Emily mengerutkan kening saat melihat Gallen dan Giana duduk bersebelahan pada sebuah cofe shop baru di pusat Ibu Kota.
“Sorry Giana ikut karena tadi dia minta jemput pulang kampus. Katanya hanya akan ikut kita makan.” Gallen menjelaskan tatap tanya Emily. “Enggak apa-apa.” Emily memilih duduk di hadapan Gallen menyaksikan Giana tidak perduli dengan kedatangannya, asyik dengan piring berisi dua potong sandwich tuna tanpa sayuran. “Giana,” tegur Gallen pada sang adik yang acuh pada kedatangan kakak iparnya. Giana mengangkat kepalanya dengan dengus kecil, melambaikan tangan sesaat pada Emily dan kembali menekuri isi piringnya dengan sebelah tangan memegang ponsel. “Kamu mau pesan apa? sudah makan?” Gallen menyodorkan daftar menu pada Emily yang sudah duduk dan meletakan tas di kursi kosong sampingnya. Emily menerima daftar menu dan membaca sesaat sebelum memanggil waiters dan mengatakan ia pesan salad sayur dan buah dengan jus mangga. Mendengar pesanan Emily, Giana kembali mendengus tidak kentara. Namun jelas Emily melihat hal tersebut. “Sudah makan berat? Hanya salad?” tanya Gallen. “Tidak terlalu lapar, saya memang suka sayur dan buah. Sehat.” Emily mengatakan kata sehat dengan penuh penekanan dan lirikan pada Giana yang rupanya sudah memandangnya dengan tatap datar. Setelah pesanan Emily datang, Gallen menarik air mineral miliknya dan ia geser ke arah Giana yang gelasnya sudah kosong. Setiap gerak-gerik kakak adik di depannya tidak luput dari pandangan Emily. “Saya mau mengatakan sesuatu yang mungkin akan buat kamu kaget. Terus terang saja saya sangat mampu membeli rumah atau setidaknya Apartemen. Tapi papa dan mama melarang kami berdua memiliki itu karena ingin tetap tinggal bersama kedua putrinya sampai kami meninggalkan rumah karena kami sudah menikah.” Emily mengatakannya setelah ia terdiam lama dan sedikit ragu untuk memulai bicara. Gallen mengangguk mengerti, ia paham mengenai hal tersebut karena ia juga melarang sang adik tinggal tidak bersamanya sebelum ada yang meminangnya. “Jadi saya diminta mama untuk bilang sama kamu .... “ Gallen masih menunggu kelanjutan dari perkataan Emily, namun hanya sampai sana saja. Tidak ada kelanjutannya. Emily tampak sangat berat untuk melanjutkan, lebih memilih meminum jusnya dalam diam. “Emily, tidak dilanjutkan?” tanya Gallen. “Emily ingin tinggal sama Abang,” celetuk Giana dengan nada malas. “Benar seperti itu Emily?” tegas Gallen.Emily mendesah panjang. “Saya sungguh hanya menuruti keinginan mama, kata mama apa pun alasan pernikahan kita. Kamu tetap sudah mengucap janji di hadapan papa.” “Iya saya paham. Tapi jika kamu merasa keberatan untuk wacana tinggal bersama, tidak apa-apa. Kamu saya bolehkan tinggal tetap dengan mama kamu. Tidak masalah kok,” jawab Gallen. Emily kembali terdiam mengaduk aduk salad di hadapannya. Tidak lagi bersuara, kepalanya terlalu penuh saat ini. Hari ini adalah perdana untuknya keluar rumah semenjak kepergian papanya. “Abang bagi uang boleh, aku mau jajan saja atau beli jepit rambut. Sepertinya Emily tidak bisa bicara karena ada aku.” Giana langsung bersuara melihat kedua orang yang jauh lebih dewasa darinya justru adu diam-diaman. “Uang kamu habis?” Walau mulutnya bertanya demikian, namun Gallen tetap mengeluarkan dompet dan memberikan beberapa lembar uang berwarna biru dan merah pada sang adik. “Masih ada sih Bang, alasan aku saja minta uang sama Abang,” kekeh Giana. “Dasar, jangan jauh-jauh. Abang enggak mau menunggu ya kalau kita mau pulang dan kamu masih belanja,” gumam Gallen. Giana mengangguk dan mendaratkan kecupan kecil pada pipi kanan Gallen. “Astaga anak itu.” Gallen menggelengkan kepala menyaksikan kepergian adiknya. “Giana semester berapa?” Suara Emily memecah keterdiaman mereka berdua.Gallen menoleh pada Emily. “ Semester empat, maaf ya jika sikapnya ya seperti bocah begitu. Dia sebetulnya tahu sopan santun kok, entah mengapa tiba-tiba seperti itu.” “Giana sedikit membenci saya, saya rasa. Tidak apa-apa saya sangat mengerti alasannya tidak menyukai saya.” Emily segera melanjutkan perkataannya ketika melihat Gallen hendak menyela. “Sikap Giana masih tergolong sangat wajar, dulu bahkan saya sangat tidak suka dengan almarhum kakak ipar saya.” Emily mengutarakan salah satu kenangannya dengan sang kakak ipar yang tidak berusia panjang. “Kenapa memangnya?” Gallen mengerutkan kening dengan rasa ingin tahunya. “Karena merebut kasih sayang kak Grace sama saya, childies sekali bukan. Mungkin Giana juga memiliki perasaan seperti itu.” Emily mengangkat bahunya samar. “Dia anak yang sangat mandiri terlepas mungkin punya perasaan seperti yang kamu sebutkan. Ok kita balik pada tujuan utama kita bicara, benar kamu mau tinggal dengan saya? saya tinggal sama Giana tapi. Kalian tidak akan saling menjambak bukan saat saya tidak di rumah?” Gallen bersandar pada kursinya. “Kamu menuduh saya akan menjambak adik kamu saat kamu tidak ada?” Emily berseru dengan mata membelalak lebar. Gallen berdecap kecil, mengisyaratkan bukan seperti itu maksud perkataannya. “Walau Giana badannya kecil seperti itu, saya yakin dia tidak akan tinggal diam jika kamu jambak.” Gallen menyulut apinya sekalian saat Emily menuangkan minyak pada percakapan mereka. Emily menarik kedua ujung bibir kecil, teramat kecil sampai Gallen mengira ia hanya berhalusinasi melihat Emily tersenyum padanya. Untuk sepersekian detik Gallen ikut terpana. “Silakan saja jika kamu berkenan tinggal sama kita. Ada tiga kamar tamu di rumah kami. Tapi jangan kaget ya, rumah kami jelas sangat jauh berbeda dengan kediaman kamu. Kami tinggal tidak di perumahan elite seperti kamu, tidak semewah rumah kamu juga. Hanya memiliki satu lantai dan .... “ “Saya bukan mau tinggal selamanya di sana juga,” dengus Emily tidak ia tutup-tutupi. Perkataan tiba-tiba Emily membuat Gallen tersentak sesaat dan menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa-apa lagi. Hal tersebut mengusik Emily sedikit banyak, ia baru sadar perkataannya mungkin menyinggung Gallen padahal Gallen sudah begitu baik menghadapi semua emosinya. Akan tetapi walau Emily tahu perkataannya membuat suasana mereka menjadi seperti di kuburan, Emily enggan mengoreksi dan meminta maaf. Karena benar adanya, ia hanya akan tinggal sementara di rumah Gallen. Keesokan harinya Gallen menjemput Emily untuk membawa dua koper pakaiannya. Gallen tidak mengatakan banyak hal saat menjemput Emily, hanya berpamitan pada mama dan kakak Emily serta memberikan alamat lengkapnya jika sewaktu-waktu mereka ingin datang berkunjung. “Kamu boleh menempati kamar yang mana saja, itu berdempetan tiga kamar tamunya. Semua ukurannya sama, sudah dibersihkan juga. Kami punya Mbak tapi hanya datang pagi pulang petang dan hanya tiga kali satu minggu. Karena di jadwal itu Giana kuliahnya siang, dia yang minta seperti itu. Jika kamu butuh Mbak setiap hari, maka aku akan minta beliau menginap saja selama kamu ada di sini.” Gallen mempersilakan Emily memilih kamar yang mana saja. “Tidak perlu, saya akan mengikuti peraturan pemilik rumah. Oh iya ada yang belum saya katakan, kenapa ada mutasi pengiriman atas nama kamu dengan nominal sepuluh juta?” Emily teringat tiba-tiba menerima pesan sebuah transfer uang atas nama Gallen Alejandro Munaf. “Loh kamu lupa kalau itu uang nafkah dari aku,” terang Gallen.“Abang kenapa taplak mejanya diganti?” tanya Giana begitu pulang dari kuliah bertepatan Gallen baru selesai mandi keluar dari kamar dengan rambut basah.“Oh tadi ... ketumpahan jus.” Gallen melirik pintu kamar berwarna coklat tua yang masih tertutup rapat.“Ketumpahan jus? Terus di mana taplaknya? Enggak Abang cuci kan?” Giana melotot pada Gallen.“Di mana ya tadi Abang taruh, di belakang apa ya.” Gallen menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, sambil kembali melirik pintu kamar yang masih tertutup rapat. “Ah Abang ... itu aku buat pakai rajutan sutra. Enggak bisa dicuci sembarangan.” Giana berlari menuju area dapur di mana bersebelahan dengan area cuci. Saat Giana melihat taplak rajut putihnya berada di dalam ember yang sudah berisi air dan detergen, sontak Giana menjerit histeris dan mengentakkan kakinya dengan dramatis sebelum ia angkat taplak yang sudah berubah warna sedikit keabuan tersebut.“Abang Gallen! Aku sudah bilang jangan di sentuh taplak yang ini apa pun
Emily kembali tidak mengindahkan protes Giana, ia justru membalikkan badan pergi meninggalkan sang gadis ke kamar dan kembali dalam hitungan detik. Dengan mata tertuju pada Giana yang sudah duduk di pantry dan menumpukan kepala pada lipatan tangan di atas meja bar.“Bangun.” Emily menarik bahu Giana untuk duduk tegak akan tetapi Giana mengentak tangan Emily dengan kuat hingga tidak sengaja mengenai pipi Emily dan menggoreskan sedikit luka karena cincin yang dipakai Giana.“Kamu benar-benar menguras emosi saya ya,” geram Emily.Giana masih memberikan tatap kebencian pada Emily bahkan nafasnya kian memburu. Akan tetapi Emily membiarkannya. Memperlihatkan apa yang ia pegang pada tangan kanannya sebelum tangan kirinya menarik ke atas pakaian Giana.“Saya tidak akan membunuh kamu kalau itu yang sedang ada di kepala kamu. Hanya memberikan menspad. Apa kamu tidak tahu juga apa itu menspad? Ini gunanya seperti kompres pada wanita datang bulan. Mengurangi rasa nyeri berlebihan, kamu itu p
Emily membeku dipeluk Batara dengan begitu erat, Batara terus melirihkan kata maaf hingga mata Emily membelalak melihat sesosok gadis beransel hitam dengan kaca mata sedikit melorot dan rambut ikat satu yang menatapnya tajam. Giana.“Kamu apa kabar Emily?” tanya Batara setelah Emily mendorong pelukannya.“Tidak baik.” Emily memilih duduk dan tidak mengindahkan tatap tajam Giana padanya, entah alasan apa yang membuat Giana berada di tempat di mana ia bertemu dengan Batara tanpa sepengetahuan siapapun.“Emily aku sungguh minta maaf untuk tidak bisa datang saat hari pernikahan kita.” Batara masih menggenggam tangan Emily erat yang kemudian Emily lepaskan sebelum ia menjawab.“Beri tahu aku alasannya,” tukas Emily.Batara menarik nafas panjang. “ Aku sungguh sudah pulang sebelum acara kita. Tapi di perjalanan menuju rumah tiba-tiba aku tersesat. Mobil aku terus berputar-putar tanpa bisa sampai ke rumah, aku juga tidak bisa menghubungi siapapun. Memang terdengar enggak masuk akal, tap
Emily memutuskan pulang ke kediaman Gallen setelah berputar-putar mencari Giana dan tidak ketemu. Sesampainya di rumah juga tidak ia temui motor Giana. Karena ia sebal pada Giana sedari awal, ia bahkan tidak memiliki nomor ponsel Giana.“Anak resek itu memanggil aku kakak?” Emily menyandarkan kepalanya pada sofa pendek rumah Gallen yang sunyi.Emily ingat jika dalam ke tidak sopanan Giana yang tiba-tiba menyela obrolannya dengan Batara, Giana menyebut diri sendiri aku dan memanggilnya Kakak. Yang mana tidak pernah Giana lakukan sebelumnya.“Sial banget aku, bisa dicincang sama Gallen jika sampai dia tahu,” gumam Emily masih dengan mata terpejam dan kepala menengadah.Hingga waktu menunjukkan pukul tujuh malam Giana belum juga pulang, sedangkan Gallen sudah sampai di rumah pukul delapan malam.“Adik kamu belum pulang, kami .... “Ucapan Emily terputus kala Gallen mengulurkan paper bag di tangannya untuk Emily.“saya belikan ayam bakar taliwang, sop iga sama fuyunghai seafood. K
Emily mendengus kencang akan sindiran telak gadis yang tidak segan menatapnya dengan tajam. “Sudah saya bilang saya bukan anak manis yang akan berkata manis sama kamu.” Giana mengangkat bahunya acuh.“Saya bisa lihat itu, kamu sangat suka bergesekan pendapat dengan saya. Saya memang harus menemui Batara terlepas apa yang dia perbuat. Saya butuh alasan dan penjelasan, tentu saja saya tidak mengharapkan ada Gallen yang mendengarkan percakapan kita. Keputusan saya menemui Batara tidak saya sesali. Harusnya kamu lebih bisa menahan diri kemarin dan mendengarkan kelanjutan perbincangan kami. “ Emily melipat tangannya masih membalas tatap Giana.“Whatever you say, saya sudah tidak tertarik mendengarkan. Jelas sekali kamu tidak ingin memberitahukan dia kalau kamu sudah menikah. Saya ada kelas satu jam lagi, mau bicara apa lagi? saya tidak akan lagi mengajak kamu ribut selama kita tinggal bersama, tenang saja.” Giana mulai mengambil arem-arem dan membuka untuk ia gigit kembali tanpa menaw
“Tidak apa-apa Tante, kami sudah mengurusnya ke pihak berwajib.” Gallen menjawab pertanyaan Mama Emily yang datang bersama Gracia saat mendengar kabar pemukulan Hallen oleh Batara.“Iya harus dilaporkan, ya Tuhan kenapa dia nekat sekali. Kamu juga hati-hati ya Emily, kok Mama takut kamu kenapa-kenapa juga.” Mama Emily menggenggam tangan putrinya erat.Emily mengangguk meyakinkan mamanya untuk lebih hati-hati. Sejak percakapan tidak selesainya dengan Gallen mengenai pertemuannya dengan Batara, mereka berdua belum kembali bicara berdua karena keluarga Emily dan Giana berdatangan langsung. Giana sendiri tidak banyak bicara, hanya memperhatikan percakapan mereka semua di sofa ruangan Gallen dirawat.“Giana sini,” panggil Gallen saat keluarga Emily sudah kembali ke kediaman mereka karena sudah larut dan Gallen sendiri yang meminta mereka pulang untuk istirahat.“Ada apa Bang? Abang butuh sesuatu? Mau ke kamar mandi?” Giana sigap langsung bertanya begitu sudah di samping Gallen.“Kamu
Emily kaget saat seorang perawat masuk dan meminta izin mengganti pakaian Gallen serta membantunya ke kamar mandi. Padahal ia sedari tadi tidak ke mana-mana dan hanya duduk di sofa memainkan ponselnya.“Kenapa kamu panggil perawat padahal saya ada di sini?” Emily langsung bertanya begitu Gallen kembali berbaring dengan pakaian yang sudah ganti dan wajah lebih segar karena sudah ia basuh dengan air dingin.“Saya tidak mungkin minta kamu ke kamar mandi dan menunggui saya berganti baju sampai pakaian dalam bukan? Tentu kamu akan risih atau bisa jadi teriak histeris seperti saat di rumah itu.” Gallen menjawab dengan jujur.Emily seketika merona teringat kejadian mereka berpapasan dengan Gallen yang hanya mengenakan pakaian dalam. Ia berdecap keras untuk menutupi salah tingkahnya di hadapan Gallen.“Itu lain cerita, waktu itu saya kaget. Sekarang posisinya kamu sedang sakit dan itu gara-gara saya. Apa susahnya saya bantu gantikan kamu baju kan. Saya bisa memejamkan mata kalau kamu yan
“Gila memang dia, masa di rumah sakit berani menyerang begitu. Untung keamanan sini sigap sekali langsung di bawa ke kantor polisi.” Giana menggerutu panjang dengan menyaksikan Gallen yang sedang ditangani kembali infus yang terlepas.“Abang yang menyerang Giana, kamu bisa tolong diam? Abang pusing sekali kamu mengomel terus,” tegur Gallen.“Iya Bang maaf.” Giana langsung diam setelah Gallen menegur.Mereka berempat di ruangan Gallen terdiam sampai sang perawat selesai menangani Gallen. Syahdan menghela nafas panjang melihat bagaimana bengkaknya tangan kanan Gallen setelah kejadian.“Kamu pulang saja Syahdan, biar mereka berdua saya yang urus. Terima kasih ya sudah antar Giana ke makam.” Gallen mengucapkan terima kasih pada Syahdan yang sudah membantunya menemani sang adik.“Siap Bang, saya pulang dulu ya. Heh anak bandel jangan simpan macam-macam dalam tas kamu itu.” Syahdan menepuk kepala Giana sekali.“Itu aku beli karena kemarin lusa spion motor aku kendor, dari pada beli d
“Belum Sayang?” Suami Gracia baru datang setelah Emily masuk ruang operasi tiga puluh menit lalu. “Belum, baru setengah jam masuk.” Gracia menjawab dengan masih merangkul lengan mamanya yang sedari tadi terdiam dan Gracia tahu sang mama tiada memutuskan doanya untuk keselamatan Emily dan si kembar. Mereka berempat menunggu di luar pintu ruang operasi dengan jantung berdebar-debar. Sementara Gallen yang ikut ke dalam menemani proses kelahiran kedua putri mereka jauh lebih jantungan. Seluruh badannya dingin dan ada rasa ingin muntah namun ia tahan sekuat tenaga, bahkan serangan pusing akan dinginnya ruang operasi mampu membuat Gallen menggigil. Gallen berada di samping kepala istrinya memberikan pandangan menenangkan pada Emily walau isi hari dan kepalanya berkutat pada suara para tenaga medis yang meminta berbagai jenis alat bedah yang tidak Gallen pahami. “Sudah sampai mana?” tanya Emily pelan.Gallen terse
“Ada lagi enggak barang lainnya? Takutnya tertinggal.” Mama Emily bertanya kala Gallen memasukkan satu persatu perlengkapan untuk menemani Emily di rumah sakit. “Sepertinya sudah semua, Ma. Kalau memang ada yang kurang nanti aku akan ambil kembali. Mama naik duluan saja, aku akan bawa Emily.” Gallen membukakan pintu untuk sang mama agar naik ke mobil terlebih dahulu. Gallen kembali masuk ke dalam rumah di mana Emily duduk berdampingan dengan Giana dan Gracia. “Kita mau ke rumah sakit tapi kaya mau demo rame begini,” kelakar Emily. “Bagus dong Em, kita kan juga mau dampingi kamu biar deg-degannya dibagi-bagi,” jawab Gracia. “Deg-degan tapi juga excited, Kak.” Emily menerima uluran tangan Gallen yang berniat membantunya berdiri dari posisi duduk. “Ayo kita Bismillah sama-sama ya, Sayang.” Gracia mengecup kepala samping Emily dengan memegangi pinggang sang adik yang tampak kepa
“Ah ... selamat, aduh ya ampun ... aku mau punya keponakan?” Emily kembali berseru, menggeser badan mengimpit Gracia untuk memeluknya dari samping dengan bersemangat. “Kamu tahu sekali aku sangat bahagia, Em. Aku sudah bisa membayangkan anak-anak kita berlarian merebutkan neneknya.” Gracia kembali mengusap sudut matanya yang basah. Emily mengangguk, menyetujui perkataan kakaknya yang ia yakin benar. Si kembar dan sepupu mereka akan memperebutkan sang nenek kelak seperti mama mereka. “Berapa minggu tadi usianya? aku hanya baca bagian positif.” Emily merangkul bahu Gracia erat. “Enam minggu,” jawab suami Gracia. “Titip kakak aku yang cerewet ini ya Bang, awas kalau kenapa- kenapa.” Emili pura-pura mengancam dengan menyipitkan matanya ke arah suami Gracia. “Pasti dong Dek, mereka adalah hidup aku sekarang ini,” tukas suami Gracia. Emily memeluk sang kakak dengan
“Abang tanyanya seolah meremehkan begitu, aku enggak pernah pacaran sama sekali. Dari mana pernah ciuman. Dan kalaupun sudah pacaran belum tentu aku akan mau melakukan itu,” papar Giana. “Iya paham, kamu wanita baik-baik buka seperti aku yang banyak ceweknya di sana sini,” desah Prasetio. “Aku enggak mengungkit masalah itu, kenapa Abang malah seolah merendahkan diri sendiri seperti itu?” tuntut Giana. “Kita mau berantem masalah ciuman ini? bukankah kamu bilang kangen sama aku kemarin? Sekarang malah menanduk terus,” papar Prasetio. Giana menunduk kecil, diam. “Aku tidak meremehkan kamu yang belum pernah ciuman, bagus malah. Pergaulan kamu sangat baik dan sehat, dan aku enggak merendahkan diri karena bilang banyak cewek. Itu hanya sebagai pengingat untuk aku terus memperbaiki diri agar benar-benar layak disandingkan perempuan seterjaga kamu, Giana. Sumpah mati aku malu sama masa lalu aku pad
“Wuih ngeri sekali perut kamu Em, seperti mau meletus,” kelakar laki-laki berjaket kulit hitam. “Asem,” kekeh Emily. “You look so beautyfull, how are you?” Prasetio memberikan pelukan hangat pada Emily dengan pakaian rumahnya, daster. “Peres amat bilang cantik, sudah tahu sebesar ini badan aku. Kabar sehat Alhamdulillah, ada perlu di rumah atau bagaimana kok tiba-tiba balik Indonesia?” tanya Emily. “Ada yang minta aku pulang, kangen katanya,” kekeh Prasetio. Emily tersenyum paham kemudian terkekeh kecil sebelum mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah barunya yang belum sepenuhnya rapi karena baru tiga hari lalu mereka pindahan. “Lagi dijemput sama abangnya, duduk Tio. Sudah pulang ke rumah kan tapi?” tanya Emily. “Sudah, semalam menginap juga di rumah. Iya Giana sudah bilang, bagaimana perkembangan si kembar?” Prasetio menunjuk perut Emily dengan dagunya.
“Jangan terlalu stres ya Ibu, jangan sampai tekanan darahnya naik lagi kalau bisa. Pokoknya harus terus bahagia kalau ibu hamil itu dan selalu hati-hati.” Dokter berpesan pada Emily dan Gallen sebelum esok harinya diperbolehkan pulang. “Baik Dok, akan kami ingat.” Gallen dan Emily menjawab serentak. Gallen siap mendorong Emily yang duduk di kursi roda, sedangkan mama Emily dan Giana berdiri di samping keduanya denga tarikan nafas lega. “Kok kamu tiba-tiba punya darah tinggi si, Sayang?” tanya Mama Emily membelai kepala putrinya. “Ini Ma pelakunya yang buat aku tekanan darah tinggi terus, marahin Ma.” Emily menunjuk Gallen dengan wajah sengaja ia lipat-lipat secara dramatis. “Kamu yang buat anak Mama darah tinggi? Hah? dasar nakal kamu ya.” Mama dengan tertawa memukul lengan Gallen berkali-kali. “Pukul Ma pukul yang kencang, jewer kalau perlu.” Emily mengompori dengan bertepu
Gallen menghela nafas entah untuk ke berapa kali, menyaksikan istrinya yang masih bergeming tidur di sofa tanpa bantal semenjak satu jam lalu. “Ya susah maaf sudah merakit tanpa kamu lihat. Kamu mau aku bongkar lagi itu lemari sama tempat mandi?” Gallen membelai lengan istrinya lembut, duduk berdempetan dengan Emily dalam satu sofa.Emily menarik nafas panjang, ia sejak tadi sedang memikirkan mengapa ia berlebihan sekali marahnya. Tapi masih kesal juga karena Gallen membohonginya dengan mengatakan akan segera pulang menyusul ia dan Giana. Berniat membalikkan badan namun kesusahan karena terlalu sempit.Gallen cepat bangun dari sana dan membantu istrinya bangun pula dengan meringis kecil. Emily sering kesusahan saat bangun dari posisi tiduran, dan hal tersebut sering membuat Gallen takut jika tidak ada yang melihat dan membantu saat Emily hendak bangun.“Kamu tahu aku sangat menunggu momen ini,” lirih Emily.“Iya aku lupa, aku hanya berniat biar yang bes
Gallen tertawa kecil ketika menurunkan semua barang calon kedua putri mereka. Bukan hanya satu taksi seperti dugaan Emily, melainkan dua taksi dan semuanya penuh sesak. Ia yang paling banyak andil memilih barang. “Biar enggak repot pindahkan lagi ya, Bang?” tanya Giana. Gallen menurunkan semua belanjaan mereka di rumah baru yang baru akan ditempati bulan depan karena masih melengkapi barang-barangnya. Rumah yang ia dan Emily bangun dengan penuh kebahagiaan menyambut kedua putri mereka. Rumah yang dihadiahkan Gallen untuk Emily dan menolak dibantu dengan dalih ia memang sudah menabung untuk hal tersebut dari jauh hari. “Iya kita akan cicil untuk pindahan nanti, kalian pulang saja sana. Biar ini Abang rapikan dulu. Istirahat kamu, Emily.” Gallen mengangkat kardus besar berisi dua stroller dengan mudah. Rumah baru Gallen dan Emily tidak terlalu jauh dari rumah peninggalan orang tua Gallen. Hanya lima menit pa
“Bahagia sekali, Kak. Ada apa gerangan?” tanya Giana. “Tentu saja bahagia, hari ini abang kamu akhirnya bisa temani aku belanja kebutuhan si kembar. Abang kamu masih percaya ucapan orang tua dahulu, belum boleh beli-beli kalau belum tujuh bulan. Aku sampai menyimpan semua catatan setiap lihat yang lucu untuk dibeli. Kamu ikut yuk, bolos sehari. Aku kok merasa akan kesal belanja sama abang kamu saja.” Emily melepas tawa. “Hei bicarakan aku terus kamu ya.” Gallen datang dari dalam kamar mencubit pipi Emily pelan. “Memang iya kok, biarkan Giana ikut ya,” pinta Emily. “Iya boleh, Giana yang akan dorong kursi roda kamu dan aku dorong belanjaan karena aku yakin kita bukan mau belanja tapi mau merampok peralatan bayi,” desah Gallen. “Aku enggak mau pakai kursi roda aku bilang, aku sehat dan jalan itu menyehatkan,” tolak Emily. “Menyehatkan itu 20-30 menit, kamu yakin tidak kurang d