Gallen mengerutkan kening mendengar ada suara ribut di luar, ia dan Giana yang sedang membantu merapikan meja segera menuju pintu depan. Terlihat di sana beberapa orang yang Gallen kenal sebagai keluarga Batara.
“Saya hanya ingin berbicara dengan Emily Jeng Ratna,” pinta seorang wanita paruh baya dengan seorang laki-laki muda. “Emily belum baik kondisi mentalnya, dia saja tidak bicara sama kami keluarganya. Maaf mohon pengertiannya. Emily sedang tidak baik-baik saja,” tutur Mama Emily. Menyaksikan hal tersebut Gallen segera berdiri di samping mama Emily. “Mohon maaf Tante, saya tidak mengizinkan Emily bertemu siapapun selama masa pemulihannya. Emily bukan hanya sakit badannya tapi juga hatinya. Jika ada yang mau Tante bicarakan pada Emily, Tante bisa beritahukan pada saya.” Gallen mengambil alih pembicaraan. “Loh kenapa kamu ikut campur? Kamu hanya pegawai wedding organizer anak-anak kami.” Orang tua Batara berang seketika. “Iya benar saya adalah pengurus pernikahan putra dan putri Ibu. Di mana putra yang Ibu banggakan tidak datang saat hari ijab qobul. Apa sudah di temukan keberadaan Batara sampai sekarang? jika sudah tolong sampaikan untuk bertanggung jawab. Bukan hanya pada Emily, tapi juga pada keluarganya. Pada Papanya yang sampai meninggal, setelah Batara bisa bertanggung jawab akan itu, baru saya izinkan bertemu Emily.” Gallen berkata penuh penekanan pada seorang Ibu yang wajahnya sudah memerah sempurna. Selain malu luar biasa, yang dikatakan Gallen adalah satu kebenaran yang tidak bisa ia sangkal. “Siapa kamu berani menceramahi saya?” Orang tua Batara murka. “Saya adalah petugas WO yang seperti Ibu sebutkan tadi. Dan sayalah penanggung jawab di rumah ini setelah kepergian Bapak Bachtiar.” Gallen memberikan tatap penuh ancaman pada dua orang di hadapannya. “Jangan bertingkah heroik ya Anda.” Putra lain dari mantan calon besan mama Emily ikut berang bahkan sudah menarik kerah kemeja Gallen hingga mama Emily dan Giana berseru bersamaan. Gallen hanya mendengus kencang, menekan antara ibu dari dan telunjuk sang pria muda yang sok jagoan mengancamnya. Memelintir dan menguncinya di belakang punggung hingga jerit kesakitan menggema sempurna. Wanita paruh baya histeris melihat putra bungsunya mendapatkan perlakuan tersebut. Gallen yang mendapatkan tepukan sekali dari mama Emily langsung mengentak pria muda hingga tersungkur ke lantai pualam. Hingga terdengar debam kencang dan suara kesakitan. “Silakan tinggalkan rumah ini jika Ibu masih punya hati dan empati pada keluarga Emily. Jika masih melakukan hal pemaksaan seperti tadi, maka akan saya bawa ke ranah hukum karena mengganggu kenyamanan keluarga ini. Dan akan melaporkan Batara atas tuduhan penipuan pernikahan.” Gallen memberikan isyarat pada Giana untuk membawa mama Emily masuk dan ia menutupnya dari luar untuk memastikan tamunya pulang. Penuh cemooh dan makian terdengar dari mulut wanita paruh baya di luar pintu. Mama Emily bersandar lemas pada dinding samping pintu besar bagian dalam. Ia kaget dapati sikap lain dri mantan calon besannya yang ia kenal teramat baik. “Mari duduk dulu Tante, Tante lemas.” Giana memapah mama Emily hingga duduk dan berlari ke dapur mengambilkan segelas air minum. Di luar pintu, Gallen meminta sekuriti penjaga rumah Emily untuk tidak lagi menerima siapapun keluarga Batara yang datang tanpa seizinnya. Setelah memastikan mobil orang tua Batara pergi, barulah Gallen masuk ke dalam rumah dan menemui mama Emily. “Tante, saya minta maaf sudah lancang berkata demikian. Tapi mereka sangat tidak sopan memaksa menemui Emily .... “ Perkataan Gallen terputus kala kedua tangannya yang sedang berjongkok di hadapan mama Emily langsung di genggam erat dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih sudah melindungi Emily ya Gallen, kamu tidak perlu minta maaf. Tante dari tadi susuh membuat mereka pulang. Kenapa mereka seolah tidak punya hati pada Emily sampai memaksa bertemu padahal saat papanya meninggal bahkan mereka tidak ada yang datang.” Air mata mama Emily beranak sungai. “Saya sudah meminta bapak sekuriti untuk menolak siapapun dari keluarga Batara yang datang kemari. Tante istirahat saja, ini biar kami yang selesaikan sambil tunggu kak Gracia pulang.” Gallen menepuk tangan dingin mama Emily perlahan.Mama Emily mengangguk. “Kalian anak-anak baik, terima kasih banyak.” Mama Emily memutuskan berbaring di dalam kamarnya, sementara Gallen membelai kepala Giana pelan. “Kamu sudah makan belum? makan dulu baru kita lanjutkan ini ya.” Gallen berkata lembut pada Giana. “Tidak selalu enak ya Bang jadi orang kaya, bahkan keluarganya ada yang meninggal merek hanya ada saat hari pertama saja. Alhamdulillah saat orang tua kita tidak ada, rumah kita ramai terus sampai seratus harian. Semoga Tante tidak sampai sakit,” tutur Giana. “Jangan membandingkan, mungkin kesibukan mereka jauh lebih banyak. Kita kerjakan apa bagian kita tanpa mencampuri yang bukan hak kita. Dan lagi ... Abang kamu ini juga kaya kok. Kamu masih menganggap Abang tidak banyak uang?” Gallen tertawa di akhir kalimat. “Kadang lupa kalau Abang sudah sukses. Hanya rumah saja kalah besar,” kekeh Giana. Canda dua kakak beradik tersebut ternyata tidak luput dari pengamatan Emily dari atas. Emily memutuskan tidak turun saat melihat mamanya menangis dengan menggenggam tangan Gallen dan mengucapkan terima kasih dengan tulus. Emily menyaksikan percakapan Gallen yang lembut dan manis pada sosok Giana yang memusuhinya sedari awal. Emily juga sering merasakan berada di posisi Giana, di sayangi sebesar itu oleh Gracia dan kedua orang tuanya. Tiba-tiba air matanya mengalir, segera ia hapus dan memutar badan menuju kamarnya. Ia lebih suka mengurung diri di kamarnya saat ini. Tidak memperbolehkan siapapu masuk. Sejak hari pernikahan gagalnya, Emily tidak menghidupkan poselnya sedikitpun. Ia memutus hubungan dengan dunia luar. Sekalipun dengan keluarganya, ia tidak memedulikan kantornya, kantor papanya bahkan tidak memedulikan bukan hanya dia di sini yang kehilangan. Ada mama dan Gracia juga merasakan sakit yang sama dengannya. “Papa ... kenapa papa tinggalkan Emily saat seperti ini? kenapa papa menitipkan Emily pada laki-laki yang baru papa kenal. Emily hanya butuh papa di samping Emily, bukan orang lain.” Emily membisiki diri sendiri di dalam kamar sunyinya. Satu persatu kenangan dengan papanya menyeruak ganas, mengambil semua kesadaran Emily hingga terpecah tangis hebat sendirian di atas ranjang serba putihnya. Tangisan hebat itu tidak lagi hanya leleh air mata, tapi jeritan kuat dan kencang memanggil nama papanya. Meskipun pintu kamar Emily tertutup dan terkunci, jelas jeritan Emily sampai ke telinga Gallen dan Giana. Mereka berdua berlarian ke lantai dua di mana kamar Emily berada. Gallen menggedor kencang pintu kamar yang di kunci dari dalam. “Dobrak Bang,” seru Giana. “Kamu lari ke bawah, tanya Tante apa ada kunci duplikatnya.” Gallen meminta Giana ke kamar mama Emily. “Emily! Kamu kenapa? Emily buka pintunya! Emily!” Gallen terus berseru dengan tangan tidak berhenti menggedor kuat pintu dengan aksen ukiran rumit di bagian atasnya.“Tidak ada lagi Gallen, kedua kunci kamar Emily ada di dalam.” Mama Emily berkata panik ikut menggedor pintu kamar Emily.“Awas Tante sama Giana mundur, biar saya dobrak.” Gallen mundur untuk mengambil ancang-ancang menerjang pintu kamar Emily.Sebelum Gallen menerjang pintu, Gracia berlarian menaiki tangga dengan mengancungkan sebuah kunci dengan nafas tersengal-sengal. Ia mendengar seruan mama dan Gallen yang menggedor kamar Emily dengan sangat kuat sampai nyaring ke bawah.Melihat kunci yang di ayunkan Gracia, Gallen menangkapnya dan membuka pintu kamar Emily dengan panik. Tidak lagi terdengar isak dan jeritan dari dalam kamar, hal tersebut yang membuat Gallen jauh lebih cemas.Begitu pintu terbuka, Gallen menerjang masuk dan tidak ditemukan Emily di dalam ruang kamar luasnya. Gallen langsung menuju sebuah pintu yang tertutup rapat, kembali terkunci. “Sial!” Gallen langsung menerjang tanpa memanggil nama Emily kembali. Pada tendangan ke tiganya pintu terlepas selotnya dan ba
Emily mengerutkan kening saat melihat Gallen dan Giana duduk bersebelahan pada sebuah cofe shop baru di pusat Ibu Kota.“Sorry Giana ikut karena tadi dia minta jemput pulang kampus. Katanya hanya akan ikut kita makan.” Gallen menjelaskan tatap tanya Emily.“Enggak apa-apa.” Emily memilih duduk di hadapan Gallen menyaksikan Giana tidak perduli dengan kedatangannya, asyik dengan piring berisi dua potong sandwich tuna tanpa sayuran.“Giana,” tegur Gallen pada sang adik yang acuh pada kedatangan kakak iparnya.Giana mengangkat kepalanya dengan dengus kecil, melambaikan tangan sesaat pada Emily dan kembali menekuri isi piringnya dengan sebelah tangan memegang ponsel.“Kamu mau pesan apa? sudah makan?” Gallen menyodorkan daftar menu pada Emily yang sudah duduk dan meletakan tas di kursi kosong sampingnya.Emily menerima daftar menu dan membaca sesaat sebelum memanggil waiters dan mengatakan ia pesan salad sayur dan buah dengan jus mangga. Mendengar pesanan Emily, Giana kembali menden
“Abang kenapa taplak mejanya diganti?” tanya Giana begitu pulang dari kuliah bertepatan Gallen baru selesai mandi keluar dari kamar dengan rambut basah.“Oh tadi ... ketumpahan jus.” Gallen melirik pintu kamar berwarna coklat tua yang masih tertutup rapat.“Ketumpahan jus? Terus di mana taplaknya? Enggak Abang cuci kan?” Giana melotot pada Gallen.“Di mana ya tadi Abang taruh, di belakang apa ya.” Gallen menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, sambil kembali melirik pintu kamar yang masih tertutup rapat. “Ah Abang ... itu aku buat pakai rajutan sutra. Enggak bisa dicuci sembarangan.” Giana berlari menuju area dapur di mana bersebelahan dengan area cuci. Saat Giana melihat taplak rajut putihnya berada di dalam ember yang sudah berisi air dan detergen, sontak Giana menjerit histeris dan mengentakkan kakinya dengan dramatis sebelum ia angkat taplak yang sudah berubah warna sedikit keabuan tersebut.“Abang Gallen! Aku sudah bilang jangan di sentuh taplak yang ini apa pun
Emily kembali tidak mengindahkan protes Giana, ia justru membalikkan badan pergi meninggalkan sang gadis ke kamar dan kembali dalam hitungan detik. Dengan mata tertuju pada Giana yang sudah duduk di pantry dan menumpukan kepala pada lipatan tangan di atas meja bar.“Bangun.” Emily menarik bahu Giana untuk duduk tegak akan tetapi Giana mengentak tangan Emily dengan kuat hingga tidak sengaja mengenai pipi Emily dan menggoreskan sedikit luka karena cincin yang dipakai Giana.“Kamu benar-benar menguras emosi saya ya,” geram Emily.Giana masih memberikan tatap kebencian pada Emily bahkan nafasnya kian memburu. Akan tetapi Emily membiarkannya. Memperlihatkan apa yang ia pegang pada tangan kanannya sebelum tangan kirinya menarik ke atas pakaian Giana.“Saya tidak akan membunuh kamu kalau itu yang sedang ada di kepala kamu. Hanya memberikan menspad. Apa kamu tidak tahu juga apa itu menspad? Ini gunanya seperti kompres pada wanita datang bulan. Mengurangi rasa nyeri berlebihan, kamu itu p
Emily membeku dipeluk Batara dengan begitu erat, Batara terus melirihkan kata maaf hingga mata Emily membelalak melihat sesosok gadis beransel hitam dengan kaca mata sedikit melorot dan rambut ikat satu yang menatapnya tajam. Giana.“Kamu apa kabar Emily?” tanya Batara setelah Emily mendorong pelukannya.“Tidak baik.” Emily memilih duduk dan tidak mengindahkan tatap tajam Giana padanya, entah alasan apa yang membuat Giana berada di tempat di mana ia bertemu dengan Batara tanpa sepengetahuan siapapun.“Emily aku sungguh minta maaf untuk tidak bisa datang saat hari pernikahan kita.” Batara masih menggenggam tangan Emily erat yang kemudian Emily lepaskan sebelum ia menjawab.“Beri tahu aku alasannya,” tukas Emily.Batara menarik nafas panjang. “ Aku sungguh sudah pulang sebelum acara kita. Tapi di perjalanan menuju rumah tiba-tiba aku tersesat. Mobil aku terus berputar-putar tanpa bisa sampai ke rumah, aku juga tidak bisa menghubungi siapapun. Memang terdengar enggak masuk akal, tap
Emily memutuskan pulang ke kediaman Gallen setelah berputar-putar mencari Giana dan tidak ketemu. Sesampainya di rumah juga tidak ia temui motor Giana. Karena ia sebal pada Giana sedari awal, ia bahkan tidak memiliki nomor ponsel Giana.“Anak resek itu memanggil aku kakak?” Emily menyandarkan kepalanya pada sofa pendek rumah Gallen yang sunyi.Emily ingat jika dalam ke tidak sopanan Giana yang tiba-tiba menyela obrolannya dengan Batara, Giana menyebut diri sendiri aku dan memanggilnya Kakak. Yang mana tidak pernah Giana lakukan sebelumnya.“Sial banget aku, bisa dicincang sama Gallen jika sampai dia tahu,” gumam Emily masih dengan mata terpejam dan kepala menengadah.Hingga waktu menunjukkan pukul tujuh malam Giana belum juga pulang, sedangkan Gallen sudah sampai di rumah pukul delapan malam.“Adik kamu belum pulang, kami .... “Ucapan Emily terputus kala Gallen mengulurkan paper bag di tangannya untuk Emily.“saya belikan ayam bakar taliwang, sop iga sama fuyunghai seafood. K
Emily mendengus kencang akan sindiran telak gadis yang tidak segan menatapnya dengan tajam. “Sudah saya bilang saya bukan anak manis yang akan berkata manis sama kamu.” Giana mengangkat bahunya acuh.“Saya bisa lihat itu, kamu sangat suka bergesekan pendapat dengan saya. Saya memang harus menemui Batara terlepas apa yang dia perbuat. Saya butuh alasan dan penjelasan, tentu saja saya tidak mengharapkan ada Gallen yang mendengarkan percakapan kita. Keputusan saya menemui Batara tidak saya sesali. Harusnya kamu lebih bisa menahan diri kemarin dan mendengarkan kelanjutan perbincangan kami. “ Emily melipat tangannya masih membalas tatap Giana.“Whatever you say, saya sudah tidak tertarik mendengarkan. Jelas sekali kamu tidak ingin memberitahukan dia kalau kamu sudah menikah. Saya ada kelas satu jam lagi, mau bicara apa lagi? saya tidak akan lagi mengajak kamu ribut selama kita tinggal bersama, tenang saja.” Giana mulai mengambil arem-arem dan membuka untuk ia gigit kembali tanpa menaw
“Tidak apa-apa Tante, kami sudah mengurusnya ke pihak berwajib.” Gallen menjawab pertanyaan Mama Emily yang datang bersama Gracia saat mendengar kabar pemukulan Hallen oleh Batara.“Iya harus dilaporkan, ya Tuhan kenapa dia nekat sekali. Kamu juga hati-hati ya Emily, kok Mama takut kamu kenapa-kenapa juga.” Mama Emily menggenggam tangan putrinya erat.Emily mengangguk meyakinkan mamanya untuk lebih hati-hati. Sejak percakapan tidak selesainya dengan Gallen mengenai pertemuannya dengan Batara, mereka berdua belum kembali bicara berdua karena keluarga Emily dan Giana berdatangan langsung. Giana sendiri tidak banyak bicara, hanya memperhatikan percakapan mereka semua di sofa ruangan Gallen dirawat.“Giana sini,” panggil Gallen saat keluarga Emily sudah kembali ke kediaman mereka karena sudah larut dan Gallen sendiri yang meminta mereka pulang untuk istirahat.“Ada apa Bang? Abang butuh sesuatu? Mau ke kamar mandi?” Giana sigap langsung bertanya begitu sudah di samping Gallen.“Kamu