"Periksa setiap sudut ruangan ini, jangan sampai ada yang terlewatkan satu benda pun," ujar Dewa memberi perintah. "Aku curiga pasti ada sesuatu disini yang tidak pernah Tika sadari." Sama seperti Gusti dan juga Sam, Dewa ikut memeriksa setiap sudut serta benda yang ada di ruang kerja Tika. "Kau yakin akan menemukan petunjuknya di sini, Wa?" tanya Gusti sambil bertolak pinggang—memperhatikan sekitar setelah memeriksa lemari yang ada di dekat pintu. "Bik Santi pernah memberitahuku. Sebelum aku datang, Roland sering berkunjung dan tidak ragu memasuki ruangan ini untuk mendiskusikan sesuatu dengan Tika. Siapa tahu saat Tika lengah, dia memanfaatkan kesempatan itu untuk memasang cctv, atau alat penyadap suara di tempat yang tidak mudah terlihat mata." Dewa tetap yakin dengan pemikirannya. Sebab, sangat mustahil Roland tidak menggunakan kesempatan itu untuk mendapat informasi apapun dari Tika. Termasuk kesepakatan nikah kontrak yang dulu pernah dirinya dan sang istri sepakati. "Cuku
"Akhiri kontrak kerjasama kita dengan keluarga Liem sekarang juga!" kata Dewa tegas. Dewa dibuat meradang setelah menemukan alat penyadap suara yang terpasang di sudut meja sofa. Bentuknya yang kecil menyerupai kancing baju pun berwarna hitam sama seperti cat meja, tak ayal keberadaanya tidak disadari siapapun—termasuk Dewa sendiri yang juga sering duduk di dekatnya. Kendati demikian, biarpun berukuran mini, tapi benda tersebut memiliki keunggulan tersendiri. Melalui alat tersebut, orang yang mengendalikannya bisa sangat jelas menangkap suara yang ada di ruangan tersebut. Roland sialan! "Baik Tuan, saya akan memutus kerjasama dengan mereka hari ini juga," balas Sam. "Tak kusangka dia bisa sepicik itu." Memperhatikan benda kecil di tangannya, Gusti ikut menyuarakan kekesalannya. Dewa yang masih belum bisa mengendalikan diri dari kemarahan, hanya menatap sebentar Gusti sebelum akhirnya keluar dari ruang kerja Tika. Sejak awal Dewa memang sudah tahu tujuan Roland mendekati Tika
Dewa kembali ke rumah sakit untuk menjemput Melati. Mengingat jarak yang ditempuh cukup jauh, Dewa memutuskan pergi lebih awal. Bahkan tanpa sepengetahuan Tika, serta kedua orang tuanya yang belum bangun setelah semalam bergantian begadang. Dewa memilih mengendarai kendaraan roda duanya, daripada harus mengganggu Sam yang pasti sedang quality time bersama keluarga di hari libur. Selain itu, Dewa juga sudah sangat rindu memacu kuda besinya setelah beberapa minggu hanya tersimpan di basement apartemen. Tidak ada yang lebih nyaman bagi Dewa, selain stylish casual, pun dengan sepatu sneakers hitam senada jaket kulit yang ia kenakan—membuatnya benar-benar menjadi diri sendiri. Tampilan seperti itulah yang Dewa sukai, dan berkali-kali lipat meningkatkan percaya dirinya. Dewa masih membelah jalanan yang di waktu matahari masih malu-malu menampakkan diri. Selain menjadi satu-satu jalan utama menuju kota A, jalur yang Dewa lalui memang mengarah pedesaan dengan sawah membentang luas, baik da
"Aku juga tahu kau tidak sengaja melakukannya?" Alih-alih menjawab, Melati justru melontarkan pernyataan yang sukses membuat Dewa terhenyak. Tapi memilih tetap diam. Karena tahu gadis itu masih ingin bicara lagi. "Walaupun kau tidak pernah menyukai saudariku, tapi aku tetap tidak mendukung nenek untuk membencimu." Baru Dewa bersuara, ingin tahu bagaimana tanggapan Melati mengenai kejadian tragis kala itu. "Kenapa? Kenapa kau tidak ikut membenciku? Kau sudah kehilangan saudara kembarmu karena aku, sudah sepantasnya kau menuruti permintaan nenekmu, bukan?" Seketika itu, Dewa berubah tertegun melihat respon Melati hanya menggeleng, meski dengan mata sendu saat menatap dalam dirinya. "Terkadang, kita tidak bisa mengikuti permintaan para orang tua jika itu bertentangan dengan hati. Bukan aku tidak sedih kehilangan Miranda, tapi aku lebih sedih ketika nenek memisahkan kami dan membiarkan saudariku tinggal di Panti Asuhan." Melati mulai bercerita. "Saat itu usia kami sudah sepuluh ta
"Lebih cepat Cel! Mereka sudah semakin dekat!!" Padahal pemuda itu sudah mengendarai motornya seperti orang kesetanan, tapi empat motor yang mengejarnya bisa melesat tak kalah kencang. Di jalan sepi nan gelap itu aksi kejar-kejar pun terjadi. Bahkan kerasnya mesin motor yang melintas seperti hembusan angin tornado bertegangan tinggi. "Lebih cepat lagi, Cel! Keparat! Mereka sengaja tidak mau menyerah!" Rainer yang duduk di belakang, memprovokasi Boncel agar menambahkan kecepatan lagi. Padahal gas sudah nyaris maksimal. "Ambil ponsel gue di saku jaket bawa," teriak Boncel. "Mustahil kita bisa lolos. Buruan lo telepon Bang Dewa atau Gusti. Kasih tau kita dikejar anak buah Firman." Rainer segera menuruti perintah Boncel. Tapi walaupun bisa mengambil benda pintar itu, untuk menemukan nama kedua pria yang Boncel sarankan, ternyata Rainer cukup kesulitan. Butuh beberapa menit Rainer baru bisa menghubungi Dewa, sayangnya setelah berhasil dan tersambung, malah tidak ada jawaban. Rainer la
"Keluar kalian semua, Pengecut!!" Dengan membawa tongkat baseball di tangan kanan, Dewa menantang semua orang yang ada dibalik pintu seng yang masih tertutup rapat di hadapannya. Kedatangan Dewa tidak sendiri, melainkan bersama Gusti serta puluhan pemuda lain yang juga membawa tongkat yang sama di tangan masing-masing. Jengah dengan semua sepak terjang Firman the geng yang sudah melukai dua temannya, Dewa merasa perlu menghentikan kebrutalan mereka. Pasalnya, tidak hanya masih melakukan balap liar di sembarang jalan raya, Firman the geng juga kerap kali sengaja membuat kerusuhan di berbagai tempat hiburan, tak terkecuali sirkuit Dewa yang baru dibuka beberapa bulan lalu. Selain itu, Firman juga kedapatan sering menghasut calon customer yang ingin menguji lintasan, pun para pengunjung yang sekedar ingin hangout menikmati pemandangan di area sirkuit. Berada di lahan yang sangat luas hingga ribuan kilometer, tempat yang berada tepat di bawah perbukitan tersebut tidak hanya menyedi
"Jangan khawatir Tuan, aku akan pergi begitu Kak Dewa datang," ujar Melati setelah cukup lama terperangkap dalam keheningan. Sejak kepergian Dewa, Melati duduk berhadapan dengan Adiraksa sudah dari satu jam yang lalu. Tapi tak sekalipun Adiraksa membuka mulut. Sehingga Melati mulai dihinggapi rasa was-was, apa yang sebenarnya pria itu pikirkan tentang dirinya? Sebenarnya Melati bisa langsung meninggalkan penthouse mewah Adiraksa malam itu juga. Hanya saja ia tidak ingin membuat Dewa khawatir dengan memilih pergi daripada bertahan—menunggu sampai Dewa kembali, seperti yang diperingatkan sebelum Dewa tergesa pergi tadi. Kendati masih sangat awal untuk menilai Dewa sosok kakak yang baik. Tetapi tidak tahu kenapa, hati Melati seakan bisa melihat ketulusan, serta kesungguhan Dewa yang layak menjadi kakak laki-laki seperti yang selama ini diinginkan. Mungkinkah hal tersebut terjadi lantaran Melati terlalu banyak berharap? Lantas, bagaimana jika ia salah? Nyatanya sekarang, berada di
Brak!!! "Bodoh!!! Apa yang sudah kau lakukan sampai ADS Group bisa mengakhiri kontrak bekerjasama dengan kita! Kau tahu, perusahan terancam hancur karena kecerobohanmu!!" Roland masih sangat tenang menikmati minuman beralkohol di gelasnya, bahkan suara gebrakan meja tak membuatnya terpengaruh sedikitpun. "Katakan sesuatu, Roland! Atau kau ingin tekanan darah papa naik karena masalah ini?" Tuan Liem benar-benar naik pitam melihat ketenangan Roland yang masih bisa menikmati alkohol. "Tidak ada yang perlu aku katakan lagi. Mereka sudah memutuskan." Roland malah kembali menuang wine ke dalam gelasnya yang telah kosong. "Apalagi setelah kita tidak bisa membuktikan apapun pada Cantika, aku merasa semua telah berakhir." Roland sudah tidak peduli lagi dengan perusahaan sang ayah. Ia benar-benar sudah lelah dan ingin berhenti. "Dia mendesakmu?" selidik Tuan Liem. "Dia berhak untuk sesuatu yang sepadan dengan apa yang sudah diberikan pada kita." Tuan Liem langsung memijat pangkal hidu
Begitu tahu siapa yang sedang menunggu mereka di ruang tamu, Tika beralih pandang pada Dewa yang juga akan menuju tempat yang sama. Mengetahui Dewa mengangguk samar—seolah mengatakan semua pasti baik-baik saja, Tika mengatur nafas terlebih dulu sebelum memutuskan memasuki ruangan tersebut. Melihat kemunculan pemilik rumah, Floren segara bangkit dari sofa. "Tika! Maaf. Aku baru bisa datang sekarang." Melihat sikap ramah Floren yang seakan tidak pernah terjadi ketegangan di antara mereka, Tika seketika berhenti, dan kembali menoleh Dewa yang juga ikut berhenti."Sebaiknya kita duduk," bisik Dewa menangkap kerutan di dahi sang istri. Mendapat anggukan setuju, Dewa membimbing Tika duduk di sofa yang sama. Meletakkan paper bag berukuran sedang ke atas meja, pun dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya—Floren kembali berkata, "ada hadiah tak seberapa untuk si kecil. Diterima ya. Sekali lagi aku ucapkan selamat atas kelahiran putra kalian." Namun, ternyata Floren tak cukup berani berad
Jagat media tengah dihebohkan dengan berita kematian Firman. Pemuda dua puluh delapan tahun itu ditemukan meringkuk tak bernyawa di dalam kamarnya. Diduga luka sayatan melintang di leher, hingga putusnya urat nadi yang menjadi penyebab nyawa pemuda itu tidak bisa diselamatkan. Dugaan sementara Firman nekat mengakhiri hidup, lantaran depresi.Pernyataan tersebut diperkuat oleh keterangan tahanan lain, yang mengatakan jika sejak kedatangan teman-temannya, Firman berubah murung, dan tidak banyak bicara. Sampai akhirnya selang beberapa hari, saat petugas datang mengantarkan sarapan, berulang kali memanggil tidak juga ada jawaban—Firman tetap meringkuk di atas karpet usang, dan begitu dipastikan ternyata ada genangan darah di dekat leher yang mulai mengering. Diperkirakan Firman melancarkan aksinya saat malam hari.Naasnya, keadaan tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di kediaman Liem. Ketegangan yang menurut keterangan terjadi saat pagi hari itu, menyisakan kekacauan hingga menjadi saks
"Sayang… apa ada yang serius?""Tidak. Semuanya baik-baik saja."Barulah Dewa bisa bernafas lega setelah mendengar langsung dari mulut Tika. Sebenarnya ekspresi tenang yang ia tunjukan di hadapan semua orang tadi, sangat bertentangan dengan hati ketika mengetahui Tika pergi ke rumah sakit, dan diantar supir. Pikiran sudah tak karuan. Hal buruk seketika silih berganti datang hingga memenuhi kepala. Pasalnya, Tika bukanlah perempuan cengeng yang akan rela bolak-balik rumah sakit, jika itu hanya keluhan yang tak seberapa.Karena itulah Dewa sangat cemas memikirkan apa yang sebenarnya terjadi pada istrinya. Tak ayal sampai menyusul ke rumah sakit, dan membiarkan Sam serta Gusti yang menggantikan dirinya rapat dengan klien. Melihat keraguan di wajah Dewa, Tika segara mendekatkan mulut di telinga suami muda itu, agar Dewa tidak semakin mencemaskan dirinya."Aku baru saja berkonsultasi alat kontrasepsi yang aman aku gunakan. Bukankah katamu kita harus menunda adik untuk Arkhan?" Kendati awa
"Aku hanya ingin kalian tetap hidup. Sekalipun aku harus membayar mahal untuk itu, karena tidak bisa lagi bersamamu, aku terima. Setidaknya bisa melihatmu tetap bernafas itu sudah lebih dari cukup."Pandangan Floren seketika terangkat, kemarahan semakin membumbung tinggi ia rasakan. Semudah itukah Roland memutus sesuatu yang sebenarnya sangat sulit ia lalui? Dimana empati lelaki itu yang justru mengalah dengan keadaan, dan membiarkan dirinya kesakitan seorang diri. Alih-alih bertindak selayaknya lelaki sejati."Aku memang tidak pernah tahu perjanjian apa yang kau sepakati dengan Tuan Liem, " lirih Floren disertai kemarahan yang terlihat jelas dari sorot matanya yang memerah. "Tapi tidak bisakah kau memberiku penjelasan? Atau setidaknya memintaku pergi menggunakan bahasa manusia? Bukan malah berlaku picik dengan merekayasa kecelakaan itu. Cih! Membuat statement rendahan hanya karena ingin menikahi perempuan lain. Memalukan!" Floren bersungut-sungut meluapkan amarah yang hampir meledakk
"Tetap tidak bisa, Nona. Anda harus membuat janji terlebih dahulu.""Kalian berisik sekali! Katakan saja aku teman bos kalian. Dia pasti paham!" ketus Clara.Semakin jengah dengan sikap Clara yang bersikeras ingin dipertemukan dengan atasan mereka, dua resepsionis wanita itu pun saling bertukar pandang dengan raut wajah menahan kesal."Kenapa masih diam saja? Cepat beritahu bos kalian jika aku, Clara sedang menunggu di sini," ujarnya lagi penuh percaya diri. "Sedikit cepat ya… aku tidak terbiasa menunggu." Sambil mengibaskan tangan ke depan wajah, Clara berpaling ke samping. Mengusir bosan dengan mengedarkan pandangan—memperhatikan interior yang ada di sekitarnya. Dalam hati Clara masih saja menggerutu akan kebodohannya yang gegabah memilih Alan—lelaki yang ternyata sangat perhitungan. Seandainya saja ia tahu sejak awal, jika Dewa merupakan pewaris tunggal Adiraksa, tentu saja ia akan bertahan dengan lelaki itu—meski sebenarnya hanya menginginkan tubuhnya. Tapi setidaknya sekarang,
"Ini untukku?" Melihat gadis kecil itu mengangguk antusias, Floren tersenyum senang. "Terima kasih. Bunganya sangat cantik. Siapa namamu, Sayang? Oh." Floren berubah tercenung, saat mengetahui gadis yang sejak tadi terus melukis wajahnya dengan senyum manis itu, rupanya penyandang disabilitas."Maafkan aku." Floren segera menjatuhkan lutut, dan memeluk gadis itu yang juga langsung melingkarkan tangan ke lehernya.'Kenapa rasanya begitu menenangkan. Melihat gadis ini, aku seperti melihat diriku sendiri versi kecil.'Sejenak menyelami rasa yang semakin menjalar hati—Floren ingin sebentar saja meminjam gadis itu untuk mengembalikan ketenangan yang nyaris tidak pernah ia dapatkan lagi—setelah kebahagiaannya direnggut paksa beberapa tahun lalu. Terlalu lama terombang-ambing di lautan lepas, Floren tidak tahu dermaga mana yang akan dituju. Hingga membuatnya berada dalam ketidakpastian. Ketika itu yang bisa dilakukan hanya bertahan, menjaga seimbangan agar tidak sampai terguling dan tenggel
Clara begitu terkejut setelah mendengar apa yang baru saja ibunya sampaikan. Bahkan karena terlalu terkejut, sampai-sampai perempuan yang masih menggulung rambutnya dengan handuk kecil itu, masih mematung meski ibunya telah berlalu."Tidak mungkin, tidak mungkin dia pewaris tunggal Adiraksa. Dia hanya berandal yang kebetulan bisa menikahi wanita konglomerat itu. Yah! Derajatnya tidak mungkin lebih tinggi dari Alan." Berulang kali Clara menyakinkan diri, apa yang ibunya sampaikan hanyalah rumor yang pasti tidak valid kebenarannya. Mustahil Dewa seorang milyader yang kekayaannya jangankan satu Alan, bahkan sepuluh Alan pun tidak bisa menandinginya. "Tapi jika itu benar, apa yang harus kulakukan agar bisa kembali padanya?""Clara!!"Namun, di selah-selah perempuan itu sedang menyusun rencana, tiba-tiba suara teriakan dari lantai dua—tepatnya kamar utama, terdengar menggema ke segala penjuru rumah Alan yang memang tidak terlalu luas. Seketika itu, Clara berdecak kesal saat melirik ke la
"Sialan! Dia benar-benar keras kepala," geram Dewa seraya menyadarkan punggung dan menyilangkan satu kaki di atas kaki yang lain. "Cih. Dia pikir aku akan tetap diam saja dan membiarkan dia semakin besar kepala? Jelas saja tidak!"Gusti yang masih serius membaca berkas di depannya, menoleh singkah. Rupanya gerutuan Dewa cukup membuatnya terusik. "Kasih dia paham, seberapa berharga Kak Tika untukmu. Dia hanya masa lalu, tidak berhak mencampuri masa depanmu. Apalagi yang terjadi pada kalian dulu bukanlah cinta, melainkan simbiosis mutualisme, dan seharusnya dia cukup sadar diri akan itu," ujarnya tanpa mengalihkan pandangan."Kau tahu sendiri, aku tidak bisa berbuat banyak saat Tika bersamaku. Bahkan ketika dia mengklaim Tika juga tidak berhak denganku, jika aku tidak mau menerimanya. Hampir saja aku hilang kendali. Bagaimana bisa dia selancang itu pada ibu dari putraku!"Dewa semakin bersungut-sungut—-sangat kesal akan sikap Floren semalam yang masih bersikeras ingin memisahkan dirinya
Di bawah kucuran air shower, Roland masih betah merapatkan dahi ke dinding. Dengan kedua tangan mencengkram rambut belakang, ia masih saja menyesali tindakannya yang sudah menggoda Pratiwi. Sehingga memberi kesempatan perempuan itu untuk bisa menggagahi tubuhnya. Mungkin ia sudah benar-benar sinting karena berani menantang predator yang memang pecandu seks, hingga akhirnya menodai kesucian tubuhnya yang pernah ia dedikasikan hanya untuk satu perempuan saja.Floren memiliki berpengaruh penting sampai ia bisa menjadi sosok yang sekarang—-dingin nyaris tak tersentuh. Bahkan sering kali Pratiwi beranggapan, jika keegoisan Tuan Liem juga telah memangkas jiwa kelelakian Roland yang selalu tak acuh padanya.Padahal sekian tahun tinggal bersama dalam satu atap, mendapati Pratiwi mengenakan gaun seksi bahkan nyaris seperti tak berbusana hampir setiap hari Roland temui. Tetapi lelaki yang memiliki tahi lalat di dekat hidung itu, tak sekalipun menunjukan ketertarikannya. Meski sebenarnya Pratiwi