“Laki-laki itu?” Giana yang tidak terima mendengar sang kakak disebut demikian langsung berdiri dengan emosi.
Gallen menarik lengan adiknya lembut. “Abang bilang duduk dan tenang, bisa?” Giana menahan deru nafas memburunya, kembali duduk dengan kekesalan luar biasa kepada Emily. Mama Emily langsung menghampiri sang putri yang terlihat sangat emosi, memegang tangannya dan berkata dengan lembut. “Bisa kita bicara dengan baik tanpa emosi? Mama akan menjelaskannya,” pinta mama pada putri bungsunya. “Kenapa Mama memperbolehkan papa menikahkan aku sama dia Ma?” tuntut Emily. Mama kembali meminta Emily untuk duduk dan mendengarkannya. Di belakang Emily, sang kakak Gracia berdiri dengan wajah cemas. Sekali anggukan dari mamanya membuat sang kakak turut serta turun. Mereka semua duduk, dan hanya Emily yang menghembuskan nafas dengan kencang. Pertanda emosinya belum reda. “Bisa kita mulai bicara tanpa emosinya, Emily?” tanya mama. Emily mengangguk, ia paham jika mamanya sudah bicara tegas seperti itu tandanya ia harus mendengarkan dengan sungguh-sungguh. “Pertama Mama pribadi mau meminta maaf pada kalian berdua, pada Emily anak Mama dan pada Gallen. Mama bukan tidak bisa menahan pernikahan kalian tapi itu adalah permintaan terakhir papa kamu Emily. Mama pribadi terus terang kurang setuju, bukan karena tidak percaya bahwa Gallen laki-laki baik. Tapi karena Gallen tidak pantas menanggung semua musibah dalam keluarga kita.” Mama Emily mendesah panjang sebelum melanjutkan. “Apa maksud Mama menanggung semua musibah? Aku tidak meminta dia menikahi aku cuma gara-gara pengantin laki-lakinya tidak datang.” Emily memotong cepat dan berang. “Jangan lagi sebut Abang aku dengan panggilan dia dia dia!” jerit Giana sudah tidak dapat menahan diri lagi kakaknya mendapatkan perlakuan seburuk itu dari wanita yang dinikahinya karena sebuah wasiat. “Giana Alejandra Munaf, jangan suka memotong percakapan orang.” Gallen menegur sang adik dengan tegas. “Emily keterlaluan Abang! Jangan berlagak seolah kamu saja yang menjadi korban di sini ya Emlily! Abang aku adalah korban sebenarnya di sini. Abang harus menikahi wanita yang jelas-jelas tidak dicintai. Abang harus mengurusi kalian semua yang jelas bukan tanggung jawabnya. Abang harus mengurusi bahkan hingga pemakaman papa kamu dengan tangannya sendiri padahal jelas sekali Abang bukan siapa-siapa kalian sebelum permintaan konyol papa kamu yang diajukan pada Abang tanpa bisa Abang tolak karena papa kamu sedang sekarat!” Giana mengutarakan dengan lantang, sampai tarikan tangan Gallen ia sentak untuk pertama kali dalam hidupnya ia menyentak tangan kakaknya. “Cukup Giana! Kita pulang, kami permisi Tante.” Gallen menarik paksa tangan adiknya yang masih meronta-ronta dalam genggam kuatnya. “Biar Emily tahu Abang, biar dia tahu karena merekalah Abang tidak bisa menikahi Eliana,” amuk Giana masih terdengar jelas oleh ketiga pasang telinga di dalam rumah Emily. Ketiga orang dalam ruang tamu terdiam kaget dengan ucapan terakhir adik Gallen. Hal yang mereka lewatkan adalah kemungkinan besar Gallen juga memiliki kekasih di luar sana. Sampai ucapan mama membuyarkan lamunan kedua putrinya. “Kamu masih mau mendengarkan penjelasan Mama, Emily? Kita bahas Gallen dan adiknya setelah ini.” Mama tetap ingin melanjutkan penjelasannya yang terpotong beberapa saat lalu. Melihat kedua putrinya tidak ada yang menjawab, Mama memilih tetap melanjutkannya apa pun yang terjadi setelah ini. “Papa bilang sama Mama kalau papa percaya Gallen bisa menjaga dan melindungi Emily. Mungkin benar kalian tidak saling cinta, tapi kata papa ia akan tenang meninggalkan kita dengan kamu sudah ada yang menjaga. Mama tidak bisa menolak permintaan papa, Emily. Kondisi kamu saat itu tidak baik bahkan tidak bicara sedikitpun. Papa meminta memberitahukan kamu nanti saja setelah menikahkan kalian. Mama tahu ini bukan jalan keluar yang baik karena kegagalan pernikahan kamu sama Batara. Tapi tidakkah kamu melihat betapa papa kesakitan saat itu, ia hanya mencemaskan kondisi kamu Sayang. Bukan kondisi Mama atau Gracia.” Mama menyusut sudut matanya teringat sang suami di akhir hayatnya. “Setelah Mama mendengar sendiri tadi Giana mengamuk, Mama baru sadar jika kitalah yang jahat dengan merampas kehidupan Gallen dengan menjadikannya menanggung ini semua. Mama tidak tahu jika besar kemungkinan Gallen juga memiliki wanita yang ingin ia nikahi. Jika memang ini membuat kalian sama-sama tersiksa, bicaralah kalian berdua dan ambil keputusan terbaik bagi kalian. Jika yang terbaik adalah berpisah, tidak apa-apa karena ini hidup kalian. Mama yakin papa bisa memahaminya,” tambah mama Emily. Hening, tidak ada sahutan dari Emily. Kepalanya berdenyut sangat kuat hingga ia merebahkannya ke sandaran sofa yang ia duduki saat itu. “Apakah sudah ada kabar di mana keberadaan Batara, Ma?” tanya Emily pelan. “Belum ada, entahlah Sayang. Mama sudah tidak memedulikan hal itu, maaf bukan Mama tidak simpati sama kamu. Tapi Mama masih sangat terpukul dengan kepergian papa kalian.” Mama meraih tangan Emily dan meremasnya kuat. Emily dan Gracia memeluk mama mereka dengan erat, tahun lalu mereka kehilangan suami Gracia yang meninggal karena kecelakaan. Kini mereka kembali merasakan kehilangan, bahkan orang yang mereka paling sayangi dalam keluarga mereka. “Mama masih punya aku dan Emily. Kita akan melewatinya sama-sama ya, Ma,” bisik Gracia mendaratkan kecupan pada bahu mama. Di lain tempat, Giana menunduk dalam saat Gallen untuk pertama kalinya memarahinya sampai berwajah merah. Walau tidak membentak, tapi jelas kalimat penuh penekanan dari Gallen membuat nyali Giana ciut. “Ini terakhir kalinya kamu bersikap kurang ajar Giana. Minta maaf sama Tante Laras besok, juga pada Emily dan kakaknya. Apa pun alasan Abang menikahi Emily bukan menjadi tanggung jawab kamu. Abang akan bahagia dengan cara Abang, dengar itu Giana Alejandra Munaf?” tegas Gallen mengakhiri sesi omelan panjangnya pada sang adik. “Paham Abang, maafkan aku,” jawab Giana lirih. Gallen menghela nafas panjang dengan menyugar rambutnya. Ia pandang adik semata wayang yang sangat ia sayangi melebihi siapapun di dunia untuk saat ini. Menarik bahu Giana, Gallen memeluknya dengan lembut. “Abang tahu kamu seperti itu karena kamu sayang sama Abang, tapi kamu sangat tidak sopan dalam mengatakannya. Sudah jangan menangis, maaf ya sudah marah-marah.” Gallen membelai kepala dalam dekapannnya. Gallen dan Giana kembali datang ke rumah keluarga Emily untuk melanjutkan membantu acara pengajian tahlilan sampai tujuh harian papa Emily. Setelah Giana meminta maaf pada semuanya dengan sungguh-sungguh, Emily menghampiri Gallen. “Bisa kita bicara?” cetus Emily pada Gallen. Gallen menoleh pada Emily dan menganggukkan kepalanya kecil, ia tahu akan tiba saatnya mereka berdua harus berbicara. Pertanyaan Mama dan Giana yang menanyakan mereka hendak ke mana padahal acara tahlilan diadakan setelah Ashar, mereka jawab akan berbicara di luar. “Silakan kalau mau bicara lebih dulu.” Gallen mempersilakan Emily berbicara setelah pesanan minum mereka datang. Hal mengejutkan yang Gallen terima pertama kali dari Emily adalah sebuah kalimat. “Saya tidak akan bisa mencintai laki-laki lain lagi,” tukas Emily.“Iya saya tahu, nona ... maksud saya ... kamu tidak akan bisa mencintai laki-laki lain.” Gallen menjawab setelah jeda lumayan lama dari pernyataan Emily.Emily menatap tajam manik mata Gallen di hadapannya, embun mulai menetes dari luar gelas minum mereka yang tidak tersentuh.“Alasan apa yang membuat kamu mau menikahi aku tolong jawab jujur. Karena kamu hanya kasihan? Atau karena kamu tahu jika aku anak bungsu dari keluarga kaya raya?” Emily dengan lantang menyuarakan kemungkinan paling masuk akal laki-laki yang mengurusi pernikahannya, sang pemilik wediing organizer, langsung menikahinya setelah sang papa meminta.Gallen mendengus kecil mendengar tuduhan kejam dari Emily. Memilih tidak menanggapinya dengan emosi juga. Gallen mengerti jika Emily tengah mengalami hal sangat berat sebanyak dua kali dalam waktu bersamaan. “Saya mampu mencukupi kebutuhan saya dan adik saya dengan perusahaan wedding organizer saya, Emily. Saya tidak butuh limpahan harta dari kamu.” Gallen mengatakan
Gallen mengerutkan kening mendengar ada suara ribut di luar, ia dan Giana yang sedang membantu merapikan meja segera menuju pintu depan. Terlihat di sana beberapa orang yang Gallen kenal sebagai keluarga Batara.“Saya hanya ingin berbicara dengan Emily Jeng Ratna,” pinta seorang wanita paruh baya dengan seorang laki-laki muda.“Emily belum baik kondisi mentalnya, dia saja tidak bicara sama kami keluarganya. Maaf mohon pengertiannya. Emily sedang tidak baik-baik saja,” tutur Mama Emily.Menyaksikan hal tersebut Gallen segera berdiri di samping mama Emily.“Mohon maaf Tante, saya tidak mengizinkan Emily bertemu siapapun selama masa pemulihannya. Emily bukan hanya sakit badannya tapi juga hatinya. Jika ada yang mau Tante bicarakan pada Emily, Tante bisa beritahukan pada saya.” Gallen mengambil alih pembicaraan.“Loh kenapa kamu ikut campur? Kamu hanya pegawai wedding organizer anak-anak kami.” Orang tua Batara berang seketika.“Iya benar saya adalah pengurus pernikahan putra dan p
“Tidak ada lagi Gallen, kedua kunci kamar Emily ada di dalam.” Mama Emily berkata panik ikut menggedor pintu kamar Emily.“Awas Tante sama Giana mundur, biar saya dobrak.” Gallen mundur untuk mengambil ancang-ancang menerjang pintu kamar Emily.Sebelum Gallen menerjang pintu, Gracia berlarian menaiki tangga dengan mengancungkan sebuah kunci dengan nafas tersengal-sengal. Ia mendengar seruan mama dan Gallen yang menggedor kamar Emily dengan sangat kuat sampai nyaring ke bawah.Melihat kunci yang di ayunkan Gracia, Gallen menangkapnya dan membuka pintu kamar Emily dengan panik. Tidak lagi terdengar isak dan jeritan dari dalam kamar, hal tersebut yang membuat Gallen jauh lebih cemas.Begitu pintu terbuka, Gallen menerjang masuk dan tidak ditemukan Emily di dalam ruang kamar luasnya. Gallen langsung menuju sebuah pintu yang tertutup rapat, kembali terkunci. “Sial!” Gallen langsung menerjang tanpa memanggil nama Emily kembali. Pada tendangan ke tiganya pintu terlepas selotnya dan ba
Emily mengerutkan kening saat melihat Gallen dan Giana duduk bersebelahan pada sebuah cofe shop baru di pusat Ibu Kota.“Sorry Giana ikut karena tadi dia minta jemput pulang kampus. Katanya hanya akan ikut kita makan.” Gallen menjelaskan tatap tanya Emily.“Enggak apa-apa.” Emily memilih duduk di hadapan Gallen menyaksikan Giana tidak perduli dengan kedatangannya, asyik dengan piring berisi dua potong sandwich tuna tanpa sayuran.“Giana,” tegur Gallen pada sang adik yang acuh pada kedatangan kakak iparnya.Giana mengangkat kepalanya dengan dengus kecil, melambaikan tangan sesaat pada Emily dan kembali menekuri isi piringnya dengan sebelah tangan memegang ponsel.“Kamu mau pesan apa? sudah makan?” Gallen menyodorkan daftar menu pada Emily yang sudah duduk dan meletakan tas di kursi kosong sampingnya.Emily menerima daftar menu dan membaca sesaat sebelum memanggil waiters dan mengatakan ia pesan salad sayur dan buah dengan jus mangga. Mendengar pesanan Emily, Giana kembali menden
“Abang kenapa taplak mejanya diganti?” tanya Giana begitu pulang dari kuliah bertepatan Gallen baru selesai mandi keluar dari kamar dengan rambut basah.“Oh tadi ... ketumpahan jus.” Gallen melirik pintu kamar berwarna coklat tua yang masih tertutup rapat.“Ketumpahan jus? Terus di mana taplaknya? Enggak Abang cuci kan?” Giana melotot pada Gallen.“Di mana ya tadi Abang taruh, di belakang apa ya.” Gallen menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, sambil kembali melirik pintu kamar yang masih tertutup rapat. “Ah Abang ... itu aku buat pakai rajutan sutra. Enggak bisa dicuci sembarangan.” Giana berlari menuju area dapur di mana bersebelahan dengan area cuci. Saat Giana melihat taplak rajut putihnya berada di dalam ember yang sudah berisi air dan detergen, sontak Giana menjerit histeris dan mengentakkan kakinya dengan dramatis sebelum ia angkat taplak yang sudah berubah warna sedikit keabuan tersebut.“Abang Gallen! Aku sudah bilang jangan di sentuh taplak yang ini apa pun
Emily kembali tidak mengindahkan protes Giana, ia justru membalikkan badan pergi meninggalkan sang gadis ke kamar dan kembali dalam hitungan detik. Dengan mata tertuju pada Giana yang sudah duduk di pantry dan menumpukan kepala pada lipatan tangan di atas meja bar.“Bangun.” Emily menarik bahu Giana untuk duduk tegak akan tetapi Giana mengentak tangan Emily dengan kuat hingga tidak sengaja mengenai pipi Emily dan menggoreskan sedikit luka karena cincin yang dipakai Giana.“Kamu benar-benar menguras emosi saya ya,” geram Emily.Giana masih memberikan tatap kebencian pada Emily bahkan nafasnya kian memburu. Akan tetapi Emily membiarkannya. Memperlihatkan apa yang ia pegang pada tangan kanannya sebelum tangan kirinya menarik ke atas pakaian Giana.“Saya tidak akan membunuh kamu kalau itu yang sedang ada di kepala kamu. Hanya memberikan menspad. Apa kamu tidak tahu juga apa itu menspad? Ini gunanya seperti kompres pada wanita datang bulan. Mengurangi rasa nyeri berlebihan, kamu itu p
Emily membeku dipeluk Batara dengan begitu erat, Batara terus melirihkan kata maaf hingga mata Emily membelalak melihat sesosok gadis beransel hitam dengan kaca mata sedikit melorot dan rambut ikat satu yang menatapnya tajam. Giana.“Kamu apa kabar Emily?” tanya Batara setelah Emily mendorong pelukannya.“Tidak baik.” Emily memilih duduk dan tidak mengindahkan tatap tajam Giana padanya, entah alasan apa yang membuat Giana berada di tempat di mana ia bertemu dengan Batara tanpa sepengetahuan siapapun.“Emily aku sungguh minta maaf untuk tidak bisa datang saat hari pernikahan kita.” Batara masih menggenggam tangan Emily erat yang kemudian Emily lepaskan sebelum ia menjawab.“Beri tahu aku alasannya,” tukas Emily.Batara menarik nafas panjang. “ Aku sungguh sudah pulang sebelum acara kita. Tapi di perjalanan menuju rumah tiba-tiba aku tersesat. Mobil aku terus berputar-putar tanpa bisa sampai ke rumah, aku juga tidak bisa menghubungi siapapun. Memang terdengar enggak masuk akal, tap
Emily memutuskan pulang ke kediaman Gallen setelah berputar-putar mencari Giana dan tidak ketemu. Sesampainya di rumah juga tidak ia temui motor Giana. Karena ia sebal pada Giana sedari awal, ia bahkan tidak memiliki nomor ponsel Giana.“Anak resek itu memanggil aku kakak?” Emily menyandarkan kepalanya pada sofa pendek rumah Gallen yang sunyi.Emily ingat jika dalam ke tidak sopanan Giana yang tiba-tiba menyela obrolannya dengan Batara, Giana menyebut diri sendiri aku dan memanggilnya Kakak. Yang mana tidak pernah Giana lakukan sebelumnya.“Sial banget aku, bisa dicincang sama Gallen jika sampai dia tahu,” gumam Emily masih dengan mata terpejam dan kepala menengadah.Hingga waktu menunjukkan pukul tujuh malam Giana belum juga pulang, sedangkan Gallen sudah sampai di rumah pukul delapan malam.“Adik kamu belum pulang, kami .... “Ucapan Emily terputus kala Gallen mengulurkan paper bag di tangannya untuk Emily.“saya belikan ayam bakar taliwang, sop iga sama fuyunghai seafood. K