk, dia juga masih harus meladeni Nadya yang menyebalkan. Untungnya tak lama setelah itu, Nadya kembali ke perusahaan karena jam makan siang hampir berakhir. Membuat Citra akhirnya bisa kembali fokus bekerja. Merasa haus karena cukup lama di perjalanan, Citra melangkahkan kakinya menuju dapur untuk mengambil segelas air. Namun, baru saja ia masuk ke dapur. Matanya langsung bertatapan dengan mata Raka. “Loh, Mas belum tidur?” Citra mencoba memecah kecanggungan yang ada di antara mereka. Bukannya menjawab pertanyaan Citra, Raka justru balik bertanya dengan nada tegas, “Kenapa pulang larut malam dan tidak ada kabar sama sekali?” Citra menelan ludahnya gugup, mengakui bahwa dirinya memang salah karena lupa memberi kabar. Mungkin karena dirinya juga lupa jika sekarang telah memiliki seorang suami. Karena du
Jam sudah menunjukan pukul dua siang lewat lima belas menit. Citra berjalan dengan cepat menyusuri lorong kampusnya dan menuju ke arah parkiran mobil. Dia tidak enak karena telah membuat Raka menunggu cukup lama. Seharusnya jadwal kuliahnya sudah selesai satu jam yang lalu, namun tiba-tiba ia dipanggil oleh dosen pembimbing skripsi untuk membahas sejauh mana proses skripsinya telah berlangsung. Dan karena itu pula, Citra juga tidak bisa mengabari Raka karena tidak bisa membuka ponselnya di depan dosen. Pikirannya jadi kembali teringat betapa Raka semalam terlihat tidak suka, saat tidak diberi kabar. Mata Citra langsung melihat pada sedan hitam yang terparkir dan segera menghampirinya. Citra mengintip sedikit melalui kaca dan mendapati Raka berada di dalam mobil. Tangannya mengetuk pelan, membuat Raka akhirnya menoleh kepadanya dan membuka kunci mobil. “Maaf, aku terlambat, Mas, tadi ada bimbingan skripsi mendadak,” Citra mengucapkannya sesaat ketika membuka pintu mobil dan
Citra merasa bosan menunggu Raka yang masih berbincang di ruang kerja bersama Kakek Bramantyo. Selain itu, dia juga tidak ingin berdekatan dengan Arga dan Nadya, sehingga ia langsung memisahkan diri dan lebih memilih untuk duduk di pinggir kolam renang yang ada di taman belakang. Saat sedang menikmati menonton film di layar ponselnya. Citra terkejut karena ponselnya ditarik dengan kasar dan dilempar begitu saja ke dalam kolam renang. Citra menoleh dan mendapati Nadya, pelakunya. “Apa yang kamu lakukan?” seru Citra merasa tak senang. Baginya Nadya semakin keterlaluan. Padahal bukankah Nadya sudah mendapatkan apa yang dia inginkan? Yaitu menikah dengan Arga. Lalu, apa lagi yang membuatnya bersikap seenaknya pada dirinya seperti ini? Nadya teringat pernikahan Citra dengan Raka, yang diselenggarakan dengan begitu mewah. Bahkan Kakek mengundang para teman pengusaha yang lain hingga cukup mendapatkan perhatian. Sehingga mendengar keputusan Kakek, Nadya merasa kesal, namun tak
“Tanyakan pada istrimu sendiri. Dia hampir saja mencelakai Nadya dan bayi di dalam kandungan Nadya,” nada tak senang begitu kentara dari suara Ibu Arga. Raka semakin menggenggam tangan Citra.Ada perasaan hangat yang tiba-tiba mengalir di hati Citra. Ia merasa seakan sedang dilindungi. Sebuah perasaan yang tidak pernah ia rasakan, semenjak ibunya meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi. Raka menatap dengan dingin. "Aku tahu Citra tidak mungkin melakukan hal itu."Arga tertawa mengejek, “Tahu dari mana? Kalian saja baru saling mengenal. Citra melakukan itu karena dia masih mencintaiku, dan menyesal telah menikah denganmu.”Dalam sedetik tawa mengejek itu langsung terhenti begitu Arga menyadari Raka kini menatapnya tajam. Arga enggan mengakuinya, namun ia memang masih merasa takut dan terintimidasi oleh kakak sepupunya itu. Padahal Arga tahu, bahwa Raka kini bukanlah siapa-siapa, hanya saja dirinya tetap tak mau memancing amarah pria itu. Raka menghembuskan nafas kasar, “Minta pela
Pagi - pagi, Citra sudah sibuk menyiapkan sarapan seadanya sambil memikirkan jadwal kuliahnya yang padat. Saat dia memindahkan piring ke meja makan, tiba-tiba sebuah tangan diulurkan ke hadapannya. Tangan itu memegang sebuah dus berukuran sedang. Citra mendongak dan melihat ke arah Raka dengan raut wajah bingung. Sedangkan yang ditatap, masih saja menampakan wajah datar. Merasa Citra tak juga mengambil dus itu dari tangannya, Raka akhirnya berkata dengan singkat, “Ambil, ini untukmu.”Citra membulatkan mulutnya, membentuk kata ‘Ohh’ dan mengambil dus itu dari tangan Raka. Namun, ketika akhirnya tersadar, Citra membulatkan matanya, “I-ini kan handphone keluaran terbaru? Kenapa Mas memberikannya padaku?” “Bukankah ponselmu rusak?”Sejujurnya Citra tak menyangka bahwa Raka akan membelikannya ponsel baru, karena mengingat sikap pria itu semalam yang terlihat cuek begitu saja. Siapa sangka, Raka masih menaruh perhatian padanya. Namun, rasa khawatir kembali terbesit di pikirannya. Baga
Sesampainya di rumah, Citra hanya bisa terduduk lesu di ruang tengah. Tak lama kemudian, pintu depan terbuka, dan Raka masuk. Ia sempat terkejut begitu melihat Citra, "Citra? Kukira kamu akan pulang larut malam?" tanyanya dengan nada heran.Citra hanya menunduk, tidak mampu menjawab.Raka mendekat, merasakan ada sesuatu yang salah, "Kamu baik-baik saja?"Citra masih enggan berbicara. Dari sudut matanya, Raka dapat melihat bekas air mata di wajah Citra. Tapi, ia juga tak dapat memaksa gadis itu untuk bercerita padanya. Sehingga dengan nada lembut, Raka kembali berkata, “Malam ini tidak perlu memasak, aku akan membeli makanan dari luar.” Citra hanya merespon ucapan Raka dengan mengangguk kecil. Kemudian membiarkan Raka pergi meninggalkannya. Di kamar, Raka segera mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. “Bantu cari tahu apa yang terjadi di Kafe Scarlett siang tadi,” Raka segera memerintah setelah panggilan tersambung dan mematikan sambungan itu. Malam itu, Citra bahkan tak
Bab 128: Awal Baru"Nadya, aku di sini," ujar Raka lembut sambil menepuk pundak adik iparnya. Suaranya tenang, namun penuh kekhawatiran.Nadya duduk di kursi belakang mobil dengan tubuh gemetar. Ia memandang Raka dengan mata yang basah. "Terima kasih, Raka... kalau bukan karena kamu, aku mungkin..." Suaranya terputus oleh isak tangis."Sudah, jangan pikirkan itu lagi," potong Raka. "Yang penting sekarang kamu selamat. Kita akan bawa kamu pulang.""Aku nggak tahu apa aku bisa kembali," kata Nadya pelan. "Semua ini terlalu berat. Aku malu...""Nggak ada yang perlu kamu malu, Nadya," sahut Raka tegas. "Apa yang terjadi ini bukan salahmu. Kamu adalah korban."Di kursi depan, salah satu anggota tim keamanan berbalik. "Pak Raka, kita sebaiknya menuju tempat aman dulu sebelum membawa dia pulang. Gudang tadi mungkin masih diawasi anak buah Fajar."Raka mengangguk. "Benar. Kita ke tempat yang sudah disiapkan. Nadya butuh istirahat.""Aku... aku nggak ingin merepotkan," kata Nadya, suaranya ham
Bab 127: Misi Penyelamatan"Mas, aku harus ikut," tegas Citra sambil menatap suaminya. Ia berdiri dengan tangan terlipat, menunjukkan bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja.Raka menghela napas panjang, meletakkan ponselnya di meja. "Citra, ini bukan ide yang bagus. Tempat itu berbahaya, dan kamu sedang hamil. Aku nggak akan ambil risiko.""Bahaya atau tidak, Nadya tetap keluargaku!" balas Citra dengan nada penuh emosi. "Aku nggak bisa duduk diam di rumah sementara kalian di luar sana mencarinya."Raka mendekat, menggenggam kedua tangan Citra. "Aku mengerti perasaanmu, tapi pikirkan bayi kita. Kamu sendiri bilang dia adalah prioritas utama. Kalau sesuatu terjadi padamu, aku nggak akan pernah bisa memaafkan diriku."Citra menggeleng, air mata mulai menggenang di matanya. "Tapi Mas ... aku nggak bisa tenang. Aku nggak tahu apa yang akan dilakukan Fajar pada Nadya. Aku takut dia dalam bahaya.""Itulah kenapa aku harus pergi. Bukan kamu," ujar Raka dengan lembut, mencoba menenangkan ist
"Bu, aku ingin bicara!" suara Citra terdengar lantang dari ruang tamu, memecah keheningan malam itu.Anita, yang tengah duduk santai di sofa sambil menonton televisi, menoleh dengan ekspresi datar. "Oh, kamu akhirnya punya nyali, Citra?" balasnya sinis.Citra melangkah masuk, wajahnya tegang. Raka berdiri di belakangnya, mencoba memberi dukungan meskipun ia tahu ini bukan posisinya untuk ikut campur."Aku nggak tahan lagi dengan semua omonganmu tentang ibuku," Citra langsung memulai, tanpa basa-basi. "Kalau kamu punya sesuatu untuk disampaikan, katakan sekarang, di depanku."Anita menatap Citra dengan tatapan dingin. Ia mematikan televisi dan meletakkan remote di meja. "Baiklah," katanya sambil menyilangkan tangan di dada. "Kamu mau tahu kebenaran, kan? Kebenaran yang selalu kamu anggap sebagai kebohongan karena kamu nggak bisa terima kenyataan?""Kebenaran apa? Bahwa kamu yang menghancurkan keluarga kami?" sergah Citra dengan nada tajam.Anita tertawa kecil, getir. "Lucu sekali. Kamu
"Fajar, aku nggak mau ikut campur urusan ini lagi," suara Nadya terdengar putus asa. Ia berdiri di sudut ruangan sempit yang mereka sewa, memeluk tubuhnya sendiri.Fajar, seorang pria bertubuh tegap dengan tatapan tajam, hanya mendengus sambil menyandarkan tubuhnya di kursi kayu. "Kamu pikir kamu punya pilihan, Nadya?" tanyanya dengan nada dingin.Nadya menggigit bibir, menahan air mata yang hampir jatuh. "Aku cuma mau hidup tenang, Fajar. Aku nggak pernah setuju untuk jadi bagian dari ini."Fajar mendekat, langkahnya pelan tapi penuh tekanan. "Dengar, Nadya. Kamu pikir aku juga mau hidup seperti ini? Kita sama-sama nggak punya pilihan. Uang dari pekerjaan ini yang bikin kita bisa bertahan. Kalau kamu nggak mau ikut, ya sudah. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu nanti kelaparan."Nadya memalingkan wajahnya. "Aku lebih baik pergi daripada terus terlibat dalam ini.""Pergi ke mana? Ke adikmu, Citra?" tanya Fajar sambil terkekeh. "Kamu pikir dia bisa terima kamu begitu saja setelah semua
"Mas, ini tidak mungkin terjadi... Kenapa ada foto kita di rumah sakit?" Citra memandang ponselnya dengan tangan gemetar.Raka yang sedang duduk di sebelahnya segera menoleh. "Tunjukkan padaku," katanya tegas. Citra menyerahkan ponselnya, dan Raka segera membaca pesan itu.Di layar, sebuah pesan teks anonim berbunyi:"Berhenti mencari, atau kalian akan menyesal."Di bawah pesan itu ada foto Citra dan Raka di depan rumah sakit tadi siang, jelas diambil dari jarak dekat."Sialan," gumam Raka, wajahnya langsung tegang. "Ini bukan ancaman biasa. Seseorang mengikuti kita.""Apa maksudnya berhenti mencari? Apakah ini ada hubungannya dengan Nadya?" tanya Citra, suaranya terdengar cemas.Raka menatapnya tajam. "Tentu saja ini tentang Nadya. Orang yang mengancam kita pasti tahu kita sedang mencoba menemukannya.""Tapi kenapa mereka mengincar kita? Apa salah kita, Mas?" Citra mulai terisak.Raka menarik napas panjang dan meraih tangan Citra. "Dengar, ini bukan salahmu. Kita cuma mencoba membant
"Apa benar ini rumah sakitnya, Mas?" Citra bertanya dengan nada tak sabar. Mereka berdiri di depan sebuah bangunan tua yang sederhana, dindingnya memudar dimakan waktu.Raka mengangguk sambil memeriksa alamat di ponselnya. "Iya, ini alamat yang dikasih Pak Budi. Kita langsung masuk saja."Mereka berdua melangkah ke dalam rumah sakit kecil itu. Suasana sepi menyelimuti ruangan, hanya terdengar suara langkah kaki mereka di lantai ubin yang sedikit retak. Di meja resepsionis, seorang wanita paruh baya dengan seragam perawat sedang membaca buku."Selamat siang, Bu," Raka membuka percakapan dengan sopan. "Kami sedang mencari informasi tentang seseorang yang pernah dirawat di sini."Wanita itu mengangkat kepalanya, menatap mereka dengan penuh selidik. "Siapa namanya?" tanyanya."Nadya," jawab Citra cepat. "Dia mungkin dirawat di sini beberapa minggu lalu. Apa Ibu mengenalnya?"Perawat itu mengernyit, lalu tampak berpikir sejenak. "Nadya... ya, saya ingat. Perempuan muda itu. Dia memang pern
"Mas, aku nggak bisa diam saja," Citra memulai, suaranya penuh kegelisahan. Mereka duduk di ruang tamu rumah, dengan suasana yang berat menggantung di antara mereka. "Sudah terlalu lama Nadya nggak ada kabar. Aku nggak tenang kalau dia terus menghilang begini."Raka memijat pelipisnya, mencoba menahan rasa frustrasi yang sudah mulai muncul. "Citra, kamu sedang hamil besar. Kamu nggak bisa terlalu memaksakan diri. Lagipula, siapa tahu Nadya memang ingin menjauh untuk sementara waktu.""Jadi menurutmu aku harus diam saja? Aku harus pura-pura nggak peduli?" Citra menatap Raka dengan penuh rasa putus asa. "Nadya itu kakakku, Mas. Aku tahu kita punya masalah, tapi dia tetap keluarga."Raka menghela napas panjang, menatap istrinya yang terlihat begitu serius. "Aku nggak bilang kamu harus pura-pura nggak peduli. Tapi kamu harus berpikir realistis. Kalau kita mencari dia sekarang, apa itu nggak malah bikin masalah baru? Apalagi kalau benar dia pergi karena ingin menghindar."Citra menggenggam
"Ayah, aku butuh penjelasan," suara Citra terdengar tegas, memecah keheningan pagi itu. Mereka duduk di ruang tamu kecil rumah Ahmad, suasananya penuh ketegangan.Ahmad menghela napas panjang, tangannya yang keriput menggenggam cangkir kopi hangat yang sejak tadi tidak disentuh. "Citra, Ayah tahu kamu pasti terluka dengan apa yang dikatakan Anita semalam. Tapi percayalah, Ayah nggak pernah berniat menyakiti keluarga kita. Ayah hanya...""Hanya apa, Ayah?" Citra memotong, nadanya tajam. Matanya berkaca-kaca. "Benarkah Ayah lebih memprioritaskan orang lain daripada Ibu? Itu yang Ibu rasakan sampai akhirnya dia sakit, sampai semuanya berantakan?"Raka, yang duduk di samping Citra, menepuk punggungnya pelan, mencoba menenangkan. Namun, Citra tidak memperhatikan, pandangannya tetap terfokus pada Ahmad.Ahmad meletakkan cangkirnya di meja. Wajahnya terlihat semakin lelah. "Ibu kamu adalah wanita yang kuat, Citra. Tapi dia punya sisi rapuh yang kadang Ayah nggak pahami. Saat Anita datang, Ay
"Ibu!" suara Citra menggema di ruang tamu yang sudah tegang sejak mereka tiba. "Aku nggak bisa diam begitu saja setelah apa yang Ibu katakan tadi. Jelaskan sekarang! Apa maksud Ibu dengan semua tuduhan itu tentang ibu kandungku?"Anita, yang sedang menuang teh ke cangkir, berhenti sejenak. Ia menatap Citra dengan tatapan dingin, lalu meletakkan teko perlahan. "Kamu benar-benar ingin tahu, Citra? Aku rasa kamu nggak akan suka jawabannya.""Aku nggak peduli! Aku berhak tahu!" Citra membalas dengan nada penuh emosi.Ahmad, yang duduk di kursi seberang, mencoba meredakan suasana. "Sudahlah, Anita. Ini bukan waktunya membahas hal-hal seperti ini."Namun Anita hanya mendengus kesal. "Diam, Mas. Ini saatnya kebenaran keluar. Selama ini kamu selalu berlindung di balik kesopananmu, tapi semua ini terjadi karena keputusan bodohmu sendiri."Ahmad menghela napas panjang, wajahnya terlihat penuh penyesalan. Sementara itu, Citra menatap mereka bergantian, hatinya terasa berat."Dulu, aku nggak puny