Mendengar perkataan Pak Lurah. Tubuh Cani lemas seketika. Rasa senang di hatinya memudar. “Kamu kok yo lucu toh, Ni,” kata Pak Lurah tertawa kencang melihat wajah lesu Cani. “Lah?”“Masak, sudah sepakat. Terus aku batalkan? Berarti aku suka memberi harapan palsu, dong!” kelakar Pak Lurah. Cani masih kebingungan. Sementara Han biasa saja. “Sebenarnya, yang ingin menjual tanah itu, ya istriku. Jadi, istriku nggak mungkin keberatan. Apalagi yang beli itu kamu, Cani,” terang Pak Lurah. Cani bernapas lega. Baru sadar jika dirinya hanya sedang digoda oleh Pak Lurah. “Terima kasih, Pak Lurah,” kata Cani. Mereka bertiga pun mengobrolkan hal lain. Agar lebih akrab dan nyaman satu sama lain. ***Selama satu minggu, Albert mengawasi gerak gerik Indra, dan Victory. Selama itu juga, Haily setuju untuk terus berada di dalam rumah yang disewa Albert. Toh, Haily memang tak ingin keluyuran seorang diri. Haily masih mengutamakan keselamatannya daripada nafsunya.“Aku sudah punya celah untuk ma
Cani hanya merespons perkataan Victory dengan sebuah senyuman. Cani sudah malas menanggapi Victory yang pasti akan menguras banyak tenaga.“Oh ... Semoga kamu sukses selalu, ya,” kata Cani apa adanya.“Huh? Gitu doang?” ejek Victory tidak senang. Mbak Cani nggak pengen sekolah lagi? Emang, ya ... Mental miskin itu sulit dihilangkan,” cemooh Victory menaikkan dagunya tinggi.“Aku loh sudah tua. Ngapain sekolah lagi? Aku fokus cari uang saja. Kalau kamu pantas. Karena kamu masih berusia dua puluh tahun. Terus, suamimu juga mampu bayarin kamu kuliah,” terang Cani. Cani sebenarnya tak ingin berbicara panjang lebar.“Mangkanya, Mbak Cani. Cari suami itu yang kaya raya. Jangan cuma modal ganteng doang!” sungut Victory mulai menghina Han. “Iya, sih ... Mas Han punya badan ok. Wajah juga kayak orang luar negeri. Tapi ‘kan nggak punya duit!” cerocos Victory. Inilah alasan, kenapa Cani enggan banyak bicara jika berhadapan dengan Victory. Pasti nanti ujung-ujungnya, Victory akan mencela di
Satu bulan sebelum Victory resmi menjadi mahasiswa baru di Universitas kota. Victory terus memperjuangkan haknya yang telah dijanjikan oleh Indra. Sebelum Victory menerima pinangan Indra. Yakni, masuk perguruan tinggi. Akan tetapi, Indra seperti enggan menyekolahkan Victory. Terbukti, ketika Victory mencoba menyinggung soal kuliah, Indra pasti akan selalu berkelit. "Mas Indra nggak pengen punya istri sarjana? Bisa dipamerin ke teman-teman, Mas Indra loh," rayu Victory sambil mengelus paha Indra. Victory berusaha keras mengambil hati Indra. Agar Indra memberi Victory izin untuk melanjutkan pendidikan. "Nanti kamu kecantol laki-laki lain di sana. Aku nggak mau ah!" ucap Indra mengungkapkan kecemasannya. "Kok gitu? Mas Indra nggak percaya sama aku, nih? Asal, Mas Indra tahu ya. Di dunia ini. Tak ada pria sesempurna kamu, Mas," bujuk Victory. "Kamu bisa saja, Sayang. Kata-katamu itu loh. Manis sekali," balas Indra mengelus pipi Victory. "Yang aku katakan memang b
“Huh? Kamu suami Victory? Nggak mungkin, deh! Kamu ngaco ya?” ledek Albert sambil tertawa jenaka. “Lihat wajahmu. Kelihatan tua banget. Mana cocok jadi suami Victory,” cerocos Albert mengolok Indra. “Albert! Omonganmu keterlaluan banget!” sahut Victory geram. “Victory, yang aku katakan benar adanya. Aku bicara sesuai fakta yang aku lihat,” kelit Albert meyakinkan Victory. “Faktanya, pria di sampingku memanglah suamiku. Dan aku sangat mencintainya,” tegas Victory menatap tajam Albert. Wajah Albert berubah serius setelah mendengar pernyataan Victory. Sementara Indra justru menebar senyuman penuh kepuasan. Indra sangat senang, ketika sang istri mengakui dirinya sebagai suami, di hadapan pria lain yang terang-terang menunjukkan ketertarikan terhadap Victory. “Pria di sampingmu. Pria tua yang menggenggam tanganmu. Lebih cocok menjadi bapakmu. Ketimbang suamimu,” celetuk Albert. Victory terceng
Albert menganggukkan kepala. “Cinta tidak memandang jenis kelamin ‘kan?” jawab Albert tersenyum. Victory tak bisa berkata-kata. Dirinya terlalu terkejut dengan Albert. “Kita ngobrol bareng di restoran, yuk! Di sini nggak enak,” ajak Albert sedikit memaksa. “Boleh ....” kata Indra setuju. Mereka berempat berjalan beriringan menuju restoran terdekat. Sampainya di restoran. Mereka langsung dituntun untuk masuk ke dalam ruangan VIP. Kebetulan, restoran yang mereka kunjungi merupakan milik anak buah Albert yang seorang WNI. Tak berselang lama, beberapa pelayan masuk untuk mencatat pesanan mereka. Setelah menentukan makanan apa yang akan mereka santap. Para pelayan keluar ruangan. Sebelumnya, pelayan tersebut sempat menyajikan minuman, dan camilan yang memang disediakan gratis untuk tamu VIP. “Di luar dugaan. Kamu penyuka sesama jenis,” celetuk Indra memulai obrolan.
Besoknya Victory sudah tak lagi menolak Albert menjadi temannya. Lagi pula, sang suami. Yakni si Indra. Memang menyuruh Victory untuk berteman dengan Albert.“Akhirnya! Kelas sudah selesai. Ayo kita pergi,” ajak Victory.“Mau pergi makan di kantin?” tanya Albert, selaku orang yang diajak oleh Victory.“Ke kantin lagi? Tadi, sebelum kita masuk kelas, sudah makan siang bersama loh,” tukas Victory.“Terus? Kamu mau ngajak aku jalan-jalan?” goda Albert asal tebak.“Kamu lupa ya? Hari ini profesor dari luar negeri datang. Bukannya, kamu minggu lalu mendaftar untuk mengikuti bimbingan beliau?” terang Victory mengingatkan Albert.Albert terdiam sesaat. Lalu kembali berbicara, “Ah, iya ... Aku hampir lupa. Aku tidak mengingat hal yang aku anggap tak penting.”“Jangan-jangan, kamu daftar karena melihatku daftar?” urai Victory memukul pelan pundak Albert.Albert tersenyum lebar. “Kamu tahu saja.” Albert mengakui.Keduanya pun jalan bersama menuju ke gedung pertemuan khusus. Victory tidak memedu
“Setiap orang memiliki pilihan. Mereka hanya takut mengambil resiko,” ujar Cani mengomentari serial televisi favoritnya.“Huh? Apa, Sayang? Kamu barusan ngomong apa?” tanya Han yang berdiri di depan rak buku dekat televisi.Sedari tadi Han sedang asyik memilih buku yang cocok untuk menemaninya tidur nanti. Kebiasaan Han adalah membaca buku sebelum terlelap tidur.“Ini loh, Mas. Aku gedek banget sama karakter di sinetron. Masak pasrah terus. Mana bilang kalau dia nggak punya pilihan. Bikin makin geregetan,” jawab Cani mengungkapkan isi hatinya.“Terkadang, dalam hidup. Ada beberapa manusia yang memang tidak memiliki pilihan, Sayang,” jelas Han memberi Cani pandangan yang berbeda.“Jadi, Mas Han lebih membela yang ada di sinetron? Ketimbang aku?” sungut Cani mengeluarkan ekspresi sebal.Han jadi panik. Ia pun segera menghampiri Cani. Dan duduk di sebelah Cani.“Sayang, bukan seperti itu. Haduh, maafkan aku, Sayang. Aku salah bicara,” ucap Han membelai rambut Cani.“Aku tidak bermaksud
“Emangnya, Ibu ada bukti? Kalau aku sama Albert berhubungan layaknya suami istri?” kelit Victory.“Kalau nggak punya bukti. Jangan menuduh sembarangan, Bu,” imbuh Victory tidak terima.Bu Helena tak kunjung menanggapi ocehan putrinya. Dia lebih memilih untuk diam, dan menelisik mimik wajah Victory.“Ibu curiga sama aku?” tanya Victory menatap nyalang ibunya.“Firasat seorang ibu tidak pernah salah,” jawab Bu Helena tanpa ragu.“Ya ampun, Ibu ... Albert itu tidak menyukai wanita,” tandas Victory.“Mangkanya, Mas Indra mengizinkan Albert main di sini. Bahkan, Mas Indra sendiri yang kerap meminta Albert untuk menginap di rumah, ketika Mas Indra pergi ke luar kota,” jelas Victory.“Kali ini firasat, Ibu keliru,” tambah Victory menepuk pundak sang ibu.“Masak, sih salah?” gumam Bu Helena meragukan Victory.Victory menganggukkan kepalanya.“Namanya juga manusia, Bu. Tempatnya salah,” timpal Victory enteng.Victory kembali duduk nyaman di sofa. Tangannya meraih ponsel pintar miliknya.“Terus