“Abang aku bangunin dari Subuh enggak dengar-dengar. Dikunci tumben kamarnya?” tanya Giana saat mereka di dalam mobil setelah meninggalkan rumah orang tua Emily.“Abang pulas sekali sepertinya jadi kesiangan, takut Emily tiba-tiba masuk dan Abang hanya pakai bokser jadi Abang kunci.” Gallen melempar canda yang langsung mendapatkan pukulan di bahunya oleh Emily yang berseru.“Sembarangan kalau bicara, merasa seksi kamu sampai aku harus menerobos masuk kamar kamu?” kekeh Emily dengan kesal.Giana ikut tertawa di kursi belakang, untuk saat ini Gallen mengantar Emily terlebih dahulu karena kantor Emily lebih dekat dengan rumahnya.“Kabari kalau mau dijemput,” pesan Gallen pada Emily sebelum turun dari mobil.“Hari ini aku akan lembur jadi aku bisa diantar sopir kantor, kamu enggak perlu jemput. Bye Giana, jangan pacaran mulu ya,” kekeh Emily pada Giana yang ikut turun untuk berpindah ke samping kemudi.Giana berdecap. “Resek”“Abang ... aku boleh tanya sesuatu enggak?” tanya Giana.
“Enggak apa-apa, namanya musibah tidak akan ada yang tahu. Ya sudah besok atau kapan-kapan saja kita makan barengnya, kita pulang saja ya Bang. Sebentar lagi Kak Em harus keluar meeting.” Giana menarik lengan Gallen untuk bangun.Gallen mengikuti perintah Giana untuk segera meninggalkan kantor Emily.“Aku akan menagih pokoknya ya nanti.” Emily mengantar keduanya keluar dengan menyesal namun ia memang tidak bisa untuk saat ini.“Kamu tunggu Abang di depan lift dulu, Abang mau bicara sama Emily.” Gallen mengacak rambut Giana yang langsung cemberut kesal rambutnya menjadi berantakan.Gallen kembali masuk ke dalam ruangan Emily dan menutup pintu hingga membuat Emily mengerutkan keningnya. Tidak mungkin Gallen akan macam-macam padanya bukan.“Persidangan Batara Senin depan, kamu jika kurang nyaman tidak perlu datang. Jika meminta banding, aku tidak akan memberikan kesempatan untuk itu. Aku minta kamu hati-hati sebelum sidang di gelar. Kalau bisa tidak ke mana-mana dulu, takutnya kami
Emily sedang berada di rumah sakit saat Gallen menjemputnya, padahal Gallen baru kembali dari Yogyakarta namun memutuskan langsung ke rumah sakit.“Gallen?” seru sebuah suara berat dan dalam.“Pras? Prasetio?” Gallen bahkan melebarkan mata begitu masuk ke dalam ruangan rawat mama mertua Gracia.“Ya Tuhan, Bro apa kabar?” Prasetio langsung memeluk kuat Gallen dengan tawa tidak percayanya.“Alhamdulillah baik, kamu bagaimana kabar?” Gallen menimpali dengan tidak kalah ramah.“Yaelah pakai panggil kamu,” kekeh Tio menyalami Gallen setelah melepas pelukan.“Sorry kebiasaan bicara sama klien,” timpal Gallen.“Gua sehat Alhamdulillah, elu suaminya si Em-Em? Maksud gua Emily.” Tio meralat panggilannya pada Emily saat Gallen mengerutkan kening mendengarnya.“Iya benar gua suami Emily, ternyata dunia tak selebar daun kelor ya? Tante Maria, mama elu?” Gallen menyalami tante Maria dan adik Tio di sana, sedangkan Emily dan Gracia memperhatikan percakapan mereka berdua.“Eh ya ampun sorr
“Kak Emily tahu dari abang masalah bang Pras?” Giana mengabaikan perut sakitnya saking kagetnya dengan pertanyaan Emily.“Tio ... Prasetio itu adiknya Rashkal, Rashkal adalah suami kak Grace yang meninggal kecelakaan beberapa tahun lalu,” jawab Emily.“Ya Tuhan ... serius?” Giana melebarkan matanya.Emily mengangguk dengan tangan mengusap butiran keringat di kening Giana.“Masuk kamar dan istirahat, kamu sudah keringatan seperti ini. Nanti aku bawakan teh hangat sambil cerita mengenai Tio ya, tadi Gallen bertemu Pras di rumah sakit pas jenguk tante Maria.” Emily menarik bahu Giana untuk bangun dan menuju kamarnya.“Heboh pasti mereka berdua ya saat bertemu?” Giana bertanya begitu merebahkan diri di atas ranjang dengan memeluk bantal guling setelah mengenakan pereda nyeri di perutnya.Emily mengangguk. “Iya ramai pakai bro panggilnya. Tio katanya pernah mengajak kamu menikah saat kamu masih SMP?”“Iya bang Pras sedikit gila,” ringis Giana.“Bukan gila lagi kalau seperti itu sih
“Ada apa?” tanya Gallen pada Emily saat tiba-tiba ia diminta Emily menjemput di kantor karena mama Emily meminta mereka datang sepulang bekerja. “Enggak tahu, pokonya katanya kalau tidak ada acara mama ingin bicara. Aku juga deg-degan mau bicara apa.” Emily meringis menaiki mobil Gallen yang tampak penasaran. Gallen mengangguk dan menutup pintu setelah memastikan Emily duduk dan memakai seatbelt. Membawa laju kendaraannya menuju kediaman orang tua Emily. Gracia sendiri sedang berada di rumah sakit dari siang, ia menemani sang mama mertua kembali ke rumah untuk menjalani pengobatan lanjutan di rumah. “Mama masak apa?” Emilu bertanya saat memeluk sang mama dengan erat. “Kamu ini jangan menunjukkan seolah Gallen tidak memberikan kamu makan dong Emily, eh kamu kasih putri Tante makan kan Gallen?” Masih dengan memeluk si bungsu, mama Emily memberikan tatap tajam pada Gallen yang langsung kaget ditembak demikian.
“Maksud kamu apa bicara seperti itu sama mama?” tanya Emily begitu sampai rumah Gallen. “Enggak ada maksud apa-apa, memangnya salah, aku jawab seperti itu?” Gallen balik bertanya. “Iya salah, urusan anak belum pernah kita bicarakan. Aku bilang baru mau mulai mengenal. Bukan siap memproduksi anak. Itu terlalu jauh Gallen, harusnya kamu bilang nanti akan kita bicarakan lebih dulu, Ma.” Emily langsung menaikkan nada bicaranya. “Tidak perlu berseru seperti itu, kita cukup duduk dan bicara.” Gallen menegur untuk pertama kalinya pada Emily.Emily tertawa sinis. “Jawaban kamu mengisyaratkan aku yang pegang kendali dan kamu hanya mengikuti. Aku tidak suka hal itu, dan satu lagi waktu itu juga kamu bilang sama Tio kalau kita baru menikah dan belum resepsi. Kenapa kamu bisa menyimpulkan aku akan mau menggelar resepsi lagi setelah kegagalan aku kemarin? Meskipun kita sepakat memulai, bukan berarti kamu bisa seenaknya mengambil keputusa
Emily berusaha bersikap biasa saja pada Giana setelah dua kali kepergok tingkahnya yang seolah menunjukkan ia sangat agresif. Padahal ia tidak seperti itu. “Abang ... aku boleh bicara serius? sama Kak Em juga,” tutur Giana di saat mereka makan malam keesokan harinya. “Tolong jangan bahas yang kemarin, Giana. Aku malu dan itu sungguh enggak sengaja. Abang kamu mengata-ngatai aku manja, tukang mengambek dan lain-lain.” Emily langsung menyerobot bicara sebelum Giana membuka terlebih dahulu.Giana tersenyum lebar. “Aku sungguh bukan mau bicara itu Kak Em, dan lagi aku sudah mulai terbiasa kok melihat kalian mesra-mesraan.” “Kami tidak mesra-mesraan ok, Abang sedang di siksa sama Emily kemarin. Mau dicekik,” tambah Gallen. Emily kembali mendengus kesal, sementara Gallen hanya menyeringai lebar. Interaksi tersebut tidak luput dari pengamatan Giana yang menopangkan dagunya dengan tangan kiri. “Apa aku
“Bang awas!” Ardian menarik lengan Gallen keras menghindarkan Gallen dari kompor panas berisi sop dengan kepul asap di atasnya. Gallen seketika tersentak hebat dari lamunan panjangnya. Ia menoleh ke arah kanan di mana orang-orang juga sama jantungannya dengan Ardian. Meja prasmanan yang disediakan oleh pihak pengantin adalah untuk makan tim Gallen selama mendekor dan mempersiapkan semua keperluan sebelum hari resepsi. “Thanks Ar, astaga bisa melepuh badan saya kalau menyenggol itu,” desah Gallen. “Abang istirahat saja Bang, atau pulang saja temui istrinya. Kami bisa kok ditinggal, kita akan kirim hasilnya sama Abang,” tutur Ardian setelah melihat Gallen mengusap kasar wajahnya. “Saya keluar dulu saja sepuluh menit ya, kita selesaikan sama-sama.” Gallen menolak pulang sebelum tanggung jawabnya selesai. Menyesap kopi di sebuah restoran yang tersedia di lantai bawah hotel yang sedang ia kerjakan,