“Ayo kita pulang,” ajak Zavar pada Sarah yang tampaknya shock menerima kenyataan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Zavar mengulurkan tangannya untuk membantu Sarah berdiri dari kursinya.
“Kemana?” tanya Sarah menatap lelaki berkulit kuning langsat di hadapannya. Sarah merasa asing dengan lelaki itu. Ia tidak tahu apa-apa tentang lelaki di hadapannya, selain nama dan pekerjaan Zavar.“Ke rumah, tepatnya kontrakanku,” jawab Zavar. “Kamu saat ini adalah istriku dan hidupmu saat ini sudah menjadi tanggung jawabku sebagai suamimu,” lanjut Zavar menjelaskan kepada Sarah.Zavar berusaha bersikap ramah dan sabar dengan Sarah. Ia tahu Sarah pasti bingung dan takut, tapi ia berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi suami yang bertanggung jawab.Sarah menjawab dengan anggukan kepala. Tak ada pilihan lain selain ikut bersama Zavar, sebab Ia telah terusir dari rumahnya. Ayahnya saja tak mau lagi menerima dan telah menganggapnya mati, karena merasa malu dengan apa yang dia lihat tadi pagi, saat tiba dirumah.Sarah mengambil tas dan jaketnya dari meja dan mengikuti Zavar keluar dari ruangan KUA. Mereka berjalan menuju sepeda motor Zavar yang terparkir di depan gedung. Zavar membantu Sarah naik ke boncengan dan memberikan helm kepadanya. Ia kemudian menyalakan mesin dan melaju meninggalkan tempat itu.Panasnya terik matahari terasa membakar kulit saat Sarah berboncengan dengan lelaki yang baru saja menjadi suaminya beberapa saat yang lalu. Sarah yang telah biasa menaiki motor sederhana milik Zavar itu pun duduk di belakang sang pemuda, mengikuti kemana arah Zavar melajukan sepeda motornya.Belasan menit Zavar melaju di jalan raya, akhirnya ia telah tiba di sebuah rumah sederhana. Zavar mengendarai sepeda motornya masuk ke dalam pelataran rumah yang kecil dan terlihat biasa saja.“Kita sudah sampai, ini kontrakanku. Kita akan menempati rumah ini, semoga kamu betah,” jelas Zavar memberitahu Sarah.Gadis itu tak banyak bicara, ia hanya mengangguk kemudian menuju ke teras, sementara Zavar memarkirkan sepeda motornya terlebih dahulu, lalu ia pun melangkah masuk ke dalam rumah sederhana itu.Pintu berderit, pertanda suara pintu yang dibuka oleh Zavar. Rumah tersebut tampak berdebu, sepertinya sudah lama tak pernah dibersihkan oleh yang menghuni. Beberapa partikel debu masuk ke dalam lubang hidung Sarah, membuatnya bersin-bersin.“Maaf, rumah ini sedikit kotor, aku jarang berada di sini, sebab sepanjang hari aku bekerja, paling kalau pulang untuk tidur saja. Nanti biar aku bersihkan,” jelas Zavar kepada sarah sambil tersenyum.“Iya, nggak apa. Aku memang sedikit sensitif sama debu,” jelas Sarah, kemudian ia pun ikut masuk ke dalam, meski merasa sedikit geli mau tak mau Sarah pun memilih mengalah dengan keadaan.“Silahkan duduk, mau aku buatkan minuman untukmu?” tanya Zavar.“Nggak usah Repot-repot, Zavar,” ucap Sarah memberitahu.“Baiklah, kalau begitu kamu duduklah dulu. Aku mau mandi, gerah soalnya habis panas-panasan di jalan,” terang Zavar.“Iya,” jawab Sarah singkat.Zavar berlalu masuk ke dalam kontrakan sederhana dan sempit itu. Sementara Sarah duduk di kursi meratapi dirinya, membayangkan hari-hari yang akan dilalui kedepannya. Tanpa sadar, mata Sarah berembun, kemudian cairan bening itu menetes membasahi pipinya.Dada Sarah terasa sesak membayangkan dirinya saat ini. “Tuhan, kenapa engkau berikan aku cobaan seperti ini?” ucap Sarah sedikit terisak kemudian mencekal air matanya yang mulai berlomba lomba menelusuri pipinya yang mulus.Tiba-tiba ponsel Sarah bergetar. Ia mengambil tasnya dari meja dan segera meraih benda pipih itu dari dalam tas, kemudian membuka kunci, melihat isi chat, dan membuka pesan yang ternyata dari Selena.Sarah terkejut dan terpukul melihat isi pesannya. Ia tak percaya bahwa Ayah telah membuang barang-barangnya ke tempat sampah tanpa belas kasihan. Ia juga tak percaya bahwa Selena, saudara tirinya, telah melakukan hal sekeji itu. Ia merasa seperti ditampar berulang-ulang oleh mereka.
“Barangmu, sudah aku suruh pembantu untuk membuangnya ke tempat sampah! Ini atas perintah Ayah, katanya agar kamu tidak kembali lagi ke rumah!” Bunyi chat yang dikirim oleh Selena kepada Sarah.Saudara tirinya itu juga mengirimkan foto-foto yang menunjukkan barang-barang Sarah yang berserakan di tong sampah belakang rumah yang dulunya tempat ternyaman Sarah tempati. Selena tersenyum puas melihat hasil karyanya. Ia berharap Sarah akan merasa sakit hati dan putus asa.“Segitu bencikah, Ayah kepadaku? Sehingga ia membuang barang-barang milikku ke tempat sampah?” gumam Sarah mengusap air matanya yang kini telah menganak sungai membanjiri pipi mulusnya.Hanya gara-gara kesalahan semalam, membuat hidup Sarah hancur dalam sekejap. Bagai mimpi di siang bolong, sang Ayah tega membuang sang putri tanpa mendengarkan penjelasan sepatah kata pun.Sarah menatap kosong ke arah jendela, menahan rasa sakit yang menyesakkan dada. Berharap, bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk. Namun, nyatanya semua itu adalah kenyataan.Zavar yang baru saja keluar dari kamar mandi di belakang rumah itu. Ia melangkahkan kakinya mendekati gadis cantik itu, untuk memastikan apa yang terjadi padanya. Tak sengaja ia mendapati Sarah menangis di ruang tamu.“Sarah, kamu nangis?” tanya Zavar ingin tahu. “Apa kamu tak suka tinggal ditempat seperti ini? Jika aku punya uang lebih, aku berjanji akan mencarikan rumah kontrakan yang lebih layak untuk kamu tempati,” lanjut Zavar menjelaskan.Sarah terdiam, ia tak bisa menjawab pertanyaan dan menjelaskan kepada Zavar apa yang membuatnya menangis. Sebab, hatinya kali ini sangat sakit. Semua bercampur aduk menjadi satu, tak dapat Sarah ungkapkan dengan kata-kata terkecuali menangis.Zavar mendekati Sarah dan duduk di depannya. Ia mengambil ponsel Sarah dari tangannya dan membaca pesan dari Selena. Ia mengernyitkan dahinya dan merasa marah melihat perlakuan Selena dan Ayah Sarah terhadap gadis itu.“Sarah, maafkan aku. Aku tidak tahu kalau mereka begitu jahat padamu,” ujar Zavar dengan nada bersalah. “Kamu tidak perlu peduli dengan mereka. Mereka tidak pantas menjadi keluargamu,” tambahnya.Sarah menatap Zavar dengan mata berkaca-kaca. Ia tak dapat berkata-kata, dadanya bergetar menahan isak tangis, sulit sekali menerima kenyataan hidupnya saat ini. Semua terasa seperti mimpi. Sarah tak mampu menjelaskan apa yang dia rasa saat ini. Dan tak tahu harus menyalahkan siapa atas apa yang telah terjadi.Zavar menatap Sarah dengan penuh perhatian. Beberapa saat mereka saling diam. Hingga akhinya Zavar berbicara memecah keheningan.“Oh ya, aku sebentar lagi akan kembali bekerja. Kamu tidak apa-apa kan aku tinggal disini?” tanya Zavar kepada Sarah. Ia khawatir meninggalkan Sarah sendirian di rumah yang asing baginya.
“Iya, nggak apa-apa kok,” jawab Sarah dengan senyum tipis. Ia tidak peduli kemana Zavar pergi.“Mungkin aku akan pulang agak larut malam, jika kamu butuh apa-apa, hubungi saja aku,” jelas Zavar memberitahu Sarah. Ia memberikan nomor teleponnya kepada Sarah dan memastikan bahwa Sarah bisa menghubunginya kapan saja.“Iya,” jawab Sarah singkat.Zavar pun beranjak dari tempatnya duduk, kemudian bersiap-siap hendak berangkat bekerja. Setelah sudah selesai berkemas, Zavar meninggalkan Sarah sendirian di rumah. Sebelum keluar melewati pintu, ia menoleh sekali lagi ke arah Sarah dan mengucapkan selamat tinggal. Setelah itu, Zavar melaju dengan menaiki sepeda motornya.Di rumah Zavar, tinggallah Sarah seorang diri. Setelah Zavar pergi, Sarah masih duduk di kursi tua yang sudah usang sambil menatap sekeliling ruangan sempit itu.“Ternyata, disini Zavar tinggal,” ucap Sarah mencoba mengalihkan pikirannya dari masalah yang sedang ia alami.Ditengah lamunan, terdengar suara nyaring dari arah dapur, membuat Sarah terkejut.“Su-suara apa itu?” gumam Sarah yang tampak membulatkan bola matanya.Selamat membaca, semoga suka.
“Su-suara apa itu? Apakah ada orang lain dirumah ini?” sarah bermonolog didalam hati. Dengan langkah hati-hati ia melangkahkan kaki dengan pelan menuju ke asal suara, yaitu di dapur. Pelan-pelan, Sarah mengintip. Ternyata tidak ada apa-apa di sana. Ia hanya mendapati ruangan kosong. Namun beberapa saat kemudian, Sarah berteriak kencang. Ia sangat terkejut mendapati seekor tikus yang besar mengintip di dekat tong sampah. Sarah berlari menjauh dari arah dapur. “Oh tuhan, sepertinya aku tidak akan kuat hidup di rumah ini,” ucap Sarah. Ia duduk diatas kursi memeluk kedua kaki untuk meredam rasa di hatinya yang bercampur aduk, pikiran Sarah sangat kacau menerima kenyataan pahit yang tak pernah ia bayangkan. Sarah terisak menundukkan kepalanya hingga tanpa sadar Sarah terlelap di kursi yang telah usang itu. Sejenak melupakan masalah yang bertubi-tubu menimpanya hari ini. Beberapa jam kemudian, Sarah terbangun dari tidur. Perlahan ia melirik jam di ponselnya, waktu menunjukkan pukul 09.1
“Rajam? Apa salah kami?” Tanya Zavar kepada warga dengan tatapan tajam. “Kalian telah Berzinah!” pekik mereka kompak. “Tak ada yang berzinah, kami suami istri,” ucap Zavar mencoba menjelaskan. “Kalian percaya?” ucap si provokator. “Tidak!" seru yang lainnya. “Kenapa kami harus dihukum? Kami tidak bersalah!” papar Zavar menjelaskan dengan tegas. “Kalian harus dihukum! Sebab kalian sudah merusak nama baik tempat ini!” teriak seorang pria paruh baya dengan suara yang garang. Zavar berusaha menjelaskan dengan tegas. “Saya sudah katakan, Sarah adalah istri saya. Kami sudah menikah,” ujar Zavar mencoa menenangkan kerumunan yang marah. Namun, amarah warga tampaknya sudah membutakan mereka. Mereka tidak mau mendengarkan penjelasan Zavar, bahkan beberapa dari mereka mulai merangsek masuk ke dalam rumah. Melihat situasi yang semakin memanas, Zavar memegang tangan Sarah. “Jangan takut Sarah, ada aku yang menjagamu. Kita harus tetap tenang. Aku akan mengurus ini,” bisiknya pada Sarah, men
“Hanya apa?” tanya Zavar dengan nada penasaran. Dia melihat ada sesuatu yang berbeda dari ekspresi wajah Sarah.“Ah tidak. Bukan apa-apa,” jawab Sarah dengan cepat. Dia berusaha tersenyum, tapi senyumnya terlihat hambar dan dipaksakan. Dia menunduk, seolah menyembunyikan sesuatu di benaknya.“Aku siap-siap dulu,” ucap Sarah lagi, beranjak dari kursi yang di duduki olehnya. Dia berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap. “Oke,” jawab Zavar, menunggu Sarah berkemas. Dia merasa ada yang aneh dengan Sarah, tapi dia tidak ingin mengganggunya. Mungkin Sarah sedang mengalami masalah yang tidak bisa dia ceritakan kepada Zavar. Tak menunggu waktu lama, Sarah telah siap dengan pakaian sederhana yang dibelikan oleh Zavar kemarin. Terpaksa, karena tak ada pakaian lagi. Sarah berencana akan membeli pakaian terlebih dahulu sebelum ke kampus dengan uang di ATM miliknya.Sarah sudah mengenakan jaket dan helm. Dia melihat Zavar masih asyik bermain ponsel di kursi.“Ayo,” ajak Sarah yang telah siap. Dia
Sarah merasakan denyut nadi yang semakin kencang ketika mendengar suara yang menyapa dirinya dari belakang. Suara itu begitu familiar, namun juga begitu menyakitkan di telinga yang mendengar. Suara yang kini menghujat dan menghina dirinya tanpa ampun yang berasal dari Selena, saudara tirinya. Sarah menarik napas dalam-dalam, lalu memutar tubuhnya perlahan-lahan menghadap ke arah suara itu. Matanya menatap tajam ke wajah Selena yang tersenyum sinis. Sarah merasakan amarah yang membara di dadanya, tetapi ia berusaha menahan diri mengontrol emosi yang siap meledak kapan saja. “Selena,” ucap Sarah dengan suara lirih yang hampir tak terdengar. Ia berharap Selena hanya lewat dan tidak mengganggunya kali ini. Namun harapan itu sia-sia. Selena malah mendekat ke arah Sarah, berjalan dengan langkah angkuh dan sombong. Rambut pirangnya tergerai indah di bahunya, menunjukkan betapa ia merasa cantik dan superior. Selena memang selalu merasa iri dengan Sarah, karena ibunya sendiri lebih perhatia
“Astaga, Selena. Menjijikan sekali!” gumam Sarah yang berada tak jauh dari mobil Ferrary yang berwarna merah, tak sengaja Sarah melihat saudara tirinya melakukan hal tak senonoh bersama kekasihnya, Alex. Di dalam mobil di area kampus pula.Bola mata Sarah membulat sempurna melihat aksi liar adik tirinya. Bukan hal tabu di zaman sekarang melakukan hal tersebut, tetapi apakah harus di tempat umum seperti ini? Ingin rasanya Sarah melaporkan aksi bejat Selena dan kekasihnya kepada petugas keamanan kampus, tetapi ia urung.Mengingat nama keluarganya di pertaruhkan. Setelah berpikir sejenak, akhirnya Sarah diam-diam serta berhati-hati merekam kelakuan Selena yang sudah lepas kendali menari-nari naik turun diatas tubuh Alex. Saking asyiknya, sampai-sampai mereka tak menyadari bahwa ada yang sedang merekam kelakuan mereka.Sarah merasa puas ketika ia berhasil merekam video pendek yang berdurasi 18 detik tersebut menunjukkan adegan tak pantas Selena dengan pacarnya di dalam mobil. Sarah membay
“Ma-ma Lena!”Sarah berucap dengan suara serak dan ketakutan setelah menyadari sosok yang membayangi pintu menghampiri nya adalah ibu tirinya. Ia merasa darahnya membeku dan jantungnya berdebar kencang.“Apa yang kamu lakukan disini, bagaimana kamu bisa masuk ke dalam rumah ini? Bukankah ayahmu sudah mengusir kamu?” Lena menyerbu dengan nada sinis dan marah. Matanya menyala-nyala menatap Sarah dengan penuh kebencian.“Saya menemukannya di ruangan monitor, nyonya!” Penjaga yang mengawal Sarah segera melapor dengan suara gemetar. Ia takut akan mendapat hukuman dari Lena jika ia tidak memberi tahu kebenaran.“Untuk apa kamu ke ruang monitor, Sarah?” Lena mendekatkan wajahnya ke Sarah dengan tatapan curiga. Wajahnya yang cantik tampak berkerut-kerut karena kekesalan.“Kenapa kamu diam? Jawab, Sarah!” lanjut Lena lagi dengan nada meninggi karena tak mendapatkan jawaban dari Sarah. Dia menatap Sarah dengan tajam dan memaksanya untuk menjelaskan. “Aku ingin mencari bukti bahwa diriku tak be
“Zavar, kamu ngikutin aku?” ucap Sarah dengan nada curiga kepada sosok pria tampan berhidung mancung yang tiba-tiba muncul di hadapannya. Sarah menatap sekilas wajah Zavar yang tampan itu, kemudian membuang muka menatap ke arah yang lain.“Bagaimana bisa dia tiba-tiba berada di sini kalau tak mengikuti aku, atau seseorang menelponnya memintanya kemari!” batin Sarah.Rasa curiga terhadap Zavar semakin besar di dada Sarah. Tak mungkin semuanya terjadi kebetulan, pasti sudah direncanakan.“Nggak, aku nggak ngikutin kamu. Aku sehabis mengantar penumpang di daerah sini.” Zavar berusaha meyakinkan Sarah dengan suara tenang, meyakinkan Sarah. “Oh,” jawab Sarah dengan nada datar. Ia masih merasa aneh dengan kehadiran Zavar di tempat itu.“Lalu, kamu kenapa ada di sini? Bukankah tadi kamu mengatakan akan menemui dosen?” tanya Zavar dengan rasa ingin tahu. Ia melihat ekspresi Sarah yang gelisah dan bingung. “Nggak jadi,” jawab Sarah dengan singkat. Ia tak mau menceritakan apa sebenarnya yang
“Mama apa-apan, kenapa menampar pipiku, sakit!” teriak Selena kepada mamanya sambil memegang pipi yang terasa pedas akibat tamparan. Bahkan, terlihat dengan jelas bentuk lima jari berwarna merah menempel di pipi mulus Selena.“Kamu yang apa-apan! Bisa-bisanya kamu tidur dengan kekasihmu, berbuat asusila di parkiran kampus! Nggak ada otak kamu, hah!” omel Lena pada putrinya. Wanita 42 tahun itu sangat geram setelah tahu prilaku putrinya yang begitu liar di luar sana.“Mak-maksud Mama, a-apa?” tanya Selena gelagapan. Matanya melotot, kaget dan bingung dari mana mamanya tahu itu semua itu, apakah ada yang mengirimkan mata-mata untuk mengawasinya?“Kaget kamu, setelah mama tahu ulah liar kamu di luar sana yang tak melebihi seorang jalang! Kamu gila ya, memberikan tubuh kamu begitu saja kepada lelaki seperti Alex yang belum lama menjadi pacarmu? Bagaimana kalau kamu hamil dan dia tidak mau bertanggung jawab, hah! Lalu ayah tiri kamu tahu sikap liarmu itu. Mau kamu kita di usir dari rumah in
Zavar duduk tegang di ruang tunggu rumah sakit, gelisah menanti kabar mengenai keadaan mertuanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, dokter yang menangani Bagas akhirnya muncul di hadapannya.“Dokter, bagaimana keadaan mertua saya?” tanya Zavar dengan wajah penuh kekhawatiran.Dokter itu melihat langsung ke mata Zavar sebelum memberikan jawaban, “Masih lemah, Tuan. Tetapi saya senang memberitahu Anda bahwa ada kemajuan sedikit dibanding saat pak Bagas di bawa kemari.”Walaupun Zavar merasa sedikit lega mendengar kabar positif, rasa penasarannya masih belum terpuaskan. “Dokter, bagaimana zat aktif itu bisa masuk ke tubuh mertua saya? Apakah beliau mengkonsumsinya?” tanya Zavar, ingin memahami lebih lanjut.Dokter menjelaskan dengan penuh perhatian, “Menurut kami, tampaknya obat itu memang sengaja diberikan, tujuannya untuk merusak sel-sel tubuh secara perlahan. Melihat kondisi pak Bagas yang sangat memprihatinkan.”Pernyataan dokter membuat Zavar tercengang, tidak bi
Sorak-sorai terdengar memecah keheningan senja di pinggir hutan saat seorang wanita memecahkan keheningan itu dengan serunya saat melintasi jalan sepi di dekat hutan yang setiap hari ia lalui menuju arah pulang dari bekerja.“Ya ampun, Sarah! Iya, ini Sarah!” Wajahnya penuh kekhawatiran ketika dia melintas di jalan, menyusuri lorong gelap yang mengarah pulang menjelang senja.Tiba-tiba, desakan bantuan memecah udara, memotong kesunyian senja. “Tolong!” teriak wanita itu, meminta pertolongan dengan nada yang memilukan. Seruannya segera menarik perhatian beberapa warga yang berada di sekitar lokasi, dan mereka dengan cepat mendekat.Seorang warga, penuh kebaikan hati, bertanya, “Ada apa, Bu?” dengan ekspresi keprihatinan di wajahnya.Wanita itu buru-buru menjelaskan, “Ini, tolong bantu saya membawa wanita ini ke rumah sakit, Pak!” Sorot matanya penuh dengan kegelisahan.“Siapa wanita ini, Bu? Dan kenapa? Apakah wanita ini korban perampokan?” tanya seorang warga lain, mencoba memahami si
Zavar terlihat sibuk menandatangani berkas yang disodorkan oleh Fando.“Ada lagi, Fan?” tanyanya seraya menjepit pulpen di antara jari telunjuk dan jari tengah, matanya menatap fokus pada Fando yang berdiri di hadapannya.“Sudah selesai untuk hari ini, Zavar,” tukas Fando sopan, namun wajahnya nampak datar.Zavar mengangguk singkat. Ia gegas bangkit berdiri, berjalan mendekati sang asisten pribadi. “Rekaman CCTV sudah ada di tangan kamu?” tanyanya seraya berjalan melewati Fando.Fando yang ditanya, gegas menyusul di belakang. “Sudah, kamu akan terkejut melihat hasilnya,” tukasnya, merogoh saku jas, kemudian menyerahkan sebuah flashdisk berisi copy rekaman CCTV ke samping kanan Zavar.Zavar menerimanya, menggenggamnya erat tanpa menghentikan langkahnya. Keduanya berjalan beriringan tanpa sepatah katapun menuju pintu keluar.Zavar gegas masuk ke dalam mobil yang telah menunggunya di depan lobi, begitu Fando membukakan pintu penumpang, menutupnya perlahan, kemudian gegas berlari memutar,
“Gak! Itu gak benar, Sarah! Itu semuanya fitnah!” Selena bersikeras. Wajahnya bahkan terlihat berusaha serius, nampak meyakinkan. Namun Sarah yang sudah tahu akal busuk saudara tirinya itu, tidak serta Merta percaya.“Heleh! Jangan berkilah kamu, Selena! Aku yakin banget, kalo kamu lah pelakunya!” tuding Sarah berapi-api seraya menunjuk-nunjuk ke arah wajah Selena.“Aku berani bersumpah, Sarah. Bahwasanya aku tidak pernah melakukan hal bodoh seperti itu!” Selena masih berusaha membuat Sarah terpedaya.“Gak usah ngelak lagi kamu! Mending kamu ngaku aja dengan jujur, apa maksud kamu ngasih kopi itu sama suami aku? Ingat Selena, Zavar itu suami aku, iparmu sendiri. Jadi kamu jangan berpikiran picik dengan berusaha merebut dia dari tanganku! Atau jangan-jangan kamu yang berusaha mengadu domba aku dan Zavar dengan berpura-pura mengaku menjadi mantan kekasihnya!”pekik Sarah murka. Wajahnya bahkan terlihat merah padam.“Sudah aku bilang, kalo aku gak pernah ngelakuin itu! Kamu itu bego atau
Zavar menatap Fando dengan ekspresi serius, memecahkan keheningan dengan kata-kata yang membuat atmosfer ruangan semakin tegang. “Ada orang yang menjebak aku, sengaja memberikan minuman perangsang,” ungkapnya tegas, matanya mencari kepastian di wajah Fando.Terdengar desahan kaget dari Fando. Ia langsung menanggapi, “Astaga, siapa?” Rasa penasarannya terpancar jelas dari setiap kata yang terucap.Zavar mengangguk, memberikan penjelasan lebih lanjut, “Nggak tau, aku tadi kan meeting. Segera kamu periksa CCTV, aku ingin tau siapa pelakunya.” Suaranya penuh desakan, menunjukkan urgensi untuk mengungkap kebenaran di balik insiden yang menimpanya.Fando mengangguk serius, “Mungkinkah itu Lolly?” Ia mencoba menghubungkan benang merah dari kejadian itu dengan sosok yang mungkin terlibat.Zavar merenung sejenak sebelum menjawab, “Entah, aku tak tau.” Ungkapannya penuh dengan ketidakpastian, membuat situasi semakin misterius.Tak lama kemudian, Fando melanjutkan serangkaian pertanyaannya, “La
Suasana di ruangan itu menjadi tegang ketika Sarah melihat gelisah yang meliputi wajah suaminya, Zavar. Dengan rasa concern, ia tak bisa menahan diri untuk bertanya, “Sayang kamu kenapa?” Suara lembutnya memecah keheningan, memperlihatkan kekhawatiran yang mendalam terhadap suami tercintanya.Meski Sarah masih curiga terhadap Zavar, tetapi itu tak mengubah sikapnya pada pria tampan itu.Zavar, yang tampaknya merasa gelisah dan waspada, segera memberikan instruksi pada Sarah, “Sayang, tutup pintunya, katakan pada sekretaris jangan ada yang mengganggu.” Permintaan tersebut disampaikan dengan suara serius dan penuh perhatian. Sarah, tanpa ragu dan dengan penuh ketaatan, segera melangkah ke pintu dan menguncinya rapat, memastikan keamanan ruangan dari mata orang asing.Namun, ketegangan semakin terasa ketika Sarah kembali mendekati Zavar, mencoba memahami penyebab sikap gelisah yang merayap di dalam hati suaminya. “Ada apa?” tanya Sarah dengan suara lembut, mencoba membuka pintu percaka
Langkah kaki Zavar terdengar semakin dekat, seiring dengan detak jantung Sarah yang semakin cepat.Meja di hadapannya menjadi semakin jelas dalam pandangannya, dan ketegangan terasa begitu nyata di udara. Sarah merasakan debaran kencang di dadanya, seperti serangan kecil dari rasa was-was yang merayap dalam benaknya.Langkah kaki Zavar menghasilkan suara yang berat, menciptakan dentuman yang membuat saraf Sarah merespon dengan cepat. Kletak. Kletak. Setiap langkah mengisyaratkan kedatangan sosok yang mungkin membawa segala macam kejutan.“Aduh, gimana ini?” bisik hati Sarah, ketidakpastian memenuhi pikirannya. Kedua kata itu menjadi sepasang mantra yang terus berputar di benaknya. Sementara langkah kaki Zavar semakin mendekat, ruangan itu seakan-akan mengecil, menyisakan ruang sempit bagi ketegangan untuk berkembang.Dalam ketidakpastian yang mencekam, suara langkah kaki Zavar menggema di dalam ruangan, menciptakan atmosfer yang begitu tegang sehingga bahkan udara tampaknya menahan na
Esok pagi tiba dengan udara yang sejuk dan langit yang cerah, menciptakan suasana yang kontras dengan kegelapan yang menyelimuti hati Sarah.Mendekati jam makan siang, diam-diam Sarah datang ke kantor, hatinya dipenuhi kegelisahan yang sulit diungkapkan. Dengan langkah-langkah hati-hati, Sarah memutuskan untuk mengungkap misteri yang merayapi pikirannya.Seiring langkahnya yang mantap, Sarah melangkah menuju kantor suaminya yang berlokasi di pusat kota. Dia memutuskan untuk memilih jalur taksi sebagai sarana transportasinya, berharap dapat mengurangi waktu tempuh dan mempertahankan keberadaannya yang rahasia. Saat taksi itu tiba, dia dengan hati-hati menuruni tangga, memastikan bahwa tidak ada yang memperhatikan langkah-langkahnya yang tersembunyi.“Bismillah. Semoga aku menemukan kebenarannya di sini,” bisik Sarah dalam hati sambil menyesap napasnya yang teratur. “Ini pak, uangnya, kembaliannya ambil bapak saja,” ujar Sarah dengan tegas kepada sopir taksi ketika sampai di tujuan. De
Lena membuka pintu rumah dengan senyuman, melihat putrinya, Selena, yang tampak begitu bersemangat.“Kamu kenapa sayang? Kok girang banget?” tanya Lena dengan senyum penasaran saat baru tiba di rumah mereka.“Mama baru pulang? Aku lagi senang mah,” kata Selena sambil tersenyum cerah.“Senang kenapa?” tanya Lena, menunjukkan rasa penasaran yang sama.“Sebab, rencana kita berjalan lancar, Mah,” kata Selena dengan antusias.“Lancar?” Lena semakin penasaran.“Iya, Mah. Tadi Selena berhasil mengambil foto yang bagus, lalu mengirim pada Sarah. Tau nggak Mah, Sarah langsung nelpon setelah Selena kirim foto itu,pasti dia sakit hati,” cerita Selena sembari membagi cerita dengan penuh semangat.“Dia tidak kenal suara kamu?” tanya Lena dengan nada penasaran.“Nggak, Mah. Sudah Selena filter, jadi nggak akan Sarah kenal,” jelas Selena sambil menjelaskan dengan penuh semangat.Lena menggelengkan kepala, meresapi kata-kata putrinya dengan ekspresi serius. “Baguslah, kalau mama malah nggak berhasil