"Akhiri kontrak kerjasama kita dengan keluarga Liem sekarang juga!" kata Dewa tegas. Dewa dibuat meradang setelah menemukan alat penyadap suara yang terpasang di sudut meja sofa. Bentuknya yang kecil menyerupai kancing baju pun berwarna hitam sama seperti cat meja, tak ayal keberadaanya tidak disadari siapapun—termasuk Dewa sendiri yang juga sering duduk di dekatnya. Kendati demikian, biarpun berukuran mini, tapi benda tersebut memiliki keunggulan tersendiri. Melalui alat tersebut, orang yang mengendalikannya bisa sangat jelas menangkap suara yang ada di ruangan tersebut. Roland sialan! "Baik Tuan, saya akan memutus kerjasama dengan mereka hari ini juga," balas Sam. "Tak kusangka dia bisa sepicik itu." Memperhatikan benda kecil di tangannya, Gusti ikut menyuarakan kekesalannya. Dewa yang masih belum bisa mengendalikan diri dari kemarahan, hanya menatap sebentar Gusti sebelum akhirnya keluar dari ruang kerja Tika. Sejak awal Dewa memang sudah tahu tujuan Roland mendekati Tika
Dewa kembali ke rumah sakit untuk menjemput Melati. Mengingat jarak yang ditempuh cukup jauh, Dewa memutuskan pergi lebih awal. Bahkan tanpa sepengetahuan Tika, serta kedua orang tuanya yang belum bangun setelah semalam bergantian begadang. Dewa memilih mengendarai kendaraan roda duanya, daripada harus mengganggu Sam yang pasti sedang quality time bersama keluarga di hari libur. Selain itu, Dewa juga sudah sangat rindu memacu kuda besinya setelah beberapa minggu hanya tersimpan di basement apartemen. Tidak ada yang lebih nyaman bagi Dewa, selain stylish casual, pun dengan sepatu sneakers hitam senada jaket kulit yang ia kenakan—membuatnya benar-benar menjadi diri sendiri. Tampilan seperti itulah yang Dewa sukai, dan berkali-kali lipat meningkatkan percaya dirinya. Dewa masih membelah jalanan yang di waktu matahari masih malu-malu menampakkan diri. Selain menjadi satu-satu jalan utama menuju kota A, jalur yang Dewa lalui memang mengarah pedesaan dengan sawah membentang luas, baik da
"Aku juga tahu kau tidak sengaja melakukannya?" Alih-alih menjawab, Melati justru melontarkan pernyataan yang sukses membuat Dewa terhenyak. Tapi memilih tetap diam. Karena tahu gadis itu masih ingin bicara lagi. "Walaupun kau tidak pernah menyukai saudariku, tapi aku tetap tidak mendukung nenek untuk membencimu." Baru Dewa bersuara, ingin tahu bagaimana tanggapan Melati mengenai kejadian tragis kala itu. "Kenapa? Kenapa kau tidak ikut membenciku? Kau sudah kehilangan saudara kembarmu karena aku, sudah sepantasnya kau menuruti permintaan nenekmu, bukan?" Seketika itu, Dewa berubah tertegun melihat respon Melati hanya menggeleng, meski dengan mata sendu saat menatap dalam dirinya. "Terkadang, kita tidak bisa mengikuti permintaan para orang tua jika itu bertentangan dengan hati. Bukan aku tidak sedih kehilangan Miranda, tapi aku lebih sedih ketika nenek memisahkan kami dan membiarkan saudariku tinggal di Panti Asuhan." Melati mulai bercerita. "Saat itu usia kami sudah sepuluh ta
"Lebih cepat Cel! Mereka sudah semakin dekat!!" Padahal pemuda itu sudah mengendarai motornya seperti orang kesetanan, tapi empat motor yang mengejarnya bisa melesat tak kalah kencang. Di jalan sepi nan gelap itu aksi kejar-kejar pun terjadi. Bahkan kerasnya mesin motor yang melintas seperti hembusan angin tornado bertegangan tinggi. "Lebih cepat lagi, Cel! Keparat! Mereka sengaja tidak mau menyerah!" Rainer yang duduk di belakang, memprovokasi Boncel agar menambahkan kecepatan lagi. Padahal gas sudah nyaris maksimal. "Ambil ponsel gue di saku jaket bawa," teriak Boncel. "Mustahil kita bisa lolos. Buruan lo telepon Bang Dewa atau Gusti. Kasih tau kita dikejar anak buah Firman." Rainer segera menuruti perintah Boncel. Tapi walaupun bisa mengambil benda pintar itu, untuk menemukan nama kedua pria yang Boncel sarankan, ternyata Rainer cukup kesulitan. Butuh beberapa menit Rainer baru bisa menghubungi Dewa, sayangnya setelah berhasil dan tersambung, malah tidak ada jawaban. Rainer la
"Keluar kalian semua, Pengecut!!" Dengan membawa tongkat baseball di tangan kanan, Dewa menantang semua orang yang ada dibalik pintu seng yang masih tertutup rapat di hadapannya. Kedatangan Dewa tidak sendiri, melainkan bersama Gusti serta puluhan pemuda lain yang juga membawa tongkat yang sama di tangan masing-masing. Jengah dengan semua sepak terjang Firman the geng yang sudah melukai dua temannya, Dewa merasa perlu menghentikan kebrutalan mereka. Pasalnya, tidak hanya masih melakukan balap liar di sembarang jalan raya, Firman the geng juga kerap kali sengaja membuat kerusuhan di berbagai tempat hiburan, tak terkecuali sirkuit Dewa yang baru dibuka beberapa bulan lalu. Selain itu, Firman juga kedapatan sering menghasut calon customer yang ingin menguji lintasan, pun para pengunjung yang sekedar ingin hangout menikmati pemandangan di area sirkuit. Berada di lahan yang sangat luas hingga ribuan kilometer, tempat yang berada tepat di bawah perbukitan tersebut tidak hanya menyedi
"Jangan khawatir Tuan, aku akan pergi begitu Kak Dewa datang," ujar Melati setelah cukup lama terperangkap dalam keheningan. Sejak kepergian Dewa, Melati duduk berhadapan dengan Adiraksa sudah dari satu jam yang lalu. Tapi tak sekalipun Adiraksa membuka mulut. Sehingga Melati mulai dihinggapi rasa was-was, apa yang sebenarnya pria itu pikirkan tentang dirinya? Sebenarnya Melati bisa langsung meninggalkan penthouse mewah Adiraksa malam itu juga. Hanya saja ia tidak ingin membuat Dewa khawatir dengan memilih pergi daripada bertahan—menunggu sampai Dewa kembali, seperti yang diperingatkan sebelum Dewa tergesa pergi tadi. Kendati masih sangat awal untuk menilai Dewa sosok kakak yang baik. Tetapi tidak tahu kenapa, hati Melati seakan bisa melihat ketulusan, serta kesungguhan Dewa yang layak menjadi kakak laki-laki seperti yang selama ini diinginkan. Mungkinkah hal tersebut terjadi lantaran Melati terlalu banyak berharap? Lantas, bagaimana jika ia salah? Nyatanya sekarang, berada di
Brak!!! "Bodoh!!! Apa yang sudah kau lakukan sampai ADS Group bisa mengakhiri kontrak bekerjasama dengan kita! Kau tahu, perusahan terancam hancur karena kecerobohanmu!!" Roland masih sangat tenang menikmati minuman beralkohol di gelasnya, bahkan suara gebrakan meja tak membuatnya terpengaruh sedikitpun. "Katakan sesuatu, Roland! Atau kau ingin tekanan darah papa naik karena masalah ini?" Tuan Liem benar-benar naik pitam melihat ketenangan Roland yang masih bisa menikmati alkohol. "Tidak ada yang perlu aku katakan lagi. Mereka sudah memutuskan." Roland malah kembali menuang wine ke dalam gelasnya yang telah kosong. "Apalagi setelah kita tidak bisa membuktikan apapun pada Cantika, aku merasa semua telah berakhir." Roland sudah tidak peduli lagi dengan perusahaan sang ayah. Ia benar-benar sudah lelah dan ingin berhenti. "Dia mendesakmu?" selidik Tuan Liem. "Dia berhak untuk sesuatu yang sepadan dengan apa yang sudah diberikan pada kita." Tuan Liem langsung memijat pangkal hidu
Dewa kembali turun dengan wajah yang lebih segar. "Ingat. Apapun masalah kalian, bicara secara baik-baik. Jangan sekali-kali kamu berkata kasar pada putri mama." Fatma langsung memperingatkan begitu Dewa duduk di samping Tika. Setelahnya Fatma membawa Arkhan naik untuk ditidurkan. Sepertinya bayi itu juga paham masalah yang sedang terjadi pada kedua orang tuanya, terbukti saat merasa Dewa di dekatnya—-Arkhan langsung melepaskan diri. Kendati masih sempat mengecapkan bibir berkali-kali dengan mata mengerjap-ngerjap pelan, akhirnya bayi itu tertidur. Melihat keposesifan Fatma pada istrinya, Dewa hanya mendesahkan nafas sekali sebelum mulai bicara. "Apa seharian ini dia merepotkanmu?" "Tidak. Tadi dia hanya terkejut saat ada petir. Untuk itu, aku membawanya turun." Tika terpaksa berbohong mengenai penyebab rewelnya Arkhan yang tidak diketahui pasti. Sebenarnya Tika sangat ingin tahu kemana seharian itu Dewa pergi di hari libur, berangkat pagi buta dan pulang saat sudah larut mal