Cani hanya merespons perkataan Victory dengan sebuah senyuman. Cani sudah malas menanggapi Victory yang pasti akan menguras banyak tenaga.“Oh ... Semoga kamu sukses selalu, ya,” kata Cani apa adanya.“Huh? Gitu doang?” ejek Victory tidak senang. Mbak Cani nggak pengen sekolah lagi? Emang, ya ... Mental miskin itu sulit dihilangkan,” cemooh Victory menaikkan dagunya tinggi.“Aku loh sudah tua. Ngapain sekolah lagi? Aku fokus cari uang saja. Kalau kamu pantas. Karena kamu masih berusia dua puluh tahun. Terus, suamimu juga mampu bayarin kamu kuliah,” terang Cani. Cani sebenarnya tak ingin berbicara panjang lebar.“Mangkanya, Mbak Cani. Cari suami itu yang kaya raya. Jangan cuma modal ganteng doang!” sungut Victory mulai menghina Han. “Iya, sih ... Mas Han punya badan ok. Wajah juga kayak orang luar negeri. Tapi ‘kan nggak punya duit!” cerocos Victory. Inilah alasan, kenapa Cani enggan banyak bicara jika berhadapan dengan Victory. Pasti nanti ujung-ujungnya, Victory akan mencela di
Satu bulan sebelum Victory resmi menjadi mahasiswa baru di Universitas kota. Victory terus memperjuangkan haknya yang telah dijanjikan oleh Indra. Sebelum Victory menerima pinangan Indra. Yakni, masuk perguruan tinggi. Akan tetapi, Indra seperti enggan menyekolahkan Victory. Terbukti, ketika Victory mencoba menyinggung soal kuliah, Indra pasti akan selalu berkelit. "Mas Indra nggak pengen punya istri sarjana? Bisa dipamerin ke teman-teman, Mas Indra loh," rayu Victory sambil mengelus paha Indra. Victory berusaha keras mengambil hati Indra. Agar Indra memberi Victory izin untuk melanjutkan pendidikan. "Nanti kamu kecantol laki-laki lain di sana. Aku nggak mau ah!" ucap Indra mengungkapkan kecemasannya. "Kok gitu? Mas Indra nggak percaya sama aku, nih? Asal, Mas Indra tahu ya. Di dunia ini. Tak ada pria sesempurna kamu, Mas," bujuk Victory. "Kamu bisa saja, Sayang. Kata-katamu itu loh. Manis sekali," balas Indra mengelus pipi Victory. "Yang aku katakan memang b
“Huh? Kamu suami Victory? Nggak mungkin, deh! Kamu ngaco ya?” ledek Albert sambil tertawa jenaka. “Lihat wajahmu. Kelihatan tua banget. Mana cocok jadi suami Victory,” cerocos Albert mengolok Indra. “Albert! Omonganmu keterlaluan banget!” sahut Victory geram. “Victory, yang aku katakan benar adanya. Aku bicara sesuai fakta yang aku lihat,” kelit Albert meyakinkan Victory. “Faktanya, pria di sampingku memanglah suamiku. Dan aku sangat mencintainya,” tegas Victory menatap tajam Albert. Wajah Albert berubah serius setelah mendengar pernyataan Victory. Sementara Indra justru menebar senyuman penuh kepuasan. Indra sangat senang, ketika sang istri mengakui dirinya sebagai suami, di hadapan pria lain yang terang-terang menunjukkan ketertarikan terhadap Victory. “Pria di sampingmu. Pria tua yang menggenggam tanganmu. Lebih cocok menjadi bapakmu. Ketimbang suamimu,” celetuk Albert. Victory terceng
Albert menganggukkan kepala. “Cinta tidak memandang jenis kelamin ‘kan?” jawab Albert tersenyum. Victory tak bisa berkata-kata. Dirinya terlalu terkejut dengan Albert. “Kita ngobrol bareng di restoran, yuk! Di sini nggak enak,” ajak Albert sedikit memaksa. “Boleh ....” kata Indra setuju. Mereka berempat berjalan beriringan menuju restoran terdekat. Sampainya di restoran. Mereka langsung dituntun untuk masuk ke dalam ruangan VIP. Kebetulan, restoran yang mereka kunjungi merupakan milik anak buah Albert yang seorang WNI. Tak berselang lama, beberapa pelayan masuk untuk mencatat pesanan mereka. Setelah menentukan makanan apa yang akan mereka santap. Para pelayan keluar ruangan. Sebelumnya, pelayan tersebut sempat menyajikan minuman, dan camilan yang memang disediakan gratis untuk tamu VIP. “Di luar dugaan. Kamu penyuka sesama jenis,” celetuk Indra memulai obrolan.
Besoknya Victory sudah tak lagi menolak Albert menjadi temannya. Lagi pula, sang suami. Yakni si Indra. Memang menyuruh Victory untuk berteman dengan Albert.“Akhirnya! Kelas sudah selesai. Ayo kita pergi,” ajak Victory.“Mau pergi makan di kantin?” tanya Albert, selaku orang yang diajak oleh Victory.“Ke kantin lagi? Tadi, sebelum kita masuk kelas, sudah makan siang bersama loh,” tukas Victory.“Terus? Kamu mau ngajak aku jalan-jalan?” goda Albert asal tebak.“Kamu lupa ya? Hari ini profesor dari luar negeri datang. Bukannya, kamu minggu lalu mendaftar untuk mengikuti bimbingan beliau?” terang Victory mengingatkan Albert.Albert terdiam sesaat. Lalu kembali berbicara, “Ah, iya ... Aku hampir lupa. Aku tidak mengingat hal yang aku anggap tak penting.”“Jangan-jangan, kamu daftar karena melihatku daftar?” urai Victory memukul pelan pundak Albert.Albert tersenyum lebar. “Kamu tahu saja.” Albert mengakui.Keduanya pun jalan bersama menuju ke gedung pertemuan khusus. Victory tidak memedu
“Setiap orang memiliki pilihan. Mereka hanya takut mengambil resiko,” ujar Cani mengomentari serial televisi favoritnya.“Huh? Apa, Sayang? Kamu barusan ngomong apa?” tanya Han yang berdiri di depan rak buku dekat televisi.Sedari tadi Han sedang asyik memilih buku yang cocok untuk menemaninya tidur nanti. Kebiasaan Han adalah membaca buku sebelum terlelap tidur.“Ini loh, Mas. Aku gedek banget sama karakter di sinetron. Masak pasrah terus. Mana bilang kalau dia nggak punya pilihan. Bikin makin geregetan,” jawab Cani mengungkapkan isi hatinya.“Terkadang, dalam hidup. Ada beberapa manusia yang memang tidak memiliki pilihan, Sayang,” jelas Han memberi Cani pandangan yang berbeda.“Jadi, Mas Han lebih membela yang ada di sinetron? Ketimbang aku?” sungut Cani mengeluarkan ekspresi sebal.Han jadi panik. Ia pun segera menghampiri Cani. Dan duduk di sebelah Cani.“Sayang, bukan seperti itu. Haduh, maafkan aku, Sayang. Aku salah bicara,” ucap Han membelai rambut Cani.“Aku tidak bermaksud
“Emangnya, Ibu ada bukti? Kalau aku sama Albert berhubungan layaknya suami istri?” kelit Victory.“Kalau nggak punya bukti. Jangan menuduh sembarangan, Bu,” imbuh Victory tidak terima.Bu Helena tak kunjung menanggapi ocehan putrinya. Dia lebih memilih untuk diam, dan menelisik mimik wajah Victory.“Ibu curiga sama aku?” tanya Victory menatap nyalang ibunya.“Firasat seorang ibu tidak pernah salah,” jawab Bu Helena tanpa ragu.“Ya ampun, Ibu ... Albert itu tidak menyukai wanita,” tandas Victory.“Mangkanya, Mas Indra mengizinkan Albert main di sini. Bahkan, Mas Indra sendiri yang kerap meminta Albert untuk menginap di rumah, ketika Mas Indra pergi ke luar kota,” jelas Victory.“Kali ini firasat, Ibu keliru,” tambah Victory menepuk pundak sang ibu.“Masak, sih salah?” gumam Bu Helena meragukan Victory.Victory menganggukkan kepalanya.“Namanya juga manusia, Bu. Tempatnya salah,” timpal Victory enteng.Victory kembali duduk nyaman di sofa. Tangannya meraih ponsel pintar miliknya.“Terus
“Barusan kamu ngomong apa? Kamu ingin mengakhiri hubungan kita?” tanya Albert menatap tajam Victory.“Mau sampai kapan kamu memperlakukan aku seperti ini? Aku memiliki batas,” ungkap Victory.Wajah Victory terlihat sendu. Wanita muda itu tak bisa menutupi betapa lelah dirinya. Kelakuan Albert luar biasa menguras tenaga hidup Victory.Kehidupan seperti ini sama sekali tak pernah terlintas di otak Victory. Albert jauh lebih sadis ketimbang Marci.“Kamu bekerja untuk Hime. Mangkanya, kamu giniin aku,” tuduh Victory.Albert berdecap. “Hime saja tidak tahu tentang hubungan kita. Kenapa kamu selalu menyangkut-pautkan aku dengan Hime?” tanya Albert mengeluarkan ekspresi polos.“Lantas, kenapa kamu memaksa aku untuk melakukan hal-hal gila?” sungut Victory menuntut kejelasan dari Albert.Albert menghela napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. Setelah sudah sedikit tenang. Albert duduk di sofa yang ada di sebelah ranjang. Mata Albert tak pernah lepas dari Victory.“Ingatkah kamu? Aku per
Setelah menghancurkan tablet tersebut hingga tak berbentuk, tiba-tiba layar televisi di sampingnya menyala sendiri, menampilkan adegan di mana Hime mengakui segala kebohongannya mengenai kemandulan Han. Seketika tubuh Hime melorot dan terjatuh di atas lantai.Perhatian Hime kembali fokus pada layar televisi ketika sosok Han tampil di sana. Han menyatakan jika kini ia sudah tidak peduli kepada Hime. Han juga telah mengeluarkan Hime dari Black Ice. Han mencabut segala fasilitas yang ia berikan pada Hime.Di akhir ocehan Han, pria itu tersenyum dan berterima kasih pada Hime. Namun Han berjanji akan menjaga keselamatan Hime.“Sialan! Beraninya kamu membuangku setelah semua yang aku lakukan untukmu!” geram Hime melempar piring berisi makanan ke layar telivi yang masih menyala.Hime berteriak seperti orang kehilangan akal. Semua rencanya berantakan, dan sekarang justru rencana itu berbalik menusuknya. Dia sama sekali tak menyangka jika Han aka
Setelah makan malam romantis, Han mengajak Hime ke sebuah hotel bintang lima yang sangat terkenal di kota. Keduanya menikmati suasana nyaman yang tersaji dari balkon kamar, dengan Han yang memeluk Hime dari belakang.“Han ... Apa kamu benar-benar menyukaiku?” tanya Hime mamastikan.“Tak hanya menyukaimu, aku juga mencintaimu,” jawab Han cepat.Hime tertawa kecil. “Tapi ... Kita tidak bisa bersama.”“Kenapa?” Han membalik tubuh Hime agar menghadap dirinya.“Karena ada Cani,” bisik Hime menenggerkan kedua lengannya pada pundak lebar Han.Han tertawa renyah, ia berkata, “Itu bisa diatur.”“Jadi, kamu akan menceraikan wanita kampung itu?”Han tidak menjawab, ia justru menggendong Hime, dan membawa tubuh sexy Hime menuju ranjang. Han melempar tubuh Hime di atas kasur, lalu menindihnya.“Han? Kamu serius?” Hime melototkan kedua matanya. Apalagi saat Han merobek gaun indah yang dikenakan Hime.“Hime, apa kamu tahu? Cani sedang hami sekarang,” ucap Han bernada rendah.Sontak Hime terkejut, na
Jika memang benar Cani hamil sebelum diculik oleh Rio, maka bayi yang dikandung Cani merupakan darah daging Han. Demi membuktikan, dan meluruskan segalanya, hari ini juga Han mengunjungi klinik dokter kenalan Hime yang menyatakan bahwa ia mandul.Begitu sampai di klinik, Han langsung mengobrak-abrik tempat praktik dokter tersebut. bahkan Han juga menyandera para asisten dokter guna makin memberi tekanan.Han memaksa Dokter untuk mengatakan yang sebenarnya, jika tidak, Han akan melubangi kepala Dokter dengan peluru. Tak hanya itu, Han juga mengancam akan membuat kematian Dokter terasa sangat menyakitkan. Dalam kata lain, Han tak ‘kan begitu saja melenyapkan nyawa Sang Dokter.Dengan ekspresi penuh ketakutan, Dokter akhirnya mengaku jika ia dibayar Hime untuk membohongi Han mengenai kesuburan. Darah Han seketika mendidih ketika Dokter mengungkapkan segalanya.Han yang berada dalam kendali amarah, langsung memasukkan ujung pistol ke dalam mulut Dokter, dan melepas peluru yang membuat kep
Hime tersenyum tipis. “Yang memintaku tinggal di sini adalah Han. Tapi, jika Kepala Keluarga Ditmer mengusirku, aku akan hengkang.”Albert mencengkeram pergelangan tangan Hime ketika wanita itu hendak beranjak meninggalkannya. Ia sangat ingin membahas mengenai dokter perkebunan yang meninggal mengenaskan, namun Albert menundanya. Entah mengapa, perasaannya tidak enak.“Kembalilah mengurus Kartel, aku membutuhkan bantuanmu,” pinta Albert.Hime melipat kedua tangan pada dada. Ia menghela napas sebelum berkata, “Kamu masih membutuhkan bantuanku untuk mengurus Kartel? Bukankah aku di sini untuk membantu Cani?” Hime mengernyitkan dahi.“Sudah banyak pelayan yang membantu Cani,” sahut Albert. “Biarkan Cani mengurus segala urusan di rumah ini sendirian,” tandasnya menatap lurus Hime.Dengan amat sangat terpaksa, Hime menyetujui permintaan Albert.“Aku menurutimu karenam neghomatimu sebagai Pemimpin Black Ice,” pungkas Hime berlalu meninggalkan Albert yang terdiam.Dari sekian banyak pria di
Beberapa hari berlalu, Han melangkah pelan ke sisi ranjang, tangannya terulur untuk meraih tangan Cani yang dingin. Han tahu istrinya masih bersedih, masih terombang-ambing dalam kenyataan pahit tentang siapa ayah dari bayi di perutnya.Tanpa berkata apa pun, Han menggenggam tangan Cani, memberikan ketenangan yang hanya bisa diberikan oleh sentuhan lembut seorang suami.Cani terisak, sesekali mengusap perutnya yang masih tampak rata. Kehamilannya, seharusnya menjadi kabar gembira, namun malah membuatnya hancur."Sayang ...." bisik Han lembut. "Percayalah, aku tak peduli siapa ayah bayi kita. Yang penting, bayi ini akan tumbuh dalam keluarga kita, dengan cinta dan kasih sayang kita berdua. Aku akan menjadi ayahnya, aku akan bertanggung jawab sepenuhnya."Air mata Cani kembali menetes, kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan haru. Han bersungguh-sungguh, Cani dapat melihatnya dari sorot mata Han yang penuh kasih sayang."Kenapa? Aku telah mengkhianatimu, Mas," lirih Cani mengalihka
Senja menyelimuti kediaman keluarga Albert. Di ruang kerjanya yang luas, Albert, kepala keluarga yang disegani, duduk termenung dengan ditemani secangkir kopi yang masih hangat di tangannya. Pikiran Albert dipenuhi oleh cerita Eila, pelayan pribadi sekaligus sahabat Nyonya Ditmer, tentang kecurigaan Eila terhadap sikap aneh Hime.Setelah beberapa saat berpikir, Albert mengambil keputusan. Ia bangkit dari kursinya, wajahnya dipenuhi dengan keraguan. Ia memanggil anak buahnya yang berada tak jauh darinya. "Ya, Tuan?"“Aku perlu kau melakukan sesuatu. Awasi Hime. Laporkan setiap gerak-geriknya kepadaku. Lakukan dengan hati-hati, jangan sampai ia menyadari hal ini.” Suara Albert terdengar tegas. Pria tinggi tegap itu mengangguk hormat, menerima perintah tanpa bantahan.***Di sisi lain, angin yang berhembus sepoi-sepoi, membawa aroma tanah basah dan sedikit bau anyir dari kandang buaya raksasa.Hime memandang Han yang berdiri sambil memperhatikan buaya peliharaannya, beberapa ekor buay
Cani terbangun dengan kepala yang terasa pusing. Cahaya redup menyinari wajahnya. Bau disinfektan klinik memenuhi hidungnya. Ia mengerjapkan mata, pandangannya masih kabur. Sebuah tangan hangat menggenggam tangan Cani. Ia menoleh dan melihat Hime duduk di sampingnya, wajah Hime tampak lelah namun dihiasi senyum lembut.“Cani ... Kamu sudah sadar,” bisik Hime, suaranya lembut seperti sutra.Cani mengerjapkan mata beberapa kali, mencoba mengingat kejadian sebelum ia pingsan. Kenangan samar-samar berkelebat, perkebunan yang luas, aroma tanah basah, lalu gelap.“Mbak Hime ... Aku dimana? Apa yang terjadi?” tanya Cani, suaranya masih lemah.“Kamu pingsan di perkebunan,” jawab Hime, “Untungnya, tidak terjadi apa-apa yang serius.”Hime meraih tangan Cani, matanya berkaca-kaca. Ia memiliki raut wajah yang serius."Ada sesuatu yang ingin kukatakan padamu, Cani,” lirih Hime, suaranya sedikit gemetar. Ia menggenggam tangan Cani lebih erat. “Dokter sudah memeriksakanmu tadi ....” Ia berhenti s
Semakin Hime mendekati Han, semakin Hime tahu bahwa yang ada di otak dan pikiran Han hanyalah Cani seorang. Hime seperti tidak ada celah untuk merebut hati Han. "Jika aku tidak bisa merebut Han, maka akan aku buat hubungan mereka berdua berantakan." Janji telah meluncur dari bibir Hime. Membangkitkan gairah amarah pada diri Hime. Seiring berjalannya waktu, Hime berhasil mengambil hati Cani, dan menjadikannya sebagai orang paling dipercaya Cani, menggeser posisi Eila. Hime juga memutuskan untuk membantu Cani mengurus segala keperluan dan masalah di kediaman Keluarga Ditmer. Hal tersebut membuat Hime mengetahui seluk beluk kegiatan di rumah. Termasuk sektor perkebunan yang nilainya fantastis. Hime begitu takjub, selama ini ia hanya membantu pekerjaan Han tanpa mengetahui kegiatan sesungguhnya di rumah Keluarga Ditmer. "Hasil perkebunan langsung dijual ke pemerintah?" tanya Hime pada Cani. Cani yang sedang membawa catatan menoleh ke arah Hime. "Iya, Mbak. Katanya untuk membantu ra
Rio menatap tajam Xander yang sudah ketakutan melihat Rio mengayunkan katana. "Tuan Rio! Tolong ampuni saya!" mohon Xander bersujud di kaki Rio. Rio mendesis, "Orang sepertomu, yang mengkhianati kartelmu."Xander mendongak guna melihat wajah Rio. "Terlebih kelakuanmu, yang membuat Kania bersedih, tak akan pernah termaafkan!" tandas Rio penuh penekanan di nada bicaranya. Ketika Rio hendak menebas leher Xander, kedatangan Mizu membuatnya berhenti. Mizu meminta agar Xander tak dilenyapkan, sebab, Xander masih bisa digunakan untuk kepentingan Kartel. Karena Rio sangat percaya pada Mizu, dan mempertimbangkan perkataan Mizu, akhirnya Rio lebih memilih menurut pada Mizu. Ia menyerahkan Xander pada Mizu.Rio juga menegaskan jika Xander melakukan hal-hal yang berhubungan dengan Cani, maka Mizu harus menyerahkan nyawa Xander padanya. "Baik, Tuan. Aku pastikan, Xander berada di bawah kendaliku," tegas Mizu mantap. Rio menyembunyikan katanya, lalu bergegas keluar dari ruang bawah tanah, m