“Terima kasih, selamat bekerja.” Emily mengucapkannya setelah hampir sepuluh menit sisa perjalanan mereka di warnai keheningan, Giana terlebih dulu turun karena lokasi kampusnya yang paling dekat dengan rumah.“Emily,” tahan Gallen.“Iya?” Emily menoleh pada Gallen yang menahan lengan berbalut blazer mocca.“Sorry untuk yang semalam, aku ... tidak ada maksud berbuat asusila tapi .... ““Iya aku tahu, bukan hanya kamu saja yang melakukannya. Jangan dibahas lagi tolong, aku malu sumpah,” kekeh Emily menutupi salah tingkahnya.Gallen mengangguk menyetujui. “Tapi kalau kamu mau pertanggung jawaban, aku akan tanggung jawab sungguh.”“Aku enggak hamil astaga apa yang harus dipertanggung jawabkan. Kita sama-sama tidak ada paksaan jadi stop bahas mengenai ciuman di dapur. Sudah ya aku harus masuk kantor.” Emily tidak menunggu jawaban dari Gallen dan langsung keluar dari dalam mobil yang tiba-tiba terasa panas.Emily berusaha melupakan kejadian di dapur agar bisa fokus bekerja, tidak ad
“Keterlaluan,” geram Gallen setelah mendengarkan penjelasan panjang Emily.“Iya keterlaluan sekali memang, kalau sampai aku kelepasan membalas sudah pasti akan mendapat laporan tindakan tidak menyenangkan. Kenal sekali aku mamanya Batara,” desah Emily.Gallen menyugar rambutnya. “Sungguh keluarga yang tidak mau mengakui kesalahan, astaga semoga aku dijauhkan dari sifat seperti itu. Yakin baik-baik saja?”Emily mengangguk kecil dengan segaris senyuman meyakinkan laki-laki di hadapannya.“Aku bisa mengatasinya, tidak akan tinggal diam misal dapat perlakuan kasar lagi.” Emily meyakinkan kembali saat melihat Gallen belum juga percaya.“Kamu bisa bilang sama aku jika terjadi hal sama, ya sudah aku kembali ke Gayana saja. Takutnya mengganggu kamu yang akan melanjutkan pekerjaan. Mau di jemput atau bagaimana nanti pulangnya?” Gallen membawa kembali semua sampah sisa makan mereka, walau Emily sudah melarangnya dan akan di rapikan OB.Emily mengangguk. “Iya, aku akan pulang sama kak Grace
“Astaga,” umpat Emily setelah menguasai kekagetannya.“Kenapa mesti sembunyi di balik selimut?” Gallen yang sudah kembali mendekati ranjang menarik turun selimut yang menutupi seluruh tubuh Emily hingga ujung kepala.“Stop it,” tahan Emily pada selimutnya yang di tarik turun oleh Gallen.“Astaga Gallen!” Emily berseru sebal dan penuh rasa malu langsung bangun dari pura-pura tidurnya. Emily menatap tajam Gallen yang sudah duduk di sampingnya dengan senyuman kecil, wajahnya merah karena malu ketahuan pura-pura tidur. Padahal ia lakukan hal itu agar tidak membangunkan Gallen dan membuat sang laki-laki malu.“Kenapa pura-pura tidur?” Gallen menaikkan tali bahu Emily yang melorot dan membuatnya kembali melihat dada terbuka sang gadis.“Aku enggak ingin buat kamu malu pas bangun dan kita ... jadi ya sudah aku tunggu kamu bangun,” aku Emily tanpa menatap mata Gallen saat menyadari ia mengenakan pakaian terbuka.“Oh ... terima kasih sudah memikirkan itu. Aku pikir kamu mau mengerjai
Emily mengurai pelukan sang kakak yang setelah mendengarnya mendapat tamparan dari mama Batara langsung menghubungi kepala keamanan gedung untuk tidak membiarkan satu orangpun dari keluarga Batara menginjak gedung kantor.“Laporkan saja ya Em, ada bukti juga dari cctv. Mereka harus bertanggung jawab, kaya manusia enggak beradap saja main pukul anak orang,” geram Gracia sangat tidak terima dengan perlakuan mantan calon mama mertua Emily.“Biarkan saja, Kak. Aku sangat malas dan lelah menghadapi mereka. Tidak sampai terluka juga akunya, untung aku belum jadi menantunya. Baru tahu jika dia membela anaknya sebesar itu padahal tahu jelas Batara salah.” Emily meremas tangan Gracia, meyakinkan sang kakak yang masih berwajah kesal.“Aku juga sudah minta keamanan rumah untuk menolak siapapun tamu tanpa seizin aku. Terkecuali Gallen dan Giana, aku sedikit parno juga meninggalkan mama sendirian selama kita bekerja.” Gracia membelai paras cantik sang adik lembut.“Mama belum stabil seperti k
“Kamu sudah hubungi Gallen, Giana? Semalaman dia enggak pulang, menginap di mana dia?” berondong Emily pada Giana yang baru keluar dari kamar dengan celana pendek.Giana meringis kecil. “Kak Em mau berangkat kerja ya. Mau menerobos lewat jendela samping? Satu-satunya jendela yang teralisnya bisa di buka.”“Bukan masalah mau berangkat kerja, aku bisa absen hari ini. Tapi takutnya Gallen kenapa-kenapa di luar.” Emily memegang cangkir coklatnya dengan sebelah tangan.“Mudah-mudahan enggak Kak, mungkin menginap di Gayana atau hotel mana buat menenangkan diri. Semua kunci duplikat juga dibawa, memang sengaja mengurung kita sepertinya. Pasti hari ini pulang Kak, soalnya besok Abang ada jadwal dekor acara lamaran temannya.” Giana menerima cangkir yang diulurkan Emily.“Kamu tahu semua jadwal dia?” tanya Emily.“Aku yang susun,” jawab Giana.“Oh ya?” Emily kaget jadwal padat Gallen ternyata adiknya yang menyusun.“Abang yang minta, katanya ia ingin ada yang mengingatkan biar enggak ada
“Lagian kamu mau apa bawa pisau lipat Giana? Cukup semprotan cabai. Kamu bisa kena tuntutan kalau seperti itu, mengancam orang dengan pisau walaupun tujuannya melindungi diri. Gallen katanya sedang mengurus, ya sudah hati-hati lain kali.” Emily mematikan panggilan dan mendesah panjang kemudian menyeringai pada Gracia yang memicingkan mata di ambang pintu ruang kantornya.“Kamu dekat dengan Giana?” tanya Gracia.“Enggak bisa dibilang dekat juga Kak, kami punya masalah cukup serius karena sama-sama enggak suka.” Emily mengawali cerita panjangnya mengenai Giana.“’Pantas ... orang sifatnya sama kaya kamu,” kekeh Gracia setelah mendengarkan penjelasan panjang sang adik.“Tapi dia sangat pedas sekali kalau bicara Kak, ampun anak gadis terlalu berani kaya dia berbahaya juga. Kemarin baru dibuntuti keponakan Batara dan di senggol motornya, orang lain mungkin akan ketakutan. Lah dia malah mengeluarkan pisau lipat, gila enggak itu. Sampai Gallen marahnya luar biasa sama Giana.” Emily meng
“Emily? Kamu sedang apa di kamar aku?” Gallen bangun dari tidurnya untuk duduk, saat sesuatu terjatuh dari keningnya dan ia ambil barulah ia menyadari jika Emily mengompresnya saat ia demam.Emily mendesah dan bangun dari duduknya untuk menyentuh kembali kening Gallen.“Sudah turun tapi masih hangat, aku pesankan bubur karena aku enggak bisa buat dan maaf tadi Giana telepon kamu tapi aku yang angkat. Katanya dia pulang terlambat karena mau main di rumah Diana dan kamu kenal.” Emily memutar tubuh setelah Gallen mengangguk untuk mengambilkan Gallen makanan yang satu jam lalu ia pesan.Emily masuk ke dalam kamar Gallen kembali dengan nampan berisi mangkuk bubur yang masih mengepulkan asap karena ia hangatkan kembali. Bersanding segelas air putih dan sebutir obat penurun panas kembali.“Terima kasih.” Gallen berkata pelan dengan menerima mangkuk dari Emily yang mengangguk dengan senyuman tipis.“Aku bisa makan di ruang makan padahal, hanya demam,” ujar Gallen.“Kamu jalan saja tadi
Gallen mengenakan seragam beskap lengkap kain batik Trusmi saat menjadi petugas WO pada salah satu acara resepsi salah satu kliennya di sebuah gedung hotel mewah. Sudah satu minggu terakhir ia fokus untuk acara tersebut.“Pak Gallen bunga untuk mempelai resepsi Bapak yang simpan?” Salah seorang staf Gayana berkebaya hitam menghampiri Gallen untuk menanyakan bunga yang akan dipegang mempelai wanita saat resepsi nanti setelah akad.“Loh bukannya sudah masuk kamar rias bareng make up dan baju pengantin? Sudah di cari belum?” Gallen langsung menghidupkan penghubung dengan semua staf WO dan bertanya pada mereka semua siapa yang memasuki kamar rias dan membawa peralatan pengantin ke sana.Setelah memastikan tidak ada yang bisa menemukan sedangkan acara resepsi dua jam lagi, Gallen langsung mengambil keputusan untuk segera mengambil buket pengantin yang sudah walau bukan bunga asli seperti yang sudah Gayana buatkan sebelumnya. Rencana terakhir saat ia menghubungi pihak perangkai apakah b