“Sudah jam dua belas, mana mempelai prianya?” bisik salah seorang tamu undangan.
“Tidak tahu? kok bisa terlambat sampai tiga jam? Jangan-jangan kabur pengantin prianya,” bisik tamu yang lainnya. “Hus jangan bicara sembarangan,” bantah Tante mempelai wanita yang tiba-tiba sudah berada di samping mereka. Panggung calon pengantin tertata indah penuh bunga dan hiasan, warna gold putih dan pink adalah warna pilihan pasangan calon mempelai. Meja kursi para tamu serta meja kursi penghulu sudah penuh diduduki oleh sanak saudara yang ingin menyaksikan ijab qabul saudara mereka. Ada beberapa kerabat jauh dan tetangga dekat turut menantikan duduk di kursi mereka perlahan mulai lelah menunggu. Suara-suara sumbang mulai mengudara merangkaikan banyak kemungkinan mengapa sang mempelai pria dan keluarganya tidak kunjung datang. Ada yang berspekulasi kemungkinan ada halangan, sampai ada yang menduga mengalami kecelakaan menuju hotel pernikahan. Orang tua mempelai wanita bahkan sudah mondar-mandir menghubungi banyak orang dari keluarga calon menantunya. “Belum sampai rumah? Kok bisa? sudah pulang tapi dari Jakarta? Sudah di cari tahu keberadaannya? Kenapa bisa tiba-tiba hilang begitu saja?” Suara menggema ayah mempelai wanita terdengar memenuhi aula tempat disiapkannya untuk akad nikah. “Jangan mempermainkan putri kami ya Pak Ilyas! Di mana Batara sekarang!” Menggema suara tersebut dengan telapak tangan mengepal kuat. Suasana aula seketika ramai oleh banyaknya orang yang bersuara, ibu calon pengantin wanita sudah duduk lemas dengan kepala menunduk di salah satu kursi tamu mendengar perkataan suaminya. Kakak perempuan calon pengantin sudah menahan tangis sekuat tenaga di samping adiknya yang tidak mengeluarkan suara sedikitpun di ruangan make up pengantin dengan tangan memegang erat ponsel. “Emily! Ya Tuhan Emily!” Kakak perempuan yang sedari tadi menggenggam sebelah tangan dingin adiknya menjerit histeris kala sang adik dengan balutan kebaya akad putih penuh manik-manik indah terkulai pingsan jatuh ke lantai ruangan ia dirias. Dua orang yang jongkok di luar ruang rias langsung masuk tanpa permisi begitu mendengar jeritan dari dalam, membelalak sempurna dapati mempelai wanita sudah pingsan dan sang kakak yang berbalut kebaya baby pink menangis tersedu-sedu. “Tolong Emily tolong,” sedu Kakak Emily pada dua anggota wedding organizer yang mengenakan jas hitam dengan telinga masih mengenakan alat penghubung dengan tim mereka. Tim WO laki-laki langsung berucap permisi sebelum mengangkat sang mempelai wanita yang pingsan dan membawanya keluar untuk dibawa ke sebuah kamar hotel tempat acara pernikahan dilakukan. Sedangkan satu kawan tim wanitanya berlari menuju aula memberitahukan pada keluarga Emily bahwa Emily pingsan di ruang, ia bahkan sampai lupa memiliki alat yang harusnya cukup ia tekan berseru maka semua timnya akan mendengar. Panik membuat ia melakukan sedikit hal bodoh dan memakan waktu tentu saja. “Pak Bachtiar, Ibu Bachtiar ... Emily pingsan!” Tim WO dengan nama Ayuniar berseru sangat kencang dan membuat seisi aula gaduh seketika. Orang tua Emily berlarian menuju sang putri sedangkan para tamu semuanya berdiri kaget mendengar seruan tersebut. Bapak penghulu yang sudah sangat sabar menunggu tiga jam sampai Istighfar sebanyak yang ia mampu, baru pertama kali selama ia menikahkan ratusan pasangan pengantin. Baru kali ini sampai mempelai tidak datang, jika terlambat sudah banyak ia temui karena berbagai alasan. Tim WO ikut bingung namun langsung mengorganisir para tamu undangan untuk kembali tenang yang mana sudah tidak ada lagi ketenangan di sana. Semuanya berbicara, sampai sumpah serapah terdengar mengudara oleh entah dari mulut yang mana. Menyumpahi sang mempelai laki-laki bernama Batara Yuda yang membuat Emily sampai pingsan. Sampai tiga puluh menit berusaha di sadarkan namun Emily masih tertutup rapat matanya. Tim WO yang tadi mengangkat Emily meminta izin memeriksa denyut nadi Emily karena ia perhatikan tarikan nafasnya semakin berat dan berjeda. Setelah diizinkan barulah ia tahu jika denyut jantung Emily bahkan melambat. “Ke rumah sakit Pak Bachtiar, Emily butuh pertolongan Dokter.” Sang pemuda bernama Gallen dengan jas sudah di lepas berkata dengan sungguh-sungguh. “Baik, saya bawa sekarang.” Ketika Papa Emily hendak mengangkat tubuh terkulai putrinya, tiba-tiba dadanya mendapat sengatan sakit yang luar biasa. “Papa! Papa!” Ibu Bachtiar dan kakak Emily berseru bersamaan kala tubuh tinggi besar itu ambruk. Bertambah kepanikan semua orang yang berada di kamar pengantin Emily, Gallen sontak mengangkat Emily dan berseru pada teman satu timnya untuk bantu mengangkat papa Emily. Kegaduhan kian memuncak kala dua orang pemilik acara dibawa keluar dalam keadaan tidak sadarkan diri dan Gallen berseru minta disiapkan mobil untuk ke rumah sakit dengan setengah berlari membawa tubuh terkulai Emily. “Astaga ya Tuhan Emily, Bachtiar,” seru salah seorang tamu di sana. “Ya Tuhan semoga keduanya baik-baik saja,” tambah yang lainnya. “Biadab sekali memang Batara,” timpal tamu di sebelahnya. Hancur sudah acara akad nikah yang digelar dengan begitu megah dalam gedung sebuah Hotel mewah. Keluarga mempelai menangis dengan isak menyayat hati yang mendengarnya. Tamu undangan memegangi dada ikut merasakan kesakitan keluarga mereka. Pihak Hotel tempat diselenggarakan bahkan terpaku dengan sendu kala mendengar bagaimana dengan teganya sang mempelai laki-laki tidak kunjung datang ketika akad nikah. Semuanya hancur berantakan, tersisa kegaduhan yang sudah tidak sanggup lagi ditenangkan oleh tim wedding organizer. Mereka sendiri berdiri mematung menyaksikan kepergian dua mobil yang membawa keluarga klien mereka yang ikut mengantarkan. “Pak Gallen ikut ke rumah sakit, bagaimana ini?” tanya Karina salah satu tim WO bagian pengatur duduk tamu pada salah satu rekannya Giantri. “Kita hanya bisa tunggu komando Pak Gallen, semoga nona Emily dan pak Bachtiar baik-baik saja,” jawab Giantri sama bingungnya. “Ya Tuhan kok ada manusia sejahat itu,” gumam Karina. “Kita tidak tahu apa yang terjadi Karina, jangan memberikan penilaian tanpa diminta,” bantah Giantri pada pendapat kawannya yang tidak diperlukan. “Iya, tapi apa pun alasan Batara tidak datang harusnya memberitahukan keluarga perempuan. Kalau seperti ini kasihan sekali Emily dan keluarganya,” tutur Karina. “Sudah kita jangan banyak bicara dulu takutnya ada yang mendengar tidak enak. Kita kerjakan tugas kita saja.” Giantri menepuk bahu Karina dua kali untuk meminta sang kawan berhenti berspekulasi yang bukan tempatnya memberi komentar. Emily mendapatkan serangan kecemasan berlebihan hingga mengganggu kerja jantung dan paru-parunya, dengan masih berbalut pakaian pengantin, ia harus menginap di UGD. Sedangkan papanya bahkan langsung masuk ruangan ICU karena serangan jantung mendadak. Mama dan kakak Emily saling berangkulan untuk menguatkan, air mata mereka tak kunjung usai dari semenjak meninggalkan hotel tempat si bungsu akan menikah dan berakhir drama penuh kesakitan.“Mas yang namanya Mas Gallen?” tanya Gracia, kakak Emily.Gallen menghentikan kegiatannya merapikan meja kursi bersama tim lainnya yang sedang membongkar tempat pernikahan gagal Emily dan Batara.“Iya benar, ada yang bisa dibantu Bu Gracia?” Gallen mengenali jika wanita di hadapannya adalah kakak sang mempelai yang menyewa jasa WO miliknya.“Bisa kita bicara sebentar, maaf sebelumnya saya mengganggu kerjanya. Tapi saja mendapat amanah dari papa untuk disampaikan ke Mas Gallen.” Gracia terlihat sangat pucat dan bingung menyampaikannya.“Bisa mari silakan duduk dulu Bu.” Gallen mengangguk memberikan kursi untuk Gracia duduk.Setelah mereka duduk berhadapan, Gallen memberikan kode pada timnya untuk memberi mereka ruang berbicara. Seketika banyak dari timnya mulai menyingkir satu persatu.“Begini Mas Gallen, saya mau tanya apakah Emily sudah melunasi semua pembayaran pada Gayana Organizer? Jika masih ada yang belum lunas maka akan saya lunasi sekarang juga.” Gracia membukanya dengan p
“Bapak Bachtiar yakin meminta saya menikahi Emily?” Gallen bertanya dengan kekagetan yang tidak ia tutupi.Pak Bachtiar mengangguk lemah, menarik nafas panjang. Terlihat jelas kepayahan untuk melanjutkan ucapannya.“Iya, semoga kamu bisa menerima Emily. Saya percaya kamu bisa menjaganya, jika kamu menyetujui maka saya titipkan Emily sama kamu. Jangan biarkan dia bertemu lagi dengan Batara apa pun alasannya.” Kalimat panjang tersebut akhirnya dapat diselesaikan oleh pak Bachtiar.Gallen menatap lekat-lekat wajah pucat terbaring di depannya, menarik nafas panjang Gallen mengangguk mantap. “Baik Pak, saya bersedia menikahi Emily putri Bapak.” Gallen menjawab dengan tegas setelah menatap lekat pak Bachtiar, tidak ada keraguan dalam jawabannya.“Terima kasih,” ucap pak Bachtiar parau.Setelah melewati banyak proses runding dengan keluarga Emily, baik mama maupun sang kakak, akhirnya akad nikah diselenggarakan di ruang ICU atas persetujuan pihak rumah sakit. Tanpa sosok Emily di sam
“Laki-laki itu?” Giana yang tidak terima mendengar sang kakak disebut demikian langsung berdiri dengan emosi.Gallen menarik lengan adiknya lembut. “Abang bilang duduk dan tenang, bisa?”Giana menahan deru nafas memburunya, kembali duduk dengan kekesalan luar biasa kepada Emily. Mama Emily langsung menghampiri sang putri yang terlihat sangat emosi, memegang tangannya dan berkata dengan lembut.“Bisa kita bicara dengan baik tanpa emosi? Mama akan menjelaskannya,” pinta mama pada putri bungsunya.“Kenapa Mama memperbolehkan papa menikahkan aku sama dia Ma?” tuntut Emily.Mama kembali meminta Emily untuk duduk dan mendengarkannya. Di belakang Emily, sang kakak Gracia berdiri dengan wajah cemas. Sekali anggukan dari mamanya membuat sang kakak turut serta turun. Mereka semua duduk, dan hanya Emily yang menghembuskan nafas dengan kencang. Pertanda emosinya belum reda.“Bisa kita mulai bicara tanpa emosinya, Emily?” tanya mama.Emily mengangguk, ia paham jika mamanya sudah bicara tega
“Iya saya tahu, nona ... maksud saya ... kamu tidak akan bisa mencintai laki-laki lain.” Gallen menjawab setelah jeda lumayan lama dari pernyataan Emily.Emily menatap tajam manik mata Gallen di hadapannya, embun mulai menetes dari luar gelas minum mereka yang tidak tersentuh.“Alasan apa yang membuat kamu mau menikahi aku tolong jawab jujur. Karena kamu hanya kasihan? Atau karena kamu tahu jika aku anak bungsu dari keluarga kaya raya?” Emily dengan lantang menyuarakan kemungkinan paling masuk akal laki-laki yang mengurusi pernikahannya, sang pemilik wediing organizer, langsung menikahinya setelah sang papa meminta.Gallen mendengus kecil mendengar tuduhan kejam dari Emily. Memilih tidak menanggapinya dengan emosi juga. Gallen mengerti jika Emily tengah mengalami hal sangat berat sebanyak dua kali dalam waktu bersamaan. “Saya mampu mencukupi kebutuhan saya dan adik saya dengan perusahaan wedding organizer saya, Emily. Saya tidak butuh limpahan harta dari kamu.” Gallen mengatakan
Gallen mengerutkan kening mendengar ada suara ribut di luar, ia dan Giana yang sedang membantu merapikan meja segera menuju pintu depan. Terlihat di sana beberapa orang yang Gallen kenal sebagai keluarga Batara.“Saya hanya ingin berbicara dengan Emily Jeng Ratna,” pinta seorang wanita paruh baya dengan seorang laki-laki muda.“Emily belum baik kondisi mentalnya, dia saja tidak bicara sama kami keluarganya. Maaf mohon pengertiannya. Emily sedang tidak baik-baik saja,” tutur Mama Emily.Menyaksikan hal tersebut Gallen segera berdiri di samping mama Emily.“Mohon maaf Tante, saya tidak mengizinkan Emily bertemu siapapun selama masa pemulihannya. Emily bukan hanya sakit badannya tapi juga hatinya. Jika ada yang mau Tante bicarakan pada Emily, Tante bisa beritahukan pada saya.” Gallen mengambil alih pembicaraan.“Loh kenapa kamu ikut campur? Kamu hanya pegawai wedding organizer anak-anak kami.” Orang tua Batara berang seketika.“Iya benar saya adalah pengurus pernikahan putra dan p
“Tidak ada lagi Gallen, kedua kunci kamar Emily ada di dalam.” Mama Emily berkata panik ikut menggedor pintu kamar Emily.“Awas Tante sama Giana mundur, biar saya dobrak.” Gallen mundur untuk mengambil ancang-ancang menerjang pintu kamar Emily.Sebelum Gallen menerjang pintu, Gracia berlarian menaiki tangga dengan mengancungkan sebuah kunci dengan nafas tersengal-sengal. Ia mendengar seruan mama dan Gallen yang menggedor kamar Emily dengan sangat kuat sampai nyaring ke bawah.Melihat kunci yang di ayunkan Gracia, Gallen menangkapnya dan membuka pintu kamar Emily dengan panik. Tidak lagi terdengar isak dan jeritan dari dalam kamar, hal tersebut yang membuat Gallen jauh lebih cemas.Begitu pintu terbuka, Gallen menerjang masuk dan tidak ditemukan Emily di dalam ruang kamar luasnya. Gallen langsung menuju sebuah pintu yang tertutup rapat, kembali terkunci. “Sial!” Gallen langsung menerjang tanpa memanggil nama Emily kembali. Pada tendangan ke tiganya pintu terlepas selotnya dan ba
Emily mengerutkan kening saat melihat Gallen dan Giana duduk bersebelahan pada sebuah cofe shop baru di pusat Ibu Kota.“Sorry Giana ikut karena tadi dia minta jemput pulang kampus. Katanya hanya akan ikut kita makan.” Gallen menjelaskan tatap tanya Emily.“Enggak apa-apa.” Emily memilih duduk di hadapan Gallen menyaksikan Giana tidak perduli dengan kedatangannya, asyik dengan piring berisi dua potong sandwich tuna tanpa sayuran.“Giana,” tegur Gallen pada sang adik yang acuh pada kedatangan kakak iparnya.Giana mengangkat kepalanya dengan dengus kecil, melambaikan tangan sesaat pada Emily dan kembali menekuri isi piringnya dengan sebelah tangan memegang ponsel.“Kamu mau pesan apa? sudah makan?” Gallen menyodorkan daftar menu pada Emily yang sudah duduk dan meletakan tas di kursi kosong sampingnya.Emily menerima daftar menu dan membaca sesaat sebelum memanggil waiters dan mengatakan ia pesan salad sayur dan buah dengan jus mangga. Mendengar pesanan Emily, Giana kembali menden
“Abang kenapa taplak mejanya diganti?” tanya Giana begitu pulang dari kuliah bertepatan Gallen baru selesai mandi keluar dari kamar dengan rambut basah.“Oh tadi ... ketumpahan jus.” Gallen melirik pintu kamar berwarna coklat tua yang masih tertutup rapat.“Ketumpahan jus? Terus di mana taplaknya? Enggak Abang cuci kan?” Giana melotot pada Gallen.“Di mana ya tadi Abang taruh, di belakang apa ya.” Gallen menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal, sambil kembali melirik pintu kamar yang masih tertutup rapat. “Ah Abang ... itu aku buat pakai rajutan sutra. Enggak bisa dicuci sembarangan.” Giana berlari menuju area dapur di mana bersebelahan dengan area cuci. Saat Giana melihat taplak rajut putihnya berada di dalam ember yang sudah berisi air dan detergen, sontak Giana menjerit histeris dan mengentakkan kakinya dengan dramatis sebelum ia angkat taplak yang sudah berubah warna sedikit keabuan tersebut.“Abang Gallen! Aku sudah bilang jangan di sentuh taplak yang ini apa pun