Duh mas Andi, kenapa sih buahnya harus di kasihkan ke Ibunya Inggit. Padahal Inggit juga lapar. Makin gemes aja,...
“Tapi aku lapar, Mas.” Dengan suara pelan aku berbicara di samping mas Andi.“Sabar, nanti kamu bisa makan. Tunggu di sini dulu ya Mas berangkat kerja, bentar saja,” bujuknya.Bibirku manyun tidak terima, ‘Emang dia mau bawa makanan dari mana? Mau berangkat kerja terus bawa makanan, secepat apa dia dapat uang? Buat bayar kos saja enggak bisa.' Itulah pikiran yang aneh melintas begitu saja.“Kenapa bengong?” tanya mas Andi yang menatap wajahku yang masih manyun. Aku hanya mendengkus dan meninggalkannya begitu saja tanpa menjawab pertanyaanya, agar dia paham kalau aku marah atas saran tidak masuk akalnya itu.Baru saja pintu terbuka nyonya besar Ana Rahma sudah berdiri di hadapanku saat ini, dengan kedua tangannya terlipat di depan, menatapku bagai tersangka.“Inggit, kamu lupa sama perjanjian semalam? Ibu tunggu dari pagi, suamimu yang miskin itu bahkan tidak terlihat batang hidungnya.” Mendengar setiap kata demi kata yang keluar dari bibir Ibuku, seperti aku merasa terlahir dari timun
Spontan taganku terhenti, bukannya Ibu yang tersiram air pel kali ini. Tap, Vanya yang basah kuyup saat melintas di depanku.“Apa-apaan ini!” jeritnya dengan wajah bayah kuyup dari rambutnya, hingga ke seluruh pakaian yang semula kering juga ikutan basah.Secepat mungkin aku membuang diriku, agar terkesan terpleset. “Maaf aku gak sengaja,” ungkapku menahan tawa.Bersyukur Vanya yang kena, seandainya Ibu habislah aku. Tapi setidaknya dengan begini aku merasa puas, buat balas kekesalan terhadap keluargaku sendiri.“Ibu ... Inggit pasti sengaja,” rengeknya kesal.Seseorang membantuku bangun dari posisi terduduk di lantai. “Mana mungkin dia sengaja, buktinya dia terduduk di lantai.”Aku menoleh ke asal suara dan pria yang menolongku bangkit, “ Ayah,” lirihku berbisik.Pertama kali dalam hidupku dia membuka suara, bahkan aku sangat terkejut dia bisa datang tepat waktu saat ini. Sosok pria yang sempat menghilang dalam anganku, seperti kembali lagi.“Tapi, gara-gara air pel ini. Lihat Ayah, b
Napas mas Andi semakin terasa dekat di wajahku, oh Tuhan kenapa aku masih harus merasa takut. Pria ini suamiku, walau kami menikah karena perjodohan setidaknya kami sudah tinggal bersama dalam beberapa bulan ini. Kami juga sudah tidur dalam tempat tidur yang sama.“Mas!” Aku menghentikan wajah itu semakin dekat, refleks yang begitu saja terjadi dari tubuh yang masih belum mau menerimanya.“Kenapa?” tanyanya yang di ikuti jemarinya, yang masih berusaha menepis tanganku.“Tempat umum,” jawabku mencari alasan yang tidak masuk akal.“Lalu, ada masalah? Kamu istriku Inggit. Emang salah ya, kalau aku memegang bibirmu dan menatap wajahmu dari dekat?” tanyanya , suaranhya yang lembut semakin menganggu jantugku.Aku menghela napas panjang, berusaha mengatur napas. Aku tidak mau mas Andi sadar, kalau saat ini aku terserang perasaan menegangkan.“Kamu diam, berarti kamu belum bisa menerima keberadaanku,” ucapnya kecewa.Aku menelan saliva, merasa sudah membuat mas Andi kecewa. Dia sudah terlalu b
“Mas, sudah istirahatnya?” tanyaku yang sudah tidak sabar.“Kenapa, Nggit,” balasnya yang pandangannya, entah mengedar ke seluruh mal Srikandi.Aku mengatur napas dan kata-kata, takut mas Andi tersingung. Tapi, Aku juga butuh jawaban yang masuk akal tentang belanjaan yang mas Andi bawa.“Belanjaan ini, bagaimana cara Mas bayarnya?” tanyaku, walau dalam hati ada perasaan tidak enak. Saat ini mungkin mas Andi memikirkan bahwa, aku tidak percaya dengan dia atau aku juga meremehkan dia seperti keluargaku.“Oh, ini tadi aku ....” Belum juga mas Andi selesai bicara ada orang yang menghampiri Kami.“Pak Andi, ini sisa uang hadiah lomba makan bubur tadi,” jelas pria dengan tubuh gempal, yang keringatnya saja sampai terlihat menetes di pipinya.Aku tertegun memandang pria asing di hadapanku saat ini, bukan fokus pada apa yang dia bawa dan inggin di berikan kepada mas Andi.‘Pasti Bapak ini laari bersusah payah mengejar mas Andi,' batinku menebak-nebak.“Oh, iya. Maaf Pak tadi saya terburu-buru
Mataku terpejam saat itu juga sampai bibir kami akhirnya saling bertemu, Aku yang tersadar cepat melepasnya. Lalu dengan malu-malu mundur teratur, mengambil boneka Beruang yang masih berada di dalam box mesin capit.Ternyata wajah mas Andi juga memerah sepertiku, sekilas aku melihatnya dan langsung berbalik tersipu malu sambil terkekeh kecil.“Ayo mas, ini sudah lama sekali, bahkan sudah mau sore,” ajakku.“Kita beli makanan masak saja, pasti sampai rumah kamu sudah lelah.” Aku mengangguk mendengar saran mas Andi, hanya saja melihat lembaran uang yang dia keluarkan untuk membeli makanan masak membuat aku tidak rela.Rasa hati ingin melarang, apa daya sudah dipesan. ‘Sayang banget sih duitnya, hari ini kita beruntung belum tentu besok Mas bakalan bisa dapat duit sebanyak itu lagi,’ batinku.Bahkan aku mengigit-gigit ujung bibir merasa banyak sekali yang dibelanjakan mas Andi. Pasti ini akan menjadi masalah lagi nantinya, Ibu akan bertanya banyak hal.Bagaimana kami mendapatkan uang? Ke
“Aw! Sakit Nggit. Kamu itu berani kurang ajar, aku lebih tua darimu.” Belum selesai dia mengusap pipinya yang sebelah kanan, Aku tampar lagi di sebelah kirinya.Plak!“Apa-apaan sih Nggit, semua yang aku bilang fakta. Kenapa kamu bela dia sampai segitunya?” Protes yang di ungkapkan kak Naysila memancing penjelasan dariku.“Dengar baik-baik sekali lagi kamu menghina mas Andi, Aku tidak akan menunduk hormat walau hanya sedikit. Bahkan Aku bisa membuatmu menangis mohon ampun akibat tamparanku!” Sambil kutunjuk wajahnya menegaskan semua yang ku katakan, itu akan bisa terulang jika dia berulah lagi.Sampai suara Ibu terdengar untuk kedua kalinya, namun ini lebih dekat. “ Ada apa sih? Baru juga semalam belum ada sehari pindah, sudah buat keributan lagi!” Sudah jelas kali ini aku yang di salahkan.Melihat mereka yang mulai berakting membuatku muak, di rumah ini sama sekali bukan surga buatku. Ingin rasanya kembali kemasa itu, di mana Ayah masih ada waktu walau hanya sebentar. Aku ingin memut
“Kamu masih percaya dengan suamimu?” tanya Ibu mendekat tepat berdiri di samping kananku kali ini.Aku hanya menarik napas panjang ada keraguan di dalam hatiku saat ini, apalagi yang di ucapkan Ibu benar.‘Seharusnya mereka sudah tau berita ini dari mas Gunawan,’ batinku saat ini.Sampai aku mulai meragukan mas Andi, hanya teringat lagi kejadian di mal Srikandi, ‘Kalau memang mas Andi berbohong, pria yang memberikan uang sisa hadiah? Uang dari mana mas Andi mau berbohong serapi itu?’ Pertanyaan demi pertanyaan mulai membuatku bingung.Sampai Ibu kembali menghasut pikiranku, dia ingin aku memutuskan semua kebenaran yang kami sembunyikan darinya.“Kenapa diam, kamu bersekongkol dengan Suamimu yang miskin ini,” ejek Ibu, saat itu juga yang semula aku mulai ragu makin tidak terima dengan penghinaan yang Ibu lontarkan.“Berbohong? Mungkin Gunawan saja yang sengaja tidak memberitahu kalian, hal itu lumrah dan bisa terjadi. Dia juga manusia biasa, bisa saja dia sengaja atau lupa,” jelasku ti
Aku benar -benar terpojok saat ini, bahkan senyum nakal di wajah mas Andi membuatku seperti salah tingkah.“Kamu cantik, aku suka lihat wajahmu yang tegang seperti ini. Membuatku semakin penasaran,” bisiknya di teligaku.Aku menelan saliva saat merasakan napas mas Andi berbicara melalui celah telinga, membisik seperti sebuah aliran listrik yang di luar nalar. Hingga suara mas Andi terdengar lagi, menyusup samar.“Bisa kita segera selesaikan beres-beres nya, aku sudah lelah.” Mendengar kata lelah membuat aku tersadar mas Andi sudah kembali mengambil beberapa wadah, untuk meyusun makanan dari restauran yang sudah kami beli.Melihat mas Andi tersenyum nakal, yang sesekali menertawakanku membuat wajahku memerah dan malu. Bahkan ada rasa kesal igin rasanya mengumpat pria itu saat ini juga, hanya saja aku takut terdengar Ibu.“Awas kamu mas, kalau sudah di kamar lihat saja. Ngak akan aku kasih ampun,” gumamku yang mencuci ayam dan ikan di wastafel. Perasaan kesal campur malu kulampiaskan p