***"Mau beli makanan dulu enggak, Ra. Kamu pasti lapar."Adara yang sejak tadi duduk di samping ranjang seketika menggeleng ketika tawaran itu diucapkan Danendra yang sejak tadi duduk di sofa sambil memperhatikan sang istri.Mendapatkan penanganan intensif dari dokter juga petugas medis lain, nyawa Ginanjar bisa diselamatkan meskipun sempat mengalami penurunan kesadaran karena kehilangan banyak darah.Selamat dari maut, bukan berarti kondisinya baik-baik saja. Dokter Hendra—dokter yang menangani Ginanjar bilang, selama dua puluh empat jam kondisi Papa Adara itu masih harus dipantau terus karena belum sepenuhnya stabil.Tusukkan yang cukup dalam membuat beberapa organ di perut Ginanjar terluka dan jelas itulah penyebab parahnya kondisi pria lima puluh lima tahun tersebut."Enggak, Dan. Aku enggak mau makan sebelum Papa bangun," kata Adara.Sejak tadi tangannya tak terlepas sedikit pun dari tangan ringkih Ginanjar yang terasa sangat dingin. Mengusap bahkan menciumi punggung tangan Gina
***"Udah?"Danendra yang sejak tadi duduk berhadapan dengan Adara di sofa, langsung memberikan istrinya itu pertanyaan sesaat setelah Adara melepaskan pompa asi dari dadanya."Udah," kata Adara sambil menuangkan asi ke dalam tempat khusus. "Sementara sampe nanti malam kayanya cukup.""Oh, syukurlah."Adara mengemasi empat bungkus asip yang baru saja dia peras lalu memasukkannya ke dalam kotak khusus sebelum nanti dikemas lagi menggunakan paper bag."Nih," kata Adara sambil memberikan paper bag berisi asip pada Danendra. "Kasih dulu ke El. Terus jangan lupa bilang ke Mama kalau mau kasih mpasi, jangan pakai udang. Elara alergi udang.""Kata siapa?""Dokter anak," kata Adara."Oh oke," ucap Danendra. "Ini seriusan enggak apa-apa kamu aku tinggal sendiri?""Aku enggak sendiri, ada Papa," kata Adara sambil melirik Ginanjar yang saat ini masih belum sadarkan diri."Maksudnya jagain Papa sendiri.""Enggak apa-apa, aku bukan anak kecil," kata Adara. "Nanti kalau ke sini lagi bawa baju ganti
***"Papa, Dan."Adara menghembuskan napas pelan ketika akhirnya dia duduk di kursi yang berada di depan kamar rawat setelah beberapa menit lalu mendengar kabar dari dokter.Dua puluh empat jam pasca keluar dari IGD kemarin pagi, hari ini dokter kembali melakukan pemeriksaan intensif karena Ginanjar yang tak kunjung bangun.Dan sesuai pernyataan kemarin, jika Ginanjar tak bangun dalam waktu dua puluh empat jam maka dokter terpaksa harus memvonis koma pria lima puluh lima tahun itu.Entah itu satu bulan, satu tahun, atau mungkin belasan tahun, pihak medis tak bisa menentukan kapan Ginanjar akan bangun. Namun, yang jelas sepertinya tak dalam jangka waktu yang dekat."Ra."Danendra berjalan menghampiri Adara. Bukan duduk di samping, pria itu memilih untuk berjongkok di depan sang istri yang hari ini memakai celana jeans setelah pagi tadi pulang ke rumah lalu menemui Elara—memberikan stok asip kembali."Papa koma, Dan," ucap Adara tercekat. Membayangkan betapa lamanya Ginanjar tak akan sa
***"Hai.""Ra."Danendra tersenyum ketika mendapati Adara berdiri di ambang pintu untuk menyambutnya pulang dari kantor."Pulang juga.""Nungguin?""Ya begitulah," kata Adara."Maaf, tadi macet.""Its okay," kata Adara. Mengambil tas kerja Danendra, dia kemudian melangkah masuk ke rumah bersama sang suami.Satu minggu pasca peristiwa yang menimpa Ginanjar, Danendra memang sudah kembali bekerja seperti biasa karena memang rencananya untuk worf from home tak disetujui Adam.Bukan apa-apa, Danendra memiliki jadwal temu dengan klien yang tak bisa dibatalkan begitu saja. Jadi mau tak mau dia harus tetap bekerja ke kantor seperti biasa."Minum, Dan," kata Adara sambil membawakan segelas air putih yang dia ambil sendiri dari dapur."Makasih, Sayang."Dengan senang hati, Danendra mengambil gelas dari Adara lalu meneguk airnya hingga tandas karena memang hari ini terasa melelahkan.Danendra yang harusnya pulang pukul lima sore, dengan berat hati terlambat dan baru sampai di rumah pukul tujuh
***"Aku cuci piringnya dulu ya, Dan."Danendra mengangguk. "Iya," jawabnya.Setelah Danendra selesai mandi lalu menunaikan sholat bersama, Adara langsung mengajak suaminya itu turun ke bawah untuk makan malam bersama. Sambil mengobrol, makan malan selesai tepat pukul delapan malam dan seperti biasa tugas Adara setelahnya adalah; mencuci piring bekas makannya dan Danendra.Tak melulu mengandalkan asisten rumah tangga, Adara memang selalu mencuci piring maupun gelas bekasnya dan Danendra sendiri.Seperti namanya—asisten rumah tangga, tugas Mbak Vivi juga satu art lainnya hanya membantu Adara mengurus rumah dan semua itu bukan berarti Adara harus bergantung pada keduanya."Dan ih!" Adara menggeliat ketika Danendra tiba-tiba saja melingkarkan kedua tangannya di perut lalu mendekatkan hidungnya yang bangir ke ceruk leher Adara.Sensasi aneh tentu saja langsung dirasakan Adara setiap kali suaminya melakukan hal tersebut."Wangi ya," gumam Danendra ketika hidungnya mengendus aroma stroberi
***"Mana airnya, Fel. Lama banget."Felicya yang baru saja datang sambil membawa segelas air lantas berdecak mendengar rengekan Rafly yang saat ini tidur dengan posisi miring di kasur."Tunggu, aku kan harus jalan dulu. Enggak terbang," kata Felicya.Berjalan mendekat, dia duduk di pinggir kasur lalu memberikan gelas yang dia bawa pada Rafly."Nih minum dulu.""Enggak bisa bangun.""Hah?""Aku enggak bisa bangun, Felicya. Bangunin," rengek Rafly seperti anak kecil.Beberapa hari selalu lembur di kantor—berangkat pagi pulang larut, Rafly akhirnya tumbang juga. Malam-malam, tepatnya pukul sebelas, Felicya terpaksa bangun setelah mendengar racauan Rafly yang ternyata mengalami demam cukup tinggi.Meskipun merepotkan, sebagai seorang istri Felicya berusaha melayani suaminya itu. Setelah mengompres, dia bahkan bersedia ketika Rafly memintanya mengambilkan air minum dari dapur."Masa enggak bisa bangun sih, Raf?" tanya Felicya. "Aku pegang gelas nih, susah.""Simpan dulu airnya di meja te
***"Gantengnya suami aku."Adara tersenyum simpul sesaat setelah dia selesai memasangkan dasi di leher Danendra yang pagi ini memakai kemeja navy juga dasi berwarna hitam polos."Bilang apa?" tanya Danendra."Kamu ganteng, Dan," puji Adara."Bisa aja kamu," ucap Danendra."Aku serius," kata Adara."Thank you."Adara berbalik badan lalu menggendong Elara yang pagi ini juga sudah cantik setelah dimandikan lalu didandani seperti biasa oleh sang ibu.Jika tidur sebelum jam tujuh, Elara selalu bangun pukul lima pagi dan pukul enam, balita gembul itu sudah dimandikan oleh Adara karena sekarang ada rutinitas baru yang harus dilakukan yaitu; sarapan."Lihat sayang, Papa Ganteng, kan?" tanya Adara sambil menggerakkan tangan Elara."Kamu sama Elara makin hari makin mirip ya, kaya pinang dibelah dua.""Masa sih?""Iya," jawab Danendra. "Makin betah aku di rumah karena punya dua Adara.""Bagus dong kalau gitu," ucap Adara. "Oh ya, Dan. Hari ini sarapannya jangan di dapur ya. Aku lagi pengen maka
***"Pak Danendra nanti jam satu ada rapat lagi ya."Danendra yang baru saja berniat membuka pintu ruangannya lantas menoleh ke arah Susan setelah sekretarisnya itu mengatakan salah satu kegiatan yang harus Danendra lakukan siang nanti.Padahal, sekarang pun pria itu baru saja selesai menemui klien dari luar kota."Di mana? Saya lupa," tanya Danendra."Kebetulan di kantor ini, Pak. Sama Pak Adam juga kok.""Oh oke," kata Danendra. "Ingatkan saja lagi nanti, sekarang saya mau santai dulu.""Siap, Pak," jawab Susan patuh. "Kalau begitu saya permisi dulu ya.""Iya, silakan."Susan pergi, Danendra melanjutkan kegiatannya membuka pintu. Masuk ke dalam ruangan, yang dia tuju bukanlah kursi kerja, melainkan sofa yang kebetulan berada di sana."Capek," gumam Danendra setelah membaringkan tubuhnya lalu meletakkan kedua tangan di bawah kepala sebagai alas. "Adara lagi apa ya?"Memikirkan Adara, Danendra tiba-tiba saja merasa lapar. Makan siang bersama di restoran sekitar kantor mungkin bukan id