Sorak-sorai terdengar memecah keheningan senja di pinggir hutan saat seorang wanita memecahkan keheningan itu dengan serunya saat melintasi jalan sepi di dekat hutan yang setiap hari ia lalui menuju arah pulang dari bekerja.“Ya ampun, Sarah! Iya, ini Sarah!” Wajahnya penuh kekhawatiran ketika dia melintas di jalan, menyusuri lorong gelap yang mengarah pulang menjelang senja.Tiba-tiba, desakan bantuan memecah udara, memotong kesunyian senja. “Tolong!” teriak wanita itu, meminta pertolongan dengan nada yang memilukan. Seruannya segera menarik perhatian beberapa warga yang berada di sekitar lokasi, dan mereka dengan cepat mendekat.Seorang warga, penuh kebaikan hati, bertanya, “Ada apa, Bu?” dengan ekspresi keprihatinan di wajahnya.Wanita itu buru-buru menjelaskan, “Ini, tolong bantu saya membawa wanita ini ke rumah sakit, Pak!” Sorot matanya penuh dengan kegelisahan.“Siapa wanita ini, Bu? Dan kenapa? Apakah wanita ini korban perampokan?” tanya seorang warga lain, mencoba memahami si
Zavar duduk tegang di ruang tunggu rumah sakit, gelisah menanti kabar mengenai keadaan mertuanya. Setelah beberapa saat yang terasa seperti berjam-jam, dokter yang menangani Bagas akhirnya muncul di hadapannya.“Dokter, bagaimana keadaan mertua saya?” tanya Zavar dengan wajah penuh kekhawatiran.Dokter itu melihat langsung ke mata Zavar sebelum memberikan jawaban, “Masih lemah, Tuan. Tetapi saya senang memberitahu Anda bahwa ada kemajuan sedikit dibanding saat pak Bagas di bawa kemari.”Walaupun Zavar merasa sedikit lega mendengar kabar positif, rasa penasarannya masih belum terpuaskan. “Dokter, bagaimana zat aktif itu bisa masuk ke tubuh mertua saya? Apakah beliau mengkonsumsinya?” tanya Zavar, ingin memahami lebih lanjut.Dokter menjelaskan dengan penuh perhatian, “Menurut kami, tampaknya obat itu memang sengaja diberikan, tujuannya untuk merusak sel-sel tubuh secara perlahan. Melihat kondisi pak Bagas yang sangat memprihatinkan.”Pernyataan dokter membuat Zavar tercengang, tidak bi
Tamparan keras mendarat di pipi mulus gadis cantik yang berusia 21 tahun. Dia adalah Sarah Marcelina, putri tunggal pengusaha sawit ternama yang masih berstatus mahasiswa disalah satu universitas terbaik di kotanya. Tamparan itu mengayun dengan keras menghantam pipi Sarah dengan kuat, sehingga membuat gadis cantik berhidung mancung bak boneka barbie itupun terperanjat lalu terbangun, seketika membuatnya merasakan nyeri yang begitu menyakitkan. “Ayah, kenapa memukulku?” tanya Sarah kepada pria yang menatapnya dengan tatapan tajam dan penuh amarah. Lelaki itu terlihat sangat murka. “Masih berani kamu bertanya? Lihat dirimu! Dasar anak tidak tahu diuntung, beraninya kamu membuat malu keluarga dengan membawa lelaki tukang ojol ini kedalam kamar!” ucap Bagas dengan penuh amarah. Bagas menunjuk ke arah lelaki 30 tahun itu yang merupakan langganan ojek sarah ke kampus. Pria itu bernama Zavar. Ia tertidur dengan pulas, menampakkan wajahnya yang kelelahan seakan habis melakukan pertarungan
“Jangan berpura-pura bodoh kamu, Zavar! Bukankah ini yang kamu mau?” ucap Sarah dengan geram. Ia merasa Zavar lah yang sengaja menjebaknya, menggunakan kesempatan disaat kesempitan. “Kamu sengajakan membuat drama bahwa aku tidur denganmu, agar kamu bisa menikah denganku dan menjadi menantu di rumah ini, tanpa harus lelah menjadi tukang ojol?” tuduh Sarah dengan tatapan yang tajam setajam belati. “Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak mengerti,” Zavar mencoba menjelaskan. “Stop! Jangan menyalahkan orang lain, Sarah. Disini kamu dan Zavar sama-sama bersalah. Ayah sudah memutuskan akan menikahkan kalian hari ini juga! dan Papa tidak mau mendengarkan penjelasan apun lagi,” papar Bagas. “Tapi, Ayah. Bagaimana mungkin Sarah menikah dengan lelaki yang tidak sarah cintai? sarah ingin menyelesaikan kuliah terlebih dahulu.” Sarah berusaha menjelaskan kepada Ayahnya. Dia bersikeras tak mau dipaksa dinikahkan dengan Zavar.“Keputusan sudah bulat, Ayah tak mau kamu dan Zavar terus berbuat dosa,"
“Ayo kita pulang,” ajak Zavar pada Sarah yang tampaknya shock menerima kenyataan yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Zavar mengulurkan tangannya untuk membantu Sarah berdiri dari kursinya. “Kemana?” tanya Sarah menatap lelaki berkulit kuning langsat di hadapannya. Sarah merasa asing dengan lelaki itu. Ia tidak tahu apa-apa tentang lelaki di hadapannya, selain nama dan pekerjaan Zavar. “Ke rumah, tepatnya kontrakanku,” jawab Zavar. “Kamu saat ini adalah istriku dan hidupmu saat ini sudah menjadi tanggung jawabku sebagai suamimu,” lanjut Zavar menjelaskan kepada Sarah. Zavar berusaha bersikap ramah dan sabar dengan Sarah. Ia tahu Sarah pasti bingung dan takut, tapi ia berjanji pada dirinya sendiri akan menjadi suami yang bertanggung jawab.Sarah menjawab dengan anggukan kepala. Tak ada pilihan lain selain ikut bersama Zavar, sebab Ia telah terusir dari rumahnya. Ayahnya saja tak mau lagi menerima dan telah menganggapnya mati, karena merasa malu dengan apa yang dia lihat tadi pagi
“Su-suara apa itu? Apakah ada orang lain dirumah ini?” sarah bermonolog didalam hati. Dengan langkah hati-hati ia melangkahkan kaki dengan pelan menuju ke asal suara, yaitu di dapur. Pelan-pelan, Sarah mengintip. Ternyata tidak ada apa-apa di sana. Ia hanya mendapati ruangan kosong. Namun beberapa saat kemudian, Sarah berteriak kencang. Ia sangat terkejut mendapati seekor tikus yang besar mengintip di dekat tong sampah. Sarah berlari menjauh dari arah dapur. “Oh tuhan, sepertinya aku tidak akan kuat hidup di rumah ini,” ucap Sarah. Ia duduk diatas kursi memeluk kedua kaki untuk meredam rasa di hatinya yang bercampur aduk, pikiran Sarah sangat kacau menerima kenyataan pahit yang tak pernah ia bayangkan. Sarah terisak menundukkan kepalanya hingga tanpa sadar Sarah terlelap di kursi yang telah usang itu. Sejenak melupakan masalah yang bertubi-tubu menimpanya hari ini. Beberapa jam kemudian, Sarah terbangun dari tidur. Perlahan ia melirik jam di ponselnya, waktu menunjukkan pukul 09.1
“Rajam? Apa salah kami?” Tanya Zavar kepada warga dengan tatapan tajam. “Kalian telah Berzinah!” pekik mereka kompak. “Tak ada yang berzinah, kami suami istri,” ucap Zavar mencoba menjelaskan. “Kalian percaya?” ucap si provokator. “Tidak!" seru yang lainnya. “Kenapa kami harus dihukum? Kami tidak bersalah!” papar Zavar menjelaskan dengan tegas. “Kalian harus dihukum! Sebab kalian sudah merusak nama baik tempat ini!” teriak seorang pria paruh baya dengan suara yang garang. Zavar berusaha menjelaskan dengan tegas. “Saya sudah katakan, Sarah adalah istri saya. Kami sudah menikah,” ujar Zavar mencoa menenangkan kerumunan yang marah. Namun, amarah warga tampaknya sudah membutakan mereka. Mereka tidak mau mendengarkan penjelasan Zavar, bahkan beberapa dari mereka mulai merangsek masuk ke dalam rumah. Melihat situasi yang semakin memanas, Zavar memegang tangan Sarah. “Jangan takut Sarah, ada aku yang menjagamu. Kita harus tetap tenang. Aku akan mengurus ini,” bisiknya pada Sarah, men
“Hanya apa?” tanya Zavar dengan nada penasaran. Dia melihat ada sesuatu yang berbeda dari ekspresi wajah Sarah.“Ah tidak. Bukan apa-apa,” jawab Sarah dengan cepat. Dia berusaha tersenyum, tapi senyumnya terlihat hambar dan dipaksakan. Dia menunduk, seolah menyembunyikan sesuatu di benaknya.“Aku siap-siap dulu,” ucap Sarah lagi, beranjak dari kursi yang di duduki olehnya. Dia berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap. “Oke,” jawab Zavar, menunggu Sarah berkemas. Dia merasa ada yang aneh dengan Sarah, tapi dia tidak ingin mengganggunya. Mungkin Sarah sedang mengalami masalah yang tidak bisa dia ceritakan kepada Zavar. Tak menunggu waktu lama, Sarah telah siap dengan pakaian sederhana yang dibelikan oleh Zavar kemarin. Terpaksa, karena tak ada pakaian lagi. Sarah berencana akan membeli pakaian terlebih dahulu sebelum ke kampus dengan uang di ATM miliknya.Sarah sudah mengenakan jaket dan helm. Dia melihat Zavar masih asyik bermain ponsel di kursi.“Ayo,” ajak Sarah yang telah siap. Dia