***"Gimana, Adaranya udah angkat telepon kamu?"Kembali masuk ke kamar rawat Ginanjar, Danendra langsung mendapat pertanyaan tersebut dari sang mertua dan tentu saja dia bingung tak tahu harus menjawab apa.Meminum obat tidur dengan dosis yang berlebihan secara sengaja jelas adalah percobaan bunuh diri dan itu berarti setelah kematian Monica bukan hanya Adara yang hancur, tapi Ginanjar juga.Jika Danendra mengatakan yang sebenarnya pada sang mertua—tentang Adara yang tak mau berbicara dengan Ginanjar bahkan sempat mengatakan hal yang tak mengenakkan, bukan tak mungkin pria berusia lima puluh lima tahun itu akan mengalami tekanan batin yang lebih parah.Dan bukan tak mungkin juga Ginanjar akan melakukan percobaan bunuh diri untuk yang kedua kalinya.No, Danendra tak bisa membiarkan semua itu terjadi. Demi Adara, dia tak boleh membiarkan mertuanya meninggal lagi."Kak, itu Om Ginanjar nanya kenapa enggak dijawab?""Ah iya, kenapa?"Sempat larut dalam lamunan, Danendra sedikit tersentak
***"Akhirnya sampe di rumah."Danendra menghela napas pelan sesaat setelah ferarry putihnya berhenti di depan garasi rumah. Menitipkan Ginanjar pada Aksa yang sukarela menjaga untuk malam ini, Danendra memutuskan untuk pulang.Pergi dari rumah sakit pukul sembilan, Danendra sampai di rumahnya pukul setengah sepuluh lebih setelah sebelumnya mampir ke beberapa tempat untuk membeli sesuatu.Satu buket daisy juga coklat putih kini tersimpan rapi di jok sebelah kiri Danendra. Mengingat momen yang pernah terjadi, dia memang memutuskan untuk membeli dua benda itu untuk membujuk Adara—berharap perempuan itu akan berhenti marah dan melupakan kejadian tadi sore.Turun dari mobil lalu menyimpan bunga juga coklat di teras, Danendra berjalan menuju pagar yang beberapa menit lalu dia buka.Setelah memastikan pagar terkunci dan aman, Danendra kembali berjalan menuju terasa untuk mengambil dua benda berharga yang akan dia berikan pada sang istri.Pintu belum dikunci, Danendra bisa masuk leluasa tanp
***"Rafly Sanjaya!"Rafly yang tengah menyapu bagian lantai satu rumah seketika mendesah ketika namanya kembali dipanggil oleh perempuan yang saat ini ingin sekali dia lempar ke palung mariana.Demi apapun. Sejak semalam Rafly merasa menjadi seorang kacung."Apa?!""Ke sini!""Apa sih, Fel?! Aku lagi nyapu nih!""Ya ke sini dul ... aw!"Jika sudah terdengar suara rintihan, Rafly tak bisa berbuat apa-apa selain menghampiri Felicya sesegera mungkin.Menyimpan sapu yang sejak tadi dia pegang di pinggir sofa begitu saja, Rafly bergegas menaikki satu persatu undakkan tangga menuju lantai dua.Sampai di depan kamar, dia membuka pintu lalu selanjutnya yang dia lihat adalah Felicya, duduk berselonjor di kasur sambil merengut—menatapnya."Lama banget kamu.""Aku lagi nyapu di bawah, dan buat sampai di sini tuh harus jalan dulu. Enggak bisa langsung sampe," ungkap Rafly."Oh.""Ada apa?"Setelah mengalami pendarahan kemarin, dokter kandungan memang menyarankan Felicya untuk bedrest selama bebe
***"Nanti aku pulangnya agak siangan. Mungkin jam dua atau jam tiga."Adara yang sejak tadi menyantap nasi gorengnya seketika berhenti mengunyah lalu memandang Danendra penuh tanya setelah suaminya berkata demikian.Hari ini, setelah kemarin senin absen dari kantor, Danendra kembali bekerja seperti biasanya. Meskipun berat dan masih khawatir dengan keadaan Adara, Danendra tak punya pilihan lain karena memang pekerjaan kantor tak bisa ditinggal terlalu lama."Kenapa?" tanya Adara. "Bukannya jam pulang kantor itu paling siang jam empat?""Emang.""Terus kenapa pulang siang?""Khawatir sama kamu," ucap Danendra."Emang aku kenapa? Aku enggak kenapa-kenapa," kata Adara. "Aku baik-baik aja.""Yakin baik-baik aja?" tanya Danendra. "Fisik sih iya baik, tapi hati?""Hm.""Aku tahu kok semalam kamu nangis," kata Danendra. "Masih ingat Mama ya?""Oh itu." Adara menunduk lalu memandang nasi goreng miliknya yang tinggal setengah. "Ingatlah. Masa enggak ingat?""Beberapa hari ke depan mungkin sem
***"Kamu seriusan dengan keputusan kamu, Dara?"Erlangga menatap lekat Adara setelah beberapa detik lalu sebuah keputusan diambil putri dari perempuan yang paling di sayang tersebut.Tak ada senyuman, raut wajah Erlangga terlihat datar. Dia sedang mencari keseriusan ucapan Adara karena bisa saja apa yang baru saja dia dengar adalah sebuah kesalahan.Namun, jawaban yang dilontarkan Adara setelah pertanyaan darinya membuat harapan Erlangga benar-benar pupus."Serius, Om," kata Adara. "Dara udah pikirin semuanya matang-matang dan Dara serius. Dara enggak mau kerja sama dengan Om buat apa-apain Papa.""Bagaimanapun juga, Papa itu Papanya Dara. Karena dia, Dara ada di dunia ini. Terlalu tidak tahu diri rasanya kalau Dara nyelakain orang yang udah buat Dara hidup di dunia."Erlangga yang semula duduk sedikit condong, kembali mengubah posisinya menjadi sedikit lebih tegap lalu menghela napas.Kecewa? Bisa dibilang begitu. Memanfaatkan amarah Adara pada Ginanjar, Erlangga pikir dia bisa meng
***"Duh."Adara meringis ketika pria berpakaian formal itu akhirnya berjalan menghampiri pintu bagian kanan mobilnya. Lewat ekor mata, Adara bisa melihat kalau sekarang pria itu sedikit membungkukan badan lalu setelahnya yang terjadi tentu saja adalah; pria tersebut mengetuk kaca mobil Adara yang tertutup rapat."Ih gimana dong? Kena omel nih pasti."Adara tak membuka kaca, pria di samping mobil kembali melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya dan tentu saja Adara semakin resah."Ya ampun, Dara ... kok bisa ada Danendra sih? Harus ngomong apa coba nanti?" tanya Adara pada dirinya sendiri.Di detik berikutnya dia menoleh ke jok belakang dan tak ada sesuatu di sana yang bisa dia jadikan alasan."Gak ada apa-apa lag ... ish."Adara mendesis ketika ponsel di saku dressnya berdiring. Merogoh benda pipih itu, pandangan Adara tertuju pada Danendra yang saat ini sudah kembali berpindah tempat ke depan mobil Adara, sambil memegangi ponsel di samping telinga."Ha-halo.""Kenapa pintu mobil
***"Masuk.""Iya."Setelah terlibat sedikit konflik, Adara dan Danendra akhirnya sampai di rumah setelah menyelesaikan permasalahan yang terjadi diantara mereka.Tak jadi panjang, Adara akhirnya meminta maaf lalu berjanji pada Danendra untuk tak menyembunyikan apa-apa lagi dari sang suami dan sebagai suami pun, Danendra lagi-lagi memaafkan apa yang dilakukan Adara.Danendra kembali memberikan kesempatan untuk Adara, tapi tentunya setelah ini dia tak mau istrinya itu mengulangi apa yang sudah dilakukan karena Danendra pun bisa marah.Danendra bisa bertindak tegas jika Adara kembali menyembunyikan sesuatu darinya karena bagi dia, kunci rumah tangga itu adalah keterbukaan dari pasangam yang menjalaninya."Lho, Den Danendra kok udah pulang?" tanya Mbak Vivi ketika Danendra—layaknya pengawal, mengikuti Adara dari belakang sambil membawa tas kerjanya.Belum lama sampai di kantor, Danendra memang iseng mengecek Adara. Namun, tentunya dia justru dibuat terkejut karena posisi sang istri tak a
***"Pelan jalannya, jangan grasak-grusuk."Felicya menoleh lalu mendelik ketika ucapan itu lagi-lagi diucapkan Rafly ketika dia berjalan menuruni tangga menuju lantai satu."Bawel."Rafly yang berjalan persis di belakang Felicya, menghela napas. "Bukan bawel, tapi peduli," ucapnya. "Aku takut kamu kepeleset terus jatuh. Yang kenapa-kenapa kan anak aku nanti.""Jadi kamu nyuruh aku khawatir karena pedulu sama anak kamu?""Iyalah, ya kali sama kamu," kata Rafly. "Kalau enggak hamil anak aku, mau kamu jatuh dari tangga atau lantai dua puluh pun bodo amat."Sampai di lantai satu, Felicya menatap tajam Rafly lalu seperti biasa, telapak tangannya mendarat di pipi sang suami."Sembarangan!""Sakit, Fel," kata Rafly. "Keseringan ditampar, pipiku memar nanti.""Bodo amat," celetuk Felicya. "Mau memar atau bahkan tulang pipi kamu patah pun, aku enggak peduli.""Yakin, enggak peduli.""Yakin," kata Felicya. "Udah deh, enggak usah banyak ngomong. Mendingan berangkat sekarang, klien aku nungguin.