***"Papa sakit."Adara yang baru saja selesai memakaikan baju untuk Elara seketika menoleh ketika Danendra kembali ke kamar setelah beberapa menit lalu keluar untuk mengangkat telepon.Hari ini sabtu. Rencananya Adara dan Danendra akan pergi berbelanja bulanan perlengkapan rumah sekaligus membeli bahan makanan untuk mpasi Elara karena jumat kemarin balita gembul itu berusia enam bulan."Sakit?" tanya Adara. "Mau nengok dulu apa gimana? Apa malam ini mau nginep di rumah kamu aja? Sekalian aku juga mau tanya-tanya tentang mpasi Elara ke Mama Teresa.""Papa Ginanjar," kata Danendra—membuat senyuman Adara luntur seketika.Terhitung sudah dua hari berlalu sejak keputusan polisi yang menyatakan Ginanjar tak bersalah, Adara masih tetap sama.Tak mau memberikan maaf bahkan tak mau bertemu dengan Papanya itu.Hari di mana dia membuat Ginanjar terjatuh, sebenarnya Danendra sudah mencoba mendiamkan istrinya itu dengan harapan; Adara akan memberi maaf.Namun, ternyata harapan Danendra kandas ket
***'Maafin Papa ya, Ra. Mama enggak bisa tenang kalau kamu sama Papa belum saling memaafkan. Mama sayang kalian.'"Mama!"Adara terbangun paksa dari tidurnya setelah sebuah mimpi menghampiri.Monica. Adara baru saja memimpikan Monica yang tiba-tiba menghampirinya. Masih terpatri jelas diingatan, Monica mendekati Adara untuk memintanya memaafkan Ginanjar."Mama," gumam Adara dengan napas yang tersenggal. Menoleh ke sebelah kanan, dia memandang jam dinding yang baru saja menunjukkan pukul dua dini hari. "Ya ampun masih subuh."Adara terdiam untuk beberapa detik—menetralisirkan detak jantungnya yang memburu.Setelah sedikit tenang, dia mencondongkan badan ke arah meja nakas, mengambil segelas air karena tenggorakannya terasa begitu kering.Ceroboh, yang Adara lakukan bukan mengambil gelas justru memecahkannya—membuat bunyi nyaring menggema di dalam kamar yang hening."Untung Elara enggak bangun," gumam Adara ketika telinganya tak mendengar rengekan sang putri atau tangisannya di dalam b
***"Anak Mama ternyata pinter juga ya, seneng deh kalau gini setiap hari."Duduk di balkon kamar, Adara tersenyum bahagia setelah Elara menyantap habis mpasi yang dia buat.Kebahagiaan seorang ibu memang sederhana. Sang anak lahap makan saja rasa bahagianya menandingi liburan keliling dunia.Oke, mungkin Adara berlebihan, tapi begitulah kenyataannya. Saking bahagia karena Elara yang lahap makan, sejenak Adara lupa dengan rasa takut akan pesan yang dikirimkan Erlangga dini hari tadi.Malu karena selalu merepotkan, Adara memilih untuk tak berkata apapun pada Danendra karena sampai saat ini dia masih berharap jika pesan yang dikirim Erlangga semalam hanyalah sebuah bualan tanpa bukti."Gimana El makannya, lahap?"Adara menoleh ketika Danendra yang baru saja menyelesaikan kegiatan mandinya, menghampiri dan Elara yang sejak tadi duduk di kursi khusus balita."Habis," kata Adara sambil menunjukkan piring makan Elara yang kosong."Ya ampun pinter banget anak Papa," puji Danendra. Membungkuk
***"Iya, Dan."Sementara Danendra bergegas membawa Elara menuju ruang tengah, Adara melangkahkan kakinya—menaikki satu persatu undakkan tangga untuk pergi ke lantai dua.Sampai di depan pintu kamar sang papa, Adara tak langsung masuk karena entah kenapa detakkan jantungnya tiba-tiba saja tak normal. Rasanya seperti akan bertemu orang yang sudah lama tidak dia jumpai.Padahal, belum seminggu Adara bertemu dengan Ginanjar."Degdegan." Adara bergumam pelan hingga perlahan tangannya meraih handle pintu.Perlahan sekali Adara membuka daun pintu lalu memberanikan diri untuk menyembulkak kepala. Namun, kedua alisnya spontan terpaut ketika di kasur sana Adara tak mendapati Ginanjar.Beberapa hari ini kondisi Ginanjar sedang tidak baik. Jika tak duduk di kasur, laki-laki itu duduk di balkon sambil merenung. Begitulah cerita yang didengar Adara dari Mbak Lia."Papa," panggil Adara pelan.Tak hanya menyembulkan kepala, badan Adara perlahan masuk ke dalam kamar. Kedua matanya mulai mengedar hing
***"Males banget sumpah."Rafly yang berjalan di samping Felicya seketika menoleh ketika istrinya itu berkata demikian. "Males apa?""Males periksa."Hari ini—tepat sepuluh minggu usia kehamilan Felicya dan seperti biasa, perempuan itu harus melakukan pemeriksaan kandungan.Sebenarnya untuk hari minggu, dokter kandungan tak ada yang bertugas. Namun, karena kebetulan dokter kandungan di rumah sakit tempat Felicya melakukan pemeriksaan adalah pelanggan butik, Felicya bisa bernegosiasi.Menyanggupi untuk membayar lebih, Felicya meminta dokter Kiran—obgyn rumah sakit Medika untuk memeriksanya setiap hari minggu setiap bulannya.Jika mau, Felicya bisa melakukan pemeriksaan pada hari kerja, tapi tentunya dia tak bisa bersama Rafly karena pria itu tak bisa terlalu sering meminta izin libur di hari kerja.Rafly adalah karyawan baru yang sudah mulai disibukkan dengan pekerjaan kantor. Berangkat pagi pulang petang membuatnya tak bisa mengantar Felicya jika perempuan itu melakukan pemeriksaan
***"Mau beli makanan dulu enggak, Ra. Kamu pasti lapar."Adara yang sejak tadi duduk di samping ranjang seketika menggeleng ketika tawaran itu diucapkan Danendra yang sejak tadi duduk di sofa sambil memperhatikan sang istri.Mendapatkan penanganan intensif dari dokter juga petugas medis lain, nyawa Ginanjar bisa diselamatkan meskipun sempat mengalami penurunan kesadaran karena kehilangan banyak darah.Selamat dari maut, bukan berarti kondisinya baik-baik saja. Dokter Hendra—dokter yang menangani Ginanjar bilang, selama dua puluh empat jam kondisi Papa Adara itu masih harus dipantau terus karena belum sepenuhnya stabil.Tusukkan yang cukup dalam membuat beberapa organ di perut Ginanjar terluka dan jelas itulah penyebab parahnya kondisi pria lima puluh lima tahun tersebut."Enggak, Dan. Aku enggak mau makan sebelum Papa bangun," kata Adara.Sejak tadi tangannya tak terlepas sedikit pun dari tangan ringkih Ginanjar yang terasa sangat dingin. Mengusap bahkan menciumi punggung tangan Gina
***"Udah?"Danendra yang sejak tadi duduk berhadapan dengan Adara di sofa, langsung memberikan istrinya itu pertanyaan sesaat setelah Adara melepaskan pompa asi dari dadanya."Udah," kata Adara sambil menuangkan asi ke dalam tempat khusus. "Sementara sampe nanti malam kayanya cukup.""Oh, syukurlah."Adara mengemasi empat bungkus asip yang baru saja dia peras lalu memasukkannya ke dalam kotak khusus sebelum nanti dikemas lagi menggunakan paper bag."Nih," kata Adara sambil memberikan paper bag berisi asip pada Danendra. "Kasih dulu ke El. Terus jangan lupa bilang ke Mama kalau mau kasih mpasi, jangan pakai udang. Elara alergi udang.""Kata siapa?""Dokter anak," kata Adara."Oh oke," ucap Danendra. "Ini seriusan enggak apa-apa kamu aku tinggal sendiri?""Aku enggak sendiri, ada Papa," kata Adara sambil melirik Ginanjar yang saat ini masih belum sadarkan diri."Maksudnya jagain Papa sendiri.""Enggak apa-apa, aku bukan anak kecil," kata Adara. "Nanti kalau ke sini lagi bawa baju ganti
***"Papa, Dan."Adara menghembuskan napas pelan ketika akhirnya dia duduk di kursi yang berada di depan kamar rawat setelah beberapa menit lalu mendengar kabar dari dokter.Dua puluh empat jam pasca keluar dari IGD kemarin pagi, hari ini dokter kembali melakukan pemeriksaan intensif karena Ginanjar yang tak kunjung bangun.Dan sesuai pernyataan kemarin, jika Ginanjar tak bangun dalam waktu dua puluh empat jam maka dokter terpaksa harus memvonis koma pria lima puluh lima tahun itu.Entah itu satu bulan, satu tahun, atau mungkin belasan tahun, pihak medis tak bisa menentukan kapan Ginanjar akan bangun. Namun, yang jelas sepertinya tak dalam jangka waktu yang dekat."Ra."Danendra berjalan menghampiri Adara. Bukan duduk di samping, pria itu memilih untuk berjongkok di depan sang istri yang hari ini memakai celana jeans setelah pagi tadi pulang ke rumah lalu menemui Elara—memberikan stok asip kembali."Papa koma, Dan," ucap Adara tercekat. Membayangkan betapa lamanya Ginanjar tak akan sa