Home / Romansa / Suami Pengganti Wasiat Papa / Pernikahan Tanpa Mempelai Wanita

Share

Pernikahan Tanpa Mempelai Wanita

“Bapak Bachtiar yakin meminta saya menikahi Emily?” Gallen bertanya dengan kekagetan yang tidak ia tutupi.

Pak Bachtiar mengangguk lemah, menarik nafas panjang. Terlihat jelas kepayahan untuk melanjutkan ucapannya.

“Iya, semoga kamu bisa menerima Emily. Saya percaya kamu bisa menjaganya, jika kamu menyetujui maka saya titipkan Emily sama kamu. Jangan biarkan dia bertemu lagi dengan Batara apa pun alasannya.” Kalimat panjang tersebut akhirnya dapat diselesaikan oleh pak Bachtiar.

Gallen menatap lekat-lekat wajah pucat terbaring di depannya, menarik nafas panjang Gallen mengangguk mantap. 

“Baik Pak, saya bersedia menikahi Emily putri Bapak.” Gallen menjawab dengan tegas setelah menatap lekat pak Bachtiar, tidak ada keraguan dalam jawabannya.

“Terima kasih,” ucap pak Bachtiar parau.

Setelah melewati banyak proses runding dengan keluarga Emily, baik mama maupun sang kakak, akhirnya akad nikah diselenggarakan di ruang ICU atas persetujuan pihak rumah sakit. Tanpa sosok Emily di sampingnya, Gallen mengucapkan ijab qabul dengan lancar penuh ketegasan.

Gallen mendatangkan adik perempuan satu-satunya keluarga yang ia miliki, dengan kekagetan tidak ditutupi tampak jelas dari wajah sang adik. Bahkan pertanyaan apa kakaknya menghamili seorang wanita terluncur begitu saja hingga mendapat jitak keras di kepalanya oleh sang kakak.

Gallen sendiri belum mengunjungi kamar Emily semenjak ijab qobul dilaksanakan. Mereka tentu saja beru menikah secara agama karena sangat mendadak. Gallen berjanji akan secepatnya mengurus berkas miliknya.

“Abang bisa tolong cerita ada apa sebenarnya?” tanya Giana setelah menarik paksa kakaknya dari kumpulan keluarga Eveline.

“Abang akan ceritakan lengkap nanti ya, kamu pulang sama Abang saja menginap di rumah.” Gallen mengusap kepala adiknya dengan senyuman hangat.

Giana hanya bisa mengangguk dengan wajah tampak tidak rela, sedikit banyak ia tahu cerita dibalik Gallen tiba-tiba menggantikan mempelai pria yang tidak datang untuk menikahi mempelai wanita. Sama halnya dengan pernikahan paksa untuk kakakknya.

“Sudah kamu tunggu situ, sebentar lagi kita pulang. Abang mau pamit dulu.” Gallen menunjuk sebuah kursi tunggu pasien pada Giana.

Hal tidak terduga terjadi begitu saja, Gallen menerima panggilan pukul empat sebelum Subuh bahwa pak Bachtiar meninggal dunia. Maka secepat kilat ia langsung menuju rumah sakit di mana ia baru meninggalkannya pukul sebelas malam. Berita meninggalnya pak Bachtiar menggemparkan karena pernikahan yang diwalikan langsung olehnya di dalam ruang ICU adalah satu-satunya pernikahan dalam rumah sakit itu.

Terlihat Emily yang duduk terpekur di samping jenazah sang papa yang siap dibawa ke pemakaman. Gallen adalah laki-laki satu-satunya sekarang dalam keluarga tersebut. Suami Gracia meninggal dua tahun silam dan belum kembali menikah. Maka Gallen yang mengurusi semuanya sebagai satu-satunya laki-laki, tiga wanita di sana terlalu berduka untuk mengurusinya.

“Kamu mau mencium papa kamu untuk yang terakhir kali sebelum di masukan keranda, Emily?” tanya Gallen pelan di samping Emily.

Emily tidak mengeluarkan suara satu patah katapun semenjak di bawa pulang dari rumah sakit. Ia hanya terus dipapah oleh salah satu kerabat karena mama dan kakaknya bahkan bergantian jatuh pingsan. Luar biasa sekali tanggung jawab yang langsung diemban oleh Gallen pada keluarga barunya.

“Pak Gallen kenapa di sini?” Kalimat pertama yang keluar dari mulut Emily disertai tatap heran mengapa laki-laki yang bukan keluarganya justru paling repot.

“Kamu tidak mau berpamitan pada papa kamu ?” Sekali lagi Gallen menanyakan pada sosok Emily.

Emily bagai tersengat serangan listrik tegangan tinggi setelah perkataan kedua dari Gallen, mata yang sedari rumah sakit kosong kini langsung berubah basah dalam hitungan detik. Pandangannya tertuju pada jenazah sang papa yang terbujur kaku terbalut kain kafan, tangis pecah dengan isak memilukan. Tidak ada yang menyela atau melarang Emily menangis meraung-raung. Ruang tamu luas rumah Emily sunyi seketika, hanya suara isak tangis Emily yang tersengar mewarnai seisi ruangan.

“Emily.” Mama dan Gracia menegur perlahan dengan membelai bahu si bungsu.

Emily yang menunduk memeluk jenazah berkain kafan perlahan melemah tangisnya, mama menariknya setengah paksa agar air mata si bungsu tidak sampai menetes pada almarhum.

“Mari tolong angkat,” pinta Gallen pada laki-laki saudara dari keluarga papa Emily.

Pemakaman berlangsung penuh sesak air mata bagi keluarga besar Emily, musibah bertubi-tubi menerpa keluarga mereka. Bukan lagi masalah ditinggalkan menikah namun juga ditinggalkan oleh keluarga tercinta untuk selamanya adalah hal paling menyakitkan di dunia.

Setelah begitu banyak air mata yang mengantarkan kepergian pak Bachtiar, semua prosesi berjalan lancar dengan begitu banyak bantuan untuk acara tahlilan dan semacamnya. Giana bahkan turut membantu karena merasakan kesedihan mendalam saat teringat bahwa ia dan sang kakak, Gallen juga sudah tidak memiliki orang tua.

“Abang aku pulang ya, ke rumah Abang.” Giana berbisik mendekati Gallen yang masih membantu merapikan sisa acara.

“Tidur sini saja ya, besok subuh Abang antar ke kost kamu sebelum berangkat kuliah. Tadi kak Gracia sudah bilang kamu bisa menginap di kamar tamu.” Gallen menjelaskan dengan menarik tangan Gania untuk duduk di sampingnya.

“Aku tidak enak Abang, tidak mengenal satupun dari mereka,” bisik Giana.

“Giana menginap ya Nak, kami sekarang keluarga kamu juga. Ini sudah malam, oh iya terima kasih banyak sudah membantu kami semua.” Mama Eveline yang berwajah pucat duduk di samping Giana dengan membelai lengan wanita muda adik Gallen yang baru ia ketahui juga.

“Sama-sama Tante, hanya bisa bantu tenaga.” Giana menganggukkan kepala rikuh.

“Tenaga juga kami sangat bersyukur, Tante kamu bicara sama kalian berdua. Terutama pada kamu Gallen.” Mama Eveline menarik nafas panjang.

Gallen dan Giana mengangguk bersamaan.

“Tante pribadi sungguh minta maaf karena papa Emily menyeret kamu dengan semua masalah dalam keluarga kita ini tiba-tiba. Kamu sebenarnya bisa menolak permintaan suami Tante waktu itu Gallen, tapi kamu menerima semua rasa malu keluarga kita dengan menikahi Emily. Kami sangat berterima kasih akan hal itu.” Mama Emily kembali menyusut sudut mata yang kembali basah.

Gallen mengangguk kecil. “Saya menikahi Emily bukan hanya semata untuk menanggung semua rasa malu keluarga Tante dan Emily, tapi saya memenuhi wasiat seorang ayah yang mengharapkan putrinya untuk dilindungi. Memang saya sangat bisa menolak, tapi saya tidak akan melakukan itu di hadapan seseorang yang maaf sedang diambang kematian.”

“Kamu tahu papa Emily sudah akan meninggal, Gallen?” Mama Emily kaget seketika.

“Kejadiannya sama persis dengan almarhum bapak kami Bu, bapak kami juga meninggal karena serangan jantung. Saya bukan mendahului yang maha kuasa, tapi saat saya berbicara dengan pak Bachtiar ... saya melihat beliau sudah sangat kepayahan bicara dan terus kesakitan dadanya. Sekali lagi sama persis kejadiannya seperti ayah saya.”

Mama Emily belum kembali bersuara, tiba-tiba suara derap lari dari atas tangga terdengar. Mama Emily, Gallen, dan Giana menoleh serentak saat jeritan lantang Emily menggema di ruangan tempat ketiganya duduk.

“Mama! kata Kak Grace papa menikahkan aku pada laki-laki itu?” jerit lantang Emily dari dua anak tangga terbawah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status