“Gila memang dia, masa di rumah sakit berani menyerang begitu. Untung keamanan sini sigap sekali langsung di bawa ke kantor polisi.” Giana menggerutu panjang dengan menyaksikan Gallen yang sedang ditangani kembali infus yang terlepas.“Abang yang menyerang Giana, kamu bisa tolong diam? Abang pusing sekali kamu mengomel terus,” tegur Gallen.“Iya Bang maaf.” Giana langsung diam setelah Gallen menegur.Mereka berempat di ruangan Gallen terdiam sampai sang perawat selesai menangani Gallen. Syahdan menghela nafas panjang melihat bagaimana bengkaknya tangan kanan Gallen setelah kejadian.“Kamu pulang saja Syahdan, biar mereka berdua saya yang urus. Terima kasih ya sudah antar Giana ke makam.” Gallen mengucapkan terima kasih pada Syahdan yang sudah membantunya menemani sang adik.“Siap Bang, saya pulang dulu ya. Heh anak bandel jangan simpan macam-macam dalam tas kamu itu.” Syahdan menepuk kepala Giana sekali.“Itu aku beli karena kemarin lusa spion motor aku kendor, dari pada beli d
“Pernah ... sering dulu pas awal-awal. Yang paling parah menurut saya adalah saat kami salah pesan bunga seharga lima belas juta. Di sini bukan masalah di uang, tapi baby pink yang di minta keluarga perempuan kami pesankan dengan warna pink tua. Pemesanan bunga tidak bisa sekali panggil mereka menyediakan. Karena bunga asli lebih susah pesannya, waktu tidak memungkinkan untuk mencari penggantinya jadi kamu tahu tidak ... ya Tuhan ini sungguh pekerjaan paling menguras kesabaran. Saya panggil dua puluh anak SMA teman Giana, untuk membantu mewarnai satu persatu kelopak bunga dengan warna baby pink. Itu bunga satu truk besar Emily ... kami bertiga puluh semalam suntuk mewarnai kelopak bunga. Saya izin sama orang tua mereka tentu saja, untungnya mereka sedang libur semester.” Gallen sudah duduk bersandar kepala ranjang setelah Emily bantu duduk. “Astaga ... saya enggak bisa membayangkan. Apa keluarga mempelai tidak keberatan?” Emily sangat tertarik dengan cer
Gallen berdehem sekali untuk menutupi kegugupannya, setelah mereka diam beberapa lama agar pusingnya berkurang. Kini Emily memapahnya menuju bangkar dan membantunya berbaring.“Celana kamu basah, saya bantu ganti ya. Kamu pusing dari dalam kamar mandi ya?” Emily cekatan membuka lemari di samping ranjang untuk mengambil pakaian ganti Gallen.“Biarkan saja hanya sedikit basah tadi,” ujar Gallen.“Saya tidak akan menyentuh yang tidak seharusnya disentuh tenang saja. Kamu digantikan suster mau, kenapa sama saya enggak mau?” sindir Emily telak.“Takutnya kamu yang risih. Bagaimanapun saya laki-laki dan kamu perempuan.” Gallen menjawab pasrah akhirnya kala Emily membentangkan selimut hingga dadanya sebelum menarik turun celana pasien Gallen tanpa membuatnya terbuka. Emily tersenyum kecil mendengarnya, tangannya cekatan memakaikan Gallen celana bersih sebelum kembali menurunkan selimutnya. Gallen tidak betah pakai selimut selama Emily di sampinya jarang melihat Gallen berselimut lama.
Emily berdehem dengan mengalihkan pandangannya dari manik mata Gallen, ia tidak menyangka akan mendapat serangan telak dari Gallen akan alasan mengapa Gallen sangat tidak suka bersentuhan dengan wanita walau dalam konteks tidak sengaja.“Tidak pernah pacaran?” tanya Emily setelah mengatasi kegugupannya.“Pernah beberapa kali, tapi karena saya ... aku maksudnya ... selalu sibuk dengan pekerjaan jadi mungkin mereka kesal, bosan, akhirnya meminta menyudahi hubungan.” Gallen memutar badannya agar tidak berhadapan dengan Emily yang masih setia memandangnya lekat.“Pacarannya syar’i?” Emily masih penasaran bagaimana interaksi Gallen dengan para kekasihnya dahulu.“Pacaran Syar’i itu seperti apa? pacaran saja sudah dosa, kok ada Syar’inya.” Gallen geli mendengar pertanyaan Emily.Emily berdecap menepuk Gallen kesal. “Maksudnya hanya jalan jejeran terus mengobrol saja begitu?”“Memang ada hal lain yang harus dilakukan selama masa pacaran? kamu seperti itu? melakukan sesuatu yang belum w
“Terima kasih, selamat bekerja.” Emily mengucapkannya setelah hampir sepuluh menit sisa perjalanan mereka di warnai keheningan, Giana terlebih dulu turun karena lokasi kampusnya yang paling dekat dengan rumah.“Emily,” tahan Gallen.“Iya?” Emily menoleh pada Gallen yang menahan lengan berbalut blazer mocca.“Sorry untuk yang semalam, aku ... tidak ada maksud berbuat asusila tapi .... ““Iya aku tahu, bukan hanya kamu saja yang melakukannya. Jangan dibahas lagi tolong, aku malu sumpah,” kekeh Emily menutupi salah tingkahnya.Gallen mengangguk menyetujui. “Tapi kalau kamu mau pertanggung jawaban, aku akan tanggung jawab sungguh.”“Aku enggak hamil astaga apa yang harus dipertanggung jawabkan. Kita sama-sama tidak ada paksaan jadi stop bahas mengenai ciuman di dapur. Sudah ya aku harus masuk kantor.” Emily tidak menunggu jawaban dari Gallen dan langsung keluar dari dalam mobil yang tiba-tiba terasa panas.Emily berusaha melupakan kejadian di dapur agar bisa fokus bekerja, tidak ad
“Keterlaluan,” geram Gallen setelah mendengarkan penjelasan panjang Emily.“Iya keterlaluan sekali memang, kalau sampai aku kelepasan membalas sudah pasti akan mendapat laporan tindakan tidak menyenangkan. Kenal sekali aku mamanya Batara,” desah Emily.Gallen menyugar rambutnya. “Sungguh keluarga yang tidak mau mengakui kesalahan, astaga semoga aku dijauhkan dari sifat seperti itu. Yakin baik-baik saja?”Emily mengangguk kecil dengan segaris senyuman meyakinkan laki-laki di hadapannya.“Aku bisa mengatasinya, tidak akan tinggal diam misal dapat perlakuan kasar lagi.” Emily meyakinkan kembali saat melihat Gallen belum juga percaya.“Kamu bisa bilang sama aku jika terjadi hal sama, ya sudah aku kembali ke Gayana saja. Takutnya mengganggu kamu yang akan melanjutkan pekerjaan. Mau di jemput atau bagaimana nanti pulangnya?” Gallen membawa kembali semua sampah sisa makan mereka, walau Emily sudah melarangnya dan akan di rapikan OB.Emily mengangguk. “Iya, aku akan pulang sama kak Grace
“Astaga,” umpat Emily setelah menguasai kekagetannya.“Kenapa mesti sembunyi di balik selimut?” Gallen yang sudah kembali mendekati ranjang menarik turun selimut yang menutupi seluruh tubuh Emily hingga ujung kepala.“Stop it,” tahan Emily pada selimutnya yang di tarik turun oleh Gallen.“Astaga Gallen!” Emily berseru sebal dan penuh rasa malu langsung bangun dari pura-pura tidurnya. Emily menatap tajam Gallen yang sudah duduk di sampingnya dengan senyuman kecil, wajahnya merah karena malu ketahuan pura-pura tidur. Padahal ia lakukan hal itu agar tidak membangunkan Gallen dan membuat sang laki-laki malu.“Kenapa pura-pura tidur?” Gallen menaikkan tali bahu Emily yang melorot dan membuatnya kembali melihat dada terbuka sang gadis.“Aku enggak ingin buat kamu malu pas bangun dan kita ... jadi ya sudah aku tunggu kamu bangun,” aku Emily tanpa menatap mata Gallen saat menyadari ia mengenakan pakaian terbuka.“Oh ... terima kasih sudah memikirkan itu. Aku pikir kamu mau mengerjai
Emily mengurai pelukan sang kakak yang setelah mendengarnya mendapat tamparan dari mama Batara langsung menghubungi kepala keamanan gedung untuk tidak membiarkan satu orangpun dari keluarga Batara menginjak gedung kantor.“Laporkan saja ya Em, ada bukti juga dari cctv. Mereka harus bertanggung jawab, kaya manusia enggak beradap saja main pukul anak orang,” geram Gracia sangat tidak terima dengan perlakuan mantan calon mama mertua Emily.“Biarkan saja, Kak. Aku sangat malas dan lelah menghadapi mereka. Tidak sampai terluka juga akunya, untung aku belum jadi menantunya. Baru tahu jika dia membela anaknya sebesar itu padahal tahu jelas Batara salah.” Emily meremas tangan Gracia, meyakinkan sang kakak yang masih berwajah kesal.“Aku juga sudah minta keamanan rumah untuk menolak siapapun tamu tanpa seizin aku. Terkecuali Gallen dan Giana, aku sedikit parno juga meninggalkan mama sendirian selama kita bekerja.” Gracia membelai paras cantik sang adik lembut.“Mama belum stabil seperti k