“Bapak Bachtiar yakin meminta saya menikahi Emily?” Gallen bertanya dengan kekagetan yang tidak ia tutupi.
Pak Bachtiar mengangguk lemah, menarik nafas panjang. Terlihat jelas kepayahan untuk melanjutkan ucapannya. “Iya, semoga kamu bisa menerima Emily. Saya percaya kamu bisa menjaganya, jika kamu menyetujui maka saya titipkan Emily sama kamu. Jangan biarkan dia bertemu lagi dengan Batara apa pun alasannya.” Kalimat panjang tersebut akhirnya dapat diselesaikan oleh pak Bachtiar. Gallen menatap lekat-lekat wajah pucat terbaring di depannya, menarik nafas panjang Gallen mengangguk mantap. “Baik Pak, saya bersedia menikahi Emily putri Bapak.” Gallen menjawab dengan tegas setelah menatap lekat pak Bachtiar, tidak ada keraguan dalam jawabannya. “Terima kasih,” ucap pak Bachtiar parau. Setelah melewati banyak proses runding dengan keluarga Emily, baik mama maupun sang kakak, akhirnya akad nikah diselenggarakan di ruang ICU atas persetujuan pihak rumah sakit. Tanpa sosok Emily di sampingnya, Gallen mengucapkan ijab qabul dengan lancar penuh ketegasan. Gallen mendatangkan adik perempuan satu-satunya keluarga yang ia miliki, dengan kekagetan tidak ditutupi tampak jelas dari wajah sang adik. Bahkan pertanyaan apa kakaknya menghamili seorang wanita terluncur begitu saja hingga mendapat jitak keras di kepalanya oleh sang kakak. Gallen sendiri belum mengunjungi kamar Emily semenjak ijab qobul dilaksanakan. Mereka tentu saja beru menikah secara agama karena sangat mendadak. Gallen berjanji akan secepatnya mengurus berkas miliknya. “Abang bisa tolong cerita ada apa sebenarnya?” tanya Giana setelah menarik paksa kakaknya dari kumpulan keluarga Eveline. “Abang akan ceritakan lengkap nanti ya, kamu pulang sama Abang saja menginap di rumah.” Gallen mengusap kepala adiknya dengan senyuman hangat. Giana hanya bisa mengangguk dengan wajah tampak tidak rela, sedikit banyak ia tahu cerita dibalik Gallen tiba-tiba menggantikan mempelai pria yang tidak datang untuk menikahi mempelai wanita. Sama halnya dengan pernikahan paksa untuk kakakknya. “Sudah kamu tunggu situ, sebentar lagi kita pulang. Abang mau pamit dulu.” Gallen menunjuk sebuah kursi tunggu pasien pada Giana. Hal tidak terduga terjadi begitu saja, Gallen menerima panggilan pukul empat sebelum Subuh bahwa pak Bachtiar meninggal dunia. Maka secepat kilat ia langsung menuju rumah sakit di mana ia baru meninggalkannya pukul sebelas malam. Berita meninggalnya pak Bachtiar menggemparkan karena pernikahan yang diwalikan langsung olehnya di dalam ruang ICU adalah satu-satunya pernikahan dalam rumah sakit itu. Terlihat Emily yang duduk terpekur di samping jenazah sang papa yang siap dibawa ke pemakaman. Gallen adalah laki-laki satu-satunya sekarang dalam keluarga tersebut. Suami Gracia meninggal dua tahun silam dan belum kembali menikah. Maka Gallen yang mengurusi semuanya sebagai satu-satunya laki-laki, tiga wanita di sana terlalu berduka untuk mengurusinya. “Kamu mau mencium papa kamu untuk yang terakhir kali sebelum di masukan keranda, Emily?” tanya Gallen pelan di samping Emily. Emily tidak mengeluarkan suara satu patah katapun semenjak di bawa pulang dari rumah sakit. Ia hanya terus dipapah oleh salah satu kerabat karena mama dan kakaknya bahkan bergantian jatuh pingsan. Luar biasa sekali tanggung jawab yang langsung diemban oleh Gallen pada keluarga barunya. “Pak Gallen kenapa di sini?” Kalimat pertama yang keluar dari mulut Emily disertai tatap heran mengapa laki-laki yang bukan keluarganya justru paling repot. “Kamu tidak mau berpamitan pada papa kamu ?” Sekali lagi Gallen menanyakan pada sosok Emily. Emily bagai tersengat serangan listrik tegangan tinggi setelah perkataan kedua dari Gallen, mata yang sedari rumah sakit kosong kini langsung berubah basah dalam hitungan detik. Pandangannya tertuju pada jenazah sang papa yang terbujur kaku terbalut kain kafan, tangis pecah dengan isak memilukan. Tidak ada yang menyela atau melarang Emily menangis meraung-raung. Ruang tamu luas rumah Emily sunyi seketika, hanya suara isak tangis Emily yang tersengar mewarnai seisi ruangan. “Emily.” Mama dan Gracia menegur perlahan dengan membelai bahu si bungsu. Emily yang menunduk memeluk jenazah berkain kafan perlahan melemah tangisnya, mama menariknya setengah paksa agar air mata si bungsu tidak sampai menetes pada almarhum. “Mari tolong angkat,” pinta Gallen pada laki-laki saudara dari keluarga papa Emily. Pemakaman berlangsung penuh sesak air mata bagi keluarga besar Emily, musibah bertubi-tubi menerpa keluarga mereka. Bukan lagi masalah ditinggalkan menikah namun juga ditinggalkan oleh keluarga tercinta untuk selamanya adalah hal paling menyakitkan di dunia. Setelah begitu banyak air mata yang mengantarkan kepergian pak Bachtiar, semua prosesi berjalan lancar dengan begitu banyak bantuan untuk acara tahlilan dan semacamnya. Giana bahkan turut membantu karena merasakan kesedihan mendalam saat teringat bahwa ia dan sang kakak, Gallen juga sudah tidak memiliki orang tua. “Abang aku pulang ya, ke rumah Abang.” Giana berbisik mendekati Gallen yang masih membantu merapikan sisa acara. “Tidur sini saja ya, besok subuh Abang antar ke kost kamu sebelum berangkat kuliah. Tadi kak Gracia sudah bilang kamu bisa menginap di kamar tamu.” Gallen menjelaskan dengan menarik tangan Gania untuk duduk di sampingnya. “Aku tidak enak Abang, tidak mengenal satupun dari mereka,” bisik Giana. “Giana menginap ya Nak, kami sekarang keluarga kamu juga. Ini sudah malam, oh iya terima kasih banyak sudah membantu kami semua.” Mama Eveline yang berwajah pucat duduk di samping Giana dengan membelai lengan wanita muda adik Gallen yang baru ia ketahui juga. “Sama-sama Tante, hanya bisa bantu tenaga.” Giana menganggukkan kepala rikuh. “Tenaga juga kami sangat bersyukur, Tante kamu bicara sama kalian berdua. Terutama pada kamu Gallen.” Mama Eveline menarik nafas panjang. Gallen dan Giana mengangguk bersamaan. “Tante pribadi sungguh minta maaf karena papa Emily menyeret kamu dengan semua masalah dalam keluarga kita ini tiba-tiba. Kamu sebenarnya bisa menolak permintaan suami Tante waktu itu Gallen, tapi kamu menerima semua rasa malu keluarga kita dengan menikahi Emily. Kami sangat berterima kasih akan hal itu.” Mama Emily kembali menyusut sudut mata yang kembali basah.Gallen mengangguk kecil. “Saya menikahi Emily bukan hanya semata untuk menanggung semua rasa malu keluarga Tante dan Emily, tapi saya memenuhi wasiat seorang ayah yang mengharapkan putrinya untuk dilindungi. Memang saya sangat bisa menolak, tapi saya tidak akan melakukan itu di hadapan seseorang yang maaf sedang diambang kematian.” “Kamu tahu papa Emily sudah akan meninggal, Gallen?” Mama Emily kaget seketika. “Kejadiannya sama persis dengan almarhum bapak kami Bu, bapak kami juga meninggal karena serangan jantung. Saya bukan mendahului yang maha kuasa, tapi saat saya berbicara dengan pak Bachtiar ... saya melihat beliau sudah sangat kepayahan bicara dan terus kesakitan dadanya. Sekali lagi sama persis kejadiannya seperti ayah saya.” Mama Emily belum kembali bersuara, tiba-tiba suara derap lari dari atas tangga terdengar. Mama Emily, Gallen, dan Giana menoleh serentak saat jeritan lantang Emily menggema di ruangan tempat ketiganya duduk. “Mama! kata Kak Grace papa menikahkan aku pada laki-laki itu?” jerit lantang Emily dari dua anak tangga terbawah.“Laki-laki itu?” Giana yang tidak terima mendengar sang kakak disebut demikian langsung berdiri dengan emosi.Gallen menarik lengan adiknya lembut. “Abang bilang duduk dan tenang, bisa?”Giana menahan deru nafas memburunya, kembali duduk dengan kekesalan luar biasa kepada Emily. Mama Emily langsung menghampiri sang putri yang terlihat sangat emosi, memegang tangannya dan berkata dengan lembut.“Bisa kita bicara dengan baik tanpa emosi? Mama akan menjelaskannya,” pinta mama pada putri bungsunya.“Kenapa Mama memperbolehkan papa menikahkan aku sama dia Ma?” tuntut Emily.Mama kembali meminta Emily untuk duduk dan mendengarkannya. Di belakang Emily, sang kakak Gracia berdiri dengan wajah cemas. Sekali anggukan dari mamanya membuat sang kakak turut serta turun. Mereka semua duduk, dan hanya Emily yang menghembuskan nafas dengan kencang. Pertanda emosinya belum reda.“Bisa kita mulai bicara tanpa emosinya, Emily?” tanya mama.Emily mengangguk, ia paham jika mamanya sudah bicara tega
“Iya saya tahu, nona ... maksud saya ... kamu tidak akan bisa mencintai laki-laki lain.” Gallen menjawab setelah jeda lumayan lama dari pernyataan Emily.Emily menatap tajam manik mata Gallen di hadapannya, embun mulai menetes dari luar gelas minum mereka yang tidak tersentuh.“Alasan apa yang membuat kamu mau menikahi aku tolong jawab jujur. Karena kamu hanya kasihan? Atau karena kamu tahu jika aku anak bungsu dari keluarga kaya raya?” Emily dengan lantang menyuarakan kemungkinan paling masuk akal laki-laki yang mengurusi pernikahannya, sang pemilik wediing organizer, langsung menikahinya setelah sang papa meminta.Gallen mendengus kecil mendengar tuduhan kejam dari Emily. Memilih tidak menanggapinya dengan emosi juga. Gallen mengerti jika Emily tengah mengalami hal sangat berat sebanyak dua kali dalam waktu bersamaan. “Saya mampu mencukupi kebutuhan saya dan adik saya dengan perusahaan wedding organizer saya, Emily. Saya tidak butuh limpahan harta dari kamu.” Gallen mengatakan
Gallen mengerutkan kening mendengar ada suara ribut di luar, ia dan Giana yang sedang membantu merapikan meja segera menuju pintu depan. Terlihat di sana beberapa orang yang Gallen kenal sebagai keluarga Batara.“Saya hanya ingin berbicara dengan Emily Jeng Ratna,” pinta seorang wanita paruh baya dengan seorang laki-laki muda.“Emily belum baik kondisi mentalnya, dia saja tidak bicara sama kami keluarganya. Maaf mohon pengertiannya. Emily sedang tidak baik-baik saja,” tutur Mama Emily.Menyaksikan hal tersebut Gallen segera berdiri di samping mama Emily.“Mohon maaf Tante, saya tidak mengizinkan Emily bertemu siapapun selama masa pemulihannya. Emily bukan hanya sakit badannya tapi juga hatinya. Jika ada yang mau Tante bicarakan pada Emily, Tante bisa beritahukan pada saya.” Gallen mengambil alih pembicaraan.“Loh kenapa kamu ikut campur? Kamu hanya pegawai wedding organizer anak-anak kami.” Orang tua Batara berang seketika.“Iya benar saya adalah pengurus pernikahan putra dan p
“Tidak ada lagi Gallen, kedua kunci kamar Emily ada di dalam.” Mama Emily berkata panik ikut menggedor pintu kamar Emily.“Awas Tante sama Giana mundur, biar saya dobrak.” Gallen mundur untuk mengambil ancang-ancang menerjang pintu kamar Emily.Sebelum Gallen menerjang pintu, Gracia berlarian menaiki tangga dengan mengancungkan sebuah kunci dengan nafas tersengal-sengal. Ia mendengar seruan mama dan Gallen yang menggedor kamar Emily dengan sangat kuat sampai nyaring ke bawah.Melihat kunci yang di ayunkan Gracia, Gallen menangkapnya dan membuka pintu kamar Emily dengan panik. Tidak lagi terdengar isak dan jeritan dari dalam kamar, hal tersebut yang membuat Gallen jauh lebih cemas.Begitu pintu terbuka, Gallen menerjang masuk dan tidak ditemukan Emily di dalam ruang kamar luasnya. Gallen langsung menuju sebuah pintu yang tertutup rapat, kembali terkunci. “Sial!” Gallen langsung menerjang tanpa memanggil nama Emily kembali. Pada tendangan ke tiganya pintu terlepas selotnya dan ba
Emily mengerutkan kening saat melihat Gallen dan Giana duduk bersebelahan pada sebuah cofe shop baru di pusat Ibu Kota.“Sorry Giana ikut karena tadi dia minta jemput pulang kampus. Katanya hanya akan ikut kita makan.” Gallen menjelaskan tatap tanya Emily.“Enggak apa-apa.” Emily memilih duduk di hadapan Gallen menyaksikan Giana tidak perduli dengan kedatangannya, asyik dengan piring berisi dua potong sandwich tuna tanpa sayuran.“Giana,” tegur Gallen pada sang adik yang acuh pada kedatangan kakak iparnya.Giana mengangkat kepalanya dengan dengus kecil, melambaikan tangan sesaat pada Emily dan kembali menekuri isi piringnya dengan sebelah tangan memegang ponsel.“Kamu mau pesan apa? sudah makan?” Gallen menyodorkan daftar menu pada Emily yang sudah duduk dan meletakan tas di kursi kosong sampingnya.Emily menerima daftar menu dan membaca sesaat sebelum memanggil waiters dan mengatakan ia pesan salad sayur dan buah dengan jus mangga. Mendengar pesanan Emily, Giana kembali menden
“Abang kenapa taplak mejanya diganti?” tanya Giana begitu pulang dari kuliah bertepatan Gallen baru selesai mandi keluar dari kamar dengan rambut basah.“Oh tadi ... ketumpahan jus.” Gallen melirik pintu kamar berwarna coklat tua yang masih tertutup rapat.“Ketumpahan jus? Terus di mana taplaknya? Enggak Abang cuci kan?” Giana melotot pada Gallen.“Di mana ya tadi Abang taruh, di belakang apa ya.” Gallen menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, sambil kembali melirik pintu kamar yang masih tertutup rapat. “Ah Abang ... itu aku buat pakai rajutan sutra. Enggak bisa dicuci sembarangan.” Giana berlari menuju area dapur di mana bersebelahan dengan area cuci. Saat Giana melihat taplak rajut putihnya berada di dalam ember yang sudah berisi air dan detergen, sontak Giana menjerit histeris dan mengentakkan kakinya dengan dramatis sebelum ia angkat taplak yang sudah berubah warna sedikit keabuan tersebut.“Abang Gallen! Aku sudah bilang jangan di sentuh taplak yang ini apa pun
Emily kembali tidak mengindahkan protes Giana, ia justru membalikkan badan pergi meninggalkan sang gadis ke kamar dan kembali dalam hitungan detik. Dengan mata tertuju pada Giana yang sudah duduk di pantry dan menumpukan kepala pada lipatan tangan di atas meja bar.“Bangun.” Emily menarik bahu Giana untuk duduk tegak akan tetapi Giana mengentak tangan Emily dengan kuat hingga tidak sengaja mengenai pipi Emily dan menggoreskan sedikit luka karena cincin yang dipakai Giana.“Kamu benar-benar menguras emosi saya ya,” geram Emily.Giana masih memberikan tatap kebencian pada Emily bahkan nafasnya kian memburu. Akan tetapi Emily membiarkannya. Memperlihatkan apa yang ia pegang pada tangan kanannya sebelum tangan kirinya menarik ke atas pakaian Giana.“Saya tidak akan membunuh kamu kalau itu yang sedang ada di kepala kamu. Hanya memberikan menspad. Apa kamu tidak tahu juga apa itu menspad? Ini gunanya seperti kompres pada wanita datang bulan. Mengurangi rasa nyeri berlebihan, kamu itu p
Emily membeku dipeluk Batara dengan begitu erat, Batara terus melirihkan kata maaf hingga mata Emily membelalak melihat sesosok gadis beransel hitam dengan kaca mata sedikit melorot dan rambut ikat satu yang menatapnya tajam. Giana.“Kamu apa kabar Emily?” tanya Batara setelah Emily mendorong pelukannya.“Tidak baik.” Emily memilih duduk dan tidak mengindahkan tatap tajam Giana padanya, entah alasan apa yang membuat Giana berada di tempat di mana ia bertemu dengan Batara tanpa sepengetahuan siapapun.“Emily aku sungguh minta maaf untuk tidak bisa datang saat hari pernikahan kita.” Batara masih menggenggam tangan Emily erat yang kemudian Emily lepaskan sebelum ia menjawab.“Beri tahu aku alasannya,” tukas Emily.Batara menarik nafas panjang. “ Aku sungguh sudah pulang sebelum acara kita. Tapi di perjalanan menuju rumah tiba-tiba aku tersesat. Mobil aku terus berputar-putar tanpa bisa sampai ke rumah, aku juga tidak bisa menghubungi siapapun. Memang terdengar enggak masuk akal, tap