"Nikah yuk mas!" Masih dengan cengiran lebar di bibir pucatnya.
Kalimat bodoh itu meluncur dengan cepat dari mulut Rania bahkan sebelum dia menyadari apa yang baru saja dia katakan. Mata Rania membola setelah sadar bahwa apa yang ada di dalam pikiran liarnya ternyata menjelma menjadi lontaran kalimat bodoh. "Bodoh, gila! kamu sudah Gila Rania. Segitu frustasinya ditinggal Dani," rutuk Rania sambil memukul-mukul pelan bibirnya. "Yuk!" Tidak, bukan Rania yang bersuara melainkan sosok yang belum dia ketahui namanya. Rania menoleh ke arah pria tadi sambil tertawa hambar. "Hahaha." Tangannya menggaruk pelipisnya salah tingkah. Rania pikir dia ditertawakan karena ucapan bodohnya barusan. Bukankah begitu? Dia menjawab seperti itu karena mengira Rania sedang mengajaknya bercanda. "Ayuk, mau kapan mba?" tanya pria itu lagi tampak sangat antusias. Bahkan dia mengubah posisi duduknya menjadi mengarah ke Rania. "Maaf mas, saya cuma bercanda." Rania masih terus tertawa hambar. Loh kenapa pria itu tampak seperti kecewa. Sepertinya bukan hanya Rania yang dilanda beban pikiran di sini. Pria di samping tidak kalah kacaunya. "Padahal saya berharap mba tidak bercanda." Rania meringis, candaan pria ini lucu juga. Dia mengamati wajah kokoh itu. Yang tampan namun sedikit dekil, seperti tidak terawat. Tapi Rania yakin, hanya perlu sedikit polesan untuk memancarkan ketampanan pria ini. "Namanya siapa mas?" tanya Rania. "Raga," jawab pria itu singkat lalu suasana akhirnya dikuasai dengan keheningan dalam waktu yang cukup lama. "Oh." "Mba, kita nikah saja yah." Raga menatap penuh harap. Rania gila, Raga lebih gila lagi karena meladeni permintaan konyol wanita yang baru saja patah hati. "Sepertinya kita sama-sama sudah gila mas." Rania kembali tertawa hambar. "Hmm sepertinya begitu." Keduanya tampak sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga suara dering ponsel memecah keheningan. Raga berjalan sedikit menjauh dari Rania yang menatap penasaran. "Kek!" sapa Raga setengah berteriak sambil menempelkan ponsel di telinga kanannya. "Astagfirullah," kaget pria tua itu. "Beri salam dulu lah nak kalau menelpon." Lanjutnya sambil berjalan menuju kolam kecil dan mencuci tangannya. Raga hanya memutar bola matanya dengan malas. "Ibu masuk rumah sakit." "Kakek sudah tahu." "Yah itu semua karena kakek." Raga sewot. "Oalah kenapa jadi salah kakek, kan kamu yang menolak perjodohan ini." Kakek Raga tampak santai mengamati ayam-ayamnya yang sedang makan dengan lahap. "Lah kan kakek yang jodohin saya." Ingin sekali rasanya Raga mengatakan itu, namun apa boleh buat dia hanya mampu menelannya mentah-mentah. "Padahal dia wanita yang baik ...." "Dan manja," potong Raga. Matanya melirik sekilas ke arah Rania yang sedang bersandar dengan mata terpejam. "Apa dia bisa menerima keadaan Raga yang terancam bangkrut ini?" lanjutnya. "Dia akan menerima kamu." Raga tertawa hambar. "Mana mungkin, dia tidak akan bisa melepas gaya hidupnya yang sekarang." "Lalu wanita pilihan mu itu apa akan menerima keadaanmu?" Balas Budiman. Rahang Raga mengeras menahan emosi. Keduanya saat ini sedang dikuasai amarah. Budiman menghela napas. Mengapa cucunya begitu keras kepala. Dia sudah terlalu tua untuk berdebat dengan anak muda yang sedang dibutakan oleh cinta. "Mau mu apa?" tanya Budiman. "Saya tidak mau menikah dengan pilihan kakek." Helaan napas berat terdengar dari Raga yang tampak semakin frustasi. Sekali lagi dia mencuri pandang ke arah Rania yang masih betah dengan posisinya. "Baiklah." Budiman mengangguk paham. Raga kaget sekaligus menghela napas lega. Apa jawaban Budiman pertanda bahwa tidak akan ada lagi pernikahan paksa. "Baiklah jika kamu tidak menyukai wanita pilihan kakek, tapi kamu harus tetap menikah tahun ini. Kakek sudah tua, ingin melihat cucunya menikah sebelum meninggal." Budiman tersenyum simpul. Raga yang mendengar itu hanya bisa meringis. Rupanya Budiman tidak bisa mengalah semudah itu. "Kalau begitu, saya akan menikah dengan ...." "Kecuali wanita itu." Potong Budiman dengan cepat. Sekali lagi Raga hanya bisa menghela napas. Berdebat dengan sang kakek tidak akan ada habisnya. "Terus saya haru menikah dengan siapa?" Raga menyugar wajahnya kasar. Dia harus menikah dengan siapa. "Itu urusanmu. Kakek tidak mau tahu, tahun ini kamu harus menikah!" perintah tidak terbantahkan dari sang kakek sebelum mengakhiri panggilan telpon membuat Raga hanya mampu mengerang kesal. Dari tempat duduknya, Rania berkali-kali mencuri pandang ke arah Raga yang meraup wajah kasar. "Sepertinya dia juga sedang dalam masalah yang berat." Tanpa Rania sadari, Raga juga melakukan hal yang sama. Dia menatap Rania penuh pertimbangan. Tangannya memijat pelan pelipisnya saat merasakan denyutan ngilu di sana. Sepertinya beberapa gelas minuman tadi sedang bereaksi. Dia berjalan pelan ke arah Rania sambil mempertimbangkan langkah konyol yang akan dia lakukan. "Mba, mau tidur dengan saya malam ini?" tanya Raga. Dia meyakini bahwa ucapannya barusan adalah ucapan orang mabuk. "Hah?" Rania menganga. Dia memilih mengedikkan bahunya memilih tidak peduli dengan ucapan Raga yang sepertinya jauh lebih gila. Dia meraih ponsel dari dalam tas salempangnya. Baru beberapa detik dia mengaktifkan ponsel sudah banyak notifikasi yang menghiasi layar ponselnya. Matanya hanya menatap datar ke arah ponselnya tanpa sepatah kata pun. Di sana tampak ada belasan panggilan tidak terjawab dari Dewi dan Dani. Ada puluhan pesan yang malas dia baca. "Mba sudah punya pacar?" tanya Raga sambil melongokkan kepalanya menatap layar ponsel Rania. "Sepertinya pacar mba lagi khawatir." Rania mendengus kesal. "Padahal, kalau masnya kalem bakalan ganteng banget." Raga tertawa. Kedua matanya menyipit. Rania terkejut, tidak menyangka pria di sampingnya ini akan terbahak. "Kamu lucu. Bagaimana jika kita tidur bersama malam ini." Bulu kuduk Rania langsung berdiri mendengar ucapan Raga. Reaksi normal jika seorang gadis mendengar ajakan mesum seperti itu. "Mas, ini termasuk pelecehan bukan sih?" Sekali lagi, Raga terbahak dan membuat Rania semakin bergidik ngeri. Dengan cepat wanita itu beranjak dari tempat duduknya. "Mau ke mana?" tanya Raga sambil menarik tangan Rania hingga wanita itu terjatuh di atas pangkuannya. Mata Rania melotot. Tubuhnya membeku. Dia merasa ada yang mengganjal di bawah sana. "Aaaa masss, apa-apaan!" Rania memberontak dan berusaha melepaskan diri. Namun percuma karena tangan pria itu kini melingkar sempurna di perut Rania. Raga menempelkan kepalanya ke pundak Rania. Dia bisa merasakan kenyamanan di sana. "Temani saya malam ini, please!" bisik Raga diakhiri gigitan kecil di telinga Rania yang membuat wanita itu merinding. "Ahh," desahan Rania lolos saat Raga menghisap kuat tengkuknya. Dengan cepat Rania membekap mulutnya saat sadar jika baru saja desahan menikmati keluar dari mulutnya. Sementara itu, di balik tengkuk Rania terbit seringaian licik dari Raga yang berhasil membuat Rania mengerang."Temani saya malam ini," bisik Raga setengah memohon. "Hah gimana mas?" Rania menggelengkan kepalanya tidak mau salah paham. Sepertinya otaknya sudah rada error saat ini. Posisi duduknya sudah tidak secanggung tadi."Temani saya sampai pagi mba.""Aduh mas saya gak berani. Saya bukan wanita yang seperti itu mas." Rania menggelengkan kepalanya dengan cepat. Mereka benar-benar berada dalam situasi yang membingungkan. Keduanya tidak saling kenal namun terjebak dalam obrolan kikuk."Saya butuh teman cerita, saya tahu kamu juga butuh itu?" Raga memberikan penawaran yang terdengar menggiurkan.Wanita itu terdiam sejenak sebelum menganggukkan kepalanya. Benar, dia butuh teman curhat.Raga tersenyum samar sebelum beranjak dari tempat duduknya. "Ayo ikut saya!" ucapnya lalu berjalan meninggalkan Rania yang tampaknya masih menimbang-nimbang. "Saya bukan pria jahat, jangan khawatir.""Sekarang saya sedang berjalan mengikuti pria asing yang entah akan membawa saya ke mana." Rania merutuk sambi
Suara dering ponsel berbunyi mengganggu pria yang tengah tertidur pulas. Dia mengerang pelan sebelum perlahan membuka matanya. "Cantik," gumamnya sambil menyingkirkan anak rambut di wajah Rania.Baru kali ini Raga merasakan pagi cerah yang sesungguhnya. Di dalam rangkulannya terlelap wanita yang sudah menemaninya malam tadi.Tidak ingin mengganggu tidur pulas Rania, dengan perlahan dia meraih ponsel miliknya yang sejak tadi berdering tanpa henti."Anak bajingan!"Teriakan kasar terdengar saat Raga baru saja menempelkan ponselnya di telinga. Pria itu hanya bisa menghela napas berat."Halo," sapa Raga dengan suara serak khas bangun tidur."Perusahaanmu terancam bangkrut dan pimpinannya malah enak-enakan tidur!" Anton yang sedang berdiri di dalam ruangan rapat itu hanya bisa memijat pelipisnya.Sekali lagi Raga hanya bisa menghela napas malas. Apa masalahnya jika perusahaannya bangkrut, mengapa justru sang ayah yang pusing."Raga tahu.""Jika kamu tahu, harusnya segera ke kantor dan ber
Semua berawal dari Dani dan sahabat Rania yang berhianat. Rania memergoki Dani dan Dewi berselingkuh di atas ranjang. Setelah itu Rania seperti linglung dan Raga memanfaatkan kondisinya."Jangan!" mohon Rania saat tangan Raga kembali mengelus lehernya. Raga menatap tajam ke arah Rania. Pria yang awalnya lembut mendadak kasar saat mengetahui bahwa Rania berpikir untuk membatalkan kesepakatan mereka."Kamu yang menawarkan harga dirimu. Menjajakkan dirimu pada saya. Kamu tidak berhak untuk menolak!" Jemari Raga mengunci kuat pergelangan tangan Rania.Mata Rania berkaca-kaca. Apa dirinya serendah itu sekarang. Benar yang dikatakan oleh Raga."Saya mengatakannya di bawah pengaruh minuman beralkohol." Rania memalingkan wajahnya, tidak sanggup besitatap dengan Raga."Dan saya tidak peduli itu." Raga menjauhkan badannya dari Rania. "Bangunlah, saya akan mengantarmu pulang." Lanjutnya."Saya rasa ide untuk menikah bukanlah solusi yang baik." Meski takut-takut, Rania mencoba melakukan pewaran.
Mata Rania membelalak kaget saat melihat pemandangan di depannya. Napasnya tercekat bersamaan dengan detak jantungnya yang bergemuruh hebat. Kedua mata coklatnya disipitkan untuk memastikan bahwa dia tidak salah orang.Tangannya gemetar, bahkan untuk mengeluarkan umpatan kasar pun dia sudah tidak sanggup. Tidak jauh dari tempatnya berdiri ada pria yang sedang memadu kasih dengan wanita berpakaian hot membara. "Padahal belum genap sebulan." Rania tersenyum getir. "Tidak sanggup hidup tanpa kamu Rania, cuihh bajingan." Lanjutnya.Kakinya sudah tidak sanggup berdiri tegak namun dia memilih untuk menyaksikan lebih lama lagi pria yang kini sibuk bergulat di atas kasur yang katanya pria itu beli khusus untuk mereka memadu kasih nantinya."Ah omongan pria ternyata memang lebih banyak bohongnya." Dia terus membatin, takut jika bersuara bisa merusak momen romantis di depan sana.Wanita bergaun merah darah kini duduk di atas pangkuan Dani yang bersandar di kepala ranjang sambil memejamkan mat
Semua berawal dari Dani dan sahabat Rania yang berhianat. Rania memergoki Dani dan Dewi berselingkuh di atas ranjang. Setelah itu Rania seperti linglung dan Raga memanfaatkan kondisinya."Jangan!" mohon Rania saat tangan Raga kembali mengelus lehernya. Raga menatap tajam ke arah Rania. Pria yang awalnya lembut mendadak kasar saat mengetahui bahwa Rania berpikir untuk membatalkan kesepakatan mereka."Kamu yang menawarkan harga dirimu. Menjajakkan dirimu pada saya. Kamu tidak berhak untuk menolak!" Jemari Raga mengunci kuat pergelangan tangan Rania.Mata Rania berkaca-kaca. Apa dirinya serendah itu sekarang. Benar yang dikatakan oleh Raga."Saya mengatakannya di bawah pengaruh minuman beralkohol." Rania memalingkan wajahnya, tidak sanggup besitatap dengan Raga."Dan saya tidak peduli itu." Raga menjauhkan badannya dari Rania. "Bangunlah, saya akan mengantarmu pulang." Lanjutnya."Saya rasa ide untuk menikah bukanlah solusi yang baik." Meski takut-takut, Rania mencoba melakukan pewaran.
Suara dering ponsel berbunyi mengganggu pria yang tengah tertidur pulas. Dia mengerang pelan sebelum perlahan membuka matanya. "Cantik," gumamnya sambil menyingkirkan anak rambut di wajah Rania.Baru kali ini Raga merasakan pagi cerah yang sesungguhnya. Di dalam rangkulannya terlelap wanita yang sudah menemaninya malam tadi.Tidak ingin mengganggu tidur pulas Rania, dengan perlahan dia meraih ponsel miliknya yang sejak tadi berdering tanpa henti."Anak bajingan!"Teriakan kasar terdengar saat Raga baru saja menempelkan ponselnya di telinga. Pria itu hanya bisa menghela napas berat."Halo," sapa Raga dengan suara serak khas bangun tidur."Perusahaanmu terancam bangkrut dan pimpinannya malah enak-enakan tidur!" Anton yang sedang berdiri di dalam ruangan rapat itu hanya bisa memijat pelipisnya.Sekali lagi Raga hanya bisa menghela napas malas. Apa masalahnya jika perusahaannya bangkrut, mengapa justru sang ayah yang pusing."Raga tahu.""Jika kamu tahu, harusnya segera ke kantor dan ber
"Temani saya malam ini," bisik Raga setengah memohon. "Hah gimana mas?" Rania menggelengkan kepalanya tidak mau salah paham. Sepertinya otaknya sudah rada error saat ini. Posisi duduknya sudah tidak secanggung tadi."Temani saya sampai pagi mba.""Aduh mas saya gak berani. Saya bukan wanita yang seperti itu mas." Rania menggelengkan kepalanya dengan cepat. Mereka benar-benar berada dalam situasi yang membingungkan. Keduanya tidak saling kenal namun terjebak dalam obrolan kikuk."Saya butuh teman cerita, saya tahu kamu juga butuh itu?" Raga memberikan penawaran yang terdengar menggiurkan.Wanita itu terdiam sejenak sebelum menganggukkan kepalanya. Benar, dia butuh teman curhat.Raga tersenyum samar sebelum beranjak dari tempat duduknya. "Ayo ikut saya!" ucapnya lalu berjalan meninggalkan Rania yang tampaknya masih menimbang-nimbang. "Saya bukan pria jahat, jangan khawatir.""Sekarang saya sedang berjalan mengikuti pria asing yang entah akan membawa saya ke mana." Rania merutuk sambi
"Nikah yuk mas!" Masih dengan cengiran lebar di bibir pucatnya.Kalimat bodoh itu meluncur dengan cepat dari mulut Rania bahkan sebelum dia menyadari apa yang baru saja dia katakan.Mata Rania membola setelah sadar bahwa apa yang ada di dalam pikiran liarnya ternyata menjelma menjadi lontaran kalimat bodoh. "Bodoh, gila! kamu sudah Gila Rania. Segitu frustasinya ditinggal Dani," rutuk Rania sambil memukul-mukul pelan bibirnya."Yuk!"Tidak, bukan Rania yang bersuara melainkan sosok yang belum dia ketahui namanya. Rania menoleh ke arah pria tadi sambil tertawa hambar."Hahaha." Tangannya menggaruk pelipisnya salah tingkah. Rania pikir dia ditertawakan karena ucapan bodohnya barusan. Bukankah begitu? Dia menjawab seperti itu karena mengira Rania sedang mengajaknya bercanda."Ayuk, mau kapan mba?" tanya pria itu lagi tampak sangat antusias. Bahkan dia mengubah posisi duduknya menjadi mengarah ke Rania."Maaf mas, saya cuma bercanda." Rania masih terus tertawa hambar.Loh kenapa pria it
Mata Rania membelalak kaget saat melihat pemandangan di depannya. Napasnya tercekat bersamaan dengan detak jantungnya yang bergemuruh hebat. Kedua mata coklatnya disipitkan untuk memastikan bahwa dia tidak salah orang.Tangannya gemetar, bahkan untuk mengeluarkan umpatan kasar pun dia sudah tidak sanggup. Tidak jauh dari tempatnya berdiri ada pria yang sedang memadu kasih dengan wanita berpakaian hot membara. "Padahal belum genap sebulan." Rania tersenyum getir. "Tidak sanggup hidup tanpa kamu Rania, cuihh bajingan." Lanjutnya.Kakinya sudah tidak sanggup berdiri tegak namun dia memilih untuk menyaksikan lebih lama lagi pria yang kini sibuk bergulat di atas kasur yang katanya pria itu beli khusus untuk mereka memadu kasih nantinya."Ah omongan pria ternyata memang lebih banyak bohongnya." Dia terus membatin, takut jika bersuara bisa merusak momen romantis di depan sana.Wanita bergaun merah darah kini duduk di atas pangkuan Dani yang bersandar di kepala ranjang sambil memejamkan mat