Sepekan dari kejadian yang membuatku terjebak dengan mas Andi, kehidupanku dengannya sekarang mulai baik-baik saja Aku mulai terbiasa dengan tingkah konyolnya. Bahkan saat dia ingin mengambil haknya sebagai suami, tidak seperti diawal-awal yang membuat wajahku memerah bagai kepiting rebus. Terutama kejadian terakhir di Hotel saat dia dalam pengaruh Alkohol.“Mas aku mau melamar pekerjaan di Srikandi, kira-kira masih ada lowongan enggak, ya?” tanyaku pada mas Andi.“Nanti Mas saja yang bawa CV mu, Kebetulan ada staf yang jabatannya lumayan tinggi Mas kenal.” Mendengar ucapan mas Andi membuatku bingung, kenapa bukan dia yang melamar sebagai karyawan di perusahaan itu.“Mas, kalau kenal sama staf dengan jabatan bagus, kenapa bukan mas Saja yang melamar di sana?” tannyaku.“Tidak ada lowongan kerja yang sesuai dengan, Mas,” jawabnya simpel.Aku tertegun, apa maksudnya tidak sesuai dengan Dia, Apa karena dia tidak sekolah? Apa karena lulusan yang sesuai dengannya tidak ada?Pertanyaan sepe
Aku menghindari perseteruan itu, biasa kak Naysila akan mencari gara-gara lagi jika merasa di abaikan. Walau kecewa banget dengan cara Ibu berbicara, lebih baik aku tetap mengalah untuk sementara waktu.“Nggit, tolong ambilkan sosis itu dong,’' pinta kak Naysila lagi.“Aku masih sibuk,” jawabku tanpa mempedulikannya.“Kamu cari gara-gara ya, dari tadi!” Suaranya meninggi, tapi hanya aku balas dengan senyuman sinis. Melepas apron yang aku kenakan saat ini, lalu meninggalkan dia begitu saja.Mengambil sapu untuk melanjutkan membersihkan ruangan demi ruangan, seperti yang aku duga dia akan tetap mencari masalah denganku. Sengaja kak Naysila membuang kulit apel di lantai, aku menyapu dan dia mengulang lagi.Siapa saja kalau di buat seperti itu pasti akan naik pitam, apa lagi aku bukan seperti anak tiri yang bisa di bully habis-habisan. Spontanitas kuambil kulit apel yang berceceran dilantai, lalu aku jadikan satu sama piring buah miliknya.“Mohon maaf, kalau mau makan buah tolong perhatik
“Mas aku mau bergegas, takut terlambat,” ujarku berpamitan dengannya.“Semangat, ya,” ucapnya mengepalkan dua tanggan sambil terus memberiku semangat.“Mas mau pulang makan? Aku sudah siapkan makanan untuk Mas, sengaja aku simpan di kamar kita, di meja yang biasa untuk sarapan,” ucapku lagi.Dia hanya mengangguk tangannya seolah menyuruhku untuk bergegas. Saat itu juga aku meninggalkan mas Andi, sambil terus melambaikan tangan. Aku masih tampak malu-malu, mengingat kelakuan konyol yang aku lakukan.Sambil jalan sedikit langkah lompat girang, bagai anak kecil yang menari-nari di jalanan. “Semoga wawancaranya lancar, aku sangat deg-degkan,” gumamku sepanjang jalan.Tepat di depan mal Srikandi, aku bingung harus ke mana. Tidak mungkin aku mencari ruagan staf mengelilingi mal sebesar ini. Menarik napas panjang aku memberanikan diri bertanya kepada sekuriti.“Maaf Pak, saya mendapat panggilan wawancara ini.” Aku menunjukkan pesan singkat di smartphone milikku.“Oh, ini Wibu milik The nex
Aku masih penasaran dengan pemimpin mal Srikandi ini, selama wawancara dia hanya bertbisik di telinga pak Irawan yang selanjutnya menyampaikan padaku. Apakah suaranya sebegitu rahasia? Bahkan hanya pak Irawan yang boleh mendengarkannya.“Nona, apakah selama percobaan bersedia menjadi SPG di salah satu tenan di mal ini?” tanyanya, dengan wajah sedikit takut-takut, Aku ingin tertawa tapi aku tahan.Bayangkan seorang pemimpin, sengaja mewawancarai secara langsung untuk mempekerjakan di tenan mal. Bukan sebagai staf, unik banget? Sebegitu beruntungnya kah aku, sampai harus beliau yang wawancara. Padahal pekerjaan seremeh ini cukup HRD bagian tenan yang merekrutku.“Saya bersedia, bahkan di letakkan di mana saja saya bersedia,” jawabku dengan senyum tipis.Dia berbisik lagi, yang selanjutnya di sampaikan oleh pak Irawan. “Kalau menjadi Istri Tuan muda?”Aku langsung menelan saliva dalam, rasanya ingin mengumpat tapi tidak sopan. ‘Sumpah, ngak waras ini orang. Sudah jelas-jelas di CV aku st
Aku tidak sabar ingin bercerita dengan mas Andi, segera ku berlari ke halaman parkir di mal Srikandi. Berjalan kecil mencari sosok mas Andi, hanya saja sudah hampir dua kali berkeliling tidak aku dapatkan mas Andi, apa kah dia masih di rumah?Teringat kembali postur tinggi mas Andi dan tuan Muda digin itu, mungkin kalau mas Andi memiliki keberuntungan sama seperti dia akan lebih mantap di mata keluargaku, Aku hanya ingin keberuntungan yang di miliki King Bramasta. Sedangkan sifat dan keramahan aku ingin mas Andi, tetap mas Andi sekarang.Bayangan dan impian konyol itu mengelayut di pikiranku saat ini sampai aku tertawa geli sendirian, beberapa mata memperhatikanku kali ini, bahkan ada yang tertawa secara diam- diam saat melintas. Konyol mereka pikir aku gila, akhirnya aku putuskan untuk pulang ke rumah.Masih dengan perasaan bahagia aku membuka pagar yang sanggat tinggi, bahkan tingginya melebihi mas Andi. Teringan saat aku masih usia 7 tahun. Saat itu Ibu sangat marah padaku, untung
“Sudah siap, sayang!?” tanya mas Andi yang menungguku di depan kamar.Aku hari ini sudah bangun sangat pagi, menyelesaikan rumah utama. Bahkan menyiapkan sarapan sampai makan siang, sehingga pagi ini aku sudah bersiap-siap berangkat kerja di mal Srikandi.“Sudah siap, ayo kita berangkat Mas,” ajakku yang menutup pintu kamar.Hampir lupa, hari ini kami sudah tidur di rumah utama . Kamar belakang di persiapkan untuk acara keluarga besar kasta Wicaksono, kemungkinan minggu depan sih acaranya. Langkah mas Andi berdampingan denganku menuruni anak tangga, sedangkan di meja makan sudah ada ayah bersama Ibu, pasukan yang lain masih belum keluar dari kamar mereka masing-masing.“Enggak sarapan dulu, Nggit?” tanya Ayah yang menyapa saat kami menuruni anak tangga.“Sudah bawa bekal, nanti kami sarapan di sana saja,” balasku singkat sembari berpamitan.“Hati-hati di jalan, tetap semangat bekerjanya. Jangan lupa minggu depan ada acara di rumah, jadi usahakan minta libur sama Bos mu,” balas Ayah
“Kamu yakin dengan yang kamu bilang tadi?” tanyaku memastikan, kalau benar itu yang dia katakan. Pasti Bos itu punya tujuan lain, secara logika saja kenapa harus dia yang terjun langsung.‘Kemarin saja saat wawancara dia tidak bisa bicara sendiri, bagaimana cara dia mengajari kami,’ batinku seolah tertawa memikirkannya.Windi belum menjawab pertanyaanku, sepertinya dia juga berpikir. Sampai dia mulai membuka suara lagi. “Kalau di pikir secara logika memang enggak masuk akal, hanya aku berharap itu benar terjadi,” balas Windi, yang membuat aku yakin juga dengan pemikiranku.Aku dan Windi menunggu orang yang akan training kami di tenan ini. Sebenarnya aku sedikit tahu cara menjalanka tenan minuman, Aku hanya takut kalau salah dalam takaran dan jenis minuman yang mau di pasarkan.“Maaf menunggu lama.” Suara yang tidak asing di telingaku.“Mas Andi!” ucapku terkejut. Windi heran aku mengenal mas Andi, sepertinya dia juga kecewa karena yang datang mas Andi“Kalian saling kenal?” tanya nya
Setelah sesi pelatihan itu, suasana di antara kami berangsur tenang. Namun, pikiranku masih terjebak pada pertanyaan tentang Mas Andi dan hubungannya dengan Pak Irawan.“Mas, sebenarnya kamu sama Pak Irawan itu bagaimana?” tanyaku antusias. Tidak lama kemudian, Windi ikut bergabung duduk di dekatku.“Eh, iya. Katanya Mas Andi hanya buruh serabutan di sini?” tanya Windi, yang membuatku bertanya apa maksud pertanyaannya itu.Mas Andi hanya tersenyum. “Namanya karyawan serabutan, itu pasti nggak terikat. Bisa di parkiran, bisa di gudang. Maklum, nggak ada pekerjaan kantor yang cocok buat saya. Inggit sudah tahu dari awal, kenapa bertanya lagi?” jelasnya, membuatku tertawa masam. Ada perasaan bersalah menanyakan hal sensitif ini.“Tapi, Mas, belum jawab tentang Pak Irawan,” kilahku menunggu jawabannya.“Oh, itu. Karena sering membantu pekerjaan di Mal Srikandi, jadi Pak Irawan dekat. Dia baik juga, sering ngasih uang tip.” Aku merasa lega dengan jawabannya kali ini.Ternyata, Mas Andi buk