“Iya saya tahu, nona ... maksud saya ... kamu tidak akan bisa mencintai laki-laki lain.” Gallen menjawab setelah jeda lumayan lama dari pernyataan Emily.
Emily menatap tajam manik mata Gallen di hadapannya, embun mulai menetes dari luar gelas minum mereka yang tidak tersentuh. “Alasan apa yang membuat kamu mau menikahi aku tolong jawab jujur. Karena kamu hanya kasihan? Atau karena kamu tahu jika aku anak bungsu dari keluarga kaya raya?” Emily dengan lantang menyuarakan kemungkinan paling masuk akal laki-laki yang mengurusi pernikahannya, sang pemilik wediing organizer, langsung menikahinya setelah sang papa meminta. Gallen mendengus kecil mendengar tuduhan kejam dari Emily. Memilih tidak menanggapinya dengan emosi juga. Gallen mengerti jika Emily tengah mengalami hal sangat berat sebanyak dua kali dalam waktu bersamaan. “Saya mampu mencukupi kebutuhan saya dan adik saya dengan perusahaan wedding organizer saya, Emily. Saya tidak butuh limpahan harta dari kamu.” Gallen mengatakannya dengan sedikit smirk pada sudut bibirnya. Emily tidak tersinggung sedikitpun akan sindiran balik dari laki-laki yang berstatus suaminya secara agama. “Begini Emily mari kita bicarakan sebagai orang dewasa yang berakal. Di sini bukan hanya ada kamu, tapi juga ada saya. Kita mempunyai tujuan hidup yang sudah pasti berbeda, pernikahan jelas bagi saya pribadi bukan suatu mainan. Saat saya menerima dan menjawab ijab qobul, maka saya berjanji bukan hanya di depan wali istri saya. Tapi saya juga berjanji di hadapan Yang Maha Esa. Apa pun alasan saya menikahi kamu di belakang sana, tidak akan mengurangi tanggung jawab saya sebagai seorang suami terlepas kamu mau menerima atau tidak nanti kita bicarakan. Saya tidak akan menuntut cinta atau apalah itu, saya juga tidak meminta kamu melakukan peran sebagai selayaknya seorang istri. Saya hanya memerankan peran saya sebagai suami, yaitu menjaga kamu selayaknya pesan terakhir papa kamu.” Gallen mengutarakan semua yang ingin ia katakan. “Aku tidak akan bisa menjalani rumah tangga setelah kejadian ini.” Emily menunduk menyadari jika ia cukup keterlaluan pada Gallen dengan ucapannya beberapa saat lalu. “Iya saya paham, makanya saya bilang semua terserah kamu. Jika memang kamu sebegitu tersiksanya menikah tiba-tiba dengan saya maka akan saya ceraikan selepas seratus harian almarhum papa kamu. Saya minta tolong kamu bertahanlah selama seratus hari itu, setelahnya akan saya ceraikan. Bagaimana apa itu cukup membuat kamu lega?” Gallen masih membalas tatap dalam wanita di sebarangnya. “Semudah itu?” tanya Emily. “Loh bukankah itu yang kamu harapkan dari semua yang baru saja kamu katakan? Saya tidak suka menyiksa orang lain dengan mengikatnya di samping saya. Intinya saya sudah menjalankan amanah saya dengan baik sesuai apa yang papa kamu minta, jika keinginan datangnya dari kamu maka itu tidak menyalahi janji saya pribadi,” jawab Gallen. Gallen menghembuskan nafas panjang melihat Emily diam seribu bahasa. Ia meneguk minumannya yang semakin cair sebelum melanjutkan kembali penuturannya. “Saya serahkan semuanya sama kamu Emily, saya tidak akan meminta kamu tinggal dengan saya juga. Kamu bisa tinggal di rumah kamu dan saya di rumah saya. Kewajiban saya di sini adalah menjaga kamu sampai saatnya kamu lebih baik keadaannya dan kamu bilang pada saya untuk diceraikan. Sungguh tidak apa-apa seperti itu, pekerjaan saya terus terang saja sangat padat. Saya tidak akan mengganggu kamu dengan berada di sekitar kamu dan membuat kamu risih.” Gallen memilih menyudahi percakapan sepihak mereka karena Emily lebih banyak diamnya. “Kamu tidak merasa di rugikan?” tanya Emily. “Enggak ... Saya pernah menyesal satu kali sebelum kepergian bapak saya. Saya tidak akan menyesal kedua kali hanya karena kamu tidak bisa menerima pernikahan ini. Oh iya sekalian saya jelaskan, penghasilan saya memang tidak sebanyak kamu mungkin. Tapi selama kamu menjadi istri saya, kamu akan tetap menerima nafkah yang saya berikan. Mungkin nominalnya tidak seperti bayangan kamu maaf, tapi itulah yang saya mampu berikan sebagai tanggung jawab saya. Pembayaran yang kamu bayarkan pada WO saya sudah saya kembalikan lima puluh persen pada kakak kamu karena kami tidak menyelesaikan tugas sampai akhir acara. Jadi kamu hanya dikenakan penggantian tenaga dan alat-alat yang sudah di set pada hotel kemarin. Oh satu lagi, saya bisa pastikan adik saya tidak akan berkata tidak sopan lagi seperti kemarin. Dia memang sedikit emosional, tapi dia baik sesungguhnya. Ada yang lain yang ingin kamu katakan? Kita harus kembali sebelum acara tahlilan dimulai,” tukas Gallen. Emily menggelengkan kepalanya, ia tidak tahu lagi apa yang harus ia katakan di hadapan laki-laki yang tidak menunjukkan kemarahannya padahal Emily sudah menuduh yang tidak-tidak. “Kita pulang saja, kepala aku sakit,” gumam Emily. “Kamu ingin kita ke Dokter dulu sebelum pulang?” tanya Gallen memastikan. “Tidak perlu, langsung pulang saja,” jawab Emily singkat. Gallen mengangguk dan menyelesaikan pembayaran minuman mereka berdua yang hampir tidak tersentuh. Sesampainya di rumah keduanya melakukan kegiatan masing-masing, Gallen yang berbaur dengan para keluarga laki-laki dan Emily yang membantu di dapur menyiapkan makanan tanpa suara. Bahkan tidak ada yang berani bertanya apa pun padanya. Yang Emily jelas rasakan adalah adik Gallen, Giana selalu menghindarinya. Baik sekedar tatap mata atau akan keberadaannya pada satu ruangan maka Giana akan pindah ke ruangan lainnya. Ketika Acara selesai dan Emily tengah mengambil air untuk minum, ia melihat Giana tengah mengelapi piring basah yang sudah di cuci oleh Mbak di rumahnya. Keluarganya satupun tidak ada yang berada di dapur untuk bersih-bersih, namun Giana yang di hari pertama ia bertemu mengamuk menyerukan jika ia sangat tidak terima kakaknya mendapatkan perlakuan buruk dari Emily, justru yang mau membantu sampai dapur. “Kamu tidak perlu melakukan itu, kamu bisa istirahat di kamar tamu.” Suara Emily membuat gerak tangan Giana terhenti di udara. “Jangan besar kepala, aku tidak melakukan ini untuk mengambil hati siapapun di rumah ini. aku tidak tega membiarkan Mbak Santi mengerjakan ini sendirian. Di rumah kami, kami melakukan ini bersama-sama.” Tanpa menoleh, Giana menyahut dengan sarkas. “Saya sudah melarang Neng Giana sungguh Mbak Emily.” Mbak Santi cepat mengatakannya. “Iya Bi, tidak apa-apa kalau memang mau dia. Saya tahu kamu sangat membenci saya, Giana. Tapi kamu adalah tamu di rumah ini, tidak ada tamu yang mencuci piring di dapur rumah kita,” tandas Emily.Giana tidak menanggapi. “Yang ini di simpan di mana Mbak Santi? Masih ada lagi tidak yang harus dicuci, saya biasa mencuci piring kok di rumah jangan cemas. Saya yatim piatu jadi biasa melakukan apa-apa sendiri.” “Sudah atuh Neng, terima kasih ya sudah dibantu. Neng Giana istirahat saja ya.” Mbak Santi membelai lengan Giana dengan senyuman lebar. Hal tersebut tidak pernah terjadi pada Emily, ia tidak pernah dekat dengan para pekerja di rumah orang tuanya semenjak dewasa. Ia merasa aneh menyaksikan adik Gallen melakukan hal itu di rumahnya.Giana melewati Emily begitu saja, tanpa menoleh sedikitpun pada Emily. Jelas sekali kebencian terpancar dari mata Giana pada sosok Emily.Gallen mengerutkan kening mendengar ada suara ribut di luar, ia dan Giana yang sedang membantu merapikan meja segera menuju pintu depan. Terlihat di sana beberapa orang yang Gallen kenal sebagai keluarga Batara.“Saya hanya ingin berbicara dengan Emily Jeng Ratna,” pinta seorang wanita paruh baya dengan seorang laki-laki muda.“Emily belum baik kondisi mentalnya, dia saja tidak bicara sama kami keluarganya. Maaf mohon pengertiannya. Emily sedang tidak baik-baik saja,” tutur Mama Emily.Menyaksikan hal tersebut Gallen segera berdiri di samping mama Emily.“Mohon maaf Tante, saya tidak mengizinkan Emily bertemu siapapun selama masa pemulihannya. Emily bukan hanya sakit badannya tapi juga hatinya. Jika ada yang mau Tante bicarakan pada Emily, Tante bisa beritahukan pada saya.” Gallen mengambil alih pembicaraan.“Loh kenapa kamu ikut campur? Kamu hanya pegawai wedding organizer anak-anak kami.” Orang tua Batara berang seketika.“Iya benar saya adalah pengurus pernikahan putra dan p
“Tidak ada lagi Gallen, kedua kunci kamar Emily ada di dalam.” Mama Emily berkata panik ikut menggedor pintu kamar Emily.“Awas Tante sama Giana mundur, biar saya dobrak.” Gallen mundur untuk mengambil ancang-ancang menerjang pintu kamar Emily.Sebelum Gallen menerjang pintu, Gracia berlarian menaiki tangga dengan mengancungkan sebuah kunci dengan nafas tersengal-sengal. Ia mendengar seruan mama dan Gallen yang menggedor kamar Emily dengan sangat kuat sampai nyaring ke bawah.Melihat kunci yang di ayunkan Gracia, Gallen menangkapnya dan membuka pintu kamar Emily dengan panik. Tidak lagi terdengar isak dan jeritan dari dalam kamar, hal tersebut yang membuat Gallen jauh lebih cemas.Begitu pintu terbuka, Gallen menerjang masuk dan tidak ditemukan Emily di dalam ruang kamar luasnya. Gallen langsung menuju sebuah pintu yang tertutup rapat, kembali terkunci. “Sial!” Gallen langsung menerjang tanpa memanggil nama Emily kembali. Pada tendangan ke tiganya pintu terlepas selotnya dan ba
Emily mengerutkan kening saat melihat Gallen dan Giana duduk bersebelahan pada sebuah cofe shop baru di pusat Ibu Kota.“Sorry Giana ikut karena tadi dia minta jemput pulang kampus. Katanya hanya akan ikut kita makan.” Gallen menjelaskan tatap tanya Emily.“Enggak apa-apa.” Emily memilih duduk di hadapan Gallen menyaksikan Giana tidak perduli dengan kedatangannya, asyik dengan piring berisi dua potong sandwich tuna tanpa sayuran.“Giana,” tegur Gallen pada sang adik yang acuh pada kedatangan kakak iparnya.Giana mengangkat kepalanya dengan dengus kecil, melambaikan tangan sesaat pada Emily dan kembali menekuri isi piringnya dengan sebelah tangan memegang ponsel.“Kamu mau pesan apa? sudah makan?” Gallen menyodorkan daftar menu pada Emily yang sudah duduk dan meletakan tas di kursi kosong sampingnya.Emily menerima daftar menu dan membaca sesaat sebelum memanggil waiters dan mengatakan ia pesan salad sayur dan buah dengan jus mangga. Mendengar pesanan Emily, Giana kembali menden
“Abang kenapa taplak mejanya diganti?” tanya Giana begitu pulang dari kuliah bertepatan Gallen baru selesai mandi keluar dari kamar dengan rambut basah.“Oh tadi ... ketumpahan jus.” Gallen melirik pintu kamar berwarna coklat tua yang masih tertutup rapat.“Ketumpahan jus? Terus di mana taplaknya? Enggak Abang cuci kan?” Giana melotot pada Gallen.“Di mana ya tadi Abang taruh, di belakang apa ya.” Gallen menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, sambil kembali melirik pintu kamar yang masih tertutup rapat. “Ah Abang ... itu aku buat pakai rajutan sutra. Enggak bisa dicuci sembarangan.” Giana berlari menuju area dapur di mana bersebelahan dengan area cuci. Saat Giana melihat taplak rajut putihnya berada di dalam ember yang sudah berisi air dan detergen, sontak Giana menjerit histeris dan mengentakkan kakinya dengan dramatis sebelum ia angkat taplak yang sudah berubah warna sedikit keabuan tersebut.“Abang Gallen! Aku sudah bilang jangan di sentuh taplak yang ini apa pun
Emily kembali tidak mengindahkan protes Giana, ia justru membalikkan badan pergi meninggalkan sang gadis ke kamar dan kembali dalam hitungan detik. Dengan mata tertuju pada Giana yang sudah duduk di pantry dan menumpukan kepala pada lipatan tangan di atas meja bar.“Bangun.” Emily menarik bahu Giana untuk duduk tegak akan tetapi Giana mengentak tangan Emily dengan kuat hingga tidak sengaja mengenai pipi Emily dan menggoreskan sedikit luka karena cincin yang dipakai Giana.“Kamu benar-benar menguras emosi saya ya,” geram Emily.Giana masih memberikan tatap kebencian pada Emily bahkan nafasnya kian memburu. Akan tetapi Emily membiarkannya. Memperlihatkan apa yang ia pegang pada tangan kanannya sebelum tangan kirinya menarik ke atas pakaian Giana.“Saya tidak akan membunuh kamu kalau itu yang sedang ada di kepala kamu. Hanya memberikan menspad. Apa kamu tidak tahu juga apa itu menspad? Ini gunanya seperti kompres pada wanita datang bulan. Mengurangi rasa nyeri berlebihan, kamu itu p
Emily membeku dipeluk Batara dengan begitu erat, Batara terus melirihkan kata maaf hingga mata Emily membelalak melihat sesosok gadis beransel hitam dengan kaca mata sedikit melorot dan rambut ikat satu yang menatapnya tajam. Giana.“Kamu apa kabar Emily?” tanya Batara setelah Emily mendorong pelukannya.“Tidak baik.” Emily memilih duduk dan tidak mengindahkan tatap tajam Giana padanya, entah alasan apa yang membuat Giana berada di tempat di mana ia bertemu dengan Batara tanpa sepengetahuan siapapun.“Emily aku sungguh minta maaf untuk tidak bisa datang saat hari pernikahan kita.” Batara masih menggenggam tangan Emily erat yang kemudian Emily lepaskan sebelum ia menjawab.“Beri tahu aku alasannya,” tukas Emily.Batara menarik nafas panjang. “ Aku sungguh sudah pulang sebelum acara kita. Tapi di perjalanan menuju rumah tiba-tiba aku tersesat. Mobil aku terus berputar-putar tanpa bisa sampai ke rumah, aku juga tidak bisa menghubungi siapapun. Memang terdengar enggak masuk akal, tap
Emily memutuskan pulang ke kediaman Gallen setelah berputar-putar mencari Giana dan tidak ketemu. Sesampainya di rumah juga tidak ia temui motor Giana. Karena ia sebal pada Giana sedari awal, ia bahkan tidak memiliki nomor ponsel Giana.“Anak resek itu memanggil aku kakak?” Emily menyandarkan kepalanya pada sofa pendek rumah Gallen yang sunyi.Emily ingat jika dalam ke tidak sopanan Giana yang tiba-tiba menyela obrolannya dengan Batara, Giana menyebut diri sendiri aku dan memanggilnya Kakak. Yang mana tidak pernah Giana lakukan sebelumnya.“Sial banget aku, bisa dicincang sama Gallen jika sampai dia tahu,” gumam Emily masih dengan mata terpejam dan kepala menengadah.Hingga waktu menunjukkan pukul tujuh malam Giana belum juga pulang, sedangkan Gallen sudah sampai di rumah pukul delapan malam.“Adik kamu belum pulang, kami .... “Ucapan Emily terputus kala Gallen mengulurkan paper bag di tangannya untuk Emily.“saya belikan ayam bakar taliwang, sop iga sama fuyunghai seafood. K
Emily mendengus kencang akan sindiran telak gadis yang tidak segan menatapnya dengan tajam. “Sudah saya bilang saya bukan anak manis yang akan berkata manis sama kamu.” Giana mengangkat bahunya acuh.“Saya bisa lihat itu, kamu sangat suka bergesekan pendapat dengan saya. Saya memang harus menemui Batara terlepas apa yang dia perbuat. Saya butuh alasan dan penjelasan, tentu saja saya tidak mengharapkan ada Gallen yang mendengarkan percakapan kita. Keputusan saya menemui Batara tidak saya sesali. Harusnya kamu lebih bisa menahan diri kemarin dan mendengarkan kelanjutan perbincangan kami. “ Emily melipat tangannya masih membalas tatap Giana.“Whatever you say, saya sudah tidak tertarik mendengarkan. Jelas sekali kamu tidak ingin memberitahukan dia kalau kamu sudah menikah. Saya ada kelas satu jam lagi, mau bicara apa lagi? saya tidak akan lagi mengajak kamu ribut selama kita tinggal bersama, tenang saja.” Giana mulai mengambil arem-arem dan membuka untuk ia gigit kembali tanpa menaw