“Abang kenapa taplak mejanya diganti?” tanya Giana begitu pulang dari kuliah bertepatan Gallen baru selesai mandi keluar dari kamar dengan rambut basah.
“Oh tadi ... ketumpahan jus.” Gallen melirik pintu kamar berwarna coklat tua yang masih tertutup rapat. “Ketumpahan jus? Terus di mana taplaknya? Enggak Abang cuci kan?” Giana melotot pada Gallen. “Di mana ya tadi Abang taruh, di belakang apa ya.” Gallen menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, sambil kembali melirik pintu kamar yang masih tertutup rapat. “Ah Abang ... itu aku buat pakai rajutan sutra. Enggak bisa dicuci sembarangan.” Giana berlari menuju area dapur di mana bersebelahan dengan area cuci. Saat Giana melihat taplak rajut putihnya berada di dalam ember yang sudah berisi air dan detergen, sontak Giana menjerit histeris dan mengentakkan kakinya dengan dramatis sebelum ia angkat taplak yang sudah berubah warna sedikit keabuan tersebut. “Abang Gallen! Aku sudah bilang jangan di sentuh taplak yang ini apa pun nodanya! Ini lihat kelunturan.” Giana mengangkat taplak persis ke hadapan wajah Gallen yang meringis lebar. “Di bilas coba siapa tahu hilang. Enggak perlu menangis Giana astaga hanya taplak meja.” Gallen hendak mengambil taplak di tangan Giana namun Giana menghalau tangan panjang kakaknya dengan kesal. “Enggak akan bisa hilang, serat sutra sama katun sangat berbeda. Enggak bisa diproses cuci sama hanya di rendam kucek bilas.” Giana membawa taplak ke bawah air keran dan mengguyurnya bagian demi bagian.Gallen mendesah panjang. “ Maafkan Abang, Abang lupa kalau itu taplak lebih berharga dari pada perhiasan kamu. Abang akan belikan yang baru ya.” “Enggak bisa, aku beli benangnya di Yogyakarta pas darmawisata dulu. Dan ini aku rajut sendiri, bukan beli jadi,” gumam Giana menahan diri agar tidak kembali berteriak pada Gallen. “Abang lupa dan tidak sengaja Giana .... “ Emily menghentikan langkahnya saat akan mendekati kedua kakak beradik di sana saat melihat Gallen mengisyaratkan untuk tidak mendekat dan mengakui semuanya. Yang sebenarnya terjadi adalah Emily yang menumpahkan jus mangga kemasan saat ia menjerit histeris melihat Gallen yang keluar dari kamar mandi ruang tengah hanya dengan pakaian dalam. Gallen lupa jika di rumah ada Emily walau tidak ada Giana. Sebelumnya Gallen tidak pernah berkeliaran di dalam rumah hanya dengan pakaian dalam, namun beda kejadian karena Gallen terpeleset dan tidak sengaja menekan keran hingga membasahi baju dan celananya. Gallen hanya berpikir jarak kamar mandi tengah dengan pintu kamarnya tidak ada dua meter, jadi ia memutuskan berlari saja ke kamar. Ternyata Emily baru keluar dapur dan menjerit melihatnya tanpa busana seperti itu sampai menjatuhkan gelas di tangan dan mengotori taplak kesayangan adiknya. Gallen tahu itu taplak keramat Giana, makanya dengan impulsif dia langsung merendamnya di ember. Tidak tahu jika bahan sutra tidak boleh direndam seperti itu. Giana membersihkan taplak dari sisa busa dengan diam sesekali menarik hidung yang basah. Seberharga itu taplak rajut bulat miliknya. “Ya sudah kalau enggak bisa di maafkan, kamu bilang Abang mesti bagaimana?” Gallen menepuk kepala Giana yang menunduk dalam di depan keran yang masih mengalir. Giana tidak menjawab, tapi mendorong badan kakaknya dari sana dan ia menuju tempat jemuran besi. Melebarkan taplak yang tidak kembali berwarna putih bersih seperti semula. Gallen mendesah panjang dan memilih meninggalkan Giana sendirian, karena ia tahu jika sang adik sudah diam seperti itu. Maka percuma semua rayuannya tidak akan digubris. “Biarkan saya yang bilang ke Giana.” Emily membuntuti langkah Gallen menuju ruang tengah. “Jangan dulu, dia akan semakin marah nanti. Biarkan dulu saja, memang saya yang salah pakai merendamnya di ember. Sutra memang merepotkan begitu ya?” tanya Gallen. “Iya dia harus dirawat dengan cara berbeda dengan kain lainnya. Saya jadi tidak enak sudah buat dia menangis seperti itu,” gumam Emily. “Bukan salah kamu, yang salah saya karena merendamnya. Sudah jangan terlalu dipikirkan, nanti juga sembuh sendiri mengambeknya.” Gallen menjatuhkan tubuh di sofa panjangnya. “Lain kali aku akan memberikan tanda jika ada di rumah ini. Biar kamu setidaknya pakai handuk saat keluar kamar mandi.” Emily terpekur di depan ponselnya. “Tidak ada lain kali, saya tidak pernah begitu sebelumnya. Tadi memang tidak sengaja.” Gallen menjawab dengan kembali menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Emily memperhatikan Gallen yang salah tingkah di seberang ia duduk, ia bisa memastikan Gallen tidak berbohong saat bilang tidak pernah melakukan hal itu sebelum kepergok Emily. Giana melewati mereka berdua tanpa menyapa keduanya. Langsung masuk ke dalam kamar dengan menutup pintu lumayan kencang. “Giana punya pacar?” tanya Emily mencari topik pembicaraan. “Setahu saya belum, semoga saja belum sih.” Gallen menjawab ringan. “Kenapa semoga belum? kamu takut Giana bertemu playboy?” tuntut Emily. “Iya, dia walau terlihat garang tapi polosnya kadang kebangetan. Laki-laki sekarang ... tidak bisa dipercaya,” tukas Gallen. “Kamu juga laki-laki berarti tidak bisa dipercaya juga dong?” serang Emily. “Iya jangan percaya juga sama saya. Saya juga laki-laki,” terang Gallen. Emily mendengus memilih menyudahi percakapan mereka berdua. Pukul tujuh malam tiba-tiba Gallen harus meninggalkan rumah karena salah satu calon kliennya meminta bertemu sekarang juga sebelum bertolak ke Madiun. Meninggalkan Emily dan Giana yang masing-masing berada di dalam kamar. Emily menatap langit-langit kamarnya di rumah Gallen, memikirkan sebenarnya ia bisa saja menolak permintaan mamanya yang ingin ia tinggal bersama Gallen agar lebih mengenal. Ia sungguh tidak ingin mengenal siappun laki-laki setelah kegagalan pernikahannya yang sampai saat ini tidak ia ketahui di mana keberadaan Batara. Emily langsung terperanjat saat mendengar suara barang jatuh dan pecah ke lantai. Cepat ia keluar kamar dan mencari sumber suara, ternyata Giana yang berada di dapur menjatuhkan gelas kaca. “Kamu mau ambil minum?” tanya Emily menghampiri Giana yang sudah menyingkir dari pecahan kaca di lantai. “Enggak usah sok tanya-tanya, saya tahu kalau kamu yang menumpahkan jus di taplak saya kan? Abang hampir tidak pernah minum jus kemasan karena tidak suka.” Giana langsung menanduk saat Emily bertanya dengan pelan.Emily mendesah pelan. “Iya memang saya yang menumpahkannya, saya tidak sengaja karena ... saya sudah mau bilang sama kamu tadi sore tapi abang kamu larang. Saya minta maaf untuk hal itu.” Giana tidak menjawab namun menatap Emily penuh kebencian. “Kenapa harus menunggu seratus hari baru kalian bercerai, kenap tidak sekarang saja. Apa yang membuat kalian harus menunggu padahal jelas tidak saling mencintai. Kamu juga tersiksa bukan? tinggal dengan saya, karena jelas saya tidak suka kamu berada di rumah ini.” Giana bertambah lancang mengeluarkan unek-uneknya yang tidak bisa ia sampaikan pada Gallen. Emily memandang dalam mata berkaca-kaca gadis beranjak dewasa di depannya, memperhatikan kening Giana yang semakin banyak berkeringat. Melihat kedua tangan gemetar Giana yang meremas perutnya semakin kuat. Tersinggung, tentu saja Emily tersinggung dengan keterusterangan adik dari suaminya. Namun Emily tidak bisa bodo amat melihat kondisi Giana yang butuh pertolongan. “Kamu sedang datang bulan hari pertama?” Emily langsung bertanya tanpa menjawab semua ucapan Giana. “Aku tanya kenapa kalian tidak bercerai sekarang saja!” jerit Giana menggema di dapur.Emily kembali tidak mengindahkan protes Giana, ia justru membalikkan badan pergi meninggalkan sang gadis ke kamar dan kembali dalam hitungan detik. Dengan mata tertuju pada Giana yang sudah duduk di pantry dan menumpukan kepala pada lipatan tangan di atas meja bar.“Bangun.” Emily menarik bahu Giana untuk duduk tegak akan tetapi Giana mengentak tangan Emily dengan kuat hingga tidak sengaja mengenai pipi Emily dan menggoreskan sedikit luka karena cincin yang dipakai Giana.“Kamu benar-benar menguras emosi saya ya,” geram Emily.Giana masih memberikan tatap kebencian pada Emily bahkan nafasnya kian memburu. Akan tetapi Emily membiarkannya. Memperlihatkan apa yang ia pegang pada tangan kanannya sebelum tangan kirinya menarik ke atas pakaian Giana.“Saya tidak akan membunuh kamu kalau itu yang sedang ada di kepala kamu. Hanya memberikan menspad. Apa kamu tidak tahu juga apa itu menspad? Ini gunanya seperti kompres pada wanita datang bulan. Mengurangi rasa nyeri berlebihan, kamu itu p
Emily membeku dipeluk Batara dengan begitu erat, Batara terus melirihkan kata maaf hingga mata Emily membelalak melihat sesosok gadis beransel hitam dengan kaca mata sedikit melorot dan rambut ikat satu yang menatapnya tajam. Giana.“Kamu apa kabar Emily?” tanya Batara setelah Emily mendorong pelukannya.“Tidak baik.” Emily memilih duduk dan tidak mengindahkan tatap tajam Giana padanya, entah alasan apa yang membuat Giana berada di tempat di mana ia bertemu dengan Batara tanpa sepengetahuan siapapun.“Emily aku sungguh minta maaf untuk tidak bisa datang saat hari pernikahan kita.” Batara masih menggenggam tangan Emily erat yang kemudian Emily lepaskan sebelum ia menjawab.“Beri tahu aku alasannya,” tukas Emily.Batara menarik nafas panjang. “ Aku sungguh sudah pulang sebelum acara kita. Tapi di perjalanan menuju rumah tiba-tiba aku tersesat. Mobil aku terus berputar-putar tanpa bisa sampai ke rumah, aku juga tidak bisa menghubungi siapapun. Memang terdengar enggak masuk akal, tap
Emily memutuskan pulang ke kediaman Gallen setelah berputar-putar mencari Giana dan tidak ketemu. Sesampainya di rumah juga tidak ia temui motor Giana. Karena ia sebal pada Giana sedari awal, ia bahkan tidak memiliki nomor ponsel Giana.“Anak resek itu memanggil aku kakak?” Emily menyandarkan kepalanya pada sofa pendek rumah Gallen yang sunyi.Emily ingat jika dalam ke tidak sopanan Giana yang tiba-tiba menyela obrolannya dengan Batara, Giana menyebut diri sendiri aku dan memanggilnya Kakak. Yang mana tidak pernah Giana lakukan sebelumnya.“Sial banget aku, bisa dicincang sama Gallen jika sampai dia tahu,” gumam Emily masih dengan mata terpejam dan kepala menengadah.Hingga waktu menunjukkan pukul tujuh malam Giana belum juga pulang, sedangkan Gallen sudah sampai di rumah pukul delapan malam.“Adik kamu belum pulang, kami .... “Ucapan Emily terputus kala Gallen mengulurkan paper bag di tangannya untuk Emily.“saya belikan ayam bakar taliwang, sop iga sama fuyunghai seafood. K
Emily mendengus kencang akan sindiran telak gadis yang tidak segan menatapnya dengan tajam. “Sudah saya bilang saya bukan anak manis yang akan berkata manis sama kamu.” Giana mengangkat bahunya acuh.“Saya bisa lihat itu, kamu sangat suka bergesekan pendapat dengan saya. Saya memang harus menemui Batara terlepas apa yang dia perbuat. Saya butuh alasan dan penjelasan, tentu saja saya tidak mengharapkan ada Gallen yang mendengarkan percakapan kita. Keputusan saya menemui Batara tidak saya sesali. Harusnya kamu lebih bisa menahan diri kemarin dan mendengarkan kelanjutan perbincangan kami. “ Emily melipat tangannya masih membalas tatap Giana.“Whatever you say, saya sudah tidak tertarik mendengarkan. Jelas sekali kamu tidak ingin memberitahukan dia kalau kamu sudah menikah. Saya ada kelas satu jam lagi, mau bicara apa lagi? saya tidak akan lagi mengajak kamu ribut selama kita tinggal bersama, tenang saja.” Giana mulai mengambil arem-arem dan membuka untuk ia gigit kembali tanpa menaw
“Tidak apa-apa Tante, kami sudah mengurusnya ke pihak berwajib.” Gallen menjawab pertanyaan Mama Emily yang datang bersama Gracia saat mendengar kabar pemukulan Hallen oleh Batara.“Iya harus dilaporkan, ya Tuhan kenapa dia nekat sekali. Kamu juga hati-hati ya Emily, kok Mama takut kamu kenapa-kenapa juga.” Mama Emily menggenggam tangan putrinya erat.Emily mengangguk meyakinkan mamanya untuk lebih hati-hati. Sejak percakapan tidak selesainya dengan Gallen mengenai pertemuannya dengan Batara, mereka berdua belum kembali bicara berdua karena keluarga Emily dan Giana berdatangan langsung. Giana sendiri tidak banyak bicara, hanya memperhatikan percakapan mereka semua di sofa ruangan Gallen dirawat.“Giana sini,” panggil Gallen saat keluarga Emily sudah kembali ke kediaman mereka karena sudah larut dan Gallen sendiri yang meminta mereka pulang untuk istirahat.“Ada apa Bang? Abang butuh sesuatu? Mau ke kamar mandi?” Giana sigap langsung bertanya begitu sudah di samping Gallen.“Kamu
Emily kaget saat seorang perawat masuk dan meminta izin mengganti pakaian Gallen serta membantunya ke kamar mandi. Padahal ia sedari tadi tidak ke mana-mana dan hanya duduk di sofa memainkan ponselnya.“Kenapa kamu panggil perawat padahal saya ada di sini?” Emily langsung bertanya begitu Gallen kembali berbaring dengan pakaian yang sudah ganti dan wajah lebih segar karena sudah ia basuh dengan air dingin.“Saya tidak mungkin minta kamu ke kamar mandi dan menunggui saya berganti baju sampai pakaian dalam bukan? Tentu kamu akan risih atau bisa jadi teriak histeris seperti saat di rumah itu.” Gallen menjawab dengan jujur.Emily seketika merona teringat kejadian mereka berpapasan dengan Gallen yang hanya mengenakan pakaian dalam. Ia berdecap keras untuk menutupi salah tingkahnya di hadapan Gallen.“Itu lain cerita, waktu itu saya kaget. Sekarang posisinya kamu sedang sakit dan itu gara-gara saya. Apa susahnya saya bantu gantikan kamu baju kan. Saya bisa memejamkan mata kalau kamu yan
“Gila memang dia, masa di rumah sakit berani menyerang begitu. Untung keamanan sini sigap sekali langsung di bawa ke kantor polisi.” Giana menggerutu panjang dengan menyaksikan Gallen yang sedang ditangani kembali infus yang terlepas.“Abang yang menyerang Giana, kamu bisa tolong diam? Abang pusing sekali kamu mengomel terus,” tegur Gallen.“Iya Bang maaf.” Giana langsung diam setelah Gallen menegur.Mereka berempat di ruangan Gallen terdiam sampai sang perawat selesai menangani Gallen. Syahdan menghela nafas panjang melihat bagaimana bengkaknya tangan kanan Gallen setelah kejadian.“Kamu pulang saja Syahdan, biar mereka berdua saya yang urus. Terima kasih ya sudah antar Giana ke makam.” Gallen mengucapkan terima kasih pada Syahdan yang sudah membantunya menemani sang adik.“Siap Bang, saya pulang dulu ya. Heh anak bandel jangan simpan macam-macam dalam tas kamu itu.” Syahdan menepuk kepala Giana sekali.“Itu aku beli karena kemarin lusa spion motor aku kendor, dari pada beli d
“Pernah ... sering dulu pas awal-awal. Yang paling parah menurut saya adalah saat kami salah pesan bunga seharga lima belas juta. Di sini bukan masalah di uang, tapi baby pink yang di minta keluarga perempuan kami pesankan dengan warna pink tua. Pemesanan bunga tidak bisa sekali panggil mereka menyediakan. Karena bunga asli lebih susah pesannya, waktu tidak memungkinkan untuk mencari penggantinya jadi kamu tahu tidak ... ya Tuhan ini sungguh pekerjaan paling menguras kesabaran. Saya panggil dua puluh anak SMA teman Giana, untuk membantu mewarnai satu persatu kelopak bunga dengan warna baby pink. Itu bunga satu truk besar Emily ... kami bertiga puluh semalam suntuk mewarnai kelopak bunga. Saya izin sama orang tua mereka tentu saja, untungnya mereka sedang libur semester.” Gallen sudah duduk bersandar kepala ranjang setelah Emily bantu duduk. “Astaga ... saya enggak bisa membayangkan. Apa keluarga mempelai tidak keberatan?” Emily sangat tertarik dengan cer
“Belum Sayang?” Suami Gracia baru datang setelah Emily masuk ruang operasi tiga puluh menit lalu. “Belum, baru setengah jam masuk.” Gracia menjawab dengan masih merangkul lengan mamanya yang sedari tadi terdiam dan Gracia tahu sang mama tiada memutuskan doanya untuk keselamatan Emily dan si kembar. Mereka berempat menunggu di luar pintu ruang operasi dengan jantung berdebar-debar. Sementara Gallen yang ikut ke dalam menemani proses kelahiran kedua putri mereka jauh lebih jantungan. Seluruh badannya dingin dan ada rasa ingin muntah namun ia tahan sekuat tenaga, bahkan serangan pusing akan dinginnya ruang operasi mampu membuat Gallen menggigil. Gallen berada di samping kepala istrinya memberikan pandangan menenangkan pada Emily walau isi hari dan kepalanya berkutat pada suara para tenaga medis yang meminta berbagai jenis alat bedah yang tidak Gallen pahami. “Sudah sampai mana?” tanya Emily pelan.Gallen terse
“Ada lagi enggak barang lainnya? Takutnya tertinggal.” Mama Emily bertanya kala Gallen memasukkan satu persatu perlengkapan untuk menemani Emily di rumah sakit. “Sepertinya sudah semua, Ma. Kalau memang ada yang kurang nanti aku akan ambil kembali. Mama naik duluan saja, aku akan bawa Emily.” Gallen membukakan pintu untuk sang mama agar naik ke mobil terlebih dahulu. Gallen kembali masuk ke dalam rumah di mana Emily duduk berdampingan dengan Giana dan Gracia. “Kita mau ke rumah sakit tapi kaya mau demo rame begini,” kelakar Emily. “Bagus dong Em, kita kan juga mau dampingi kamu biar deg-degannya dibagi-bagi,” jawab Gracia. “Deg-degan tapi juga excited, Kak.” Emily menerima uluran tangan Gallen yang berniat membantunya berdiri dari posisi duduk. “Ayo kita Bismillah sama-sama ya, Sayang.” Gracia mengecup kepala samping Emily dengan memegangi pinggang sang adik yang tampak kepa
“Ah ... selamat, aduh ya ampun ... aku mau punya keponakan?” Emily kembali berseru, menggeser badan mengimpit Gracia untuk memeluknya dari samping dengan bersemangat. “Kamu tahu sekali aku sangat bahagia, Em. Aku sudah bisa membayangkan anak-anak kita berlarian merebutkan neneknya.” Gracia kembali mengusap sudut matanya yang basah. Emily mengangguk, menyetujui perkataan kakaknya yang ia yakin benar. Si kembar dan sepupu mereka akan memperebutkan sang nenek kelak seperti mama mereka. “Berapa minggu tadi usianya? aku hanya baca bagian positif.” Emily merangkul bahu Gracia erat. “Enam minggu,” jawab suami Gracia. “Titip kakak aku yang cerewet ini ya Bang, awas kalau kenapa- kenapa.” Emili pura-pura mengancam dengan menyipitkan matanya ke arah suami Gracia. “Pasti dong Dek, mereka adalah hidup aku sekarang ini,” tukas suami Gracia. Emily memeluk sang kakak dengan
“Abang tanyanya seolah meremehkan begitu, aku enggak pernah pacaran sama sekali. Dari mana pernah ciuman. Dan kalaupun sudah pacaran belum tentu aku akan mau melakukan itu,” papar Giana. “Iya paham, kamu wanita baik-baik buka seperti aku yang banyak ceweknya di sana sini,” desah Prasetio. “Aku enggak mengungkit masalah itu, kenapa Abang malah seolah merendahkan diri sendiri seperti itu?” tuntut Giana. “Kita mau berantem masalah ciuman ini? bukankah kamu bilang kangen sama aku kemarin? Sekarang malah menanduk terus,” papar Prasetio. Giana menunduk kecil, diam. “Aku tidak meremehkan kamu yang belum pernah ciuman, bagus malah. Pergaulan kamu sangat baik dan sehat, dan aku enggak merendahkan diri karena bilang banyak cewek. Itu hanya sebagai pengingat untuk aku terus memperbaiki diri agar benar-benar layak disandingkan perempuan seterjaga kamu, Giana. Sumpah mati aku malu sama masa lalu aku pad
“Wuih ngeri sekali perut kamu Em, seperti mau meletus,” kelakar laki-laki berjaket kulit hitam. “Asem,” kekeh Emily. “You look so beautyfull, how are you?” Prasetio memberikan pelukan hangat pada Emily dengan pakaian rumahnya, daster. “Peres amat bilang cantik, sudah tahu sebesar ini badan aku. Kabar sehat Alhamdulillah, ada perlu di rumah atau bagaimana kok tiba-tiba balik Indonesia?” tanya Emily. “Ada yang minta aku pulang, kangen katanya,” kekeh Prasetio. Emily tersenyum paham kemudian terkekeh kecil sebelum mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah barunya yang belum sepenuhnya rapi karena baru tiga hari lalu mereka pindahan. “Lagi dijemput sama abangnya, duduk Tio. Sudah pulang ke rumah kan tapi?” tanya Emily. “Sudah, semalam menginap juga di rumah. Iya Giana sudah bilang, bagaimana perkembangan si kembar?” Prasetio menunjuk perut Emily dengan dagunya.
“Jangan terlalu stres ya Ibu, jangan sampai tekanan darahnya naik lagi kalau bisa. Pokoknya harus terus bahagia kalau ibu hamil itu dan selalu hati-hati.” Dokter berpesan pada Emily dan Gallen sebelum esok harinya diperbolehkan pulang. “Baik Dok, akan kami ingat.” Gallen dan Emily menjawab serentak. Gallen siap mendorong Emily yang duduk di kursi roda, sedangkan mama Emily dan Giana berdiri di samping keduanya denga tarikan nafas lega. “Kok kamu tiba-tiba punya darah tinggi si, Sayang?” tanya Mama Emily membelai kepala putrinya. “Ini Ma pelakunya yang buat aku tekanan darah tinggi terus, marahin Ma.” Emily menunjuk Gallen dengan wajah sengaja ia lipat-lipat secara dramatis. “Kamu yang buat anak Mama darah tinggi? Hah? dasar nakal kamu ya.” Mama dengan tertawa memukul lengan Gallen berkali-kali. “Pukul Ma pukul yang kencang, jewer kalau perlu.” Emily mengompori dengan bertepu
Gallen menghela nafas entah untuk ke berapa kali, menyaksikan istrinya yang masih bergeming tidur di sofa tanpa bantal semenjak satu jam lalu. “Ya susah maaf sudah merakit tanpa kamu lihat. Kamu mau aku bongkar lagi itu lemari sama tempat mandi?” Gallen membelai lengan istrinya lembut, duduk berdempetan dengan Emily dalam satu sofa.Emily menarik nafas panjang, ia sejak tadi sedang memikirkan mengapa ia berlebihan sekali marahnya. Tapi masih kesal juga karena Gallen membohonginya dengan mengatakan akan segera pulang menyusul ia dan Giana. Berniat membalikkan badan namun kesusahan karena terlalu sempit.Gallen cepat bangun dari sana dan membantu istrinya bangun pula dengan meringis kecil. Emily sering kesusahan saat bangun dari posisi tiduran, dan hal tersebut sering membuat Gallen takut jika tidak ada yang melihat dan membantu saat Emily hendak bangun.“Kamu tahu aku sangat menunggu momen ini,” lirih Emily.“Iya aku lupa, aku hanya berniat biar yang bes
Gallen tertawa kecil ketika menurunkan semua barang calon kedua putri mereka. Bukan hanya satu taksi seperti dugaan Emily, melainkan dua taksi dan semuanya penuh sesak. Ia yang paling banyak andil memilih barang. “Biar enggak repot pindahkan lagi ya, Bang?” tanya Giana. Gallen menurunkan semua belanjaan mereka di rumah baru yang baru akan ditempati bulan depan karena masih melengkapi barang-barangnya. Rumah yang ia dan Emily bangun dengan penuh kebahagiaan menyambut kedua putri mereka. Rumah yang dihadiahkan Gallen untuk Emily dan menolak dibantu dengan dalih ia memang sudah menabung untuk hal tersebut dari jauh hari. “Iya kita akan cicil untuk pindahan nanti, kalian pulang saja sana. Biar ini Abang rapikan dulu. Istirahat kamu, Emily.” Gallen mengangkat kardus besar berisi dua stroller dengan mudah. Rumah baru Gallen dan Emily tidak terlalu jauh dari rumah peninggalan orang tua Gallen. Hanya lima menit pa
“Bahagia sekali, Kak. Ada apa gerangan?” tanya Giana. “Tentu saja bahagia, hari ini abang kamu akhirnya bisa temani aku belanja kebutuhan si kembar. Abang kamu masih percaya ucapan orang tua dahulu, belum boleh beli-beli kalau belum tujuh bulan. Aku sampai menyimpan semua catatan setiap lihat yang lucu untuk dibeli. Kamu ikut yuk, bolos sehari. Aku kok merasa akan kesal belanja sama abang kamu saja.” Emily melepas tawa. “Hei bicarakan aku terus kamu ya.” Gallen datang dari dalam kamar mencubit pipi Emily pelan. “Memang iya kok, biarkan Giana ikut ya,” pinta Emily. “Iya boleh, Giana yang akan dorong kursi roda kamu dan aku dorong belanjaan karena aku yakin kita bukan mau belanja tapi mau merampok peralatan bayi,” desah Gallen. “Aku enggak mau pakai kursi roda aku bilang, aku sehat dan jalan itu menyehatkan,” tolak Emily. “Menyehatkan itu 20-30 menit, kamu yakin tidak kurang d