“Abang tanyanya seolah meremehkan begitu, aku enggak pernah pacaran sama sekali. Dari mana pernah ciuman. Dan kalaupun sudah pacaran belum tentu aku akan mau melakukan itu,” papar Giana. “Iya paham, kamu wanita baik-baik buka seperti aku yang banyak ceweknya di sana sini,” desah Prasetio. “Aku enggak mengungkit masalah itu, kenapa Abang malah seolah merendahkan diri sendiri seperti itu?” tuntut Giana. “Kita mau berantem masalah ciuman ini? bukankah kamu bilang kangen sama aku kemarin? Sekarang malah menanduk terus,” papar Prasetio. Giana menunduk kecil, diam. “Aku tidak meremehkan kamu yang belum pernah ciuman, bagus malah. Pergaulan kamu sangat baik dan sehat, dan aku enggak merendahkan diri karena bilang banyak cewek. Itu hanya sebagai pengingat untuk aku terus memperbaiki diri agar benar-benar layak disandingkan perempuan seterjaga kamu, Giana. Sumpah mati aku malu sama masa lalu aku pad
“Ah ... selamat, aduh ya ampun ... aku mau punya keponakan?” Emily kembali berseru, menggeser badan mengimpit Gracia untuk memeluknya dari samping dengan bersemangat. “Kamu tahu sekali aku sangat bahagia, Em. Aku sudah bisa membayangkan anak-anak kita berlarian merebutkan neneknya.” Gracia kembali mengusap sudut matanya yang basah. Emily mengangguk, menyetujui perkataan kakaknya yang ia yakin benar. Si kembar dan sepupu mereka akan memperebutkan sang nenek kelak seperti mama mereka. “Berapa minggu tadi usianya? aku hanya baca bagian positif.” Emily merangkul bahu Gracia erat. “Enam minggu,” jawab suami Gracia. “Titip kakak aku yang cerewet ini ya Bang, awas kalau kenapa- kenapa.” Emili pura-pura mengancam dengan menyipitkan matanya ke arah suami Gracia. “Pasti dong Dek, mereka adalah hidup aku sekarang ini,” tukas suami Gracia. Emily memeluk sang kakak dengan
“Ada lagi enggak barang lainnya? Takutnya tertinggal.” Mama Emily bertanya kala Gallen memasukkan satu persatu perlengkapan untuk menemani Emily di rumah sakit. “Sepertinya sudah semua, Ma. Kalau memang ada yang kurang nanti aku akan ambil kembali. Mama naik duluan saja, aku akan bawa Emily.” Gallen membukakan pintu untuk sang mama agar naik ke mobil terlebih dahulu. Gallen kembali masuk ke dalam rumah di mana Emily duduk berdampingan dengan Giana dan Gracia. “Kita mau ke rumah sakit tapi kaya mau demo rame begini,” kelakar Emily. “Bagus dong Em, kita kan juga mau dampingi kamu biar deg-degannya dibagi-bagi,” jawab Gracia. “Deg-degan tapi juga excited, Kak.” Emily menerima uluran tangan Gallen yang berniat membantunya berdiri dari posisi duduk. “Ayo kita Bismillah sama-sama ya, Sayang.” Gracia mengecup kepala samping Emily dengan memegangi pinggang sang adik yang tampak kepa
“Belum Sayang?” Suami Gracia baru datang setelah Emily masuk ruang operasi tiga puluh menit lalu. “Belum, baru setengah jam masuk.” Gracia menjawab dengan masih merangkul lengan mamanya yang sedari tadi terdiam dan Gracia tahu sang mama tiada memutuskan doanya untuk keselamatan Emily dan si kembar. Mereka berempat menunggu di luar pintu ruang operasi dengan jantung berdebar-debar. Sementara Gallen yang ikut ke dalam menemani proses kelahiran kedua putri mereka jauh lebih jantungan. Seluruh badannya dingin dan ada rasa ingin muntah namun ia tahan sekuat tenaga, bahkan serangan pusing akan dinginnya ruang operasi mampu membuat Gallen menggigil. Gallen berada di samping kepala istrinya memberikan pandangan menenangkan pada Emily walau isi hari dan kepalanya berkutat pada suara para tenaga medis yang meminta berbagai jenis alat bedah yang tidak Gallen pahami. “Sudah sampai mana?” tanya Emily pelan.Gallen terse
“Sudah jam dua belas, mana mempelai prianya?” bisik salah seorang tamu undangan.“Tidak tahu? kok bisa terlambat sampai tiga jam? Jangan-jangan kabur pengantin prianya,” bisik tamu yang lainnya.“Hus jangan bicara sembarangan,” bantah Tante mempelai wanita yang tiba-tiba sudah berada di samping mereka.Panggung calon pengantin tertata indah penuh bunga dan hiasan, warna gold putih dan pink adalah warna pilihan pasangan calon mempelai. Meja kursi para tamu serta meja kursi penghulu sudah penuh diduduki oleh sanak saudara yang ingin menyaksikan ijab qabul saudara mereka. Ada beberapa kerabat jauh dan tetangga dekat turut menantikan duduk di kursi mereka perlahan mulai lelah menunggu. Suara-suara sumbang mulai mengudara merangkaikan banyak kemungkinan mengapa sang mempelai pria dan keluarganya tidak kunjung datang. Ada yang berspekulasi kemungkinan ada halangan, sampai ada yang menduga mengalami kecelakaan menuju hotel pernikahan. Orang tua mempelai wanita bahkan sudah mondar-mandi
“Mas yang namanya Mas Gallen?” tanya Gracia, kakak Emily.Gallen menghentikan kegiatannya merapikan meja kursi bersama tim lainnya yang sedang membongkar tempat pernikahan gagal Emily dan Batara.“Iya benar, ada yang bisa dibantu Bu Gracia?” Gallen mengenali jika wanita di hadapannya adalah kakak sang mempelai yang menyewa jasa WO miliknya.“Bisa kita bicara sebentar, maaf sebelumnya saya mengganggu kerjanya. Tapi saja mendapat amanah dari papa untuk disampaikan ke Mas Gallen.” Gracia terlihat sangat pucat dan bingung menyampaikannya.“Bisa mari silakan duduk dulu Bu.” Gallen mengangguk memberikan kursi untuk Gracia duduk.Setelah mereka duduk berhadapan, Gallen memberikan kode pada timnya untuk memberi mereka ruang berbicara. Seketika banyak dari timnya mulai menyingkir satu persatu.“Begini Mas Gallen, saya mau tanya apakah Emily sudah melunasi semua pembayaran pada Gayana Organizer? Jika masih ada yang belum lunas maka akan saya lunasi sekarang juga.” Gracia membukanya dengan p
“Bapak Bachtiar yakin meminta saya menikahi Emily?” Gallen bertanya dengan kekagetan yang tidak ia tutupi.Pak Bachtiar mengangguk lemah, menarik nafas panjang. Terlihat jelas kepayahan untuk melanjutkan ucapannya.“Iya, semoga kamu bisa menerima Emily. Saya percaya kamu bisa menjaganya, jika kamu menyetujui maka saya titipkan Emily sama kamu. Jangan biarkan dia bertemu lagi dengan Batara apa pun alasannya.” Kalimat panjang tersebut akhirnya dapat diselesaikan oleh pak Bachtiar.Gallen menatap lekat-lekat wajah pucat terbaring di depannya, menarik nafas panjang Gallen mengangguk mantap. “Baik Pak, saya bersedia menikahi Emily putri Bapak.” Gallen menjawab dengan tegas setelah menatap lekat pak Bachtiar, tidak ada keraguan dalam jawabannya.“Terima kasih,” ucap pak Bachtiar parau.Setelah melewati banyak proses runding dengan keluarga Emily, baik mama maupun sang kakak, akhirnya akad nikah diselenggarakan di ruang ICU atas persetujuan pihak rumah sakit. Tanpa sosok Emily di sam
“Laki-laki itu?” Giana yang tidak terima mendengar sang kakak disebut demikian langsung berdiri dengan emosi.Gallen menarik lengan adiknya lembut. “Abang bilang duduk dan tenang, bisa?”Giana menahan deru nafas memburunya, kembali duduk dengan kekesalan luar biasa kepada Emily. Mama Emily langsung menghampiri sang putri yang terlihat sangat emosi, memegang tangannya dan berkata dengan lembut.“Bisa kita bicara dengan baik tanpa emosi? Mama akan menjelaskannya,” pinta mama pada putri bungsunya.“Kenapa Mama memperbolehkan papa menikahkan aku sama dia Ma?” tuntut Emily.Mama kembali meminta Emily untuk duduk dan mendengarkannya. Di belakang Emily, sang kakak Gracia berdiri dengan wajah cemas. Sekali anggukan dari mamanya membuat sang kakak turut serta turun. Mereka semua duduk, dan hanya Emily yang menghembuskan nafas dengan kencang. Pertanda emosinya belum reda.“Bisa kita mulai bicara tanpa emosinya, Emily?” tanya mama.Emily mengangguk, ia paham jika mamanya sudah bicara tega