“Maafkan Abang yang bodoh ya Kak Em, bye Kak Em.” Giana melambaikan tangan sebelum menutup pintu mobil ketika Emily menurunkan Giana di depan rumahnya karena Gian tidak ingin diantar ke kampus. “Akan aku bunuh kamu kalau ketemu, Gallen.” Emily menggeram dengan menguatkan cengkeraman pada kemudi hitamnya meninggalkan pelataran rumah Gallen menuju kantornya. Hari di lewati mereka dengan kesibukan masing-masing, Emily tidak mengdapatkan panggilan kembali dari Gallen setelah panggilan terakhirnya ia matikan dengan kasar dan jeritan malunya karena Giana harus mendengarkan kebodohan sang kakak. Giana memang tidak mengatakan apa-apa setelah panggilan dimatikan, tapi jelas tidak dengan isi kepala sang remaja cantik beranjak dewasa itu. Gallen sendiri tidak memikirkan jika memang adiknya mendengar, baginya Giana sudah cukup besar untuk mengerti dan memilah mana yang akan ia bahas dengan Emily atau yang tidak perlu. Ia justru mencemas
“Masih lama, kamu langsung tidur saja jangan ditunggu ya.” Gallen menjawab pertanyaan Emily saat ia menghubungi. “Iya, ini juga sudah mengantuk.” Emily mengakhiri panggilan Gallen pada pukul satu dini hari. Gallen tengah berada di acara pesta klien yang membuatnya hampir gila gara-gara sebuah partisi patah. Acara yang berlangsung di sebuah gedung mewah berlangsung lancar dari informasi yang Gallen berikan pada Emily. Emily bangun keesokan harinya dengan dapati dirinya dipeluk dari belakang oleh sebuah lengan liat. Membalikkan tubuh ia lihat wajah lelap suaminya, dengan bibir terbuka sedikit, Gallen terlihat amat lelah. Emily melirik jam di dinding menunjukkan pukul lima pagi, ia segera bangun namun pelukan di pinggangnya bertambah erat. “Subuh Gallen, Sholat dulu nanti tidur lagi ya.” Emily membelai wajah suami yang menempeli dirinya. “Hem,” gumam Gallen. Emily daratkan sebuah
“Mau diganti enggak uang beli pizza?” tanya Gallen.Emily berdecap kesal. “Apaan sih, hanya makanan. Kalau mau ganti sekalian belikan berlian.” “Mau berlian?” tanya Gallen berikutnya. “Mau dong, namanya perempuan pasti suka berlian,” kekeh Emily. Emily berhenti tertawa saat melihat Gallen langsung mengambil ponsel dan ia tahu pasti suaminya langsung mencari berlian. “Aku bercanda Gallen, kamu jangan terlalu gampang keluarkan uang besar dong. Aku punya dan tidak akan memintanya sama kamu. Untuk urusan pizza, itu hanya makanan tidak perlu diributkan.” Emily memilih menaiki ranjang mereka dengan sudah mengenakan piyama. “Berarti enggak mau kalau aku belikan?” tuntut Gallen. “Enggak menolak juga,” kekeh Emily geli sendiri, abang dan adik sama-sama menggemaskan untuk dijahili. Gallen mendengus kencang menjadikan tawa Emily berderai-derai. Gallen menarik laci nakas sa
“Kak Em ada punya atasan putih panjang polos tapi jangan kemeja kaku? Aku mau pinjam sehari buat presentasi. Ini lihat ya ampun kecipratan jus.” Giana memasuki kamar Emily di pagi hari setelah mengetuk dan diizinkan masuk. “Ada sebentar aku bawa ke sini enggak ya, aku jarang pakai putih terang. Harus putih bersih? tulang enggak mau?” Emily mulai menyisir deretan pakaiannya di lemari. “Enggak harus sih, tapi aku ingin terlihat bersih saja. Nanti di tutup blazer, aku ada beberapa tapi jarang pakai jadi rada kuning,” keluh Giana menunggu di belakang punggung Emily. “Ada ini, coba dulu. Sepertinya size aku satu nomor di atas kamu.” Emily mengepaskan di depan badan Giana. “Enggak apa-apa, di masukan celana sama tertutup blazer.” Giana langsung melepas pakaiannya tanpa malu di depan Emily. “Ini kenapa?” Emily kaget melihat bagian bahu kanan Giana ada luka memanjang sampai atas dadanya, menyentuhnya p
“Ya Tuhan,” lirih Emily dengan wajah pucat. Emily menunduk dengan kedua tangan bertumpu pada tepian meja pendek dengan cermin besar di hadapannya di dalam kamar mandi rumah Gallen. Memandang lima buah banda pipih panjang berjejer di hadapannya. “Em kamu sakit perut? Kenapa lama sekali?” Gallen mengetuk pintu kamar mandi karena menunggu sarapan bersama mereka sedangkan Emily sedari tadi belum juga keluar dari sana. “Iya duluan, aku akan keluar sebentar lagi.” Emily segera membasuh wajahnya yang bahkan sudah mengenakan make up, menghapus make up hingga tandas baru ia keluar dari kamar mandi. Gallen ternyata menunggunya di tepi ranjang karena cemas terjadi sesuatu pada Emily yang sangat lama di kamar mandi. “Benar sakit perut? Kok cuci muka lagi tadi sudah rapi, pucat juga. Sakit?” Gallen memeriksa kening dan leher Emily di mana bertengger kalung mawar pemberian darinya yang selalu di kenakan E
“Mari kita lihat sekali lagi ya Pak, Bu,” tutur Dokter lembut. Gallen berdiri di samping Emily yang sedang diperiksa oleh seorang Dokter. Setelah perdebatan Emily tidak ingin Gallen ikut sementara Gallen bersikeras mau tahu, Emily belum ingin mengatakan yang sesungguhnya. Gallen menoleh pada Emily yang beberapa kali mendesah kecil ketika mereka berdua tengah mendengarkan penjelasan Dokter mengenai keadaan calon janin setelah membaca hasil darah.“Kenapa kamu enggak bilang sama aku Emily, kamu bahkan sudah tahu sejak tiga hari lalu dan sudah periksa.” Gallen langsung bertanya pada Emily begitu mereka sampai di rumah.“Aku belum siap bilang sama kamu,” aku Emily.“Belum siap? kenapa?” Gallen mengerutkan kening semakin dalam.Emily tidak sanggup melihat sorot kecewa di mata Gallen, ia menunduk kecil sebelum mengatakan yang sesungguhnya.“Kita belum pernah membicarakan masalah anak, membahasnya, bagaimana mengasuhnya, membesarkannya dan untuk masa depannya. Kita belum
“Aku menghindar karena aku tidak ingin menyakiti kamu baik dengan ucapan ataupun mungkin lepas kendali dengan tangan aku. Aku hanya menenangkan pikiran dan mencari jalan keluar Emily.” Gallen menjelaskan dengan perlahan, tanpa melepas tatap mereka dan genggam tangannya pada tangan Emily yang juga tampak pucat. “Sampai tiga hari?” geram Emily. “Aku sangat bingung dan tidak habis pikir sama pemikiran kamu Emily. Dan sampai saat ini juga aku belum menemukan jalan yang tepat untuk keberatan kamu hamil.” Gallen menunduk mengingat ia tidak menemukan jalan keluar. Emily kembali melepas tangannya yang digenggam Gallen. Memandang wajah Gallen yang terlihat sangat frustasi. “Aku bukan akan membunuh anak kamu, tapi kamu bertingkah seolah aku akan melakukan hal itu. Aku hanya belum siap, bukan tidak mau dan berkeinginan melenyapkannya. Aku bukan pembunuh darah daging aku sendiri.” Emily memerah wajahnya saat mengatakanny
“Kuncinya jangan stres ya Bu Emily. Nikmati tiap prosesnya dengan bahagia, agar bayinya tumbuh dengan bahagia juga.” Dokter memesankan sebelum Emily meninggalkan kamar rawatnya. “Terima kasih banyak Dok.” Emily mengangguk menyalami Dokter dan berjalan dengan tangannya yang di genggam Gallen, Emily menolak memakai kursi roda karena merasa ia bukan pesakitan. “Mama, kak Gracia sana Giana tadi mau ikut jemput tapi aku larang. Mama sudah di rumah tapi, mau buat makanan sehat katanya buat kamu,” papar Gallen. Emily mengangguk, sejak pertengkaran mereka yang membuat Emily pecah menangis tersedu-sedu. Emily lebih banyak diam karena mama, Gracia dan Giana ada di sekitar mereka selama Emily di rawat. Mereka belum kembali membahasnya, Emily sendiri tidak mau lagi bertengkar dengan Gallen karena kepergian tiga hari suaminya. Mereka akan kembali bicara tentu saja, belum ada kalimat saling memaafkan. “Tolong berhenti di