“Ada apa?” tanya Gallen pada Emily saat tiba-tiba ia diminta Emily menjemput di kantor karena mama Emily meminta mereka datang sepulang bekerja. “Enggak tahu, pokonya katanya kalau tidak ada acara mama ingin bicara. Aku juga deg-degan mau bicara apa.” Emily meringis menaiki mobil Gallen yang tampak penasaran. Gallen mengangguk dan menutup pintu setelah memastikan Emily duduk dan memakai seatbelt. Membawa laju kendaraannya menuju kediaman orang tua Emily. Gracia sendiri sedang berada di rumah sakit dari siang, ia menemani sang mama mertua kembali ke rumah untuk menjalani pengobatan lanjutan di rumah. “Mama masak apa?” Emilu bertanya saat memeluk sang mama dengan erat. “Kamu ini jangan menunjukkan seolah Gallen tidak memberikan kamu makan dong Emily, eh kamu kasih putri Tante makan kan Gallen?” Masih dengan memeluk si bungsu, mama Emily memberikan tatap tajam pada Gallen yang langsung kaget ditembak demikian.
“Maksud kamu apa bicara seperti itu sama mama?” tanya Emily begitu sampai rumah Gallen. “Enggak ada maksud apa-apa, memangnya salah, aku jawab seperti itu?” Gallen balik bertanya. “Iya salah, urusan anak belum pernah kita bicarakan. Aku bilang baru mau mulai mengenal. Bukan siap memproduksi anak. Itu terlalu jauh Gallen, harusnya kamu bilang nanti akan kita bicarakan lebih dulu, Ma.” Emily langsung menaikkan nada bicaranya. “Tidak perlu berseru seperti itu, kita cukup duduk dan bicara.” Gallen menegur untuk pertama kalinya pada Emily.Emily tertawa sinis. “Jawaban kamu mengisyaratkan aku yang pegang kendali dan kamu hanya mengikuti. Aku tidak suka hal itu, dan satu lagi waktu itu juga kamu bilang sama Tio kalau kita baru menikah dan belum resepsi. Kenapa kamu bisa menyimpulkan aku akan mau menggelar resepsi lagi setelah kegagalan aku kemarin? Meskipun kita sepakat memulai, bukan berarti kamu bisa seenaknya mengambil keputusa
Emily berusaha bersikap biasa saja pada Giana setelah dua kali kepergok tingkahnya yang seolah menunjukkan ia sangat agresif. Padahal ia tidak seperti itu. “Abang ... aku boleh bicara serius? sama Kak Em juga,” tutur Giana di saat mereka makan malam keesokan harinya. “Tolong jangan bahas yang kemarin, Giana. Aku malu dan itu sungguh enggak sengaja. Abang kamu mengata-ngatai aku manja, tukang mengambek dan lain-lain.” Emily langsung menyerobot bicara sebelum Giana membuka terlebih dahulu.Giana tersenyum lebar. “Aku sungguh bukan mau bicara itu Kak Em, dan lagi aku sudah mulai terbiasa kok melihat kalian mesra-mesraan.” “Kami tidak mesra-mesraan ok, Abang sedang di siksa sama Emily kemarin. Mau dicekik,” tambah Gallen. Emily kembali mendengus kesal, sementara Gallen hanya menyeringai lebar. Interaksi tersebut tidak luput dari pengamatan Giana yang menopangkan dagunya dengan tangan kiri. “Apa aku
“Bang awas!” Ardian menarik lengan Gallen keras menghindarkan Gallen dari kompor panas berisi sop dengan kepul asap di atasnya. Gallen seketika tersentak hebat dari lamunan panjangnya. Ia menoleh ke arah kanan di mana orang-orang juga sama jantungannya dengan Ardian. Meja prasmanan yang disediakan oleh pihak pengantin adalah untuk makan tim Gallen selama mendekor dan mempersiapkan semua keperluan sebelum hari resepsi. “Thanks Ar, astaga bisa melepuh badan saya kalau menyenggol itu,” desah Gallen. “Abang istirahat saja Bang, atau pulang saja temui istrinya. Kami bisa kok ditinggal, kita akan kirim hasilnya sama Abang,” tutur Ardian setelah melihat Gallen mengusap kasar wajahnya. “Saya keluar dulu saja sepuluh menit ya, kita selesaikan sama-sama.” Gallen menolak pulang sebelum tanggung jawabnya selesai. Menyesap kopi di sebuah restoran yang tersedia di lantai bawah hotel yang sedang ia kerjakan,
“Dengan tampilan kamu seperti itu?” Emily meneliti tampilan berantakan Gallen yang langsung menggaruk kepalanya karena menyadari ucapan Emily. “Aku ada pekerjaan pagi dan akan bertemu beberapa orang, aku tidak ingin mood pagi aku menjadi rusak karena kamu mau membahas masalah kemarin. Aku hanya mau bilang .... “Emily menghela nafas sebelum tersenyum kecil. “Terima kasih sudah menyadarkan di mana posisi aku sebenarnya. Jangan dipotong dulu, aku memang terkadang butuh diberikan penegasan seperti itu agar tidak melampaui batas. Kan benar ... belum bicara saja mood aku sudah sangat jelek. Aku berangkat saja. Kamu selamat bekerja juga.” Emily tidak jadi duduk untuk sarapan, ia kembali mengangkat peralatannya dan meninggalkan Gallen yang tidak dapat menjawab. Tidak diberi kesempatan bicara sebenarnya, dan ia kembali menghela nafas panjang. “Loh Em? Enggak bekerja?” tanya Gracia dapati Emily sudah berada di rumah pagi-pagi sedangk
“Sudah belum sih, kamu belum mandi tahu,” gumam Emily. Gallen langsung melepaskan pelukannya dan bangun dari sana, saking senangnya dapati Emily masih melek ketika ia pulang, membuat Gallen lupa diri sesaat. Ia segera turun dari ranjang Emily dan menggaruk tengkuknya salah tingkah. “Maaf aku main menyelonong saja, aku refleks karena dua malam ini kamu selalu sudah tidur pas aku pulang. Bisa kita bicara setelah aku mandi?” tanya Gallen setelah menguasai rasa salah tingkahnya. “Ok, di ruang tengah saja,” jawab Emily. Emily membuatkan dua cangkir teh lemon madu bersama satu piring kentang goreng dan semangkuk salad buah untuknya. Gallen keluar kamar dengan rambut setengah basah menggunakan celana pendek dan kaos putih bertuliskan peace. “Minum dulu, kamu sudah makan?” Emily menunjuk cangkir pada Gallen yang sudah membuka mulut untuk bicara bahkan sebelum duduk di hadapan Emily.Gallen menganggu
“Tolong bilang berhenti, atau aku tidak bisa berhenti,” bisik Gallen parau masih menenggelamkan wajah di ceruk leher Emily yang hangat. “Baiklah mari kita berhenti.” Emily menjawab dengan deru nafas masih tersisa dan tangan membelai kepala Gallen yang menimpanya. Gallen sekuat tenaga melawan keinginan primitifnya yang baru kali ini terpancing dengan begitu kuat dan ia tidak bisa berhenti menyentuh Emily. Perlahan ia bangun dan sebelum benar-benar bangun ia daratkan kecupan lembut pada kening Emily yang merah merona menggemaskan untuk Gallen kembali habisi bibirnya. “Sorry,” ucap Gallen begitu ia duduk di tepi ranjang dengan Emily yang berbaring miring memeluk paha kirinya. “Kenapa minta maaf? kamu menyesal sudah melakukan itu sama aku?” Dengan kesal Emily menepuk paha dalam pelukan. “Enggak menyesal hanya saja kan kamu pernah bilang kalau tidak ingin melakukannya sebelum kita sama-sama mencinta
Gallen menyugar rambutnya hingga berantakan, ia baru saja sampai di Yogyakarta untuk melihat hasil yang membuatnya kepikiran tiga minggu ke belakang. Partisi yang patah. “Pak Darto ... ini .... “ Gallen tidak bisa berkata-kata saking terkesimanya, ia langsung menjabat tangan pak Darto erat sekali dengan senyuman lebar setelah hampir lima menit meneliti setiap bagiannya. “Ya Tuhan Pak ... ini sangat sempurna hampir tidak terlihat pernah patah dan ... bagaimana Pak Darto menyulapnya? Terima kasih banyak Pak, sungguh saya sangat berhutang sama Pak Darto.” Gallen terus menyunggingkan senyuman. “Iya sudah-sudah, ini saya simsalabim jadi rapi,” kekeh Pak Darto “Mari kita ngeteh dulu bincang-bincang. Bagaimana istrimu sehat?” Pak Darto menggiring Gallen masuk ke pendopo rumahnya. Gallen langsung membawa kembali partisi dengan hati lega dan bahagia, ia berdua dengar Ardian mengendarai truk untuk menga