“Kamu sudah hubungi Gallen, Giana? Semalaman dia enggak pulang, menginap di mana dia?” berondong Emily pada Giana yang baru keluar dari kamar dengan celana pendek.Giana meringis kecil. “Kak Em mau berangkat kerja ya. Mau menerobos lewat jendela samping? Satu-satunya jendela yang teralisnya bisa di buka.”“Bukan masalah mau berangkat kerja, aku bisa absen hari ini. Tapi takutnya Gallen kenapa-kenapa di luar.” Emily memegang cangkir coklatnya dengan sebelah tangan.“Mudah-mudahan enggak Kak, mungkin menginap di Gayana atau hotel mana buat menenangkan diri. Semua kunci duplikat juga dibawa, memang sengaja mengurung kita sepertinya. Pasti hari ini pulang Kak, soalnya besok Abang ada jadwal dekor acara lamaran temannya.” Giana menerima cangkir yang diulurkan Emily.“Kamu tahu semua jadwal dia?” tanya Emily.“Aku yang susun,” jawab Giana.“Oh ya?” Emily kaget jadwal padat Gallen ternyata adiknya yang menyusun.“Abang yang minta, katanya ia ingin ada yang mengingatkan biar enggak ada
“Lagian kamu mau apa bawa pisau lipat Giana? Cukup semprotan cabai. Kamu bisa kena tuntutan kalau seperti itu, mengancam orang dengan pisau walaupun tujuannya melindungi diri. Gallen katanya sedang mengurus, ya sudah hati-hati lain kali.” Emily mematikan panggilan dan mendesah panjang kemudian menyeringai pada Gracia yang memicingkan mata di ambang pintu ruang kantornya.“Kamu dekat dengan Giana?” tanya Gracia.“Enggak bisa dibilang dekat juga Kak, kami punya masalah cukup serius karena sama-sama enggak suka.” Emily mengawali cerita panjangnya mengenai Giana.“’Pantas ... orang sifatnya sama kaya kamu,” kekeh Gracia setelah mendengarkan penjelasan panjang sang adik.“Tapi dia sangat pedas sekali kalau bicara Kak, ampun anak gadis terlalu berani kaya dia berbahaya juga. Kemarin baru dibuntuti keponakan Batara dan di senggol motornya, orang lain mungkin akan ketakutan. Lah dia malah mengeluarkan pisau lipat, gila enggak itu. Sampai Gallen marahnya luar biasa sama Giana.” Emily meng
“Emily? Kamu sedang apa di kamar aku?” Gallen bangun dari tidurnya untuk duduk, saat sesuatu terjatuh dari keningnya dan ia ambil barulah ia menyadari jika Emily mengompresnya saat ia demam.Emily mendesah dan bangun dari duduknya untuk menyentuh kembali kening Gallen.“Sudah turun tapi masih hangat, aku pesankan bubur karena aku enggak bisa buat dan maaf tadi Giana telepon kamu tapi aku yang angkat. Katanya dia pulang terlambat karena mau main di rumah Diana dan kamu kenal.” Emily memutar tubuh setelah Gallen mengangguk untuk mengambilkan Gallen makanan yang satu jam lalu ia pesan.Emily masuk ke dalam kamar Gallen kembali dengan nampan berisi mangkuk bubur yang masih mengepulkan asap karena ia hangatkan kembali. Bersanding segelas air putih dan sebutir obat penurun panas kembali.“Terima kasih.” Gallen berkata pelan dengan menerima mangkuk dari Emily yang mengangguk dengan senyuman tipis.“Aku bisa makan di ruang makan padahal, hanya demam,” ujar Gallen.“Kamu jalan saja tadi
Gallen mengenakan seragam beskap lengkap kain batik Trusmi saat menjadi petugas WO pada salah satu acara resepsi salah satu kliennya di sebuah gedung hotel mewah. Sudah satu minggu terakhir ia fokus untuk acara tersebut.“Pak Gallen bunga untuk mempelai resepsi Bapak yang simpan?” Salah seorang staf Gayana berkebaya hitam menghampiri Gallen untuk menanyakan bunga yang akan dipegang mempelai wanita saat resepsi nanti setelah akad.“Loh bukannya sudah masuk kamar rias bareng make up dan baju pengantin? Sudah di cari belum?” Gallen langsung menghidupkan penghubung dengan semua staf WO dan bertanya pada mereka semua siapa yang memasuki kamar rias dan membawa peralatan pengantin ke sana.Setelah memastikan tidak ada yang bisa menemukan sedangkan acara resepsi dua jam lagi, Gallen langsung mengambil keputusan untuk segera mengambil buket pengantin yang sudah walau bukan bunga asli seperti yang sudah Gayana buatkan sebelumnya. Rencana terakhir saat ia menghubungi pihak perangkai apakah b
“Aku mau tanya hal sedikit sensitif, bisa tolong kamu jawab dengan jujur, Emily?” Gallen melakukan panggilan video call untuk pertama kali pada Emily sepanjang ia mengenal Emily.Di ruangan kantornya Emily kaget sampai mendiamkan terlebih dahulu panggilan video Gallen sampai pada panggilan kedua bari Emily yakin Gallen tidak salah melakukan panggilan padanya.“Boleh, mau tanya apa itu?” Emily memperhatikan wajah datar laki-laki di seberang panggilan.“Mengenai uang pembayaran pernikahan kamu sama Batara, itu uang kalian berdua atau perorangan punya Batara semua? Terus pengembalian yang Gayana berikan 50% itu masuknya ke kamu apa ke Batara?” Gallen serius bertanya karena sudah masuk ke ranah hukum.Emily diam beberapa saat. “Untuk WO kami bagi dua sama, untuk pakaian pengantin sepenuhnya dari papa. Dan pengembalian dari Gayana, belum pernah aku tanyakan sama kak Gracia. Karena aku sama sekali tidak memikirkan hal itu sejak pernikahan aku gagal. Ada apa?”“Gayana dan aku pribadi me
Emily harusnya segera meninggalkan pintu dan memutar badan masuk kembali ke dalam rumah, bukan justru diam di balik pintu yang terbuka dan menguping.“Entahlah Mel, aku tidak bisa menjelaskannya. Yang pasti aku sungguh tidak bisa ke tempat kamu saat ini. Gayana juga sedang ada sedikit masalah, tidak mungkin aku tinggalkan. Titip salam saja ya sama om dan tante, belum bisa jenguk lagi.” Gallen menyugar rambutnya dengan desah panjang setelah mengakhiri panggilannya.Sementara Emily baru memutar badan untuk kembali ke dalam rumah dan saat wajahnya berpapasan dengan Giana yang ternyata berdiri di belakangnya entah sedari kapan.“Astaga Giana!” jerit Emily sampai mundur badannya dan menubruk daun pintu yang terbuka lebar.“Kalian sedang apa di sini?” Gallen sudah berdiri di ambang pintu begitu mendengar debum pintu dan jeritan kencang Emily.“Kak Emily enggak tahu sedang apa, aku mau panggil Abang buat makan malam.” Giana menahan senyumnya dengan pandangan tertuju pada Emily.“Kamu
“Kamu ini keras kepala memang,” geram Gracia saat menerima panggilan dari Emily dan mengatakan ia sedang menuju kediaman Batara.“Aku harus bilang Kak, gatal rasanya kalau hanya diam sedangkan ini sebetulnya masalah aku sama Batara.“Kalau kamu di apa-apakah bagaimana?” tanya Gracia sarat kecemasan.“Aku akan menghubungkan terus panggilan sama kakak, jadi kakak bisa rekam sebagai bukti jika terjadi sesuatu. Beliau orang tua mau sekuat apa menyerang aku, semoga hanya maki-maki saja.” Emily memutar kemudi menuju gerbang perumahan rumah orang tua Batara.Gallen sendiri sudah memenuhi panggilan kepolisian untuk memberikan keterangan lebih lanjut bersama pengacaranya. Setelah memenuhi panggilan, ia ingin mengajak Emily makan siang untuk membahas progres hasil ia menjalani pemeriksaan. Namun nomor Emily selalu berada di panggilan lain. Menghubungi Gracia juga sama, matanya melebar saat ia mendapat sebuah pesan dari Gracia menggunakan nomor lain bahwa Emily tengah berada di kediaman Bat
“Emily belum keluar kamar?” tanya Gallen pada Giana di meja makan saat pagi hari.“Sepertinya belum,” jawab Giana.Penuturan Emily mengenai pencabutan tuntutan dari mama Batara terbukti pada keesokan harinya. Sejak itu, Gallen tidak lagi meragukan Emily. Emily bisa menjaga dirinya dengan baik. Peristiwa itu sudah terlewati satu bulan lalu, seminggu lagi genap seratus hari kepergian papa Emily. Emily memikirkannya sejak beberapa hari lalu, mengenai perjanjiannya dengan Gallen tentang hubungan mereka berdua.“Aku baru mau mengetuk pintu karena kamu tidak keluar-keluar padahal sudah cukup siang.” Tangan Gallen masih di udara dan berbicara dengan cepat kala tiba-tiba pintu kamar Emily terbuka dan Emily membatu memandangnya dengan kening berkerut.“Iya, tidak perlu panik aku tuduh mengintip,” kekeh Emily.Giana tertawa di kursinya saat mendengar sahutan dari kakak iparnya. Emily sudah menghampiri meja makan dan membelai kepala Giana sebelum duduk.“Abang pikir Kak Em sakit jadinya b