“Kamu ini keras kepala memang,” geram Gracia saat menerima panggilan dari Emily dan mengatakan ia sedang menuju kediaman Batara.“Aku harus bilang Kak, gatal rasanya kalau hanya diam sedangkan ini sebetulnya masalah aku sama Batara.“Kalau kamu di apa-apakah bagaimana?” tanya Gracia sarat kecemasan.“Aku akan menghubungkan terus panggilan sama kakak, jadi kakak bisa rekam sebagai bukti jika terjadi sesuatu. Beliau orang tua mau sekuat apa menyerang aku, semoga hanya maki-maki saja.” Emily memutar kemudi menuju gerbang perumahan rumah orang tua Batara.Gallen sendiri sudah memenuhi panggilan kepolisian untuk memberikan keterangan lebih lanjut bersama pengacaranya. Setelah memenuhi panggilan, ia ingin mengajak Emily makan siang untuk membahas progres hasil ia menjalani pemeriksaan. Namun nomor Emily selalu berada di panggilan lain. Menghubungi Gracia juga sama, matanya melebar saat ia mendapat sebuah pesan dari Gracia menggunakan nomor lain bahwa Emily tengah berada di kediaman Bat
“Emily belum keluar kamar?” tanya Gallen pada Giana di meja makan saat pagi hari.“Sepertinya belum,” jawab Giana.Penuturan Emily mengenai pencabutan tuntutan dari mama Batara terbukti pada keesokan harinya. Sejak itu, Gallen tidak lagi meragukan Emily. Emily bisa menjaga dirinya dengan baik. Peristiwa itu sudah terlewati satu bulan lalu, seminggu lagi genap seratus hari kepergian papa Emily. Emily memikirkannya sejak beberapa hari lalu, mengenai perjanjiannya dengan Gallen tentang hubungan mereka berdua.“Aku baru mau mengetuk pintu karena kamu tidak keluar-keluar padahal sudah cukup siang.” Tangan Gallen masih di udara dan berbicara dengan cepat kala tiba-tiba pintu kamar Emily terbuka dan Emily membatu memandangnya dengan kening berkerut.“Iya, tidak perlu panik aku tuduh mengintip,” kekeh Emily.Giana tertawa di kursinya saat mendengar sahutan dari kakak iparnya. Emily sudah menghampiri meja makan dan membelai kepala Giana sebelum duduk.“Abang pikir Kak Em sakit jadinya b
“Ada lagi yang harus di pindahkan?” tanya Gallen pada Emily yang berbalut abaya hitam.“Sudah, kamu tolong duduk saja depan sama yang laki-laki. Kita di tengah sini.” Emily menjawab dengan mengamati kemeja koko yang di kenakan laki-laki di hadapannya.Kemeja koko yang dibawa Gallen dari rumah tidak sengaja ketumpahan kuah gulai yang. Mama Emily meminjamkan kemeja koko milik papa Emily. Emily sering tertegun melihat sosok berbalut pakaian yang pernah papanya kenakan tersebut.“Ya sudah, panggil saja ya kalau perlu angkat sesuatu,” tambah Gallen sebelum memutar badan dan berlalu dari hadapan Emily.Emily tersentak saat bahunya tiba-tiba di belai dan ternyata mamanya, memberikan senyuman kecil dan membelai paras cantik putri bungsunya.“Mama juga dari tadi perhatikan Gallen dan membayangkan papa yang dari tadi mondar-mandir diantara kita. Harusnya tadi mama minta Gracia pinjamkan baju suaminya ya. Eh tapi nanti dia yang teringat terus,” lirih mama Emily.Emily langsung memeluk san
“Gallen!” Emily berseru tertahan dan mendorong dada Gallen saat tiba-tiba Gallen menciumnya.“Apa? enggak boleh?” Gallen bertanya tanpa menjauhkan kepalanya yang berjarak sangat dekat dengan wajah Emily walau Emily mendorongnya sekuat tenaga.“Kita di ruang tamu astaga, mereka semua bisa melihat jika keluar kamar. Dan pembicaraan kita belum selesai, kamu bukan soang yang main sosor saat bahkan kita belum menemukan kesepakatan,” geram Emily pada pertanyaan bodoh Gallen.“Satu mereka semua kelelahan jadi aku jamin baru pada pulas, dua ... apa yang kamu tanyakan tadi sudah cukup jelas mengatakan bahwa kamu tidak ingin kita bercerai, betul?” Gallen menarik pinggang Emily mendekat, membuat Emily memukul bahu Gallen yang seolah tidak khawatir penghuni kamar lainnya akan keluar dan melihat mereka berdua.“Betul tidak?” tuntut Gallen.“Iya betul, tapi tidak seperti ini juga. Kita bicara dulu sampai sepakat baru .... ““Baru boleh cium? Baiklah.” Gallen menurut dengan mudah, melepas pin
“Abang aku bangunin dari Subuh enggak dengar-dengar. Dikunci tumben kamarnya?” tanya Giana saat mereka di dalam mobil setelah meninggalkan rumah orang tua Emily.“Abang pulas sekali sepertinya jadi kesiangan, takut Emily tiba-tiba masuk dan Abang hanya pakai bokser jadi Abang kunci.” Gallen melempar canda yang langsung mendapatkan pukulan di bahunya oleh Emily yang berseru.“Sembarangan kalau bicara, merasa seksi kamu sampai aku harus menerobos masuk kamar kamu?” kekeh Emily dengan kesal.Giana ikut tertawa di kursi belakang, untuk saat ini Gallen mengantar Emily terlebih dahulu karena kantor Emily lebih dekat dengan rumahnya.“Kabari kalau mau dijemput,” pesan Gallen pada Emily sebelum turun dari mobil.“Hari ini aku akan lembur jadi aku bisa diantar sopir kantor, kamu enggak perlu jemput. Bye Giana, jangan pacaran mulu ya,” kekeh Emily pada Giana yang ikut turun untuk berpindah ke samping kemudi.Giana berdecap. “Resek”“Abang ... aku boleh tanya sesuatu enggak?” tanya Giana.
“Enggak apa-apa, namanya musibah tidak akan ada yang tahu. Ya sudah besok atau kapan-kapan saja kita makan barengnya, kita pulang saja ya Bang. Sebentar lagi Kak Em harus keluar meeting.” Giana menarik lengan Gallen untuk bangun.Gallen mengikuti perintah Giana untuk segera meninggalkan kantor Emily.“Aku akan menagih pokoknya ya nanti.” Emily mengantar keduanya keluar dengan menyesal namun ia memang tidak bisa untuk saat ini.“Kamu tunggu Abang di depan lift dulu, Abang mau bicara sama Emily.” Gallen mengacak rambut Giana yang langsung cemberut kesal rambutnya menjadi berantakan.Gallen kembali masuk ke dalam ruangan Emily dan menutup pintu hingga membuat Emily mengerutkan keningnya. Tidak mungkin Gallen akan macam-macam padanya bukan.“Persidangan Batara Senin depan, kamu jika kurang nyaman tidak perlu datang. Jika meminta banding, aku tidak akan memberikan kesempatan untuk itu. Aku minta kamu hati-hati sebelum sidang di gelar. Kalau bisa tidak ke mana-mana dulu, takutnya kami
Emily sedang berada di rumah sakit saat Gallen menjemputnya, padahal Gallen baru kembali dari Yogyakarta namun memutuskan langsung ke rumah sakit.“Gallen?” seru sebuah suara berat dan dalam.“Pras? Prasetio?” Gallen bahkan melebarkan mata begitu masuk ke dalam ruangan rawat mama mertua Gracia.“Ya Tuhan, Bro apa kabar?” Prasetio langsung memeluk kuat Gallen dengan tawa tidak percayanya.“Alhamdulillah baik, kamu bagaimana kabar?” Gallen menimpali dengan tidak kalah ramah.“Yaelah pakai panggil kamu,” kekeh Tio menyalami Gallen setelah melepas pelukan.“Sorry kebiasaan bicara sama klien,” timpal Gallen.“Gua sehat Alhamdulillah, elu suaminya si Em-Em? Maksud gua Emily.” Tio meralat panggilannya pada Emily saat Gallen mengerutkan kening mendengarnya.“Iya benar gua suami Emily, ternyata dunia tak selebar daun kelor ya? Tante Maria, mama elu?” Gallen menyalami tante Maria dan adik Tio di sana, sedangkan Emily dan Gracia memperhatikan percakapan mereka berdua.“Eh ya ampun sorr
“Kak Emily tahu dari abang masalah bang Pras?” Giana mengabaikan perut sakitnya saking kagetnya dengan pertanyaan Emily.“Tio ... Prasetio itu adiknya Rashkal, Rashkal adalah suami kak Grace yang meninggal kecelakaan beberapa tahun lalu,” jawab Emily.“Ya Tuhan ... serius?” Giana melebarkan matanya.Emily mengangguk dengan tangan mengusap butiran keringat di kening Giana.“Masuk kamar dan istirahat, kamu sudah keringatan seperti ini. Nanti aku bawakan teh hangat sambil cerita mengenai Tio ya, tadi Gallen bertemu Pras di rumah sakit pas jenguk tante Maria.” Emily menarik bahu Giana untuk bangun dan menuju kamarnya.“Heboh pasti mereka berdua ya saat bertemu?” Giana bertanya begitu merebahkan diri di atas ranjang dengan memeluk bantal guling setelah mengenakan pereda nyeri di perutnya.Emily mengangguk. “Iya ramai pakai bro panggilnya. Tio katanya pernah mengajak kamu menikah saat kamu masih SMP?”“Iya bang Pras sedikit gila,” ringis Giana.“Bukan gila lagi kalau seperti itu sih