***"Duh."Adara meringis ketika pria berpakaian formal itu akhirnya berjalan menghampiri pintu bagian kanan mobilnya. Lewat ekor mata, Adara bisa melihat kalau sekarang pria itu sedikit membungkukan badan lalu setelahnya yang terjadi tentu saja adalah; pria tersebut mengetuk kaca mobil Adara yang tertutup rapat."Ih gimana dong? Kena omel nih pasti."Adara tak membuka kaca, pria di samping mobil kembali melakukan hal yang sama untuk kedua kalinya dan tentu saja Adara semakin resah."Ya ampun, Dara ... kok bisa ada Danendra sih? Harus ngomong apa coba nanti?" tanya Adara pada dirinya sendiri.Di detik berikutnya dia menoleh ke jok belakang dan tak ada sesuatu di sana yang bisa dia jadikan alasan."Gak ada apa-apa lag ... ish."Adara mendesis ketika ponsel di saku dressnya berdiring. Merogoh benda pipih itu, pandangan Adara tertuju pada Danendra yang saat ini sudah kembali berpindah tempat ke depan mobil Adara, sambil memegangi ponsel di samping telinga."Ha-halo.""Kenapa pintu mobil
***"Masuk.""Iya."Setelah terlibat sedikit konflik, Adara dan Danendra akhirnya sampai di rumah setelah menyelesaikan permasalahan yang terjadi diantara mereka.Tak jadi panjang, Adara akhirnya meminta maaf lalu berjanji pada Danendra untuk tak menyembunyikan apa-apa lagi dari sang suami dan sebagai suami pun, Danendra lagi-lagi memaafkan apa yang dilakukan Adara.Danendra kembali memberikan kesempatan untuk Adara, tapi tentunya setelah ini dia tak mau istrinya itu mengulangi apa yang sudah dilakukan karena Danendra pun bisa marah.Danendra bisa bertindak tegas jika Adara kembali menyembunyikan sesuatu darinya karena bagi dia, kunci rumah tangga itu adalah keterbukaan dari pasangam yang menjalaninya."Lho, Den Danendra kok udah pulang?" tanya Mbak Vivi ketika Danendra—layaknya pengawal, mengikuti Adara dari belakang sambil membawa tas kerjanya.Belum lama sampai di kantor, Danendra memang iseng mengecek Adara. Namun, tentunya dia justru dibuat terkejut karena posisi sang istri tak a
***"Pelan jalannya, jangan grasak-grusuk."Felicya menoleh lalu mendelik ketika ucapan itu lagi-lagi diucapkan Rafly ketika dia berjalan menuruni tangga menuju lantai satu."Bawel."Rafly yang berjalan persis di belakang Felicya, menghela napas. "Bukan bawel, tapi peduli," ucapnya. "Aku takut kamu kepeleset terus jatuh. Yang kenapa-kenapa kan anak aku nanti.""Jadi kamu nyuruh aku khawatir karena pedulu sama anak kamu?""Iyalah, ya kali sama kamu," kata Rafly. "Kalau enggak hamil anak aku, mau kamu jatuh dari tangga atau lantai dua puluh pun bodo amat."Sampai di lantai satu, Felicya menatap tajam Rafly lalu seperti biasa, telapak tangannya mendarat di pipi sang suami."Sembarangan!""Sakit, Fel," kata Rafly. "Keseringan ditampar, pipiku memar nanti.""Bodo amat," celetuk Felicya. "Mau memar atau bahkan tulang pipi kamu patah pun, aku enggak peduli.""Yakin, enggak peduli.""Yakin," kata Felicya. "Udah deh, enggak usah banyak ngomong. Mendingan berangkat sekarang, klien aku nungguin.
***"Ada apa?"Seperti seorang maling yang terpojok, Adara merapatkan punggungnya pada pintu ketika pertanyaan tersebut diucapkan Danendra yang tahu-tahu sudah berdiri di depannya."Apanya yang ada apa?""Barusan ada apa? Aku dengar kamu teriak-teriak," tanya Danendra."Bukan apa-apa," kata Adara.Danendra menaikkan sebelah alis. "Bukan apa-apa, tapi sampai teriak?" tanyanya. "Kamu lupa sama janji kamu, Adara? Ini bahkan belum dua puluh empat jam lho."Adara menghembuskan napas kasar. "Pengemis," celetuknya. "Tadi udah aku kasih, tapi dia maksa pengen minta lagi."Alih-alih percaya, Danendra justru terkekeh. "Pengemis?" tanyanya. "Kamu tuh ya, kalau enggak ada bakat bohong, udah jangan bohong.""Apa sih? Orang aku serius.""Adara, buka Adara.""Ish." Adara mendesis ketika suara Ginanjar terdengar lagi. Dia pikir sang Papa sudah pergi setelah dia mengusirnya, tapi ternyata salah.Pria lima puluh lima tahun itu ternyata masih ada."Kenalan dulu barusan?" tanya Danendra."Apanya?""Itu k
***"Masuk, Mbak."Tak banyak bicara, Felicya langsung masuk ke dalam avanza hitam sesaat setelah perempuan di sampingnya membukakan pintu."Thank you," kata Felicya setelah dia duduk dan memasang seat belt."Sama-sama."Sebelum avanza hitam tersebut melaju menuju butik, Felicya melongokkan kepalanya untuk memanggil Rafly yang kini nampak sibuk mengecek mesin mobil bersama seorang pria."Rafly!"Rafly menoleh. "Apa?""Sini dulu."Tak perlu menunggu lama, Rafly berjalan mendekati Felicya. "Apa?" tanyanya."Aku mau ke butik.""Ya terus?"Felicya menatap suaminya. "Enggak mau bilang hati-hati dulu gitu?" tanyanya. "Aku bawa anak kamu.""Oh itu. Ya udah, hati-hati," kata Rafly. Dari Felicya, perhatiannya beralih pada perempuan yang kini duduk manis di kursi kemudi.Clarissa. Tentu saja perempuan itu adalah Clarissa. Dia yang memang sedang berada di Jakarta tak sengaja melihat Rafly juga Felicya di pinggir jalan.Punya hati yang baik, Clarissa mengabaikan perlakuan tak baik Rafly padanya l
***"Maksud Bapak, apa?"Adara memasang raut wajah penuh tanya ketika sebuah pernyataan diucapkan salah satu dari tiga orang polisi yang hari ini datang ke rumah untuk memberikan kabar tentang kasus Ginanjar.Bukan di rumahnya, Adara juga Danendra kini berada di ruang tengah rumah Ginanjar agar polisi yang bertugas melakukan penyelidikan tak kesulitan.Setelah dua minggu pemeriksaan juga penyelidikan dilakukan, Adara pikir yang akan dia terima adalah kabar bagus tentang Ginanjar yang pastinya akan dipenjara karena sudah mengakibatkan sang Mama meninggal.Namun, ternyata salah. Kabar yang baru saja Adara dengar sangat jauh dari ekspektasinya selama dua minggu terakhir ini.Ginanjar tak bersalah. Begitulah keputusan yang diambil pihak kepolisian atas kasus ini bahkan setelahnya, kasus kematian Monica akan segera ditutup karena polisi mengatakan; jatuhnya perempuan itu murni karena kecelakaan, bukan karena disengaja.Tuntutan Adara pada Ginanjar kurang bukti karena pada pakaian yang tera
***"Papa sakit."Adara yang baru saja selesai memakaikan baju untuk Elara seketika menoleh ketika Danendra kembali ke kamar setelah beberapa menit lalu keluar untuk mengangkat telepon.Hari ini sabtu. Rencananya Adara dan Danendra akan pergi berbelanja bulanan perlengkapan rumah sekaligus membeli bahan makanan untuk mpasi Elara karena jumat kemarin balita gembul itu berusia enam bulan."Sakit?" tanya Adara. "Mau nengok dulu apa gimana? Apa malam ini mau nginep di rumah kamu aja? Sekalian aku juga mau tanya-tanya tentang mpasi Elara ke Mama Teresa.""Papa Ginanjar," kata Danendra—membuat senyuman Adara luntur seketika.Terhitung sudah dua hari berlalu sejak keputusan polisi yang menyatakan Ginanjar tak bersalah, Adara masih tetap sama.Tak mau memberikan maaf bahkan tak mau bertemu dengan Papanya itu.Hari di mana dia membuat Ginanjar terjatuh, sebenarnya Danendra sudah mencoba mendiamkan istrinya itu dengan harapan; Adara akan memberi maaf.Namun, ternyata harapan Danendra kandas ket
***'Maafin Papa ya, Ra. Mama enggak bisa tenang kalau kamu sama Papa belum saling memaafkan. Mama sayang kalian.'"Mama!"Adara terbangun paksa dari tidurnya setelah sebuah mimpi menghampiri.Monica. Adara baru saja memimpikan Monica yang tiba-tiba menghampirinya. Masih terpatri jelas diingatan, Monica mendekati Adara untuk memintanya memaafkan Ginanjar."Mama," gumam Adara dengan napas yang tersenggal. Menoleh ke sebelah kanan, dia memandang jam dinding yang baru saja menunjukkan pukul dua dini hari. "Ya ampun masih subuh."Adara terdiam untuk beberapa detik—menetralisirkan detak jantungnya yang memburu.Setelah sedikit tenang, dia mencondongkan badan ke arah meja nakas, mengambil segelas air karena tenggorakannya terasa begitu kering.Ceroboh, yang Adara lakukan bukan mengambil gelas justru memecahkannya—membuat bunyi nyaring menggema di dalam kamar yang hening."Untung Elara enggak bangun," gumam Adara ketika telinganya tak mendengar rengekan sang putri atau tangisannya di dalam b