“Tidak ada lagi Gallen, kedua kunci kamar Emily ada di dalam.” Mama Emily berkata panik ikut menggedor pintu kamar Emily.
“Awas Tante sama Giana mundur, biar saya dobrak.” Gallen mundur untuk mengambil ancang-ancang menerjang pintu kamar Emily. Sebelum Gallen menerjang pintu, Gracia berlarian menaiki tangga dengan mengancungkan sebuah kunci dengan nafas tersengal-sengal. Ia mendengar seruan mama dan Gallen yang menggedor kamar Emily dengan sangat kuat sampai nyaring ke bawah. Melihat kunci yang di ayunkan Gracia, Gallen menangkapnya dan membuka pintu kamar Emily dengan panik. Tidak lagi terdengar isak dan jeritan dari dalam kamar, hal tersebut yang membuat Gallen jauh lebih cemas. Begitu pintu terbuka, Gallen menerjang masuk dan tidak ditemukan Emily di dalam ruang kamar luasnya. Gallen langsung menuju sebuah pintu yang tertutup rapat, kembali terkunci. “Sial!” Gallen langsung menerjang tanpa memanggil nama Emily kembali. Pada tendangan ke tiganya pintu terlepas selotnya dan bagian atas lepas pengait-pengaitnya. Mama dan Gracia menjerit histeris melihat air yang sudah memenuhi lantai kamar mandi putih bersih Emily. Bathup dengan air penuh tumpah-tumpah terlihat sosok Emily yang menenggelamkan diri di dalamnya hingga kepalanya tenggelam sampai dasar bathup. “Astaga!” Gallen langsung menarik kepala Emily agar keluar dari dalam air, mematikan shower dan aliran air lainnya dengan sangat cepat. Begitu kepala Emily terangkat, ia sudah terkulai dengan tersedak hebat. Gallen mengangkat tubuh Emily dari sana untuk ia pindahkan ke dalam kamarnya. “Basah Tante.” Gallen ragu saat hendak meletakan Emily ke ranjang. “Tidak apa-apa, taruh kasur.” Mama Emily menahan diri agar isak tangisnya tidak pecah saat itu di hadapan Emily yang mengalami depresi berat. Gracia sudah menarik asal handuk dari lemari Emily hingga beberapa berjatuhan ke atas karpet tebal di sana. Mama memeluk sang putri dengan erat membelai wajah pucat pasinya dengan sengal hebat. “Kita bawa ke rumah sakit Tante, saya siapkan mobil.” Gallen melesat keluar dengan cepat melihat nafas Emily semakin berat. “Emily ... apa yang kamu lakukan Sayang, ya Tuhan Emily.” Mama Emily meratap dengan tangan cekatan melepas semua pakaian basah putrinya untuk ia gantikan dengan yang kering dibantu Gracia dan Giana tentu saja yang tidak hanya diam walau mereka berdua sangat syok melihat pemandangan menemukan Emily tenggelam dalam bathup tanpa ada usaha untuk bangkit. Gallen kembali ke kamar Emily untuk membantu mengangkat Emily ke mobil, akan tetapi mama Emily memberikan gelengan kepala pada Gallen dengan Emily yang berada dalam pelukannya erat sudah berganti pakaian. “Emily tidak mau dibawa ke rumah sakit, Gallen. Biar nanti Tante panggil Dokter saja ke rumah. Biarkan Emily Tante yang temani menenangkan diri,” papar mama Emily. “Baiklah Tante, ayo Giana kita tunggu di bawah saja. Untuk pintunya nanti saya panggilan tukang buat dibetulkan ya Tante.” Gallen menganggukkan kepala menghormati keputusan Emily dan keluarganya. Gallen, Giana dan Gracia keluar kamar dan menutup pintunya setelah mengambil kedua kunci kamar Emily untuk berantisipasi hal serupa kembali terjadi. “Terima kasih ya Gallen, Giana kalian sigap sekali langsung lari ke kamar Emily. Aku sendiri tidak bisa mendampingi Emily saat ini karena harus menghadapi para petinggi perusahaan selama belum ada penggantinya papa. Aku memang parno sekali takut Emily nekat makanya langsung curi satu kunci kamarnya.” Gracia berucap dengan membawa keranjang dengan baju basah Emily serta mamanya. “Sama-sama Kak, saya pribadi juga berpikir demikian tapi enggak sangka sampai sejauh ini. Kita harus lebih memperhatikan lagi untuk ke depannya Kak. Emily butuh seseorang di sampingnya yang bisa merangkul dia. Tante dan Kak Gracia adalah orang paling tepat,” pungkas Gallen. “Iya, aku sama mama akan membicarakannya setelah Emily tenang dan diperiksa. Maaf ya kami banyak sekali merepotkan kalian berdua.” Gracia merasa tidak enak sekali pada dua kakak beradik di depannya. “Tidak apa-apa Kak, jangan sungkan. Selama saya masih berstatus suami Emily maka kami juga keluarga Kakak. Jika nanti Emily meminta hal lain baru saya tidak akan ikut campur lagi.” Saya sudah bicara sama Tante mengenai seratus hari dan keputusan apa pun yang nanti Emily berikan akan saya hormati. Jadi selama itu Emily masih tanggung jawab saya.” Gallen mengatakan hasil bicara dengan Emily kemarin. Gracia mengangguk dengan memaksakan senyum kecil, miris sekali akan apa yang di alami sang adik dan Gallen yang tidak sengaja turut tertarik ke dalam masalah mereka. Acara tahlilan berlangsung sampai tujuh hari dan selama sisa Gallen dan Giana berada di rumah besar tersebut, mereka tidak melihat Emily keluar dari kamarnya. Akan tetapi kata mama Emily, mereka tidak perlu cemas dan khawatir. Karena Emily baik-baik saja dan mau makan, hanya menolak bertemu siapapun selain mama dan Gracia. “Saya akan kembali bekerja besok pagi Tante, Tante bisa menghubungi saya kapan saja jika memang membutuhkan bantuan saya. Saya akan usahakan mengunjungi Emily setiap hari untuk melihat perkembangan kesehatannya. Oh iya ini buku nikah kami, silakan Tante bisa pegang. Saat nanti waktunya sudah lewat seratus harian, saya akan memintanya kembali.” Gallen memberikan dua buku nikah berwarna hijau dan merah kepada mama Emily. “Iya terima kasih banyak ya Gallen, Tante serahkan semuanya pada kalian berdua. Tante tidak akan memaksa kalian untuk apa pun permintaan almarhum papa Emily. Kalian berdua juga jaga kesehatan ya.” Senyuman tulus terukir dari bibir mama Emily sebelum Gallen berpamitan pulang ke rumahnya yang satu minggu ini di tinggal. Gallen kembali pada rutinitas pekerjaannya menjadi pemilik WO dengan jadwal padat. Pertanyaan dari anak buahnya yang mengetahui jika ia menikahi klien mereka hanya dijawab Gallen benar adanya. Tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, ia menghormati pesan terakhir pak Bachtiar. Adiknya sendiri akhirnya memilih pasrah dengan keputusan Gallen. Ia bahkan terang-terangan berharap mereka benar cerai selepas seratus harian. Tidak terasa sudah satu bulan lamanya Gallen dan Emily tidak saling bertemu. Gallen tidak mengharapkan apa pun dari Emily karena sangat jelas Emily membencinya karena menerima permintaan menikahinya. Sampai saat Gallen sedang bersiap dengan tim untuk menuju sebuah gedung yang dipesan salah satu kliennya untuk melangsungkan pesta pernikahan. Ia mau observasi terlebih dahulu. Tiba-tiba mobil yang belum meninggalkan pelataran kantornya di ketuk jendelanya. Gallen kaget dapati wajah Emily dengan kaca mata hitam berdiri di samping pintu kemudi. “Ada apa Emily? Kok kamu sampai sini?” Gallen membuka pintu mobil dan keluar dari sana. “Kamu sedang sibuk sekali ya? Apa kita bisa bicara sebentar saja sebelum kamu berangkat?” Emily jelas berdiri dengan gelisah karena beberapa orang karyawan Gallen memandangnya dari kejauhan. “Maaf untuk sekarang saya tidak bisa, karena ada janji bertemu dengan Manajer Hotel dan klien satu jam lagi di lokasi. Apakah sangat penting? Kamu tidak keberatan kita mengobrol di jalan atau nanti saja saya akan temui kamu setelah pertemuan ini.” Gallen menelisik wajah pucat di balik kaca mata hitam tersebut. “Saya bawa mobil, baiklah nanti saja kalau kamu sudah selesai,” pungkas Emily. Gallen mengangguk dan mengatakan akan menghubungi Emily selepas pertemuan pentingnya. Ia tidak tahu jika ada kabar besar yang akan Emily sampaikan padanya.Emily mengerutkan kening saat melihat Gallen dan Giana duduk bersebelahan pada sebuah cofe shop baru di pusat Ibu Kota.“Sorry Giana ikut karena tadi dia minta jemput pulang kampus. Katanya hanya akan ikut kita makan.” Gallen menjelaskan tatap tanya Emily.“Enggak apa-apa.” Emily memilih duduk di hadapan Gallen menyaksikan Giana tidak perduli dengan kedatangannya, asyik dengan piring berisi dua potong sandwich tuna tanpa sayuran.“Giana,” tegur Gallen pada sang adik yang acuh pada kedatangan kakak iparnya.Giana mengangkat kepalanya dengan dengus kecil, melambaikan tangan sesaat pada Emily dan kembali menekuri isi piringnya dengan sebelah tangan memegang ponsel.“Kamu mau pesan apa? sudah makan?” Gallen menyodorkan daftar menu pada Emily yang sudah duduk dan meletakan tas di kursi kosong sampingnya.Emily menerima daftar menu dan membaca sesaat sebelum memanggil waiters dan mengatakan ia pesan salad sayur dan buah dengan jus mangga. Mendengar pesanan Emily, Giana kembali menden
“Abang kenapa taplak mejanya diganti?” tanya Giana begitu pulang dari kuliah bertepatan Gallen baru selesai mandi keluar dari kamar dengan rambut basah.“Oh tadi ... ketumpahan jus.” Gallen melirik pintu kamar berwarna coklat tua yang masih tertutup rapat.“Ketumpahan jus? Terus di mana taplaknya? Enggak Abang cuci kan?” Giana melotot pada Gallen.“Di mana ya tadi Abang taruh, di belakang apa ya.” Gallen menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, sambil kembali melirik pintu kamar yang masih tertutup rapat. “Ah Abang ... itu aku buat pakai rajutan sutra. Enggak bisa dicuci sembarangan.” Giana berlari menuju area dapur di mana bersebelahan dengan area cuci. Saat Giana melihat taplak rajut putihnya berada di dalam ember yang sudah berisi air dan detergen, sontak Giana menjerit histeris dan mengentakkan kakinya dengan dramatis sebelum ia angkat taplak yang sudah berubah warna sedikit keabuan tersebut.“Abang Gallen! Aku sudah bilang jangan di sentuh taplak yang ini apa pun
Emily kembali tidak mengindahkan protes Giana, ia justru membalikkan badan pergi meninggalkan sang gadis ke kamar dan kembali dalam hitungan detik. Dengan mata tertuju pada Giana yang sudah duduk di pantry dan menumpukan kepala pada lipatan tangan di atas meja bar.“Bangun.” Emily menarik bahu Giana untuk duduk tegak akan tetapi Giana mengentak tangan Emily dengan kuat hingga tidak sengaja mengenai pipi Emily dan menggoreskan sedikit luka karena cincin yang dipakai Giana.“Kamu benar-benar menguras emosi saya ya,” geram Emily.Giana masih memberikan tatap kebencian pada Emily bahkan nafasnya kian memburu. Akan tetapi Emily membiarkannya. Memperlihatkan apa yang ia pegang pada tangan kanannya sebelum tangan kirinya menarik ke atas pakaian Giana.“Saya tidak akan membunuh kamu kalau itu yang sedang ada di kepala kamu. Hanya memberikan menspad. Apa kamu tidak tahu juga apa itu menspad? Ini gunanya seperti kompres pada wanita datang bulan. Mengurangi rasa nyeri berlebihan, kamu itu p
Emily membeku dipeluk Batara dengan begitu erat, Batara terus melirihkan kata maaf hingga mata Emily membelalak melihat sesosok gadis beransel hitam dengan kaca mata sedikit melorot dan rambut ikat satu yang menatapnya tajam. Giana.“Kamu apa kabar Emily?” tanya Batara setelah Emily mendorong pelukannya.“Tidak baik.” Emily memilih duduk dan tidak mengindahkan tatap tajam Giana padanya, entah alasan apa yang membuat Giana berada di tempat di mana ia bertemu dengan Batara tanpa sepengetahuan siapapun.“Emily aku sungguh minta maaf untuk tidak bisa datang saat hari pernikahan kita.” Batara masih menggenggam tangan Emily erat yang kemudian Emily lepaskan sebelum ia menjawab.“Beri tahu aku alasannya,” tukas Emily.Batara menarik nafas panjang. “ Aku sungguh sudah pulang sebelum acara kita. Tapi di perjalanan menuju rumah tiba-tiba aku tersesat. Mobil aku terus berputar-putar tanpa bisa sampai ke rumah, aku juga tidak bisa menghubungi siapapun. Memang terdengar enggak masuk akal, tap
Emily memutuskan pulang ke kediaman Gallen setelah berputar-putar mencari Giana dan tidak ketemu. Sesampainya di rumah juga tidak ia temui motor Giana. Karena ia sebal pada Giana sedari awal, ia bahkan tidak memiliki nomor ponsel Giana.“Anak resek itu memanggil aku kakak?” Emily menyandarkan kepalanya pada sofa pendek rumah Gallen yang sunyi.Emily ingat jika dalam ke tidak sopanan Giana yang tiba-tiba menyela obrolannya dengan Batara, Giana menyebut diri sendiri aku dan memanggilnya Kakak. Yang mana tidak pernah Giana lakukan sebelumnya.“Sial banget aku, bisa dicincang sama Gallen jika sampai dia tahu,” gumam Emily masih dengan mata terpejam dan kepala menengadah.Hingga waktu menunjukkan pukul tujuh malam Giana belum juga pulang, sedangkan Gallen sudah sampai di rumah pukul delapan malam.“Adik kamu belum pulang, kami .... “Ucapan Emily terputus kala Gallen mengulurkan paper bag di tangannya untuk Emily.“saya belikan ayam bakar taliwang, sop iga sama fuyunghai seafood. K
Emily mendengus kencang akan sindiran telak gadis yang tidak segan menatapnya dengan tajam. “Sudah saya bilang saya bukan anak manis yang akan berkata manis sama kamu.” Giana mengangkat bahunya acuh.“Saya bisa lihat itu, kamu sangat suka bergesekan pendapat dengan saya. Saya memang harus menemui Batara terlepas apa yang dia perbuat. Saya butuh alasan dan penjelasan, tentu saja saya tidak mengharapkan ada Gallen yang mendengarkan percakapan kita. Keputusan saya menemui Batara tidak saya sesali. Harusnya kamu lebih bisa menahan diri kemarin dan mendengarkan kelanjutan perbincangan kami. “ Emily melipat tangannya masih membalas tatap Giana.“Whatever you say, saya sudah tidak tertarik mendengarkan. Jelas sekali kamu tidak ingin memberitahukan dia kalau kamu sudah menikah. Saya ada kelas satu jam lagi, mau bicara apa lagi? saya tidak akan lagi mengajak kamu ribut selama kita tinggal bersama, tenang saja.” Giana mulai mengambil arem-arem dan membuka untuk ia gigit kembali tanpa menaw
“Tidak apa-apa Tante, kami sudah mengurusnya ke pihak berwajib.” Gallen menjawab pertanyaan Mama Emily yang datang bersama Gracia saat mendengar kabar pemukulan Hallen oleh Batara.“Iya harus dilaporkan, ya Tuhan kenapa dia nekat sekali. Kamu juga hati-hati ya Emily, kok Mama takut kamu kenapa-kenapa juga.” Mama Emily menggenggam tangan putrinya erat.Emily mengangguk meyakinkan mamanya untuk lebih hati-hati. Sejak percakapan tidak selesainya dengan Gallen mengenai pertemuannya dengan Batara, mereka berdua belum kembali bicara berdua karena keluarga Emily dan Giana berdatangan langsung. Giana sendiri tidak banyak bicara, hanya memperhatikan percakapan mereka semua di sofa ruangan Gallen dirawat.“Giana sini,” panggil Gallen saat keluarga Emily sudah kembali ke kediaman mereka karena sudah larut dan Gallen sendiri yang meminta mereka pulang untuk istirahat.“Ada apa Bang? Abang butuh sesuatu? Mau ke kamar mandi?” Giana sigap langsung bertanya begitu sudah di samping Gallen.“Kamu
Emily kaget saat seorang perawat masuk dan meminta izin mengganti pakaian Gallen serta membantunya ke kamar mandi. Padahal ia sedari tadi tidak ke mana-mana dan hanya duduk di sofa memainkan ponselnya.“Kenapa kamu panggil perawat padahal saya ada di sini?” Emily langsung bertanya begitu Gallen kembali berbaring dengan pakaian yang sudah ganti dan wajah lebih segar karena sudah ia basuh dengan air dingin.“Saya tidak mungkin minta kamu ke kamar mandi dan menunggui saya berganti baju sampai pakaian dalam bukan? Tentu kamu akan risih atau bisa jadi teriak histeris seperti saat di rumah itu.” Gallen menjawab dengan jujur.Emily seketika merona teringat kejadian mereka berpapasan dengan Gallen yang hanya mengenakan pakaian dalam. Ia berdecap keras untuk menutupi salah tingkahnya di hadapan Gallen.“Itu lain cerita, waktu itu saya kaget. Sekarang posisinya kamu sedang sakit dan itu gara-gara saya. Apa susahnya saya bantu gantikan kamu baju kan. Saya bisa memejamkan mata kalau kamu yan