“Pernah ... sering dulu pas awal-awal. Yang paling parah menurut saya adalah saat kami salah pesan bunga seharga lima belas juta. Di sini bukan masalah di uang, tapi baby pink yang di minta keluarga perempuan kami pesankan dengan warna pink tua. Pemesanan bunga tidak bisa sekali panggil mereka menyediakan. Karena bunga asli lebih susah pesannya, waktu tidak memungkinkan untuk mencari penggantinya jadi kamu tahu tidak ... ya Tuhan ini sungguh pekerjaan paling menguras kesabaran. Saya panggil dua puluh anak SMA teman Giana, untuk membantu mewarnai satu persatu kelopak bunga dengan warna baby pink. Itu bunga satu truk besar Emily ... kami bertiga puluh semalam suntuk mewarnai kelopak bunga. Saya izin sama orang tua mereka tentu saja, untungnya mereka sedang libur semester.” Gallen sudah duduk bersandar kepala ranjang setelah Emily bantu duduk. “Astaga ... saya enggak bisa membayangkan. Apa keluarga mempelai tidak keberatan?” Emily sangat tertarik dengan cer
Gallen berdehem sekali untuk menutupi kegugupannya, setelah mereka diam beberapa lama agar pusingnya berkurang. Kini Emily memapahnya menuju bangkar dan membantunya berbaring.“Celana kamu basah, saya bantu ganti ya. Kamu pusing dari dalam kamar mandi ya?” Emily cekatan membuka lemari di samping ranjang untuk mengambil pakaian ganti Gallen.“Biarkan saja hanya sedikit basah tadi,” ujar Gallen.“Saya tidak akan menyentuh yang tidak seharusnya disentuh tenang saja. Kamu digantikan suster mau, kenapa sama saya enggak mau?” sindir Emily telak.“Takutnya kamu yang risih. Bagaimanapun saya laki-laki dan kamu perempuan.” Gallen menjawab pasrah akhirnya kala Emily membentangkan selimut hingga dadanya sebelum menarik turun celana pasien Gallen tanpa membuatnya terbuka. Emily tersenyum kecil mendengarnya, tangannya cekatan memakaikan Gallen celana bersih sebelum kembali menurunkan selimutnya. Gallen tidak betah pakai selimut selama Emily di sampinya jarang melihat Gallen berselimut lama.
Emily berdehem dengan mengalihkan pandangannya dari manik mata Gallen, ia tidak menyangka akan mendapat serangan telak dari Gallen akan alasan mengapa Gallen sangat tidak suka bersentuhan dengan wanita walau dalam konteks tidak sengaja.“Tidak pernah pacaran?” tanya Emily setelah mengatasi kegugupannya.“Pernah beberapa kali, tapi karena saya ... aku maksudnya ... selalu sibuk dengan pekerjaan jadi mungkin mereka kesal, bosan, akhirnya meminta menyudahi hubungan.” Gallen memutar badannya agar tidak berhadapan dengan Emily yang masih setia memandangnya lekat.“Pacarannya syar’i?” Emily masih penasaran bagaimana interaksi Gallen dengan para kekasihnya dahulu.“Pacaran Syar’i itu seperti apa? pacaran saja sudah dosa, kok ada Syar’inya.” Gallen geli mendengar pertanyaan Emily.Emily berdecap menepuk Gallen kesal. “Maksudnya hanya jalan jejeran terus mengobrol saja begitu?”“Memang ada hal lain yang harus dilakukan selama masa pacaran? kamu seperti itu? melakukan sesuatu yang belum w
“Terima kasih, selamat bekerja.” Emily mengucapkannya setelah hampir sepuluh menit sisa perjalanan mereka di warnai keheningan, Giana terlebih dulu turun karena lokasi kampusnya yang paling dekat dengan rumah.“Emily,” tahan Gallen.“Iya?” Emily menoleh pada Gallen yang menahan lengan berbalut blazer mocca.“Sorry untuk yang semalam, aku ... tidak ada maksud berbuat asusila tapi .... ““Iya aku tahu, bukan hanya kamu saja yang melakukannya. Jangan dibahas lagi tolong, aku malu sumpah,” kekeh Emily menutupi salah tingkahnya.Gallen mengangguk menyetujui. “Tapi kalau kamu mau pertanggung jawaban, aku akan tanggung jawab sungguh.”“Aku enggak hamil astaga apa yang harus dipertanggung jawabkan. Kita sama-sama tidak ada paksaan jadi stop bahas mengenai ciuman di dapur. Sudah ya aku harus masuk kantor.” Emily tidak menunggu jawaban dari Gallen dan langsung keluar dari dalam mobil yang tiba-tiba terasa panas.Emily berusaha melupakan kejadian di dapur agar bisa fokus bekerja, tidak ad
“Keterlaluan,” geram Gallen setelah mendengarkan penjelasan panjang Emily.“Iya keterlaluan sekali memang, kalau sampai aku kelepasan membalas sudah pasti akan mendapat laporan tindakan tidak menyenangkan. Kenal sekali aku mamanya Batara,” desah Emily.Gallen menyugar rambutnya. “Sungguh keluarga yang tidak mau mengakui kesalahan, astaga semoga aku dijauhkan dari sifat seperti itu. Yakin baik-baik saja?”Emily mengangguk kecil dengan segaris senyuman meyakinkan laki-laki di hadapannya.“Aku bisa mengatasinya, tidak akan tinggal diam misal dapat perlakuan kasar lagi.” Emily meyakinkan kembali saat melihat Gallen belum juga percaya.“Kamu bisa bilang sama aku jika terjadi hal sama, ya sudah aku kembali ke Gayana saja. Takutnya mengganggu kamu yang akan melanjutkan pekerjaan. Mau di jemput atau bagaimana nanti pulangnya?” Gallen membawa kembali semua sampah sisa makan mereka, walau Emily sudah melarangnya dan akan di rapikan OB.Emily mengangguk. “Iya, aku akan pulang sama kak Grace
“Astaga,” umpat Emily setelah menguasai kekagetannya.“Kenapa mesti sembunyi di balik selimut?” Gallen yang sudah kembali mendekati ranjang menarik turun selimut yang menutupi seluruh tubuh Emily hingga ujung kepala.“Stop it,” tahan Emily pada selimutnya yang di tarik turun oleh Gallen.“Astaga Gallen!” Emily berseru sebal dan penuh rasa malu langsung bangun dari pura-pura tidurnya. Emily menatap tajam Gallen yang sudah duduk di sampingnya dengan senyuman kecil, wajahnya merah karena malu ketahuan pura-pura tidur. Padahal ia lakukan hal itu agar tidak membangunkan Gallen dan membuat sang laki-laki malu.“Kenapa pura-pura tidur?” Gallen menaikkan tali bahu Emily yang melorot dan membuatnya kembali melihat dada terbuka sang gadis.“Aku enggak ingin buat kamu malu pas bangun dan kita ... jadi ya sudah aku tunggu kamu bangun,” aku Emily tanpa menatap mata Gallen saat menyadari ia mengenakan pakaian terbuka.“Oh ... terima kasih sudah memikirkan itu. Aku pikir kamu mau mengerjai
Emily mengurai pelukan sang kakak yang setelah mendengarnya mendapat tamparan dari mama Batara langsung menghubungi kepala keamanan gedung untuk tidak membiarkan satu orangpun dari keluarga Batara menginjak gedung kantor.“Laporkan saja ya Em, ada bukti juga dari cctv. Mereka harus bertanggung jawab, kaya manusia enggak beradap saja main pukul anak orang,” geram Gracia sangat tidak terima dengan perlakuan mantan calon mama mertua Emily.“Biarkan saja, Kak. Aku sangat malas dan lelah menghadapi mereka. Tidak sampai terluka juga akunya, untung aku belum jadi menantunya. Baru tahu jika dia membela anaknya sebesar itu padahal tahu jelas Batara salah.” Emily meremas tangan Gracia, meyakinkan sang kakak yang masih berwajah kesal.“Aku juga sudah minta keamanan rumah untuk menolak siapapun tamu tanpa seizin aku. Terkecuali Gallen dan Giana, aku sedikit parno juga meninggalkan mama sendirian selama kita bekerja.” Gracia membelai paras cantik sang adik lembut.“Mama belum stabil seperti k
“Kamu sudah hubungi Gallen, Giana? Semalaman dia enggak pulang, menginap di mana dia?” berondong Emily pada Giana yang baru keluar dari kamar dengan celana pendek.Giana meringis kecil. “Kak Em mau berangkat kerja ya. Mau menerobos lewat jendela samping? Satu-satunya jendela yang teralisnya bisa di buka.”“Bukan masalah mau berangkat kerja, aku bisa absen hari ini. Tapi takutnya Gallen kenapa-kenapa di luar.” Emily memegang cangkir coklatnya dengan sebelah tangan.“Mudah-mudahan enggak Kak, mungkin menginap di Gayana atau hotel mana buat menenangkan diri. Semua kunci duplikat juga dibawa, memang sengaja mengurung kita sepertinya. Pasti hari ini pulang Kak, soalnya besok Abang ada jadwal dekor acara lamaran temannya.” Giana menerima cangkir yang diulurkan Emily.“Kamu tahu semua jadwal dia?” tanya Emily.“Aku yang susun,” jawab Giana.“Oh ya?” Emily kaget jadwal padat Gallen ternyata adiknya yang menyusun.“Abang yang minta, katanya ia ingin ada yang mengingatkan biar enggak ada
“Belum Sayang?” Suami Gracia baru datang setelah Emily masuk ruang operasi tiga puluh menit lalu. “Belum, baru setengah jam masuk.” Gracia menjawab dengan masih merangkul lengan mamanya yang sedari tadi terdiam dan Gracia tahu sang mama tiada memutuskan doanya untuk keselamatan Emily dan si kembar. Mereka berempat menunggu di luar pintu ruang operasi dengan jantung berdebar-debar. Sementara Gallen yang ikut ke dalam menemani proses kelahiran kedua putri mereka jauh lebih jantungan. Seluruh badannya dingin dan ada rasa ingin muntah namun ia tahan sekuat tenaga, bahkan serangan pusing akan dinginnya ruang operasi mampu membuat Gallen menggigil. Gallen berada di samping kepala istrinya memberikan pandangan menenangkan pada Emily walau isi hari dan kepalanya berkutat pada suara para tenaga medis yang meminta berbagai jenis alat bedah yang tidak Gallen pahami. “Sudah sampai mana?” tanya Emily pelan.Gallen terse
“Ada lagi enggak barang lainnya? Takutnya tertinggal.” Mama Emily bertanya kala Gallen memasukkan satu persatu perlengkapan untuk menemani Emily di rumah sakit. “Sepertinya sudah semua, Ma. Kalau memang ada yang kurang nanti aku akan ambil kembali. Mama naik duluan saja, aku akan bawa Emily.” Gallen membukakan pintu untuk sang mama agar naik ke mobil terlebih dahulu. Gallen kembali masuk ke dalam rumah di mana Emily duduk berdampingan dengan Giana dan Gracia. “Kita mau ke rumah sakit tapi kaya mau demo rame begini,” kelakar Emily. “Bagus dong Em, kita kan juga mau dampingi kamu biar deg-degannya dibagi-bagi,” jawab Gracia. “Deg-degan tapi juga excited, Kak.” Emily menerima uluran tangan Gallen yang berniat membantunya berdiri dari posisi duduk. “Ayo kita Bismillah sama-sama ya, Sayang.” Gracia mengecup kepala samping Emily dengan memegangi pinggang sang adik yang tampak kepa
“Ah ... selamat, aduh ya ampun ... aku mau punya keponakan?” Emily kembali berseru, menggeser badan mengimpit Gracia untuk memeluknya dari samping dengan bersemangat. “Kamu tahu sekali aku sangat bahagia, Em. Aku sudah bisa membayangkan anak-anak kita berlarian merebutkan neneknya.” Gracia kembali mengusap sudut matanya yang basah. Emily mengangguk, menyetujui perkataan kakaknya yang ia yakin benar. Si kembar dan sepupu mereka akan memperebutkan sang nenek kelak seperti mama mereka. “Berapa minggu tadi usianya? aku hanya baca bagian positif.” Emily merangkul bahu Gracia erat. “Enam minggu,” jawab suami Gracia. “Titip kakak aku yang cerewet ini ya Bang, awas kalau kenapa- kenapa.” Emili pura-pura mengancam dengan menyipitkan matanya ke arah suami Gracia. “Pasti dong Dek, mereka adalah hidup aku sekarang ini,” tukas suami Gracia. Emily memeluk sang kakak dengan
“Abang tanyanya seolah meremehkan begitu, aku enggak pernah pacaran sama sekali. Dari mana pernah ciuman. Dan kalaupun sudah pacaran belum tentu aku akan mau melakukan itu,” papar Giana. “Iya paham, kamu wanita baik-baik buka seperti aku yang banyak ceweknya di sana sini,” desah Prasetio. “Aku enggak mengungkit masalah itu, kenapa Abang malah seolah merendahkan diri sendiri seperti itu?” tuntut Giana. “Kita mau berantem masalah ciuman ini? bukankah kamu bilang kangen sama aku kemarin? Sekarang malah menanduk terus,” papar Prasetio. Giana menunduk kecil, diam. “Aku tidak meremehkan kamu yang belum pernah ciuman, bagus malah. Pergaulan kamu sangat baik dan sehat, dan aku enggak merendahkan diri karena bilang banyak cewek. Itu hanya sebagai pengingat untuk aku terus memperbaiki diri agar benar-benar layak disandingkan perempuan seterjaga kamu, Giana. Sumpah mati aku malu sama masa lalu aku pad
“Wuih ngeri sekali perut kamu Em, seperti mau meletus,” kelakar laki-laki berjaket kulit hitam. “Asem,” kekeh Emily. “You look so beautyfull, how are you?” Prasetio memberikan pelukan hangat pada Emily dengan pakaian rumahnya, daster. “Peres amat bilang cantik, sudah tahu sebesar ini badan aku. Kabar sehat Alhamdulillah, ada perlu di rumah atau bagaimana kok tiba-tiba balik Indonesia?” tanya Emily. “Ada yang minta aku pulang, kangen katanya,” kekeh Prasetio. Emily tersenyum paham kemudian terkekeh kecil sebelum mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah barunya yang belum sepenuhnya rapi karena baru tiga hari lalu mereka pindahan. “Lagi dijemput sama abangnya, duduk Tio. Sudah pulang ke rumah kan tapi?” tanya Emily. “Sudah, semalam menginap juga di rumah. Iya Giana sudah bilang, bagaimana perkembangan si kembar?” Prasetio menunjuk perut Emily dengan dagunya.
“Jangan terlalu stres ya Ibu, jangan sampai tekanan darahnya naik lagi kalau bisa. Pokoknya harus terus bahagia kalau ibu hamil itu dan selalu hati-hati.” Dokter berpesan pada Emily dan Gallen sebelum esok harinya diperbolehkan pulang. “Baik Dok, akan kami ingat.” Gallen dan Emily menjawab serentak. Gallen siap mendorong Emily yang duduk di kursi roda, sedangkan mama Emily dan Giana berdiri di samping keduanya denga tarikan nafas lega. “Kok kamu tiba-tiba punya darah tinggi si, Sayang?” tanya Mama Emily membelai kepala putrinya. “Ini Ma pelakunya yang buat aku tekanan darah tinggi terus, marahin Ma.” Emily menunjuk Gallen dengan wajah sengaja ia lipat-lipat secara dramatis. “Kamu yang buat anak Mama darah tinggi? Hah? dasar nakal kamu ya.” Mama dengan tertawa memukul lengan Gallen berkali-kali. “Pukul Ma pukul yang kencang, jewer kalau perlu.” Emily mengompori dengan bertepu
Gallen menghela nafas entah untuk ke berapa kali, menyaksikan istrinya yang masih bergeming tidur di sofa tanpa bantal semenjak satu jam lalu. “Ya susah maaf sudah merakit tanpa kamu lihat. Kamu mau aku bongkar lagi itu lemari sama tempat mandi?” Gallen membelai lengan istrinya lembut, duduk berdempetan dengan Emily dalam satu sofa.Emily menarik nafas panjang, ia sejak tadi sedang memikirkan mengapa ia berlebihan sekali marahnya. Tapi masih kesal juga karena Gallen membohonginya dengan mengatakan akan segera pulang menyusul ia dan Giana. Berniat membalikkan badan namun kesusahan karena terlalu sempit.Gallen cepat bangun dari sana dan membantu istrinya bangun pula dengan meringis kecil. Emily sering kesusahan saat bangun dari posisi tiduran, dan hal tersebut sering membuat Gallen takut jika tidak ada yang melihat dan membantu saat Emily hendak bangun.“Kamu tahu aku sangat menunggu momen ini,” lirih Emily.“Iya aku lupa, aku hanya berniat biar yang bes
Gallen tertawa kecil ketika menurunkan semua barang calon kedua putri mereka. Bukan hanya satu taksi seperti dugaan Emily, melainkan dua taksi dan semuanya penuh sesak. Ia yang paling banyak andil memilih barang. “Biar enggak repot pindahkan lagi ya, Bang?” tanya Giana. Gallen menurunkan semua belanjaan mereka di rumah baru yang baru akan ditempati bulan depan karena masih melengkapi barang-barangnya. Rumah yang ia dan Emily bangun dengan penuh kebahagiaan menyambut kedua putri mereka. Rumah yang dihadiahkan Gallen untuk Emily dan menolak dibantu dengan dalih ia memang sudah menabung untuk hal tersebut dari jauh hari. “Iya kita akan cicil untuk pindahan nanti, kalian pulang saja sana. Biar ini Abang rapikan dulu. Istirahat kamu, Emily.” Gallen mengangkat kardus besar berisi dua stroller dengan mudah. Rumah baru Gallen dan Emily tidak terlalu jauh dari rumah peninggalan orang tua Gallen. Hanya lima menit pa
“Bahagia sekali, Kak. Ada apa gerangan?” tanya Giana. “Tentu saja bahagia, hari ini abang kamu akhirnya bisa temani aku belanja kebutuhan si kembar. Abang kamu masih percaya ucapan orang tua dahulu, belum boleh beli-beli kalau belum tujuh bulan. Aku sampai menyimpan semua catatan setiap lihat yang lucu untuk dibeli. Kamu ikut yuk, bolos sehari. Aku kok merasa akan kesal belanja sama abang kamu saja.” Emily melepas tawa. “Hei bicarakan aku terus kamu ya.” Gallen datang dari dalam kamar mencubit pipi Emily pelan. “Memang iya kok, biarkan Giana ikut ya,” pinta Emily. “Iya boleh, Giana yang akan dorong kursi roda kamu dan aku dorong belanjaan karena aku yakin kita bukan mau belanja tapi mau merampok peralatan bayi,” desah Gallen. “Aku enggak mau pakai kursi roda aku bilang, aku sehat dan jalan itu menyehatkan,” tolak Emily. “Menyehatkan itu 20-30 menit, kamu yakin tidak kurang d