***"Masuk, Mbak."Tak banyak bicara, Felicya langsung masuk ke dalam avanza hitam sesaat setelah perempuan di sampingnya membukakan pintu."Thank you," kata Felicya setelah dia duduk dan memasang seat belt."Sama-sama."Sebelum avanza hitam tersebut melaju menuju butik, Felicya melongokkan kepalanya untuk memanggil Rafly yang kini nampak sibuk mengecek mesin mobil bersama seorang pria."Rafly!"Rafly menoleh. "Apa?""Sini dulu."Tak perlu menunggu lama, Rafly berjalan mendekati Felicya. "Apa?" tanyanya."Aku mau ke butik.""Ya terus?"Felicya menatap suaminya. "Enggak mau bilang hati-hati dulu gitu?" tanyanya. "Aku bawa anak kamu.""Oh itu. Ya udah, hati-hati," kata Rafly. Dari Felicya, perhatiannya beralih pada perempuan yang kini duduk manis di kursi kemudi.Clarissa. Tentu saja perempuan itu adalah Clarissa. Dia yang memang sedang berada di Jakarta tak sengaja melihat Rafly juga Felicya di pinggir jalan.Punya hati yang baik, Clarissa mengabaikan perlakuan tak baik Rafly padanya l
***"Maksud Bapak, apa?"Adara memasang raut wajah penuh tanya ketika sebuah pernyataan diucapkan salah satu dari tiga orang polisi yang hari ini datang ke rumah untuk memberikan kabar tentang kasus Ginanjar.Bukan di rumahnya, Adara juga Danendra kini berada di ruang tengah rumah Ginanjar agar polisi yang bertugas melakukan penyelidikan tak kesulitan.Setelah dua minggu pemeriksaan juga penyelidikan dilakukan, Adara pikir yang akan dia terima adalah kabar bagus tentang Ginanjar yang pastinya akan dipenjara karena sudah mengakibatkan sang Mama meninggal.Namun, ternyata salah. Kabar yang baru saja Adara dengar sangat jauh dari ekspektasinya selama dua minggu terakhir ini.Ginanjar tak bersalah. Begitulah keputusan yang diambil pihak kepolisian atas kasus ini bahkan setelahnya, kasus kematian Monica akan segera ditutup karena polisi mengatakan; jatuhnya perempuan itu murni karena kecelakaan, bukan karena disengaja.Tuntutan Adara pada Ginanjar kurang bukti karena pada pakaian yang tera
***"Papa sakit."Adara yang baru saja selesai memakaikan baju untuk Elara seketika menoleh ketika Danendra kembali ke kamar setelah beberapa menit lalu keluar untuk mengangkat telepon.Hari ini sabtu. Rencananya Adara dan Danendra akan pergi berbelanja bulanan perlengkapan rumah sekaligus membeli bahan makanan untuk mpasi Elara karena jumat kemarin balita gembul itu berusia enam bulan."Sakit?" tanya Adara. "Mau nengok dulu apa gimana? Apa malam ini mau nginep di rumah kamu aja? Sekalian aku juga mau tanya-tanya tentang mpasi Elara ke Mama Teresa.""Papa Ginanjar," kata Danendra—membuat senyuman Adara luntur seketika.Terhitung sudah dua hari berlalu sejak keputusan polisi yang menyatakan Ginanjar tak bersalah, Adara masih tetap sama.Tak mau memberikan maaf bahkan tak mau bertemu dengan Papanya itu.Hari di mana dia membuat Ginanjar terjatuh, sebenarnya Danendra sudah mencoba mendiamkan istrinya itu dengan harapan; Adara akan memberi maaf.Namun, ternyata harapan Danendra kandas ket
***'Maafin Papa ya, Ra. Mama enggak bisa tenang kalau kamu sama Papa belum saling memaafkan. Mama sayang kalian.'"Mama!"Adara terbangun paksa dari tidurnya setelah sebuah mimpi menghampiri.Monica. Adara baru saja memimpikan Monica yang tiba-tiba menghampirinya. Masih terpatri jelas diingatan, Monica mendekati Adara untuk memintanya memaafkan Ginanjar."Mama," gumam Adara dengan napas yang tersenggal. Menoleh ke sebelah kanan, dia memandang jam dinding yang baru saja menunjukkan pukul dua dini hari. "Ya ampun masih subuh."Adara terdiam untuk beberapa detik—menetralisirkan detak jantungnya yang memburu.Setelah sedikit tenang, dia mencondongkan badan ke arah meja nakas, mengambil segelas air karena tenggorakannya terasa begitu kering.Ceroboh, yang Adara lakukan bukan mengambil gelas justru memecahkannya—membuat bunyi nyaring menggema di dalam kamar yang hening."Untung Elara enggak bangun," gumam Adara ketika telinganya tak mendengar rengekan sang putri atau tangisannya di dalam b
***"Anak Mama ternyata pinter juga ya, seneng deh kalau gini setiap hari."Duduk di balkon kamar, Adara tersenyum bahagia setelah Elara menyantap habis mpasi yang dia buat.Kebahagiaan seorang ibu memang sederhana. Sang anak lahap makan saja rasa bahagianya menandingi liburan keliling dunia.Oke, mungkin Adara berlebihan, tapi begitulah kenyataannya. Saking bahagia karena Elara yang lahap makan, sejenak Adara lupa dengan rasa takut akan pesan yang dikirimkan Erlangga dini hari tadi.Malu karena selalu merepotkan, Adara memilih untuk tak berkata apapun pada Danendra karena sampai saat ini dia masih berharap jika pesan yang dikirim Erlangga semalam hanyalah sebuah bualan tanpa bukti."Gimana El makannya, lahap?"Adara menoleh ketika Danendra yang baru saja menyelesaikan kegiatan mandinya, menghampiri dan Elara yang sejak tadi duduk di kursi khusus balita."Habis," kata Adara sambil menunjukkan piring makan Elara yang kosong."Ya ampun pinter banget anak Papa," puji Danendra. Membungkuk
***"Iya, Dan."Sementara Danendra bergegas membawa Elara menuju ruang tengah, Adara melangkahkan kakinya—menaikki satu persatu undakkan tangga untuk pergi ke lantai dua.Sampai di depan pintu kamar sang papa, Adara tak langsung masuk karena entah kenapa detakkan jantungnya tiba-tiba saja tak normal. Rasanya seperti akan bertemu orang yang sudah lama tidak dia jumpai.Padahal, belum seminggu Adara bertemu dengan Ginanjar."Degdegan." Adara bergumam pelan hingga perlahan tangannya meraih handle pintu.Perlahan sekali Adara membuka daun pintu lalu memberanikan diri untuk menyembulkak kepala. Namun, kedua alisnya spontan terpaut ketika di kasur sana Adara tak mendapati Ginanjar.Beberapa hari ini kondisi Ginanjar sedang tidak baik. Jika tak duduk di kasur, laki-laki itu duduk di balkon sambil merenung. Begitulah cerita yang didengar Adara dari Mbak Lia."Papa," panggil Adara pelan.Tak hanya menyembulkan kepala, badan Adara perlahan masuk ke dalam kamar. Kedua matanya mulai mengedar hing
***"Males banget sumpah."Rafly yang berjalan di samping Felicya seketika menoleh ketika istrinya itu berkata demikian. "Males apa?""Males periksa."Hari ini—tepat sepuluh minggu usia kehamilan Felicya dan seperti biasa, perempuan itu harus melakukan pemeriksaan kandungan.Sebenarnya untuk hari minggu, dokter kandungan tak ada yang bertugas. Namun, karena kebetulan dokter kandungan di rumah sakit tempat Felicya melakukan pemeriksaan adalah pelanggan butik, Felicya bisa bernegosiasi.Menyanggupi untuk membayar lebih, Felicya meminta dokter Kiran—obgyn rumah sakit Medika untuk memeriksanya setiap hari minggu setiap bulannya.Jika mau, Felicya bisa melakukan pemeriksaan pada hari kerja, tapi tentunya dia tak bisa bersama Rafly karena pria itu tak bisa terlalu sering meminta izin libur di hari kerja.Rafly adalah karyawan baru yang sudah mulai disibukkan dengan pekerjaan kantor. Berangkat pagi pulang petang membuatnya tak bisa mengantar Felicya jika perempuan itu melakukan pemeriksaan
***"Mau beli makanan dulu enggak, Ra. Kamu pasti lapar."Adara yang sejak tadi duduk di samping ranjang seketika menggeleng ketika tawaran itu diucapkan Danendra yang sejak tadi duduk di sofa sambil memperhatikan sang istri.Mendapatkan penanganan intensif dari dokter juga petugas medis lain, nyawa Ginanjar bisa diselamatkan meskipun sempat mengalami penurunan kesadaran karena kehilangan banyak darah.Selamat dari maut, bukan berarti kondisinya baik-baik saja. Dokter Hendra—dokter yang menangani Ginanjar bilang, selama dua puluh empat jam kondisi Papa Adara itu masih harus dipantau terus karena belum sepenuhnya stabil.Tusukkan yang cukup dalam membuat beberapa organ di perut Ginanjar terluka dan jelas itulah penyebab parahnya kondisi pria lima puluh lima tahun tersebut."Enggak, Dan. Aku enggak mau makan sebelum Papa bangun," kata Adara.Sejak tadi tangannya tak terlepas sedikit pun dari tangan ringkih Ginanjar yang terasa sangat dingin. Mengusap bahkan menciumi punggung tangan Gina