Uwu.......... pengen bilang suit... suit... sepertinya mas Andi makin agresif ya
Aku benar -benar terpojok saat ini, bahkan senyum nakal di wajah mas Andi membuatku seperti salah tingkah.“Kamu cantik, aku suka lihat wajahmu yang tegang seperti ini. Membuatku semakin penasaran,” bisiknya di teligaku.Aku menelan saliva saat merasakan napas mas Andi berbicara melalui celah telinga, membisik seperti sebuah aliran listrik yang di luar nalar. Hingga suara mas Andi terdengar lagi, menyusup samar.“Bisa kita segera selesaikan beres-beres nya, aku sudah lelah.” Mendengar kata lelah membuat aku tersadar mas Andi sudah kembali mengambil beberapa wadah, untuk meyusun makanan dari restauran yang sudah kami beli.Melihat mas Andi tersenyum nakal, yang sesekali menertawakanku membuat wajahku memerah dan malu. Bahkan ada rasa kesal igin rasanya mengumpat pria itu saat ini juga, hanya saja aku takut terdengar Ibu.“Awas kamu mas, kalau sudah di kamar lihat saja. Ngak akan aku kasih ampun,” gumamku yang mencuci ayam dan ikan di wastafel. Perasaan kesal campur malu kulampiaskan p
Mas Andi yang merentangkan tangan membuatku sempat salah tingkah, sampai dia mulai bicara lagi. “Sini bersandar di lengan, Mas,” pintanya saat itu. Entah mengapa aku mengikuti kemauan mas Adi kali ini.Seperti terhipnotis, kepalaku bersandar di lengannya bahkan rambutku saat ini menempel di tengkuk lehernya. Menikmati nyanyian malam yang di bawakan oleh jangkrik liar dan embusan angin yang membuat daun dan pepohonan mengeluarkan suara.“Sebenarnya kita ini sudah bisa di katakan Suami istri atau belum sih?” Pertanyaan konyol yang ku katakan membuat mas Andi terkekeh.“Kok malah ketawa sih?” tanyaku malu tanpa menatap wajahnya lagi.“Bagaimana ya? Mau di katakan Suami Istri, sampai sekarang saja mas belum belah duren. Tapi, mau di bilang bukan, masalahnya kita sudah menikah hanya pacarannya saja setelah menikah,'’ jawab mas Andi .Aku terkekeh mendengar perkataan jujur itu, sebenarnya ini salahku juga. Tapi, aku belum siap untuk melakukan semua kewajiban sebagai istri. Walau hanya kewaji
“Mas, aku kerumah utama ya, sarapan sudah aku letakkan di atas meja!” teriakku yang sengaja tidak ingin bertemu dengan mas Andi lagi. Masih malu sangat untuk bertatapan dengan wajahnya, yang tergambar semua kejadian belah duren menari-nari dipikiranku.Dengan santai aku menuju rumah utama, seperti biasa mereka belum melakukan aktifitas. Jam kantor mereka jam 8, baru karyawan masuk kerja dan Gunawan biasanya jam begini masih baru membuka mata bersama istrinya.Sedangkan penghuni lainnya sudah pasti sibuk di dalam kamarnya layaknya nyonya besar, Vanya paling di manja oleh Ibu di karenakan Aryo merupakan salah satu kepala cabang di perbankan kota Seroja. Relasinya adalah orang-orang penting. Hanya saja dia masih berusaha bisa bertemu dengan pemilik mal Srikandi, yang kono katanya sangat misterius.Menurut rumor yang beredar pemilik mal Srikandi adalah salah satu keturunan dari pemimpin kasta tertinggi Dogestan, ada juga yang mengatakan tunangan dari Rere Prasetyo salah satu pewaris Pras
“Tuan Delano, bagaimana bisa menantu Anda yang miskin itu hadir di acara ini. Sepertinya dia hadir sebagai supir dari keluarga Wicaksono, memalukan,” ejek Arga dengan wajah meremehkan.Aku sangat geram tanganku mengepal saat itu juga, inggin rasanya aku membungkam mulutnya dengan bogem mentah. Tapi Ayah yang melihat ke arahku segera memegang tangan ini, membuatku sedikit melunak.“Dia bukan pria miskin lagi, Anda tau itu. Saat ini dia adalah menantu keluarga Wicaksono, tentu saja Tuan Arga harus menghormatinya. Tidak peduli dia dari kasta atau trah rendahan sebelumnya, setelah Andi menikah dengan putri dari kasta Wicaksono maka derajatnya lebih tinggi dari Tuan Arga Dwiguna. Saya minta Tuan Arga sadar akan posisi, jangan membuat saya bertindak tidak menghargai Anda," jelas Ayahku.Tau ngak perasaan apa yang aku rasakan saat ini, Aku sangat bahagia. Bagaimana tidak, Ayahku membela suamiku di depan mantan calon jodohku yang duda sombong.Arga keluar dengan membanting pintu mobil, terli
Aku sangat takut saat mas Andi merebut Wine itu dari tanganku. Apalagi ditambah Arga mengajukan protes atas tindakan mas Andi.“Apa hakmu untuk mengambil Wine kehormatan untuk saya, dari Inggit?” ujar Arga Dwiguna, yang setelahya dia melanjutkan lagi perkataannya.“Tuan Bramasta, kali ini saya sangat tersinggung. Pria di hadapan saya ini sudah menyingung saya untuk kesekian kalinya,” jelasnya.Suasana semakin menegang dan sanggat terasa panas, apalagi aku saat itu merasakan keringat mengucur seperti jagung dari dahiku.“Maaf jika saya lancang, saya adalah Andi Hermawan suami dari Inggit Garnasih Wicaksono. Sebagai Suami dan menantu dari keluarga Wicaksono, saya ingin menggantikan Istri saya untuk menerima kehormatan ini. Karena, kesalahan yang terjadi bukan hanya berasal dari keluarga Wicaksono. Tapi saya juga ikut andil di sana, kiranya Tuan Bramasta mau mengabulkan permohonan ini,” jelas mas Andi.Aku tidak menyangka kalau dia akan berbicara seperti itu dihadapan semua Bangsawan tert
Sesekali memegang wajahku, sesekali mengomel bagai anak kecil. Bahkan ada satu kalimat yang tidak selesai membuatku penasaran.“Hai kamu,” ucapnya sembari menunjuk wajahku di dalam lift. Aku hanya menatapnya tanpa senyuman lagi, sangat lelah. Bahkan dalam hati ini sudah menaruh dendam padanya, saat dia sadar nanti.“Kamu punya telinga ngak, Aku ini adalah Pangeran,” ujarnya lalu dia melanjutkan lagi, “Pangeran Kodok, hahaha...” tawanya lepas, tanpa beban. Aku yang semula kesal ikut tertawa, melihat tingkah konyolnya.Ada peyesalan, melihat kondisi mas Andi saat ini sampai pintu lift terbuka aku masih tetap memasang wajah tanpa senyum. Berusaha membawa mas Andi keluar lift sangat sulit, apalagi saat tangannya dengan segaja menahan pintu lift untuk tertutup lgi.“Mas, kamu harus istirahat,” ucapku yang masih membopoh tubuhnya.“Sttt... kamu jangan berisik, tugasmu hanya menjadi istri yang baik. Kita mainan dulu ini lucu sekali,” jari tanggannya di letakkan tepat di bibirku. Dengan mata
Sepekan dari kejadian yang membuatku terjebak dengan mas Andi, kehidupanku dengannya sekarang mulai baik-baik saja Aku mulai terbiasa dengan tingkah konyolnya. Bahkan saat dia ingin mengambil haknya sebagai suami, tidak seperti diawal-awal yang membuat wajahku memerah bagai kepiting rebus. Terutama kejadian terakhir di Hotel saat dia dalam pengaruh Alkohol.“Mas aku mau melamar pekerjaan di Srikandi, kira-kira masih ada lowongan enggak, ya?” tanyaku pada mas Andi.“Nanti Mas saja yang bawa CV mu, Kebetulan ada staf yang jabatannya lumayan tinggi Mas kenal.” Mendengar ucapan mas Andi membuatku bingung, kenapa bukan dia yang melamar sebagai karyawan di perusahaan itu.“Mas, kalau kenal sama staf dengan jabatan bagus, kenapa bukan mas Saja yang melamar di sana?” tannyaku.“Tidak ada lowongan kerja yang sesuai dengan, Mas,” jawabnya simpel.Aku tertegun, apa maksudnya tidak sesuai dengan Dia, Apa karena dia tidak sekolah? Apa karena lulusan yang sesuai dengannya tidak ada?Pertanyaan sepe
Aku menghindari perseteruan itu, biasa kak Naysila akan mencari gara-gara lagi jika merasa di abaikan. Walau kecewa banget dengan cara Ibu berbicara, lebih baik aku tetap mengalah untuk sementara waktu.“Nggit, tolong ambilkan sosis itu dong,’' pinta kak Naysila lagi.“Aku masih sibuk,” jawabku tanpa mempedulikannya.“Kamu cari gara-gara ya, dari tadi!” Suaranya meninggi, tapi hanya aku balas dengan senyuman sinis. Melepas apron yang aku kenakan saat ini, lalu meninggalkan dia begitu saja.Mengambil sapu untuk melanjutkan membersihkan ruangan demi ruangan, seperti yang aku duga dia akan tetap mencari masalah denganku. Sengaja kak Naysila membuang kulit apel di lantai, aku menyapu dan dia mengulang lagi.Siapa saja kalau di buat seperti itu pasti akan naik pitam, apa lagi aku bukan seperti anak tiri yang bisa di bully habis-habisan. Spontanitas kuambil kulit apel yang berceceran dilantai, lalu aku jadikan satu sama piring buah miliknya.“Mohon maaf, kalau mau makan buah tolong perhatik
"Kalau kamu merasa dirugikan, Gunawan," Laras melanjutkan dengan senyum yang penuh arti, "lebih baik kita bicara seperti orang dewasa. Tidak perlu mengerahkan tangan untuk membuktikan siapa yang lebih kuat. Kalau mau berdebat, mari berdiskusi dengan tenang." Nadanya sepertinya sedikit mengejek, namun tetap penuh dengan kelas dan kecerdasan. Laras selalu punya cara untuk melontarkan sindiran tanpa kehilangan kewibawaannya.Gunawan menatap Laras dengan penuh kebencian, namun dia tidak melawan. Ada semacam kebingungan yang terpancar dari wajahnya dan aku tahu, dia sedang berjuang untuk mengendalikan dirinya.Tapi, apa yang bisa dilakukan seseorang yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia bukanlah satu-satunya yang berkuasa? Aku bisa merasakan ketegangan semakin meningkat, tapi ada hal yang lebih besar yang sedang terjadi di balik semua ini.Mas Andi, dengan ketenangannya, malah menunjukkan pada kita bahwa kadang keheningan lebih berbicara banyak daripada kemarahan.Aku menyandarkan p
Suasana ruangan itu terasa begitu padat. Ketegangan yang semula meletup, kini mulai mereda, namun ada bekasnya. Aku bisa merasakan udara di sekelilingku yang terasa berat. Andi, meskipun baru saja dijatuhkan dan dihina dengan begitu kejam, tetap berdiri tegak.Ada ketenangan dalam dirinya yang benar-benar memukau. Aku selalu tahu dia tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, tapi aku tak pernah menyangka dia bisa tetap sabar dan tenang dalam kondisi yang begitu memanas.Mas Andi menatap Gunawan sejenak, matanya tajam, tetapi tidak menunjukkan rasa marah sedikit pun. Dia mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk karena luka kecil akibat terjatuh dan dengan senyum tipis, dia berkata, “Saya mungkin jatuh, tapi itu tidak membuat saya kalah. Kalau ada yang mau berdiskusi lebih jauh, saya di sini.”Aku terdiam sesaat, terkesima oleh cara Mas Andi menghadapinya. Dia begitu santai, bahkan bisa tersenyum dalam situasi yang hampir tidak bisa dipercaya ini. Setiap kata yang keluar dari mulutnya t
“Tidak masuk akal,” gumam Naysila yang menatapku tajam.Aku merasakan ketegangan yang semakin membara di ruangan itu. Suara detak jantungku terdengar begitu keras, hampir bersaing dengan suara langkah kaki Gunawan yang kini berdiri dengan ekspresi yang tidak bisa kuartikan. Semua mata tertuju padanya, dan aku bisa merasakan hawa panas yang mulai menyelimuti ruangan. Aku tahu dia pasti marah, marah yang meledak-ledak dan tak terkendali.Gunawan berdiri dengan wajah yang memerah, seolah amarahnya memuncak. "Kek," katanya dengan suara yang hampir bergetar karena kekesalan. "Apa ini tidak terlalu berlebihan? Andi bahkan belum lama menjadi bagian dari keluarga besar ini. Saya yang sudah lama mengabdi dan bekerja keras, kok bisa begitu saja disingkirkan? Ini tidak adil!"Aku menatap Gunawan dengan cemas. Suaranya menggelegar, mengisi ruang makan yang sebelumnya tenang. Aku bisa merasakan gemuruh amarahnya yang hampir tidak bisa dibendung.“Ini bukan keputusanku, akupun tidak tau kalau Andi
Kata-kata itu menggantung di udara seperti petir yang menggelegar. Aku bisa merasakan dadaku berdetak lebih cepat, hatiku penuh dengan pertanyaan. “Komisaris Bramasta Group?” pikirku, masih mencoba mencerna apa yang baru saja Kakek katakan.Bramasta Group adalah nama besar yang tak bisa dipandang sebelah mata. Itu adalah sebuah kerajaan bisnis yang menguasai banyak sektor, dari properti hingga teknologi, dan memiliki jaringan yang sangat kuat. Jadi, bagaimana bisa Andi, yang selama ini dianggap hanya sebagai “kurir,” menjadi perwakilan resmi yang dipercayakan untuk membawa pesan dari mereka?Aku menatap mas Andi dengan rasa bangga yang semakin dalam, meskipun aku tahu bahwa ini adalah awal dari sebuah babak baru yang penuh tantangan dan ketidakpastian. Namun, aku juga bisa merasakan adanya sebuah kegelisahan dalam hatiku. Bagaimana jika Kakek mengharapkan terlalu banyak dari mas Andi? Apa yang sebenarnya akan terjadi selanjutnya?Ibu Ana yang duduk di sebelahku, terlihat semakin pucat
“Apa itu saya, Kek? Tentu saya siap untuk mewakili The Next King Bramasta,” kata Gunawan dengan nada yang lebih tinggi, seolah-olah sudah menganggap dirinya sebagai pilihan utama. Matanya sedikit menyipit, berharap agar Kakek menanggapi dengan cara yang sama seperti yang dia harapkan.Namun, Kakek hanya mengangguk pelan, memberikan jeda yang semakin menambah ketegangan di ruangan itu. Semua orang, termasuk aku, menunggu dengan cemas. Apa yang akan Kakek katakan selanjutnya?Aku setelah mendengar ucapan Gunawan juga sempat berpikir hal yang sama, kalian tau dia posisinya juga lumayan tinggi di mal Srikandi untuk keluarga Wicaksono di banding yang lainnya.Kakek kemudian mengalihkan pandangannya ke arah mas Andi dan sebuah senyum tipis muncul di bibirnya. “Tentu, saya rasa Andi yang akan menjadi perwakilan beliau. Dia yang akan menyampaiakan pesan dari The Next King Bramasta,” ujar Kakek dengan tegas.Suasana di ruangan itu seketika menjadi hening. Gunawan, yang tadinya merasa yakin bah
Suasana yang tadinya sedikit tegang dan penuh sindiran berubah seketika. Saat pintu ruang makan terbuka dengan suara berderit, semua mata langsung tertuju pada sosok yang masuk. Kakek Wicaksono, yang selalu memiliki daya tarik tak terelakkan, berdiri dengan tegap di ambang pintu. Semua tamu yang semula tenggelam dalam percakapan mereka langsung berdiri, memberikan penghormatan dengan sikap yang penuh respek, seolah-olah dunia di sekitar kami tiba-tiba berhenti sejenak.Kakek Wicaksono adalah pusat gravitasi di keluarga ini dan kehadirannya selalu membuat ruang penuh dengan wibawa, tanpa perlu berkata banyak. Senyum ramah namun penuh kekuatan itu, yang selalu aku lihat sejak kecil, masih sama, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menyiratkan bahwa dia membawa kabar penting.“Apa kabar, semuanya?” Kakek menyapa dengan suara tegas namun penuh kehangatan. Matanya yang tajam memindai satu per satu wajah yang hadir, memberi kesan bahwa dia mampu menilai apa pun hanya dengan
“Apa aku terlalu keras tadi?” bisik Laras, sembari menyesap air mineral dari gelasnya.Aku menggeleng kecil. “Tidak, kamu melakukan hal yang benar. Mereka butuh mendengar itu, terutama Gunawan.”Walau sebenarnya aku tahu, pasti mereka akan melakukan segala cara untuk membuat mas Andi dan aku malu nantinya. Hanya sampai saat ini kakek Wicaksono masih belum terlihat.Laras tersenyum tipis, seolah lega. “Kadang, aku hanya ingin memastikan bahwa aku tidak melewati batas.”“Kalau pun iya,” balasku sambil menatapnya, “itu batas yang memang sudah seharusnya dilanggar.”Laras tertawa kecil, melonggarkan suasana yang sempat tegang beberapa saat sebelumnya. Namun, sebelum percakapan kami berlanjut, aku menangkap tatapan samar seseorang yang duduk tidak jauh dari kami.Dia terlihat sibuk berbicara dengan orang di sebelahnya, tapi aku tahu dia mendengar. Cara dia melirik sesekali, dengan sudut senyumnya yang tipis, sudah cukup memberi tanda bahwa dia tahu ada sesuatu yang terjadi di meja ini.“Si
Makan malam itu seperti dirancang untuk menjadi panggung drama penuh jebakan. Setiap kata yang keluar dari mulut Gunawan terasa seperti pisau, tepat mengincar titik paling rentanku. Sejujurnya, aku merasa seperti sedang ditonton dalam acara yang sengaja dibuat untuk membuatku tak nyaman.Gunawan, dengan senyum sinisnya yang seperti trademark, memulai. "Andi, sekarang kerja apa? Masih buruh serabutan?"Aku menahan napas. Rasanya semua orang di meja ini sedang menatap kami, menunggu reaksiku. Tapi Andi, seperti biasa, tetap tenang. Bahkan dia tersenyum, senyum tipis yang jelas-jelas adalah bentuk kontrol diri."Sekarang jadi kurir, Mas," jawabnya santai. "Lumayan, kerja sambil olahraga."Aku bisa merasakan suasana di meja berubah. Udara jadi lebih kaku. Aku tahu Gunawan belum selesai.Gunawan tertawa keras, seperti sengaja menarik perhatian semua orang. "Kurir? Wah, cocok banget sama kamu! Pantesan si Inggit kelihatan makin kurus, ya. Pengaruh dari suami kayaknya."Kalimat itu menghanta
Di tengah acara yang semakin terasa menegangkan, aku merasa seolah-olah terjebak dalam sebuah drama yang tak berujung. Setiap kata yang terucap di antara kami seakan berisi lapisan-lapisan ketegangan, semua berkutat pada bisnis keluarga dan tradisi yang berat. Pandanganku menyapu ruangan, dan aku merasa semakin terperangkap dalam atmosfer yang penuh dengan ketidaknyamanan.”Aku ngak nyaman, sesak di sini,”gumamku lirih mengeluh.Andi duduk di sampingku, senyumannya lelah, mencoba untuk mengerti situasi, meskipun jelas raut cemas mulai terlihat di wajahnya. Aku bisa merasakannya, betapa beratnya bagi dia untuk berada di sini, di tengah keluarga yang penuh dengan tatapan sinis dan kata-kata tajam yang seolah tak pernah berhenti mengarah padaku.”Sabar, ada kejutan nantinya,” ujarnya tetap berusaha terlihat nyaman.”Kamu sok nyaman mas, padahal kamu juga bosan,” protesku yang di balas senyuman dan tatapan tajamnya.Namun, tiba-tiba, di tengah obrolan yang semakin panas, seseorang muncul d