Mata Rania membelalak kaget saat melihat pemandangan di depannya. Napasnya tercekat bersamaan dengan detak jantungnya yang bergemuruh hebat. Kedua mata coklatnya disipitkan untuk memastikan bahwa dia tidak salah orang.
Tangannya gemetar, bahkan untuk mengeluarkan umpatan kasar pun dia sudah tidak sanggup. Tidak jauh dari tempatnya berdiri ada pria yang sedang memadu kasih dengan wanita berpakaian hot membara. "Padahal belum genap sebulan." Rania tersenyum getir. "Tidak sanggup hidup tanpa kamu Rania, cuihh bajingan." Lanjutnya. Kakinya sudah tidak sanggup berdiri tegak namun dia memilih untuk menyaksikan lebih lama lagi pria yang kini sibuk bergulat di atas kasur yang katanya pria itu beli khusus untuk mereka memadu kasih nantinya. "Ah omongan pria ternyata memang lebih banyak bohongnya." Dia terus membatin, takut jika bersuara bisa merusak momen romantis di depan sana. Wanita bergaun merah darah kini duduk di atas pangkuan Dani yang bersandar di kepala ranjang sambil memejamkan matanya menikmati setiap sentuhan yang diberikan oleh wanita yang tampak tidak asing bagi Rania. Kecup leher kecup telinga ahh terlalu dewasa untuk dijabarkan. Rania memejamkan matanya, dia hanya wanita biasa yang tidak mampu menghalau air matanya. Jemarinya bergerak mengelus cincin yang melingkar di jari manisnya. "Mas Dani," panggilnya dengan suara lirih. Belum ada reaksi dari Dani dan wanita itu. Mereka masih asik. Mau sampai kapan mereka seperti itu, pikir Rania. "Mas Dani!" kali ini suaranya lebih keras meski terdengar sedikit gemetar. Kali ini mata Dani yang terbelalak melihat di ambang pintu berdiri kekasihnya yang sudah lima tahun membersamainya. Seorang wanita yang kurang dari tiga bulan lagi akan menjadi istrinya. Wanita yang baru dia lamar belum lama ini. "Sial!" umpat Dani lalu mendorong wanita yang membatu tidak berani menoleh ke belakang. "Aduh!" keluh wanita yang baru saja terjatuh ke lantai saat Dani berdiri dan berjalan cepat menghampiri Rania. Alis Rania mengernyit saat mendengar suara wanita itu. Dia mengenalinya. Jantungnya makin berdebar kencang. Rania menggelengkan kepalanya menolak percaya ketika wanita di depannya berbalik dan menatap penuh rasa bersalah ke arahnya. "Astagfirullah!" Rania membekap mulutnya, kali ini tidak sanggup lagi menahan tangisnya. Kekasihnya sedang bercumbu dengan sahabatnya sendiri. Dua orang berharga dalam hidupnya itu bekerja sama untuk mengkhianatinya. "Sayang," panggil Dani ragu. "Berhenti di sana mas!" jerit Rania. Sekujur badannya gemetar. Dia tidak yakin apakah kakinya masih berpijak. Badan mungil itu tampak mulai linglung. "Sayang." Dani khawatir. Sepertinya Dani tidak layak merasa khawatir pada Rania setelah apa yang dia perbuat. Rania mengangkat tangannya memberikan isyarat untuk berhenti pada Dani dan Dewi sahabatnya yang mencoba mendekat ke arahnya. "Ri ... ini tidak seperti apa yang kamu pikirkan." Dewi meraup wajahnya kasar, merasa frustasi. "Jadi seperti apa? tidak sengaja? atau kalian khilaf hah?" Rania berteriak disertai isak tangis. "Besok suruh keluarga mas datang ke rumah untuk membicarakan pembatalan pernikahan kita." Lanjut Rania sambil mengusap kasar air matanya. Mendengar ucapan Rania, Dani kaget bukan main. "Rania jangan kekanak-kanakan!" murka Dani. Rania terbahak. Apa yang baru saja pria sinting ini katakan. "Kekanak-kanakan?" Air mata Rania sudah mengering. Percuma menangisi manusia tidak tahu diri. "Iya. Kamu egois!" "Egois? kamu bilang aku egois mas?" Dia tidak habis pikir. "Letak egois aku di mana mas?" "Kamu mau batalin pernikahan kita. Kamu gak mikirin mas." Dani tidak percaya Rania segampang itu mengatakan ingin membatalkan pernikahan mereka. "Kita sudah memimpikan untuk menikah sejak lama. Pikirin itu, jangan egois." Mulut Rania menganga dengan mata melotot. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Gila yah kamu!" Hanya itu yang mampu Rania ucapkan. "Kamu yang gila, undangan sudah tersebar. Dengan kamu batalin pernikahan kita, kamu pikir keluarga kita gak bakalan malu? pikirin itu!" Dani berteriak frustasi sambil menyugar rambutnya dengan kasar. "Kamu pikir aku peduli? gak!" Rania balas berteriak. "Playing victim," gumamnya sebelum berbalik meninggalkan Dani dan Dewi yang tampak mulai berdebat. *** Rania berjalan cepat sambil mengusap air matanya. Langkah kakinya berjalan menyusuri trotoar tanpa arah. Pikirannya melayang membayangkan rasa sakit hatinya dan konsekuensi yang harus dia dan keluarganya tanggung jika sampai harus membatalkan pernikahan. "Benar-benar pria tidak tahu malu," gerutunya. "Ojek neng," tawar tukang ojek yang berjalan pelan dengan motor bebeknya. Rania menoleh dan mengangguk pelan. "Boleh pak," ucapnya. Cukup hatinya yang pegal, kakinya jangan. "Mau ke mana neng?" "Muter-muter aja pak." "Banyak uang yah neng, naik ojek buat muter-muter doang." "Ke taman depan rumah sakit aja pak kalau gitu." Selebihnya Rania hanya bergumam malas menanggapi obrolan bapak-bapak tukang ojek. Dalam hati dia sudah meminta maaf untuk perlakuan tidak sopannya itu. Setelah berkendara beberapa menit dia akhirnya tiba di sebuah taman yang berada tidak jauh dari rumah sakit. Rania berjalan menuju kursi panjang yang berada tepat di bawah pohon rindang yang tampak sejuk. "Kalau batal pasti malu, kalau lanjut, saya bisa gila!" geramnya. Dia menatap jemarinya sembari memandangi cincin emas yang melingkar di sana. "Hal pertama yang harus dilakuin setelah ini, jual cincin." Rania menoleh saat merasakan ada sosok yang baru saja ikut bergabung di sampingnya. Bukan setan atau arwah gentayangan, sosok ini terlalu sulit untuk dijelaskan. Dewa Yunani sepertinya cocok untuk menggambarkan pria yang kini duduk di sampingnya. "Boleh saya duduk di sini mba?" tanya pria itu yang Rania tahu hanya sekedar basa-basi saja pasalnya si tampan sama sekali tidak berniat menoleh ke arahnya. Gadis yang masih terpukau itu sontak mengangguk cepat namun setelah sadar bahwa anggukannya tidak terlihat dia akhirnya berdehem pelan sebelum menjawab, "Iya, boleh mas." Seolah lupa dengan kejadian yang baru saja menimpanya, Rania seperti gadis ganjen yang bisa berpaling secepat itu dari Dani ke pria di sampingnya. Diamatinya pahatan wajah yang nyaris sempurna itu. Hidung mancung, bulu mata lentik, bibir penuh ... "Ah sial, dia tipe saya banget." Belum cukup sejam sejak dia menangis tersedu-sedu karena merasa disakiti oleh pria yang dia cintai dan pria di sampingnya ini hanya butuh satu detik untuk membuatnya berpaling. "Apa ini yang dirasakan Dani saat melihat Dewi," gumamnya sebelum menggeleng cepat. "Kenapa mba? pusing? sakit?" tanya pria yang ternyata sejak tadi juga melirik ke arah Rania dari ekor matanya. Rania tersentak. "Suaranya lembut banget," batinnya. Dia mendongak dan menatap pria di sampingnya dengan cengiran lebar sambil menggelengkan kepalanya dengan pelan seperti orang bodoh. "Nikah yuk mas!" Masih dengan cengiran lebar di bibir pucatnya."Nikah yuk mas!" Masih dengan cengiran lebar di bibir pucatnya.Kalimat bodoh itu meluncur dengan cepat dari mulut Rania bahkan sebelum dia menyadari apa yang baru saja dia katakan.Mata Rania membola setelah sadar bahwa apa yang ada di dalam pikiran liarnya ternyata menjelma menjadi lontaran kalimat bodoh. "Bodoh, gila! kamu sudah Gila Rania. Segitu frustasinya ditinggal Dani," rutuk Rania sambil memukul-mukul pelan bibirnya."Yuk!"Tidak, bukan Rania yang bersuara melainkan sosok yang belum dia ketahui namanya. Rania menoleh ke arah pria tadi sambil tertawa hambar."Hahaha." Tangannya menggaruk pelipisnya salah tingkah. Rania pikir dia ditertawakan karena ucapan bodohnya barusan. Bukankah begitu? Dia menjawab seperti itu karena mengira Rania sedang mengajaknya bercanda."Ayuk, mau kapan mba?" tanya pria itu lagi tampak sangat antusias. Bahkan dia mengubah posisi duduknya menjadi mengarah ke Rania."Maaf mas, saya cuma bercanda." Rania masih terus tertawa hambar.Loh kenapa pria it
"Temani saya malam ini," bisik Raga setengah memohon. "Hah gimana mas?" Rania menggelengkan kepalanya tidak mau salah paham. Sepertinya otaknya sudah rada error saat ini. Posisi duduknya sudah tidak secanggung tadi."Temani saya sampai pagi mba.""Aduh mas saya gak berani. Saya bukan wanita yang seperti itu mas." Rania menggelengkan kepalanya dengan cepat. Mereka benar-benar berada dalam situasi yang membingungkan. Keduanya tidak saling kenal namun terjebak dalam obrolan kikuk."Saya butuh teman cerita, saya tahu kamu juga butuh itu?" Raga memberikan penawaran yang terdengar menggiurkan.Wanita itu terdiam sejenak sebelum menganggukkan kepalanya. Benar, dia butuh teman curhat.Raga tersenyum samar sebelum beranjak dari tempat duduknya. "Ayo ikut saya!" ucapnya lalu berjalan meninggalkan Rania yang tampaknya masih menimbang-nimbang. "Saya bukan pria jahat, jangan khawatir.""Sekarang saya sedang berjalan mengikuti pria asing yang entah akan membawa saya ke mana." Rania merutuk sambi
Suara dering ponsel berbunyi mengganggu pria yang tengah tertidur pulas. Dia mengerang pelan sebelum perlahan membuka matanya. "Cantik," gumamnya sambil menyingkirkan anak rambut di wajah Rania.Baru kali ini Raga merasakan pagi cerah yang sesungguhnya. Di dalam rangkulannya terlelap wanita yang sudah menemaninya malam tadi.Tidak ingin mengganggu tidur pulas Rania, dengan perlahan dia meraih ponsel miliknya yang sejak tadi berdering tanpa henti."Anak bajingan!"Teriakan kasar terdengar saat Raga baru saja menempelkan ponselnya di telinga. Pria itu hanya bisa menghela napas berat."Halo," sapa Raga dengan suara serak khas bangun tidur."Perusahaanmu terancam bangkrut dan pimpinannya malah enak-enakan tidur!" Anton yang sedang berdiri di dalam ruangan rapat itu hanya bisa memijat pelipisnya.Sekali lagi Raga hanya bisa menghela napas malas. Apa masalahnya jika perusahaannya bangkrut, mengapa justru sang ayah yang pusing."Raga tahu.""Jika kamu tahu, harusnya segera ke kantor dan ber
Semua berawal dari Dani dan sahabat Rania yang berhianat. Rania memergoki Dani dan Dewi berselingkuh di atas ranjang. Setelah itu Rania seperti linglung dan Raga memanfaatkan kondisinya."Jangan!" mohon Rania saat tangan Raga kembali mengelus lehernya. Raga menatap tajam ke arah Rania. Pria yang awalnya lembut mendadak kasar saat mengetahui bahwa Rania berpikir untuk membatalkan kesepakatan mereka."Kamu yang menawarkan harga dirimu. Menjajakkan dirimu pada saya. Kamu tidak berhak untuk menolak!" Jemari Raga mengunci kuat pergelangan tangan Rania.Mata Rania berkaca-kaca. Apa dirinya serendah itu sekarang. Benar yang dikatakan oleh Raga."Saya mengatakannya di bawah pengaruh minuman beralkohol." Rania memalingkan wajahnya, tidak sanggup besitatap dengan Raga."Dan saya tidak peduli itu." Raga menjauhkan badannya dari Rania. "Bangunlah, saya akan mengantarmu pulang." Lanjutnya."Saya rasa ide untuk menikah bukanlah solusi yang baik." Meski takut-takut, Rania mencoba melakukan pewaran.
Semua berawal dari Dani dan sahabat Rania yang berhianat. Rania memergoki Dani dan Dewi berselingkuh di atas ranjang. Setelah itu Rania seperti linglung dan Raga memanfaatkan kondisinya."Jangan!" mohon Rania saat tangan Raga kembali mengelus lehernya. Raga menatap tajam ke arah Rania. Pria yang awalnya lembut mendadak kasar saat mengetahui bahwa Rania berpikir untuk membatalkan kesepakatan mereka."Kamu yang menawarkan harga dirimu. Menjajakkan dirimu pada saya. Kamu tidak berhak untuk menolak!" Jemari Raga mengunci kuat pergelangan tangan Rania.Mata Rania berkaca-kaca. Apa dirinya serendah itu sekarang. Benar yang dikatakan oleh Raga."Saya mengatakannya di bawah pengaruh minuman beralkohol." Rania memalingkan wajahnya, tidak sanggup besitatap dengan Raga."Dan saya tidak peduli itu." Raga menjauhkan badannya dari Rania. "Bangunlah, saya akan mengantarmu pulang." Lanjutnya."Saya rasa ide untuk menikah bukanlah solusi yang baik." Meski takut-takut, Rania mencoba melakukan pewaran.
Suara dering ponsel berbunyi mengganggu pria yang tengah tertidur pulas. Dia mengerang pelan sebelum perlahan membuka matanya. "Cantik," gumamnya sambil menyingkirkan anak rambut di wajah Rania.Baru kali ini Raga merasakan pagi cerah yang sesungguhnya. Di dalam rangkulannya terlelap wanita yang sudah menemaninya malam tadi.Tidak ingin mengganggu tidur pulas Rania, dengan perlahan dia meraih ponsel miliknya yang sejak tadi berdering tanpa henti."Anak bajingan!"Teriakan kasar terdengar saat Raga baru saja menempelkan ponselnya di telinga. Pria itu hanya bisa menghela napas berat."Halo," sapa Raga dengan suara serak khas bangun tidur."Perusahaanmu terancam bangkrut dan pimpinannya malah enak-enakan tidur!" Anton yang sedang berdiri di dalam ruangan rapat itu hanya bisa memijat pelipisnya.Sekali lagi Raga hanya bisa menghela napas malas. Apa masalahnya jika perusahaannya bangkrut, mengapa justru sang ayah yang pusing."Raga tahu.""Jika kamu tahu, harusnya segera ke kantor dan ber
"Temani saya malam ini," bisik Raga setengah memohon. "Hah gimana mas?" Rania menggelengkan kepalanya tidak mau salah paham. Sepertinya otaknya sudah rada error saat ini. Posisi duduknya sudah tidak secanggung tadi."Temani saya sampai pagi mba.""Aduh mas saya gak berani. Saya bukan wanita yang seperti itu mas." Rania menggelengkan kepalanya dengan cepat. Mereka benar-benar berada dalam situasi yang membingungkan. Keduanya tidak saling kenal namun terjebak dalam obrolan kikuk."Saya butuh teman cerita, saya tahu kamu juga butuh itu?" Raga memberikan penawaran yang terdengar menggiurkan.Wanita itu terdiam sejenak sebelum menganggukkan kepalanya. Benar, dia butuh teman curhat.Raga tersenyum samar sebelum beranjak dari tempat duduknya. "Ayo ikut saya!" ucapnya lalu berjalan meninggalkan Rania yang tampaknya masih menimbang-nimbang. "Saya bukan pria jahat, jangan khawatir.""Sekarang saya sedang berjalan mengikuti pria asing yang entah akan membawa saya ke mana." Rania merutuk sambi
"Nikah yuk mas!" Masih dengan cengiran lebar di bibir pucatnya.Kalimat bodoh itu meluncur dengan cepat dari mulut Rania bahkan sebelum dia menyadari apa yang baru saja dia katakan.Mata Rania membola setelah sadar bahwa apa yang ada di dalam pikiran liarnya ternyata menjelma menjadi lontaran kalimat bodoh. "Bodoh, gila! kamu sudah Gila Rania. Segitu frustasinya ditinggal Dani," rutuk Rania sambil memukul-mukul pelan bibirnya."Yuk!"Tidak, bukan Rania yang bersuara melainkan sosok yang belum dia ketahui namanya. Rania menoleh ke arah pria tadi sambil tertawa hambar."Hahaha." Tangannya menggaruk pelipisnya salah tingkah. Rania pikir dia ditertawakan karena ucapan bodohnya barusan. Bukankah begitu? Dia menjawab seperti itu karena mengira Rania sedang mengajaknya bercanda."Ayuk, mau kapan mba?" tanya pria itu lagi tampak sangat antusias. Bahkan dia mengubah posisi duduknya menjadi mengarah ke Rania."Maaf mas, saya cuma bercanda." Rania masih terus tertawa hambar.Loh kenapa pria it
Mata Rania membelalak kaget saat melihat pemandangan di depannya. Napasnya tercekat bersamaan dengan detak jantungnya yang bergemuruh hebat. Kedua mata coklatnya disipitkan untuk memastikan bahwa dia tidak salah orang.Tangannya gemetar, bahkan untuk mengeluarkan umpatan kasar pun dia sudah tidak sanggup. Tidak jauh dari tempatnya berdiri ada pria yang sedang memadu kasih dengan wanita berpakaian hot membara. "Padahal belum genap sebulan." Rania tersenyum getir. "Tidak sanggup hidup tanpa kamu Rania, cuihh bajingan." Lanjutnya.Kakinya sudah tidak sanggup berdiri tegak namun dia memilih untuk menyaksikan lebih lama lagi pria yang kini sibuk bergulat di atas kasur yang katanya pria itu beli khusus untuk mereka memadu kasih nantinya."Ah omongan pria ternyata memang lebih banyak bohongnya." Dia terus membatin, takut jika bersuara bisa merusak momen romantis di depan sana.Wanita bergaun merah darah kini duduk di atas pangkuan Dani yang bersandar di kepala ranjang sambil memejamkan mat