“Bang awas!” Ardian menarik lengan Gallen keras menghindarkan Gallen dari kompor panas berisi sop dengan kepul asap di atasnya. Gallen seketika tersentak hebat dari lamunan panjangnya. Ia menoleh ke arah kanan di mana orang-orang juga sama jantungannya dengan Ardian. Meja prasmanan yang disediakan oleh pihak pengantin adalah untuk makan tim Gallen selama mendekor dan mempersiapkan semua keperluan sebelum hari resepsi. “Thanks Ar, astaga bisa melepuh badan saya kalau menyenggol itu,” desah Gallen. “Abang istirahat saja Bang, atau pulang saja temui istrinya. Kami bisa kok ditinggal, kita akan kirim hasilnya sama Abang,” tutur Ardian setelah melihat Gallen mengusap kasar wajahnya. “Saya keluar dulu saja sepuluh menit ya, kita selesaikan sama-sama.” Gallen menolak pulang sebelum tanggung jawabnya selesai. Menyesap kopi di sebuah restoran yang tersedia di lantai bawah hotel yang sedang ia kerjakan,
“Dengan tampilan kamu seperti itu?” Emily meneliti tampilan berantakan Gallen yang langsung menggaruk kepalanya karena menyadari ucapan Emily. “Aku ada pekerjaan pagi dan akan bertemu beberapa orang, aku tidak ingin mood pagi aku menjadi rusak karena kamu mau membahas masalah kemarin. Aku hanya mau bilang .... “Emily menghela nafas sebelum tersenyum kecil. “Terima kasih sudah menyadarkan di mana posisi aku sebenarnya. Jangan dipotong dulu, aku memang terkadang butuh diberikan penegasan seperti itu agar tidak melampaui batas. Kan benar ... belum bicara saja mood aku sudah sangat jelek. Aku berangkat saja. Kamu selamat bekerja juga.” Emily tidak jadi duduk untuk sarapan, ia kembali mengangkat peralatannya dan meninggalkan Gallen yang tidak dapat menjawab. Tidak diberi kesempatan bicara sebenarnya, dan ia kembali menghela nafas panjang. “Loh Em? Enggak bekerja?” tanya Gracia dapati Emily sudah berada di rumah pagi-pagi sedangk
“Sudah belum sih, kamu belum mandi tahu,” gumam Emily. Gallen langsung melepaskan pelukannya dan bangun dari sana, saking senangnya dapati Emily masih melek ketika ia pulang, membuat Gallen lupa diri sesaat. Ia segera turun dari ranjang Emily dan menggaruk tengkuknya salah tingkah. “Maaf aku main menyelonong saja, aku refleks karena dua malam ini kamu selalu sudah tidur pas aku pulang. Bisa kita bicara setelah aku mandi?” tanya Gallen setelah menguasai rasa salah tingkahnya. “Ok, di ruang tengah saja,” jawab Emily. Emily membuatkan dua cangkir teh lemon madu bersama satu piring kentang goreng dan semangkuk salad buah untuknya. Gallen keluar kamar dengan rambut setengah basah menggunakan celana pendek dan kaos putih bertuliskan peace. “Minum dulu, kamu sudah makan?” Emily menunjuk cangkir pada Gallen yang sudah membuka mulut untuk bicara bahkan sebelum duduk di hadapan Emily.Gallen menganggu
“Tolong bilang berhenti, atau aku tidak bisa berhenti,” bisik Gallen parau masih menenggelamkan wajah di ceruk leher Emily yang hangat. “Baiklah mari kita berhenti.” Emily menjawab dengan deru nafas masih tersisa dan tangan membelai kepala Gallen yang menimpanya. Gallen sekuat tenaga melawan keinginan primitifnya yang baru kali ini terpancing dengan begitu kuat dan ia tidak bisa berhenti menyentuh Emily. Perlahan ia bangun dan sebelum benar-benar bangun ia daratkan kecupan lembut pada kening Emily yang merah merona menggemaskan untuk Gallen kembali habisi bibirnya. “Sorry,” ucap Gallen begitu ia duduk di tepi ranjang dengan Emily yang berbaring miring memeluk paha kirinya. “Kenapa minta maaf? kamu menyesal sudah melakukan itu sama aku?” Dengan kesal Emily menepuk paha dalam pelukan. “Enggak menyesal hanya saja kan kamu pernah bilang kalau tidak ingin melakukannya sebelum kita sama-sama mencinta
Gallen menyugar rambutnya hingga berantakan, ia baru saja sampai di Yogyakarta untuk melihat hasil yang membuatnya kepikiran tiga minggu ke belakang. Partisi yang patah. “Pak Darto ... ini .... “ Gallen tidak bisa berkata-kata saking terkesimanya, ia langsung menjabat tangan pak Darto erat sekali dengan senyuman lebar setelah hampir lima menit meneliti setiap bagiannya. “Ya Tuhan Pak ... ini sangat sempurna hampir tidak terlihat pernah patah dan ... bagaimana Pak Darto menyulapnya? Terima kasih banyak Pak, sungguh saya sangat berhutang sama Pak Darto.” Gallen terus menyunggingkan senyuman. “Iya sudah-sudah, ini saya simsalabim jadi rapi,” kekeh Pak Darto “Mari kita ngeteh dulu bincang-bincang. Bagaimana istrimu sehat?” Pak Darto menggiring Gallen masuk ke pendopo rumahnya. Gallen langsung membawa kembali partisi dengan hati lega dan bahagia, ia berdua dengar Ardian mengendarai truk untuk menga
“Gallen .... “ “Hem?” jawab Gallen di antara sengal nafas berkejarannya. Emily tidak menjawab namun menenggelamkan wajah pada dada lembab suminya yang tidak putus membelai punggung basahnya dengan lembut. “Are you ok?” Gallen mengangkat wajah merah Emily untuk ia perhatikan. Bukan menjawab tapi Emily justru kembali menempeli Gallen dengan kedua lengannya, ia malu tiba-tiba ditatap seintens itu oleh suaminya sendiri. Terdengar kekeh Gallen pelan akan reaksi istrinya. “Enggak menyesal kan?” tanya Gallen kembali karena Emily jauh lebih pendiam setelah mereka berdua melakukan hubungan suami istri untuk pertama kalinya. “Enggak ih tanya terus.” Emily gemas menggigit dada Gallen hingga kekeh sang suami semakin panjang. “Terima kasih Emily ... sudah menjaga diri kamu di tengah kebebasan bergaul dan berhubungan. Memberikan izin untuk menjadikan aku yang pertama kaliny
“Maafkan Abang yang bodoh ya Kak Em, bye Kak Em.” Giana melambaikan tangan sebelum menutup pintu mobil ketika Emily menurunkan Giana di depan rumahnya karena Gian tidak ingin diantar ke kampus. “Akan aku bunuh kamu kalau ketemu, Gallen.” Emily menggeram dengan menguatkan cengkeraman pada kemudi hitamnya meninggalkan pelataran rumah Gallen menuju kantornya. Hari di lewati mereka dengan kesibukan masing-masing, Emily tidak mengdapatkan panggilan kembali dari Gallen setelah panggilan terakhirnya ia matikan dengan kasar dan jeritan malunya karena Giana harus mendengarkan kebodohan sang kakak. Giana memang tidak mengatakan apa-apa setelah panggilan dimatikan, tapi jelas tidak dengan isi kepala sang remaja cantik beranjak dewasa itu. Gallen sendiri tidak memikirkan jika memang adiknya mendengar, baginya Giana sudah cukup besar untuk mengerti dan memilah mana yang akan ia bahas dengan Emily atau yang tidak perlu. Ia justru mencemas
“Masih lama, kamu langsung tidur saja jangan ditunggu ya.” Gallen menjawab pertanyaan Emily saat ia menghubungi. “Iya, ini juga sudah mengantuk.” Emily mengakhiri panggilan Gallen pada pukul satu dini hari. Gallen tengah berada di acara pesta klien yang membuatnya hampir gila gara-gara sebuah partisi patah. Acara yang berlangsung di sebuah gedung mewah berlangsung lancar dari informasi yang Gallen berikan pada Emily. Emily bangun keesokan harinya dengan dapati dirinya dipeluk dari belakang oleh sebuah lengan liat. Membalikkan tubuh ia lihat wajah lelap suaminya, dengan bibir terbuka sedikit, Gallen terlihat amat lelah. Emily melirik jam di dinding menunjukkan pukul lima pagi, ia segera bangun namun pelukan di pinggangnya bertambah erat. “Subuh Gallen, Sholat dulu nanti tidur lagi ya.” Emily membelai wajah suami yang menempeli dirinya. “Hem,” gumam Gallen. Emily daratkan sebuah