Semua berawal dari Dani dan sahabat Rania yang berhianat. Rania memergoki Dani dan Dewi berselingkuh di atas ranjang. Setelah itu Rania seperti linglung dan Raga memanfaatkan kondisinya.
"Jangan!" mohon Rania saat tangan Raga kembali mengelus lehernya. Raga menatap tajam ke arah Rania. Pria yang awalnya lembut mendadak kasar saat mengetahui bahwa Rania berpikir untuk membatalkan kesepakatan mereka. "Kamu yang menawarkan harga dirimu. Menjajakkan dirimu pada saya. Kamu tidak berhak untuk menolak!" Jemari Raga mengunci kuat pergelangan tangan Rania. Mata Rania berkaca-kaca. Apa dirinya serendah itu sekarang. Benar yang dikatakan oleh Raga. "Saya mengatakannya di bawah pengaruh minuman beralkohol." Rania memalingkan wajahnya, tidak sanggup besitatap dengan Raga. "Dan saya tidak peduli itu." Raga menjauhkan badannya dari Rania. "Bangunlah, saya akan mengantarmu pulang." Lanjutnya. "Saya rasa ide untuk menikah bukanlah solusi yang baik." Meski takut-takut, Rania mencoba melakukan pewaran. Alis Raga menukik tajam. Pria yang kini bersandar di kepala ranjang itu menatap tajam ke arah Rania penuh peringatan. "Maksud saya, jika kita menikah mungkin akan menimbulkan masalah yang baru." Rania yakin itu. "Masalah akan lebih besar jika kita tidak segera menikah." Raga menyeringai. "Kita sudah melakukannya. Bukan hal yang tidak mungkin jika kamu hamil." Mendengar jawaban Raga, tubuh Rania sontak membatu. Dia bahkan tidak memikirkan hal itu. Benar kata Raga, dirinya bisa hamil. "Hmm soal itu...." Wajah Rania memerah. Sangat malu untuk melanjutkan ucapannya. "Apa kamu mengeluarkannya di dalam?" Rania menahan napas menunggu jawaban Raga. "Tentu saja. Lima kali," jawab Raga enteng sambil mengangkat lima jarinya. Roh dalam tubuh Rania rasanya ingin terlepas saat mendengar jawaban Raga. Dia menyugar wajahnya dengan kasar. "Selamat Rania, kamu baru saja menambah masalah baru." Rania mengacak rambutnya kasar saking pusingnya. Kekehan pelan terdengar dari mulut Raga. Tangan kekarnya menahan tangan Rania untuk tidak menyakiti diri sendiri. "Dari lima kali tembakan itu, tidak mungkin tidak ada yang berhasil jadi janin bukan?" tanya Raga disambut suara isak tangis Rania. "Bagaimana kalau saya hamil?" "Karena itu, kita harus menikah besok?" Sekali lagi Raga memberikan gebrakan baru. "Hah besok?" Rania melotot dan Raga mengangguk dengan polos. "Itu pemikiran yang gila." Raga mengedikkan bahunya lalu turun dari tempat tidur. Jika dibiarkan berlarut-larut, bukan tidak mungkin Rania akan kembali menolaknya. "Kita tidak ada pilihan lain Rania. Sudah sejauh ini. Saya tidak ingin anak saya lahir tanpa seorang ayah." Sebetulnya Raga sedang berusaha menahan tawa melihat wajah melas Rania. Wanita itu tidak punya pilihan lain selain menurut. Dia juga bingung mengapa Raga bisa membuatnya menjadi gadis penurut ah tidak, maksudnya wanita penurut. *** Setelah hilang kabar dan pulang bersama pria asing, bukan hal aneh jika Rania diserang dengan pertanyaan dan tatapan menghakimi dari orang-orang di rumahnya. "Saya belum tahu apa yang terjadi di antara kalian, tapi saya tahu kalian perlu bicara serius." Ali, orang tua Rania menatap putrinya dan Dani secara bergantian. "Ayo masuk!" ajaknya sambil menarik pelan tangan istrinya yang tampak ingin protes. "Saya harus bicara dengan anak ini!" protes ibu Rania. "Nanti, biarkan mereka menyelesaikan masalahnya terlebih dulu." Setelah kedua orang tua Rania meninggalkan ruang tamu, Raga yang sejak tadi dianggap kasat mata itu berjalan santai dan mendudukkan dirinya di sofa. "Pria ini?" tanya Raga sambil menunjuk ke arah Dani. Rania hanya diam berdiri "Rania, siapa pria ini?" Dani mati-matian berusaha menahan emosinya. "Demi apa pun, siapa pun pria ini bukanlah urusanmu." Rania geram, Dani terlihat seperti hama di matanya. Tangan Dani mengepal kuat menahan emosi. "Tentu saja urusanku. Kamu menghilang semalaman lalu pulang bersama pria asing. Ingat kamu calon istri saya Rania. Tolong hargai saya." Raga tertawa mengejek saat mendengar ucapan Dani dan dihadiahi tatapan marah dari pria itu. "Dari kemarin kamu menuntut untuk dihargai terus." Rania berdecak kesal. "Saya calon suami mu. Sudah seharusnya kamu menghargai ...." "Ogah!" potong Rania lagi-lagi membuat Raga terkekeh. "Kamu melukai saya Rania!" Mata Dani berkaca-kaca. Jika dulu Rania akan luluh melihat Dani yang seperti ini, maka kali ini Rania justru menyadari kebodohannya sudah diperdaya oleh pria playing victim selama ini. "Mau saya bantu sumbangkan satu tonjokan?" tawar Raga sangat ingin diiyakan oleh Rania. "Kamu ini siapa!" Dani menunjuk wajah Raga. "Saya calon suami Rania!" Dani tertawa hambar. "Jangan berbohong!" "Silahkan tanya pada Rania bagaimana kami menghabiskan malam." Senyum miring tersungging di wajahnya. Mendengar jawaban Raga, Dani sontak berdiri dan berjalan cepat menghampiri Raga. Dia meraih kerah baju Raga dan menatapnya penuh intimidasi. "Jaga bicara mu! Rania bukan wanita yang ingin diajak seperti itu!" Dani memberi peringatan dengan suara rendahnya. "Benarkah? tapi kami melakukannya berkali-kali malam tadi." Raga melepaskan tangan Dani dari kerah bajunya. Dia sama sekali tidak merasa terintimidasi. "Bajingan!" "Yang dikatakan Raga benar. Kami melakukannya berkali-kali." Kedua pria yang sejak tadi bersitegang itu sontak menoleh secara bersamaan. Tangan Dani yang hendak memukul Raga masih menggantung di udara. "Tarik kata-katamu Rania, Kamu tidak perlu berbohong sejauh ini." Dani menurunkan tangannya. Rania menyibakkan rambutnya ke belakang hingga mempertontonkan lehernya. "Apa ini cukup?" tanya Rania sambil menunjukkan lehernya yang penuh dengan karya Raga. Raga tersenyum bangga. "Itu bahkan baru sebagian kecilnya." "Tidak mungkin," ucap Dani tidak percaya. Tanpa di duga Rania berjalan menghampiri Raga dan langsung menyambar bibir pria itu dengan bibirnya. Raga yang awalnya terkejut akhirnya mengimbanginya tidak kalah ganas pula. Mata keduanya terpejam menikmati. "Tidak mungkin," gumam Dani yang merasa ada retak di dadanya. Perlahan kedua manusia yang sibuk beradu bibir itu mulai menciptakan jarak saat Rania mulai merasa sesak. "Kalian berselingkuh?" tuduh Dani tidak terima. Dia murka. Rania berbalik dan menatap Dani dengan senyum mengejek. "Saya hanya mengikuti permainanmu saja. Bagaimana? seru bukan?" "Rania jangan bermain-main!" "Kamu yang memulai!" Rania balas berteriak. "Saya tidak menyangka kalau kamu orangnya pendendam." Tunggu, mengapa Dani bertindak sebagai pria paling tersakiti di sini. "Saya hanya mengikuti cara bermainmu. Diimbangi kok malah merasa korban." Dani kehabisan kata-kata. Bertahun-tahun dia menjalin kasih dengan Rania, baru kali ini dia melihat Rania yang seperti ini. "Menarik," gumam Raga yang menonton sepasang mantan kekasih saling serang. "Enyah dari hadapan saya!" Rania menatap Dani penuh kebencian. "Ah tidak cukup, enyah dari hidup saya!" "Saya tidak akan tinggal diam Rania! Kamu tidak akan bisa lepas! Ingat itu!" ancam Dani sebelum beranjak meninggalkan Raga dan Rania.Mata Rania membelalak kaget saat melihat pemandangan di depannya. Napasnya tercekat bersamaan dengan detak jantungnya yang bergemuruh hebat. Kedua mata coklatnya disipitkan untuk memastikan bahwa dia tidak salah orang.Tangannya gemetar, bahkan untuk mengeluarkan umpatan kasar pun dia sudah tidak sanggup. Tidak jauh dari tempatnya berdiri ada pria yang sedang memadu kasih dengan wanita berpakaian hot membara. "Padahal belum genap sebulan." Rania tersenyum getir. "Tidak sanggup hidup tanpa kamu Rania, cuihh bajingan." Lanjutnya.Kakinya sudah tidak sanggup berdiri tegak namun dia memilih untuk menyaksikan lebih lama lagi pria yang kini sibuk bergulat di atas kasur yang katanya pria itu beli khusus untuk mereka memadu kasih nantinya."Ah omongan pria ternyata memang lebih banyak bohongnya." Dia terus membatin, takut jika bersuara bisa merusak momen romantis di depan sana.Wanita bergaun merah darah kini duduk di atas pangkuan Dani yang bersandar di kepala ranjang sambil memejamkan mat
"Nikah yuk mas!" Masih dengan cengiran lebar di bibir pucatnya.Kalimat bodoh itu meluncur dengan cepat dari mulut Rania bahkan sebelum dia menyadari apa yang baru saja dia katakan.Mata Rania membola setelah sadar bahwa apa yang ada di dalam pikiran liarnya ternyata menjelma menjadi lontaran kalimat bodoh. "Bodoh, gila! kamu sudah Gila Rania. Segitu frustasinya ditinggal Dani," rutuk Rania sambil memukul-mukul pelan bibirnya."Yuk!"Tidak, bukan Rania yang bersuara melainkan sosok yang belum dia ketahui namanya. Rania menoleh ke arah pria tadi sambil tertawa hambar."Hahaha." Tangannya menggaruk pelipisnya salah tingkah. Rania pikir dia ditertawakan karena ucapan bodohnya barusan. Bukankah begitu? Dia menjawab seperti itu karena mengira Rania sedang mengajaknya bercanda."Ayuk, mau kapan mba?" tanya pria itu lagi tampak sangat antusias. Bahkan dia mengubah posisi duduknya menjadi mengarah ke Rania."Maaf mas, saya cuma bercanda." Rania masih terus tertawa hambar.Loh kenapa pria it
"Temani saya malam ini," bisik Raga setengah memohon. "Hah gimana mas?" Rania menggelengkan kepalanya tidak mau salah paham. Sepertinya otaknya sudah rada error saat ini. Posisi duduknya sudah tidak secanggung tadi."Temani saya sampai pagi mba.""Aduh mas saya gak berani. Saya bukan wanita yang seperti itu mas." Rania menggelengkan kepalanya dengan cepat. Mereka benar-benar berada dalam situasi yang membingungkan. Keduanya tidak saling kenal namun terjebak dalam obrolan kikuk."Saya butuh teman cerita, saya tahu kamu juga butuh itu?" Raga memberikan penawaran yang terdengar menggiurkan.Wanita itu terdiam sejenak sebelum menganggukkan kepalanya. Benar, dia butuh teman curhat.Raga tersenyum samar sebelum beranjak dari tempat duduknya. "Ayo ikut saya!" ucapnya lalu berjalan meninggalkan Rania yang tampaknya masih menimbang-nimbang. "Saya bukan pria jahat, jangan khawatir.""Sekarang saya sedang berjalan mengikuti pria asing yang entah akan membawa saya ke mana." Rania merutuk sambi
Suara dering ponsel berbunyi mengganggu pria yang tengah tertidur pulas. Dia mengerang pelan sebelum perlahan membuka matanya. "Cantik," gumamnya sambil menyingkirkan anak rambut di wajah Rania.Baru kali ini Raga merasakan pagi cerah yang sesungguhnya. Di dalam rangkulannya terlelap wanita yang sudah menemaninya malam tadi.Tidak ingin mengganggu tidur pulas Rania, dengan perlahan dia meraih ponsel miliknya yang sejak tadi berdering tanpa henti."Anak bajingan!"Teriakan kasar terdengar saat Raga baru saja menempelkan ponselnya di telinga. Pria itu hanya bisa menghela napas berat."Halo," sapa Raga dengan suara serak khas bangun tidur."Perusahaanmu terancam bangkrut dan pimpinannya malah enak-enakan tidur!" Anton yang sedang berdiri di dalam ruangan rapat itu hanya bisa memijat pelipisnya.Sekali lagi Raga hanya bisa menghela napas malas. Apa masalahnya jika perusahaannya bangkrut, mengapa justru sang ayah yang pusing."Raga tahu.""Jika kamu tahu, harusnya segera ke kantor dan ber
Semua berawal dari Dani dan sahabat Rania yang berhianat. Rania memergoki Dani dan Dewi berselingkuh di atas ranjang. Setelah itu Rania seperti linglung dan Raga memanfaatkan kondisinya."Jangan!" mohon Rania saat tangan Raga kembali mengelus lehernya. Raga menatap tajam ke arah Rania. Pria yang awalnya lembut mendadak kasar saat mengetahui bahwa Rania berpikir untuk membatalkan kesepakatan mereka."Kamu yang menawarkan harga dirimu. Menjajakkan dirimu pada saya. Kamu tidak berhak untuk menolak!" Jemari Raga mengunci kuat pergelangan tangan Rania.Mata Rania berkaca-kaca. Apa dirinya serendah itu sekarang. Benar yang dikatakan oleh Raga."Saya mengatakannya di bawah pengaruh minuman beralkohol." Rania memalingkan wajahnya, tidak sanggup besitatap dengan Raga."Dan saya tidak peduli itu." Raga menjauhkan badannya dari Rania. "Bangunlah, saya akan mengantarmu pulang." Lanjutnya."Saya rasa ide untuk menikah bukanlah solusi yang baik." Meski takut-takut, Rania mencoba melakukan pewaran.
Suara dering ponsel berbunyi mengganggu pria yang tengah tertidur pulas. Dia mengerang pelan sebelum perlahan membuka matanya. "Cantik," gumamnya sambil menyingkirkan anak rambut di wajah Rania.Baru kali ini Raga merasakan pagi cerah yang sesungguhnya. Di dalam rangkulannya terlelap wanita yang sudah menemaninya malam tadi.Tidak ingin mengganggu tidur pulas Rania, dengan perlahan dia meraih ponsel miliknya yang sejak tadi berdering tanpa henti."Anak bajingan!"Teriakan kasar terdengar saat Raga baru saja menempelkan ponselnya di telinga. Pria itu hanya bisa menghela napas berat."Halo," sapa Raga dengan suara serak khas bangun tidur."Perusahaanmu terancam bangkrut dan pimpinannya malah enak-enakan tidur!" Anton yang sedang berdiri di dalam ruangan rapat itu hanya bisa memijat pelipisnya.Sekali lagi Raga hanya bisa menghela napas malas. Apa masalahnya jika perusahaannya bangkrut, mengapa justru sang ayah yang pusing."Raga tahu.""Jika kamu tahu, harusnya segera ke kantor dan ber
"Temani saya malam ini," bisik Raga setengah memohon. "Hah gimana mas?" Rania menggelengkan kepalanya tidak mau salah paham. Sepertinya otaknya sudah rada error saat ini. Posisi duduknya sudah tidak secanggung tadi."Temani saya sampai pagi mba.""Aduh mas saya gak berani. Saya bukan wanita yang seperti itu mas." Rania menggelengkan kepalanya dengan cepat. Mereka benar-benar berada dalam situasi yang membingungkan. Keduanya tidak saling kenal namun terjebak dalam obrolan kikuk."Saya butuh teman cerita, saya tahu kamu juga butuh itu?" Raga memberikan penawaran yang terdengar menggiurkan.Wanita itu terdiam sejenak sebelum menganggukkan kepalanya. Benar, dia butuh teman curhat.Raga tersenyum samar sebelum beranjak dari tempat duduknya. "Ayo ikut saya!" ucapnya lalu berjalan meninggalkan Rania yang tampaknya masih menimbang-nimbang. "Saya bukan pria jahat, jangan khawatir.""Sekarang saya sedang berjalan mengikuti pria asing yang entah akan membawa saya ke mana." Rania merutuk sambi
"Nikah yuk mas!" Masih dengan cengiran lebar di bibir pucatnya.Kalimat bodoh itu meluncur dengan cepat dari mulut Rania bahkan sebelum dia menyadari apa yang baru saja dia katakan.Mata Rania membola setelah sadar bahwa apa yang ada di dalam pikiran liarnya ternyata menjelma menjadi lontaran kalimat bodoh. "Bodoh, gila! kamu sudah Gila Rania. Segitu frustasinya ditinggal Dani," rutuk Rania sambil memukul-mukul pelan bibirnya."Yuk!"Tidak, bukan Rania yang bersuara melainkan sosok yang belum dia ketahui namanya. Rania menoleh ke arah pria tadi sambil tertawa hambar."Hahaha." Tangannya menggaruk pelipisnya salah tingkah. Rania pikir dia ditertawakan karena ucapan bodohnya barusan. Bukankah begitu? Dia menjawab seperti itu karena mengira Rania sedang mengajaknya bercanda."Ayuk, mau kapan mba?" tanya pria itu lagi tampak sangat antusias. Bahkan dia mengubah posisi duduknya menjadi mengarah ke Rania."Maaf mas, saya cuma bercanda." Rania masih terus tertawa hambar.Loh kenapa pria it
Mata Rania membelalak kaget saat melihat pemandangan di depannya. Napasnya tercekat bersamaan dengan detak jantungnya yang bergemuruh hebat. Kedua mata coklatnya disipitkan untuk memastikan bahwa dia tidak salah orang.Tangannya gemetar, bahkan untuk mengeluarkan umpatan kasar pun dia sudah tidak sanggup. Tidak jauh dari tempatnya berdiri ada pria yang sedang memadu kasih dengan wanita berpakaian hot membara. "Padahal belum genap sebulan." Rania tersenyum getir. "Tidak sanggup hidup tanpa kamu Rania, cuihh bajingan." Lanjutnya.Kakinya sudah tidak sanggup berdiri tegak namun dia memilih untuk menyaksikan lebih lama lagi pria yang kini sibuk bergulat di atas kasur yang katanya pria itu beli khusus untuk mereka memadu kasih nantinya."Ah omongan pria ternyata memang lebih banyak bohongnya." Dia terus membatin, takut jika bersuara bisa merusak momen romantis di depan sana.Wanita bergaun merah darah kini duduk di atas pangkuan Dani yang bersandar di kepala ranjang sambil memejamkan mat