Share

Chapter 6

“Hanya apa?” tanya Zavar dengan nada penasaran. Dia melihat ada sesuatu yang berbeda dari ekspresi wajah Sarah.

“Ah tidak. Bukan apa-apa,” jawab Sarah dengan cepat. Dia berusaha tersenyum, tapi senyumnya terlihat hambar dan dipaksakan. Dia menunduk, seolah menyembunyikan sesuatu di benaknya.

“Aku siap-siap dulu,” ucap Sarah lagi, beranjak dari kursi yang di duduki olehnya. Dia berjalan menuju kamar untuk bersiap-siap.

“Oke,” jawab Zavar, menunggu Sarah berkemas. Dia merasa ada yang aneh dengan Sarah, tapi dia tidak ingin mengganggunya. Mungkin Sarah sedang mengalami masalah yang tidak bisa dia ceritakan kepada Zavar.

Tak menunggu waktu lama, Sarah telah siap dengan pakaian sederhana yang dibelikan oleh Zavar kemarin. Terpaksa, karena tak ada pakaian lagi. Sarah berencana akan membeli pakaian terlebih dahulu sebelum ke kampus dengan uang di ATM miliknya.

Sarah sudah mengenakan jaket dan helm. Dia melihat Zavar masih asyik bermain ponsel di kursi.

“Ayo,” ajak Sarah yang telah siap. Dia berdiri di dekat pintu. Suaranya terdengar lemah dan lesu.

“Oke,” jawab Zavar sambil memasukan ponselnya ke saku. Dia bangkit dari kursi dan mengambil kunci sepeda motornya di atas meja. Mereka berdua keluar dari rumah dan naik ke sepeda motor Zavar.

“Kita ke ATM dulu ya, aku ingin mengambil uang,” jelas Sarah saat Zavar hendak melajukan sepeda motornya. Dia memegang pinggang Zavar erat-erat, mencari rasa aman dan nyaman.

“Uang untuk apa?” tanya Zavar. Dia merasa penasaran dengan rencana Sarah.

“Jangan banyak tanya, bawa saja aku ke sana,” jawab Sarah.

“Baiklah," jawab Zavar tanpa bertanya lagi. Dia menyalakan mesin sepeda motornya dan berangkat menuju ATM terdekat.

Zavar mengangguk dan menyalakan mesin sepeda motornya. Dia melaju dengan hati-hati, menghindari jalanan yang macet dan berlubang.

Sepeda motor yang dikendarai Zavar melaju dengan kecepatan sedang menuju ke ATM terdekat. Setelah tiba, Zavar menunggu di parkiran.

Beruntung sedang sepi, sehingga tak perlu mengantri. Sarah pun segera memasukan kartu ATM miliknya ke mesin. Namun, mata Sarah membelalak, saat menyadari bahwa kartunya telah di blokir.

“Apa! Tega sekali Ayah kepadaku!” Sarah berdecak sebal, padahal tadi malam saat ia mengecek di M-BANKING masih bisa digunakan untuk transaksi. “Kapan Ayah memblokir kartu ATM milikku, Ya Tuhan, bagaimana ini! Bagaimana aku bisa msmbeli baju dan memiayai kuliah!” ucap Sarah gusar.

Dengan perasaan sedih Sarah pun segera keluar dari mesin ATM, menghampiri Zavar. Dia merasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.

“Kita pulang saja,” ucap Sarah kepada Zavar yang menunggunya di atas sepeda motor. Suaranya terdengar lirih dan putus asa.

“Loh, kenapa?” tanya Zavar bingung. Zavar menatap ke arah wanita yang belum lama ini menjadi istrinya. Dia melihat ada kesedihan yang mendalam di balik mata Sarah. Zavar merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan Sarah.

Suara Sarah tercekat, ia berusaha menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang sedang dirasakan. Wajahnya terlihat seperti ingin menangis, berjuang melawan perasaan yang berkecamuk yang menyelimutinya.

Setelah beberapa saat, Sarah menghela nafas panjang, melawan air matanya yang terasa ingin tumpah dan melawan rasa sesak terasa semakin berat di dada, dengan nada pasrah, ia akhirnya membuka suara, “Aku berhenti kuliah saja, Zav.”

Tak mungkin dia berharap lebih setelah ATM miliknya di blokir. Apalagi berharap pada Zavar. Jangankan untuk membiayai kuliahnya. Untuk makan saja pasti Zavar harus banting tulang mencukupi kebutuhan mereka berdua.

Kata-kata itu keluar dari mulut Sarah, membuat Zavar terdiam sejenak, mencerna setiap kata yang dilontarkan oleh Sarah. Zavar menatap Sarah dengan tatapan yang mendalam, membaca mata wanita itu.

“Apa? Kenapa tiba-tiba kamu mau berhenti kuliah?” tanya Zavar yang ingin tahu alasannya.

Sarah menggeleng lemah.

“Aku... aku merasa tak ada gunanya lagi melanjutkan kuliah. Toh nantinya aku tak mampu membayar biaya kuliahku. Ayah sudah memblokir ATM milikku. Lebih baik aku mencoba mencari pekerjaan saja,” jelasnya sambil menatap ke depan menahan matanya yang mulai berembun.

“Bekerja?”

Sarah menoleh, matanya bertemu dengan mata Zavar. “Iya,” jawabnya singkat, suaranya hampir tidak terdengar.

“Kenapa?” tanya Zavar.

Sarah menarik napas dalam-dalam, mencoba memilih kata yang tepat agar Zavar tak tersinggung. “Sudah jelaskan, Aku tak punya uang. ATM ku diblokir Ayah dan aku tak mau membebanimu untuk membayar kuliahku,” jawabnya kemudian.

Zavar terdiam sejenak, menyerap apa yang baru saja didengarnya. Dia melihat ke arah wanita yang belum lama ini menjadi istrinya. “Sarah,” kata Zavar dengan lembut, “Kamu bukan beban bagiku, kamu tanggung jawabku sekarang. Jangan berhenti kuliah, percayalah aku akan membiayai sampai kamu lulus,” ucap Zavar dengan mantap.

“Jangan bercanda kamu,” ucap Sarah setengah tak percaya.

“Apakah aku terlihat seperti sedang bercanda?” tanya Zavar kepada Sarah. “Kamu adalah istriku sekarang,” ujarnya dengan suara lembut, mencoba memberikan ketenangan bagi Sarah yang tampak begitu sedih.

Sarah menatap Zavar, dan mata mereka saling bertemu. Tatapan Zavar penuh dengan rasa hangat yang menjalar. Ia tak mampu menahan air mata yang mulai jatuh membasahi pipinya. Semua bercampur menjadi satu menyesakkan dada.

“Kita akan atasi ini bersama, Sarah. Kamu tidak sendirian,” ucap Zavar dengan lembut, suaranya meredam getaran di hati Sarah.

“Aku tak mau menjadi bebanmu,” ujar Sarah pelan, suaranya hampir tak terdengar. Jujur dari hatinya yang paling dalam. Air matanya perlahan mulai jatuh, membasahi pipinya yang pucat.

“Sudah kukatakan, kamu bukanlah beban,” jawab Zavar. “Ayo aku antar kamu ke kampus, nanti telat,” lanjut Zavar.

Sarah terdiam, ia mengangkat wajahnya yang tertunduk sejak tadi, menatap Zavar dengan pandangan yang penuh harapan. Air matanya masih mengalir, tetapi perlahan rasa takutnya mulai mereda.

“Ini, hapus air matamu, jangan sampai orang-orang berpikir aku akan berbuat jahat kepadamu,” Zavar mencoba mencairkan suasana, sambil memberikan lap tangan kepada Sarah.

“Nggak lucu,” jawab Sarah, tetapi ia meraih sapu tangan tersebut melaksanakan perintah Zavar menghapus air matanya.

Zavar tersenyum, melihat Sarah menghapus air mata yang membasahi pipinya.“Jangan khawatirkan soal biaya, aku akan mengurusnya. Aku janji,” ujar Zavar, suaranya penuh dengan keteguhan.

Sarah membalas senyuman Zavar meski ia agak ragu. Pagi itu, Sarah kembali diantar ke kampus oleh Zavar dengan berboncengan menggunakan sepeda motor seperti biasanya.

Belasan menit kemudian, akhirnya mereka pun telah tiba di kampus.

“Nanti aku jemput seperti biasa,” ucap Zavar. Di jawab dengan anggukan kepala oleh Sarah. Lalu Zavar pun berbalik arah meninggalkan Sarah.

Sarah melangkahkan kakinya menuju masuk ke dalam bangunan kampus. Belum jauh ia melangkahkan kaki, seseorang menyapa dengan bengis.

“Eh, masih sanggup kuliah disini kamu?” ucap Seseorang menghentikan langkah kaki Sarah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status