“Sudah siap, sayang!?” tanya mas Andi yang menungguku di depan kamar.Aku hari ini sudah bangun sangat pagi, menyelesaikan rumah utama. Bahkan menyiapkan sarapan sampai makan siang, sehingga pagi ini aku sudah bersiap-siap berangkat kerja di mal Srikandi.“Sudah siap, ayo kita berangkat Mas,” ajakku yang menutup pintu kamar.Hampir lupa, hari ini kami sudah tidur di rumah utama . Kamar belakang di persiapkan untuk acara keluarga besar kasta Wicaksono, kemungkinan minggu depan sih acaranya. Langkah mas Andi berdampingan denganku menuruni anak tangga, sedangkan di meja makan sudah ada ayah bersama Ibu, pasukan yang lain masih belum keluar dari kamar mereka masing-masing.“Enggak sarapan dulu, Nggit?” tanya Ayah yang menyapa saat kami menuruni anak tangga.“Sudah bawa bekal, nanti kami sarapan di sana saja,” balasku singkat sembari berpamitan.“Hati-hati di jalan, tetap semangat bekerjanya. Jangan lupa minggu depan ada acara di rumah, jadi usahakan minta libur sama Bos mu,” balas Ayah
“Kamu yakin dengan yang kamu bilang tadi?” tanyaku memastikan, kalau benar itu yang dia katakan. Pasti Bos itu punya tujuan lain, secara logika saja kenapa harus dia yang terjun langsung.‘Kemarin saja saat wawancara dia tidak bisa bicara sendiri, bagaimana cara dia mengajari kami,’ batinku seolah tertawa memikirkannya.Windi belum menjawab pertanyaanku, sepertinya dia juga berpikir. Sampai dia mulai membuka suara lagi. “Kalau di pikir secara logika memang enggak masuk akal, hanya aku berharap itu benar terjadi,” balas Windi, yang membuat aku yakin juga dengan pemikiranku.Aku dan Windi menunggu orang yang akan training kami di tenan ini. Sebenarnya aku sedikit tahu cara menjalanka tenan minuman, Aku hanya takut kalau salah dalam takaran dan jenis minuman yang mau di pasarkan.“Maaf menunggu lama.” Suara yang tidak asing di telingaku.“Mas Andi!” ucapku terkejut. Windi heran aku mengenal mas Andi, sepertinya dia juga kecewa karena yang datang mas Andi“Kalian saling kenal?” tanya nya
Setelah sesi pelatihan itu, suasana di antara kami berangsur tenang. Namun, pikiranku masih terjebak pada pertanyaan tentang Mas Andi dan hubungannya dengan Pak Irawan.“Mas, sebenarnya kamu sama Pak Irawan itu bagaimana?” tanyaku antusias. Tidak lama kemudian, Windi ikut bergabung duduk di dekatku.“Eh, iya. Katanya Mas Andi hanya buruh serabutan di sini?” tanya Windi, yang membuatku bertanya apa maksud pertanyaannya itu.Mas Andi hanya tersenyum. “Namanya karyawan serabutan, itu pasti nggak terikat. Bisa di parkiran, bisa di gudang. Maklum, nggak ada pekerjaan kantor yang cocok buat saya. Inggit sudah tahu dari awal, kenapa bertanya lagi?” jelasnya, membuatku tertawa masam. Ada perasaan bersalah menanyakan hal sensitif ini.“Tapi, Mas, belum jawab tentang Pak Irawan,” kilahku menunggu jawabannya.“Oh, itu. Karena sering membantu pekerjaan di Mal Srikandi, jadi Pak Irawan dekat. Dia baik juga, sering ngasih uang tip.” Aku merasa lega dengan jawabannya kali ini.Ternyata, Mas Andi buk
Setelah sesi pelatihan yang penuh misteri, aku dan Mas Andi pulang bersama. Kami berjalan kaki dari Mal Srikandi, menikmati suasana malam yang sejuk. Suara bising kendaraan di jalanan mulai berkurang, dan hanya ada desahan angin yang menyapa kami.“Sepertinya hari ini cukup melelahkan, ya?” ucap Mas Andi sambil tersenyum.“Iya, tapi aku senang bisa belajar banyak hal. Rasanya ada yang berbeda kali ini,” balasku.Kami melanjutkan perjalanan, dan meski langkah kami lambat, aku merasa senang bisa menghabiskan waktu bersamanya. Namun, ketika kami sampai di rumah, suasana yang hangat dan penuh cinta mendadak tergantikan oleh ketegangan.Setibanya di rumah, kami mendapati Ibu berdiri dengan wajah masam. “Inggit! Ayo ke sini, sama suamimu!” serunya dengan nada mengancam.Mas Andi dan aku saling bertukar pandang. “Ada apa, Bu?” tanyaku dengan cemas.Ibu langsung membuka suara, “Kita butuh uang untuk pesta keluarga Wicaksono. Kalian harus mencarikan uang itu!”Aku terkejut. “Tapi, Bu, kami engg
Mas Andi yang usai membersihkan diri menyegarkan mataku, dia mengusap-usap rambutnya yang basah. Mataku seolah enggan berpaling darinya.“Kenapa masang wajah begitu, kamu mau bujuk mas ya?” Sebuah pertanyaan yang menyadarkan lamunanku kali ini. Aku mendadak gagu bingung mau bicara apa, sampai dia melempar handuk jatuh di pangkuanku.Sembari menekan hidungku, Mas Andi membuka suara lagi. “Buruan mandi, biar segar jadi pikirannya bisa ikut di-refresh ke mode awal. Kalau sekarang masih bahas masalah tadi, kasihan dong, itu gumpalan yang di dalam kepala perlu juga istirahat.”Panjang lebar kalimat yang dia ucapkan, seperti dongeng bagiku. Mataku hampir terpejam, suaranya yang merdu membuatku selalu terkesima.“Loh malah tidur, buruan mandi.” Mas Andi menarik kedua tanganku lalu mengangkat tubuhku sampai tepat di depan pintu kamar mandi. Aku yang terkejut masih terpaku bingung dengan kelakuan suamiku ini, yang dalam pikiranku sebelumnya dia marah perkara guru privat. Kali ini sudah bisa be
Badanku terasa sakit subuh ini, tepat jam 4 aku bangun, membersihkan rumah serta menyiapkan sarapan pagi. Masih ada beberapa menu dari pesan antar Mas Andi semalam. Melihat Ibu tidak ada di dapur, segera aku memanaskan makanan itu takut keburu basi.Suara air wastafel gemericik ternyata diikuti langkah kaki Mas Andi yang sudah menemaniku di dapur.“Mas, kenapa nggak lanjut tidur? Besok kerjaan siapa tahu banyak. Kata Mas ada bongkaran barang datang hari ini,” ujarku mengambil alih piring yang dipegang Mas Andi.Tangan jahilnya memberikan gumpalan busa di hidungku, aku tertawa dan membalasnya. Sampai dia menunjukkan giginya yang putih dan menjawab pertanyaanku padanya.“Kalau Mas bantuin, Inggit bisa balik ke kamar dengan cepat. Kita bisa mandi bareng,” ajaknya dengan senyum nakal di wajah tampannya.Aku tersipu malu, pria ini bisa membuatku makin bucin padanya. Setiap kali dia berbicara berdua saja, selalu mengodaku dengan kata-kata remeh yang membuat wajahku memerah.“Terserahlah,” j
"Mas.... Aku meregek kesal," tidak bisa membalas cibiran Naysila.Tapi ekspresi Mas Andi tetap tenang bagai air mengalir yang tidak ada hambatan. "Kamu sadar gak, dia tadi membuatku marah," omelku padanya.Bukannya memasang wajah marah, dia malah tersenyum dan mengusap wajahku begitu saja. Mas Andi jalan meninggalkanku lebih dulu, kekesalan ini membuatku berlari dan melompat di punggungnya.Aku pikir dengan menggantung di lehernya, dia akan marah dan berbalik memakiku. Tapi malah menggendongku sampai depan mal Srikandi."Apaan sih, malah digendong kayak anak kecil," protesku."Energi kamu udah banyak keluar dari jam 4 tadi, ditambah aku menganggumu dengan ritual pagi. Lalu emosi dan kegaduhan di rumah pagi ini, aku tidak mau kamu memberi muka masam itu kepada para pengunjung di mal," jelasnya yang setelahnya menarik hidungku dengan wajah tersenyum puas.Entah semua penjelasan itu membuatku tersenyum, serta tertunduk malu. Aku menyadari Mas Andi malas menguras energiku sia-sia. Kalau t
“Maksudnya, Pak?” tanyaku spontan.Pak Irawan tertawa, dia seperti mempermainkanku kali ini. Bahkan tawanya itu sangat puas, sampai dia melihat ke satu sudut dan tawanya berhenti seperti ditutup jin.“Enggak, saya hanya bercanda. Tadi emang kesini bareng beliau, tapi banyak bongkaran. Mungkin dia bersama Andi saat ini,” jelas Pak Irawan, yang menurutku tidak penting sekali.Entah kenapa, walau tidak penting, begitu Pak Irawan menyebutkan kedua nama itu, jantungku terus berdegub kencang. Seolah aku menyukai keduanya, sampai aku harus berusaha menepis perasaan aneh di dadaku.“Pak, maaf, izin bertanya,” ujarku, yang menyodorkan nominal di dalam aplikasi Pay Wallet di smartphoneku. Saldo yang masih aku takut untuk menggunakannya.Windi terlihat penasaran, dia ingin mencuri lihat di sampingku. “Apaan sih, Win? Ini bukan masalahku. Tapi ini masalah suamiku yang gaptek,” ujarku meminta Windi menjauh. Ekspresi wajah Pak Irawan kebingungan kali ini, membuatku mengernyitkan dahi.“Pelit amat s