“Huh? Kamu suami Victory? Nggak mungkin, deh! Kamu ngaco ya?” ledek Albert sambil tertawa jenaka. “Lihat wajahmu. Kelihatan tua banget. Mana cocok jadi suami Victory,” cerocos Albert mengolok Indra. “Albert! Omonganmu keterlaluan banget!” sahut Victory geram. “Victory, yang aku katakan benar adanya. Aku bicara sesuai fakta yang aku lihat,” kelit Albert meyakinkan Victory. “Faktanya, pria di sampingku memanglah suamiku. Dan aku sangat mencintainya,” tegas Victory menatap tajam Albert. Wajah Albert berubah serius setelah mendengar pernyataan Victory. Sementara Indra justru menebar senyuman penuh kepuasan. Indra sangat senang, ketika sang istri mengakui dirinya sebagai suami, di hadapan pria lain yang terang-terang menunjukkan ketertarikan terhadap Victory. “Pria di sampingmu. Pria tua yang menggenggam tanganmu. Lebih cocok menjadi bapakmu. Ketimbang suamimu,” celetuk Albert. Victory terceng
Albert menganggukkan kepala. “Cinta tidak memandang jenis kelamin ‘kan?” jawab Albert tersenyum. Victory tak bisa berkata-kata. Dirinya terlalu terkejut dengan Albert. “Kita ngobrol bareng di restoran, yuk! Di sini nggak enak,” ajak Albert sedikit memaksa. “Boleh ....” kata Indra setuju. Mereka berempat berjalan beriringan menuju restoran terdekat. Sampainya di restoran. Mereka langsung dituntun untuk masuk ke dalam ruangan VIP. Kebetulan, restoran yang mereka kunjungi merupakan milik anak buah Albert yang seorang WNI. Tak berselang lama, beberapa pelayan masuk untuk mencatat pesanan mereka. Setelah menentukan makanan apa yang akan mereka santap. Para pelayan keluar ruangan. Sebelumnya, pelayan tersebut sempat menyajikan minuman, dan camilan yang memang disediakan gratis untuk tamu VIP. “Di luar dugaan. Kamu penyuka sesama jenis,” celetuk Indra memulai obrolan.
Besoknya Victory sudah tak lagi menolak Albert menjadi temannya. Lagi pula, sang suami. Yakni si Indra. Memang menyuruh Victory untuk berteman dengan Albert.“Akhirnya! Kelas sudah selesai. Ayo kita pergi,” ajak Victory.“Mau pergi makan di kantin?” tanya Albert, selaku orang yang diajak oleh Victory.“Ke kantin lagi? Tadi, sebelum kita masuk kelas, sudah makan siang bersama loh,” tukas Victory.“Terus? Kamu mau ngajak aku jalan-jalan?” goda Albert asal tebak.“Kamu lupa ya? Hari ini profesor dari luar negeri datang. Bukannya, kamu minggu lalu mendaftar untuk mengikuti bimbingan beliau?” terang Victory mengingatkan Albert.Albert terdiam sesaat. Lalu kembali berbicara, “Ah, iya ... Aku hampir lupa. Aku tidak mengingat hal yang aku anggap tak penting.”“Jangan-jangan, kamu daftar karena melihatku daftar?” urai Victory memukul pelan pundak Albert.Albert tersenyum lebar. “Kamu tahu saja.” Albert mengakui.Keduanya pun jalan bersama menuju ke gedung pertemuan khusus. Victory tidak memedu
“Setiap orang memiliki pilihan. Mereka hanya takut mengambil resiko,” ujar Cani mengomentari serial televisi favoritnya.“Huh? Apa, Sayang? Kamu barusan ngomong apa?” tanya Han yang berdiri di depan rak buku dekat televisi.Sedari tadi Han sedang asyik memilih buku yang cocok untuk menemaninya tidur nanti. Kebiasaan Han adalah membaca buku sebelum terlelap tidur.“Ini loh, Mas. Aku gedek banget sama karakter di sinetron. Masak pasrah terus. Mana bilang kalau dia nggak punya pilihan. Bikin makin geregetan,” jawab Cani mengungkapkan isi hatinya.“Terkadang, dalam hidup. Ada beberapa manusia yang memang tidak memiliki pilihan, Sayang,” jelas Han memberi Cani pandangan yang berbeda.“Jadi, Mas Han lebih membela yang ada di sinetron? Ketimbang aku?” sungut Cani mengeluarkan ekspresi sebal.Han jadi panik. Ia pun segera menghampiri Cani. Dan duduk di sebelah Cani.“Sayang, bukan seperti itu. Haduh, maafkan aku, Sayang. Aku salah bicara,” ucap Han membelai rambut Cani.“Aku tidak bermaksud
“Emangnya, Ibu ada bukti? Kalau aku sama Albert berhubungan layaknya suami istri?” kelit Victory.“Kalau nggak punya bukti. Jangan menuduh sembarangan, Bu,” imbuh Victory tidak terima.Bu Helena tak kunjung menanggapi ocehan putrinya. Dia lebih memilih untuk diam, dan menelisik mimik wajah Victory.“Ibu curiga sama aku?” tanya Victory menatap nyalang ibunya.“Firasat seorang ibu tidak pernah salah,” jawab Bu Helena tanpa ragu.“Ya ampun, Ibu ... Albert itu tidak menyukai wanita,” tandas Victory.“Mangkanya, Mas Indra mengizinkan Albert main di sini. Bahkan, Mas Indra sendiri yang kerap meminta Albert untuk menginap di rumah, ketika Mas Indra pergi ke luar kota,” jelas Victory.“Kali ini firasat, Ibu keliru,” tambah Victory menepuk pundak sang ibu.“Masak, sih salah?” gumam Bu Helena meragukan Victory.Victory menganggukkan kepalanya.“Namanya juga manusia, Bu. Tempatnya salah,” timpal Victory enteng.Victory kembali duduk nyaman di sofa. Tangannya meraih ponsel pintar miliknya.“Terus
“Barusan kamu ngomong apa? Kamu ingin mengakhiri hubungan kita?” tanya Albert menatap tajam Victory.“Mau sampai kapan kamu memperlakukan aku seperti ini? Aku memiliki batas,” ungkap Victory.Wajah Victory terlihat sendu. Wanita muda itu tak bisa menutupi betapa lelah dirinya. Kelakuan Albert luar biasa menguras tenaga hidup Victory.Kehidupan seperti ini sama sekali tak pernah terlintas di otak Victory. Albert jauh lebih sadis ketimbang Marci.“Kamu bekerja untuk Hime. Mangkanya, kamu giniin aku,” tuduh Victory.Albert berdecap. “Hime saja tidak tahu tentang hubungan kita. Kenapa kamu selalu menyangkut-pautkan aku dengan Hime?” tanya Albert mengeluarkan ekspresi polos.“Lantas, kenapa kamu memaksa aku untuk melakukan hal-hal gila?” sungut Victory menuntut kejelasan dari Albert.Albert menghela napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Setelah sudah sedikit tenang. Albert duduk di sofa yang ada di sebelah ranjang. Mata Albert tak pernah lepas dari Victory.“Ingatkah kamu? Aku per
“Maaf, barusan kamu ngomong apa? Tolong diulang. Aku takut salah dengar,” pinta Indra ingin memastikan.“Lupakan, aku hanya bercanda tadi,” jawab Haily bete.Indra tersenyum sembari terus memperhatikan penampilan Haily yang anggun. Jujur saja, sebagai seorang lelaki normal, visual Haily sangat menarik perhatian Indra.Wajah Haily yang elok, kulit seputih salju. Serta pakaian mewah yang membalut tubuh ideal Haily. Memperlihatkan betapa parnipurna sosok Haily.“Hey, kenapa kamu bengong?” kata Haily menyentuh punggung tangan Indra.Indra tiba-tiba gugup karena merasakan aura begitu kuat yang terpancar dari Haily.“Maaf, aku sedang memikirkan banyak hal. Jadi, sampai dari mana obrolan kita?” Indra tersadar dari lamunan.“Memangnya kita sedang mengobrol? Kita bahkan belum berkenalan,” kata Haily sedikit kesal.“Perkenalkan, namaku Indra. Aku pemilik seluruh perkebunan kepala sawit di kota ini,” ucap Indra membanggakan diri.“Wah ... Kamu bukan orang biasa. Aku harus memperlakukanmu dengan
“Mas Indra punya teman cewek? Kok nggak pernah cerita ke aku?” protes Victory mengerucutkan bibir.Melihat sang kekasih merajuk, Indra yang awalnya bersikap tenang, berubah panik. Indra pun langsung berkilah dengan mengatakan jika Haily masih saudara jauh. Jadi, Victory tak perlu cemburu.“Yang dikatakan Mas Indra benar. Kita masih bersaudara,” sambung Haily mmebenarkan kehobongan Indra.Meskipun jawaban Indra masuk akal. Tapi, entah mengapa, perasaan Victory tidak enak. Seperti ada kejanggalan di hubungan Indra dan Haily.“Kalian lagi makan, aku boleh ikut, nggak?” pinta Haily tak tahu diri.Sebelum mendapatkan izin dari pemilik rumah, Haily sudah duduk di salah satu kursi.“Victory ... Ibu ... Ayo kita lanjut makan.” Indra mengembalikan suasa agar kondusif.Setelah mengambil sedikit makanan, lalu meletakkannya ke dalam pising. Haily melahap makanan tersebut.“Aduh ... Aku jadi nggak enak, nih. Kayaknya aku datang di saat yang tidak tepat ya?” ujar Haily memecah kehelingan yang sempa