***"Masuk."Tak banyak bicara, Adara langsung masuk ke dalam sedan hitam setelah Danendra membukakam pintu. Tak di depan, Adara duduk di jok belakang karena kali ini Aksa yang mengemudi.Setelah sempat terjebak adu mulut, mereka akhirnya membubarkan diri. Danendra membawa Adara dan Rafly tentu saja membawa Felicya pulang sebelum kembali membuat kekacauan."Udah?" tanya Aksa ketika Danendra baru saja masuk lalu duduk di samping Adara."Udah, jalan, Kak.""Oke."Dalam hitungan detik, sedan hitam yang dikendarai Aksa kembali melaju—membelah jalanan.Untuk beberapa saat, suasana mobil terasa begitu hening karena sejak naik lalu duduk di dalam sedan hitam milik sang kakak ipar, Adara hanya bersandar pada jok sambil menatap lurus ke depan.Pandangan bahkan pikirannya kosong. Setelah kelakuan Ginanjar, kini ucapan Felicya tentang Monica yang sempat selingkuh pun membebani pikiran Adara sampai rasanya kepala dia hampir meledak."Kamu enggak apa-apa?" tanya Danendra—membuka percakapan juga me
***"Lho, kok ke sini sih, Raf?"Berhenti di sebuah basemant gedung apartemen, Felicya langsung melontarkan pertanyaan tersebut sesaat setelah dia turun dari mobilnya.Berhasil dibawa pergi dari Adara, Felicya dan Rafly memang tak berada dalam satu mobil karena Felicya mengemudikan sedan putihnya.Rafly melaju lebih dulu, Felicya terus mengikutinya dari belakang. Dia pikir suaminya itu akan mengajak dia pulang, tapi ternyata salah.Tak ke rumah, Rafly justru membawa Felicya ke gedung apartemen lamanya yang sampai saat ini masih bisa dia tempati karena biaya sewa yang masih tersisa."Kenapa?""Kok kenapa sih, Raf?" tanya Felicya. "Kita kan seharusnya pulang.""Ini aku pulang."Felicya mengerutkan kening. "Maksudnya?"Rafly berjalan menghampiri Felicya lalu berdiri persis di depan istrinya itu. "Kamh tahu jengah?" tanyanya. "Pernah ngerasa jengah?""Raf.""Aku lagi ngerasa jengah, Fel," kata Rafly. "Aku jengah sama kelakuan kamu yang udah kelewatan.""Apanya yang kelewatan sih, Raf?" ta
***"Maafin Mama ya, Sayang. Dari kemarin Mama belum sempat perhatiin kamu. Mama sayang kamu, El."Duduk di ujung kasur, Adara memomong Elara yang sedang menyusu dengan penuh kasih sayang. Tak lagi di rumah sang Papa, Adara kini sudah kembali ke rumah sesuai permintaannya.Bukan tak ingin terlibat dalam acara pengajian yang akan digelar di rumah Ginanjar untuk Monica, Adara hanya terlalu tak sanggup bertemu sang Papa.Ditampar bahkan dipukul, Adara masih bisa mentoleransi, tapi menghilangkan nyawa sang Mama, demi apapun sulit untuk Adara melupakan atau bahkan memaafkan Ginanjar."Ra, ayo."Adara mendongak ketika pintu kamar dibuka—menampakkan Danendra yang sudah rapi dengan pakaian muslimnyaSore ini jarum jam di kamar memang sudah menunjukkan pukul lima sore, dan satu jam lagi—alias pukul enam sore nanti, tepatnya selepas maghrib, acara tahlilan di rumah Ginanjar digelar."Ayo apa?" tanya Adara. Berbeda dengan Danendra, Adara masih memakai baju santai—kaos juga celana panjang."Ke ru
***"Kamu di mana?"Sampai di rumah sakit jam setengah enam sore, yang dilakukan Danendra adalah menghubungi Danish karena memang yang membawa Ginanjar ke rumah sakit setelah ditemukan overdosis di dalam kamar adalah Danish juga Adam.Teresa dan Aksa memutuskan untuk tetap berada di rumah Ginanjar karena acara akan segera dimulai. Tak enak rasanya jika pengajian digelar tanpa ada tuan rumah di sana."Di lantai tiga ruangan VIP 203," jawab Danish dari telepon."Oke, Kakak ke sana sekarang."Tanpa basa-basi, Danendra memutuskan sambungan telepon lalu berjalan meninggalkan parkiran untuk segera menemui sang mertua yang beruntungnya masih bisa diselamatkan dari maut.Sungguh, Danendra rasanya tak bisa membayangkan bagaimana hancurnya Adara jika Ginanjar pun pergi di hari yang sama dengan meninggalnya sang istri.Meskipun Adara terlihat berapi-rapi bahkan murka pada sang Papa, jauh di hati kecilnya Danendra tahu jika istrinya itu masih menyayangi Ginanjar.Semarah apapun anak pada orang tu
***"Gimana, Adaranya udah angkat telepon kamu?"Kembali masuk ke kamar rawat Ginanjar, Danendra langsung mendapat pertanyaan tersebut dari sang mertua dan tentu saja dia bingung tak tahu harus menjawab apa.Meminum obat tidur dengan dosis yang berlebihan secara sengaja jelas adalah percobaan bunuh diri dan itu berarti setelah kematian Monica bukan hanya Adara yang hancur, tapi Ginanjar juga.Jika Danendra mengatakan yang sebenarnya pada sang mertua—tentang Adara yang tak mau berbicara dengan Ginanjar bahkan sempat mengatakan hal yang tak mengenakkan, bukan tak mungkin pria berusia lima puluh lima tahun itu akan mengalami tekanan batin yang lebih parah.Dan bukan tak mungkin juga Ginanjar akan melakukan percobaan bunuh diri untuk yang kedua kalinya.No, Danendra tak bisa membiarkan semua itu terjadi. Demi Adara, dia tak boleh membiarkan mertuanya meninggal lagi."Kak, itu Om Ginanjar nanya kenapa enggak dijawab?""Ah iya, kenapa?"Sempat larut dalam lamunan, Danendra sedikit tersentak
***"Akhirnya sampe di rumah."Danendra menghela napas pelan sesaat setelah ferarry putihnya berhenti di depan garasi rumah. Menitipkan Ginanjar pada Aksa yang sukarela menjaga untuk malam ini, Danendra memutuskan untuk pulang.Pergi dari rumah sakit pukul sembilan, Danendra sampai di rumahnya pukul setengah sepuluh lebih setelah sebelumnya mampir ke beberapa tempat untuk membeli sesuatu.Satu buket daisy juga coklat putih kini tersimpan rapi di jok sebelah kiri Danendra. Mengingat momen yang pernah terjadi, dia memang memutuskan untuk membeli dua benda itu untuk membujuk Adara—berharap perempuan itu akan berhenti marah dan melupakan kejadian tadi sore.Turun dari mobil lalu menyimpan bunga juga coklat di teras, Danendra berjalan menuju pagar yang beberapa menit lalu dia buka.Setelah memastikan pagar terkunci dan aman, Danendra kembali berjalan menuju terasa untuk mengambil dua benda berharga yang akan dia berikan pada sang istri.Pintu belum dikunci, Danendra bisa masuk leluasa tanp
***"Rafly Sanjaya!"Rafly yang tengah menyapu bagian lantai satu rumah seketika mendesah ketika namanya kembali dipanggil oleh perempuan yang saat ini ingin sekali dia lempar ke palung mariana.Demi apapun. Sejak semalam Rafly merasa menjadi seorang kacung."Apa?!""Ke sini!""Apa sih, Fel?! Aku lagi nyapu nih!""Ya ke sini dul ... aw!"Jika sudah terdengar suara rintihan, Rafly tak bisa berbuat apa-apa selain menghampiri Felicya sesegera mungkin.Menyimpan sapu yang sejak tadi dia pegang di pinggir sofa begitu saja, Rafly bergegas menaikki satu persatu undakkan tangga menuju lantai dua.Sampai di depan kamar, dia membuka pintu lalu selanjutnya yang dia lihat adalah Felicya, duduk berselonjor di kasur sambil merengut—menatapnya."Lama banget kamu.""Aku lagi nyapu di bawah, dan buat sampai di sini tuh harus jalan dulu. Enggak bisa langsung sampe," ungkap Rafly."Oh.""Ada apa?"Setelah mengalami pendarahan kemarin, dokter kandungan memang menyarankan Felicya untuk bedrest selama bebe
***"Nanti aku pulangnya agak siangan. Mungkin jam dua atau jam tiga."Adara yang sejak tadi menyantap nasi gorengnya seketika berhenti mengunyah lalu memandang Danendra penuh tanya setelah suaminya berkata demikian.Hari ini, setelah kemarin senin absen dari kantor, Danendra kembali bekerja seperti biasanya. Meskipun berat dan masih khawatir dengan keadaan Adara, Danendra tak punya pilihan lain karena memang pekerjaan kantor tak bisa ditinggal terlalu lama."Kenapa?" tanya Adara. "Bukannya jam pulang kantor itu paling siang jam empat?""Emang.""Terus kenapa pulang siang?""Khawatir sama kamu," ucap Danendra."Emang aku kenapa? Aku enggak kenapa-kenapa," kata Adara. "Aku baik-baik aja.""Yakin baik-baik aja?" tanya Danendra. "Fisik sih iya baik, tapi hati?""Hm.""Aku tahu kok semalam kamu nangis," kata Danendra. "Masih ingat Mama ya?""Oh itu." Adara menunduk lalu memandang nasi goreng miliknya yang tinggal setengah. "Ingatlah. Masa enggak ingat?""Beberapa hari ke depan mungkin sem