Share

Adik Ipar

Emily mengerutkan kening saat melihat Gallen dan Giana duduk bersebelahan pada sebuah cofe shop baru di pusat Ibu Kota.

“Sorry Giana ikut karena tadi dia minta jemput pulang kampus. Katanya hanya akan ikut kita makan.” Gallen menjelaskan tatap tanya Emily.

“Enggak apa-apa.” Emily memilih duduk di hadapan Gallen menyaksikan Giana tidak perduli dengan kedatangannya, asyik dengan piring berisi dua potong sandwich tuna tanpa sayuran.

“Giana,” tegur Gallen pada sang adik yang acuh pada kedatangan kakak iparnya.

Giana mengangkat kepalanya dengan dengus kecil, melambaikan tangan sesaat pada Emily dan kembali menekuri isi piringnya dengan sebelah tangan memegang ponsel.

“Kamu mau pesan apa? sudah makan?” Gallen menyodorkan daftar menu pada Emily yang sudah duduk dan meletakan tas di kursi kosong sampingnya.

Emily menerima daftar menu dan membaca sesaat sebelum memanggil waiters dan mengatakan ia pesan salad sayur dan buah dengan jus mangga. Mendengar pesanan Emily, Giana kembali mendengus tidak kentara. Namun jelas Emily melihat hal tersebut. 

“Sudah makan berat? Hanya salad?” tanya Gallen.

“Tidak terlalu lapar, saya memang suka sayur dan buah. Sehat.” Emily mengatakan kata sehat dengan penuh penekanan dan lirikan pada Giana yang rupanya sudah memandangnya dengan tatap datar.

Setelah pesanan Emily datang, Gallen menarik air mineral miliknya dan ia geser ke arah Giana yang gelasnya sudah kosong. Setiap gerak-gerik kakak adik di depannya tidak luput dari pandangan Emily.

“Saya mau mengatakan sesuatu yang mungkin akan buat kamu kaget. Terus terang saja saya sangat mampu membeli rumah atau setidaknya Apartemen. Tapi papa dan mama melarang kami berdua memiliki itu karena ingin tetap tinggal bersama kedua putrinya sampai kami meninggalkan rumah karena kami sudah menikah.” Emily mengatakannya setelah ia terdiam lama dan sedikit ragu untuk memulai bicara.

Gallen mengangguk mengerti, ia paham mengenai hal tersebut karena ia juga melarang sang adik tinggal tidak bersamanya sebelum ada yang meminangnya.

“Jadi saya diminta mama untuk bilang sama kamu .... “

Gallen masih menunggu kelanjutan dari perkataan Emily, namun hanya sampai sana saja. Tidak ada kelanjutannya. Emily tampak sangat berat untuk melanjutkan, lebih memilih meminum jusnya dalam diam.

“Emily, tidak dilanjutkan?” tanya Gallen.

“Emily ingin tinggal sama Abang,” celetuk Giana dengan nada malas.

“Benar seperti itu Emily?” tegas Gallen.

Emily mendesah panjang. “Saya sungguh hanya menuruti keinginan mama, kata mama apa pun alasan pernikahan kita. Kamu tetap sudah mengucap janji di hadapan papa.”

“Iya saya paham. Tapi jika kamu merasa keberatan untuk wacana tinggal bersama, tidak apa-apa. Kamu saya bolehkan tinggal tetap dengan mama kamu. Tidak masalah kok,” jawab Gallen.

Emily kembali terdiam mengaduk aduk salad di hadapannya. Tidak lagi bersuara, kepalanya terlalu penuh saat ini. Hari ini adalah perdana untuknya keluar rumah semenjak kepergian papanya.

“Abang bagi uang boleh, aku mau jajan saja atau beli jepit rambut. Sepertinya Emily tidak bisa bicara karena ada aku.” Giana langsung bersuara melihat kedua orang yang jauh lebih dewasa darinya justru adu diam-diaman.

“Uang kamu habis?” Walau mulutnya bertanya demikian, namun Gallen tetap mengeluarkan dompet dan memberikan beberapa lembar uang berwarna biru dan merah pada sang adik.

“Masih ada sih Bang, alasan aku saja minta uang sama Abang,” kekeh Giana.

“Dasar, jangan jauh-jauh. Abang enggak mau menunggu ya kalau kita mau pulang dan kamu masih belanja,” gumam Gallen.

Giana mengangguk dan mendaratkan kecupan kecil pada pipi kanan Gallen.

“Astaga anak itu.” Gallen menggelengkan kepala menyaksikan kepergian adiknya.

“Giana semester berapa?” Suara Emily memecah keterdiaman mereka berdua.

Gallen menoleh pada Emily. “ Semester empat, maaf ya jika sikapnya ya seperti bocah begitu. Dia sebetulnya tahu sopan santun kok, entah mengapa tiba-tiba seperti itu.”

“Giana sedikit membenci saya, saya rasa. Tidak apa-apa saya sangat mengerti alasannya tidak menyukai saya.” Emily segera melanjutkan perkataannya ketika melihat Gallen hendak menyela.

“Sikap Giana masih tergolong sangat wajar, dulu bahkan saya sangat tidak suka dengan almarhum kakak ipar saya.” Emily mengutarakan salah satu kenangannya dengan sang kakak ipar yang tidak berusia panjang.

“Kenapa memangnya?” Gallen mengerutkan kening dengan rasa ingin tahunya.

“Karena merebut kasih sayang kak Grace sama saya, childies sekali bukan. Mungkin Giana juga memiliki perasaan seperti itu.” Emily mengangkat bahunya samar.

“Dia anak yang sangat mandiri terlepas mungkin punya perasaan seperti yang kamu sebutkan. Ok kita balik pada tujuan utama kita bicara, benar kamu mau tinggal dengan saya? saya tinggal sama Giana tapi. Kalian tidak akan saling menjambak bukan saat saya tidak di rumah?” Gallen bersandar pada kursinya.

“Kamu menuduh saya akan menjambak adik kamu saat kamu tidak ada?” Emily berseru dengan mata membelalak lebar.

Gallen berdecap kecil, mengisyaratkan bukan seperti itu maksud perkataannya.

“Walau Giana badannya kecil seperti itu, saya yakin dia tidak akan tinggal diam jika kamu jambak.” Gallen menyulut apinya sekalian saat Emily menuangkan minyak pada percakapan mereka.

Emily menarik kedua ujung bibir kecil, teramat kecil sampai Gallen mengira ia hanya berhalusinasi melihat Emily tersenyum padanya. Untuk sepersekian detik Gallen ikut terpana.

“Silakan saja jika kamu berkenan tinggal sama kita. Ada tiga kamar tamu di rumah kami. Tapi jangan kaget ya, rumah kami jelas sangat jauh berbeda dengan kediaman kamu. Kami tinggal tidak di perumahan elite seperti kamu, tidak semewah rumah kamu juga. Hanya memiliki satu lantai dan .... “

“Saya bukan mau tinggal selamanya di sana juga,” dengus Emily tidak ia tutup-tutupi.

Perkataan tiba-tiba Emily membuat Gallen tersentak sesaat dan menganggukkan kepala tanpa mengatakan apa-apa lagi. Hal tersebut mengusik Emily sedikit banyak, ia baru sadar perkataannya mungkin menyinggung Gallen padahal Gallen sudah begitu baik menghadapi semua emosinya.

Akan tetapi walau Emily tahu perkataannya membuat suasana mereka menjadi seperti di kuburan, Emily enggan mengoreksi dan meminta maaf. Karena benar adanya, ia hanya akan tinggal sementara di rumah Gallen.

Keesokan harinya Gallen menjemput Emily untuk membawa dua koper pakaiannya. Gallen tidak mengatakan banyak hal saat menjemput Emily, hanya berpamitan pada mama dan kakak Emily serta memberikan alamat lengkapnya jika sewaktu-waktu mereka ingin datang berkunjung.

“Kamu boleh menempati kamar yang mana saja, itu berdempetan tiga kamar tamunya. Semua ukurannya sama, sudah dibersihkan juga. Kami punya Mbak tapi hanya datang pagi pulang petang dan hanya tiga kali satu minggu. Karena di jadwal itu Giana kuliahnya siang, dia yang minta seperti itu. Jika kamu butuh Mbak setiap hari, maka aku akan minta beliau menginap saja selama kamu ada di sini.” Gallen mempersilakan Emily memilih kamar yang mana saja.

“Tidak perlu, saya akan mengikuti peraturan pemilik rumah. Oh iya ada yang belum saya katakan, kenapa ada mutasi pengiriman atas nama kamu dengan nominal sepuluh juta?” Emily teringat tiba-tiba menerima pesan sebuah transfer uang atas nama Gallen Alejandro Munaf.

“Loh kamu lupa kalau itu uang nafkah dari aku,” terang Gallen.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status