Gallen mengenakan seragam beskap lengkap kain batik Trusmi saat menjadi petugas WO pada salah satu acara resepsi salah satu kliennya di sebuah gedung hotel mewah. Sudah satu minggu terakhir ia fokus untuk acara tersebut.“Pak Gallen bunga untuk mempelai resepsi Bapak yang simpan?” Salah seorang staf Gayana berkebaya hitam menghampiri Gallen untuk menanyakan bunga yang akan dipegang mempelai wanita saat resepsi nanti setelah akad.“Loh bukannya sudah masuk kamar rias bareng make up dan baju pengantin? Sudah di cari belum?” Gallen langsung menghidupkan penghubung dengan semua staf WO dan bertanya pada mereka semua siapa yang memasuki kamar rias dan membawa peralatan pengantin ke sana.Setelah memastikan tidak ada yang bisa menemukan sedangkan acara resepsi dua jam lagi, Gallen langsung mengambil keputusan untuk segera mengambil buket pengantin yang sudah walau bukan bunga asli seperti yang sudah Gayana buatkan sebelumnya. Rencana terakhir saat ia menghubungi pihak perangkai apakah b
“Aku mau tanya hal sedikit sensitif, bisa tolong kamu jawab dengan jujur, Emily?” Gallen melakukan panggilan video call untuk pertama kali pada Emily sepanjang ia mengenal Emily.Di ruangan kantornya Emily kaget sampai mendiamkan terlebih dahulu panggilan video Gallen sampai pada panggilan kedua bari Emily yakin Gallen tidak salah melakukan panggilan padanya.“Boleh, mau tanya apa itu?” Emily memperhatikan wajah datar laki-laki di seberang panggilan.“Mengenai uang pembayaran pernikahan kamu sama Batara, itu uang kalian berdua atau perorangan punya Batara semua? Terus pengembalian yang Gayana berikan 50% itu masuknya ke kamu apa ke Batara?” Gallen serius bertanya karena sudah masuk ke ranah hukum.Emily diam beberapa saat. “Untuk WO kami bagi dua sama, untuk pakaian pengantin sepenuhnya dari papa. Dan pengembalian dari Gayana, belum pernah aku tanyakan sama kak Gracia. Karena aku sama sekali tidak memikirkan hal itu sejak pernikahan aku gagal. Ada apa?”“Gayana dan aku pribadi me
Emily harusnya segera meninggalkan pintu dan memutar badan masuk kembali ke dalam rumah, bukan justru diam di balik pintu yang terbuka dan menguping.“Entahlah Mel, aku tidak bisa menjelaskannya. Yang pasti aku sungguh tidak bisa ke tempat kamu saat ini. Gayana juga sedang ada sedikit masalah, tidak mungkin aku tinggalkan. Titip salam saja ya sama om dan tante, belum bisa jenguk lagi.” Gallen menyugar rambutnya dengan desah panjang setelah mengakhiri panggilannya.Sementara Emily baru memutar badan untuk kembali ke dalam rumah dan saat wajahnya berpapasan dengan Giana yang ternyata berdiri di belakangnya entah sedari kapan.“Astaga Giana!” jerit Emily sampai mundur badannya dan menubruk daun pintu yang terbuka lebar.“Kalian sedang apa di sini?” Gallen sudah berdiri di ambang pintu begitu mendengar debum pintu dan jeritan kencang Emily.“Kak Emily enggak tahu sedang apa, aku mau panggil Abang buat makan malam.” Giana menahan senyumnya dengan pandangan tertuju pada Emily.“Kamu
“Kamu ini keras kepala memang,” geram Gracia saat menerima panggilan dari Emily dan mengatakan ia sedang menuju kediaman Batara.“Aku harus bilang Kak, gatal rasanya kalau hanya diam sedangkan ini sebetulnya masalah aku sama Batara.“Kalau kamu di apa-apakah bagaimana?” tanya Gracia sarat kecemasan.“Aku akan menghubungkan terus panggilan sama kakak, jadi kakak bisa rekam sebagai bukti jika terjadi sesuatu. Beliau orang tua mau sekuat apa menyerang aku, semoga hanya maki-maki saja.” Emily memutar kemudi menuju gerbang perumahan rumah orang tua Batara.Gallen sendiri sudah memenuhi panggilan kepolisian untuk memberikan keterangan lebih lanjut bersama pengacaranya. Setelah memenuhi panggilan, ia ingin mengajak Emily makan siang untuk membahas progres hasil ia menjalani pemeriksaan. Namun nomor Emily selalu berada di panggilan lain. Menghubungi Gracia juga sama, matanya melebar saat ia mendapat sebuah pesan dari Gracia menggunakan nomor lain bahwa Emily tengah berada di kediaman Bat
“Emily belum keluar kamar?” tanya Gallen pada Giana di meja makan saat pagi hari.“Sepertinya belum,” jawab Giana.Penuturan Emily mengenai pencabutan tuntutan dari mama Batara terbukti pada keesokan harinya. Sejak itu, Gallen tidak lagi meragukan Emily. Emily bisa menjaga dirinya dengan baik. Peristiwa itu sudah terlewati satu bulan lalu, seminggu lagi genap seratus hari kepergian papa Emily. Emily memikirkannya sejak beberapa hari lalu, mengenai perjanjiannya dengan Gallen tentang hubungan mereka berdua.“Aku baru mau mengetuk pintu karena kamu tidak keluar-keluar padahal sudah cukup siang.” Tangan Gallen masih di udara dan berbicara dengan cepat kala tiba-tiba pintu kamar Emily terbuka dan Emily membatu memandangnya dengan kening berkerut.“Iya, tidak perlu panik aku tuduh mengintip,” kekeh Emily.Giana tertawa di kursinya saat mendengar sahutan dari kakak iparnya. Emily sudah menghampiri meja makan dan membelai kepala Giana sebelum duduk.“Abang pikir Kak Em sakit jadinya b
“Ada lagi yang harus di pindahkan?” tanya Gallen pada Emily yang berbalut abaya hitam.“Sudah, kamu tolong duduk saja depan sama yang laki-laki. Kita di tengah sini.” Emily menjawab dengan mengamati kemeja koko yang di kenakan laki-laki di hadapannya.Kemeja koko yang dibawa Gallen dari rumah tidak sengaja ketumpahan kuah gulai yang. Mama Emily meminjamkan kemeja koko milik papa Emily. Emily sering tertegun melihat sosok berbalut pakaian yang pernah papanya kenakan tersebut.“Ya sudah, panggil saja ya kalau perlu angkat sesuatu,” tambah Gallen sebelum memutar badan dan berlalu dari hadapan Emily.Emily tersentak saat bahunya tiba-tiba di belai dan ternyata mamanya, memberikan senyuman kecil dan membelai paras cantik putri bungsunya.“Mama juga dari tadi perhatikan Gallen dan membayangkan papa yang dari tadi mondar-mandir diantara kita. Harusnya tadi mama minta Gracia pinjamkan baju suaminya ya. Eh tapi nanti dia yang teringat terus,” lirih mama Emily.Emily langsung memeluk san
“Gallen!” Emily berseru tertahan dan mendorong dada Gallen saat tiba-tiba Gallen menciumnya.“Apa? enggak boleh?” Gallen bertanya tanpa menjauhkan kepalanya yang berjarak sangat dekat dengan wajah Emily walau Emily mendorongnya sekuat tenaga.“Kita di ruang tamu astaga, mereka semua bisa melihat jika keluar kamar. Dan pembicaraan kita belum selesai, kamu bukan soang yang main sosor saat bahkan kita belum menemukan kesepakatan,” geram Emily pada pertanyaan bodoh Gallen.“Satu mereka semua kelelahan jadi aku jamin baru pada pulas, dua ... apa yang kamu tanyakan tadi sudah cukup jelas mengatakan bahwa kamu tidak ingin kita bercerai, betul?” Gallen menarik pinggang Emily mendekat, membuat Emily memukul bahu Gallen yang seolah tidak khawatir penghuni kamar lainnya akan keluar dan melihat mereka berdua.“Betul tidak?” tuntut Gallen.“Iya betul, tapi tidak seperti ini juga. Kita bicara dulu sampai sepakat baru .... ““Baru boleh cium? Baiklah.” Gallen menurut dengan mudah, melepas pin
“Abang aku bangunin dari Subuh enggak dengar-dengar. Dikunci tumben kamarnya?” tanya Giana saat mereka di dalam mobil setelah meninggalkan rumah orang tua Emily.“Abang pulas sekali sepertinya jadi kesiangan, takut Emily tiba-tiba masuk dan Abang hanya pakai bokser jadi Abang kunci.” Gallen melempar canda yang langsung mendapatkan pukulan di bahunya oleh Emily yang berseru.“Sembarangan kalau bicara, merasa seksi kamu sampai aku harus menerobos masuk kamar kamu?” kekeh Emily dengan kesal.Giana ikut tertawa di kursi belakang, untuk saat ini Gallen mengantar Emily terlebih dahulu karena kantor Emily lebih dekat dengan rumahnya.“Kabari kalau mau dijemput,” pesan Gallen pada Emily sebelum turun dari mobil.“Hari ini aku akan lembur jadi aku bisa diantar sopir kantor, kamu enggak perlu jemput. Bye Giana, jangan pacaran mulu ya,” kekeh Emily pada Giana yang ikut turun untuk berpindah ke samping kemudi.Giana berdecap. “Resek”“Abang ... aku boleh tanya sesuatu enggak?” tanya Giana.