“Maksudnya, Pak?” tanyaku spontan.Pak Irawan tertawa, dia seperti mempermainkanku kali ini. Bahkan tawanya itu sangat puas, sampai dia melihat ke satu sudut dan tawanya berhenti seperti ditutup jin.“Enggak, saya hanya bercanda. Tadi emang kesini bareng beliau, tapi banyak bongkaran. Mungkin dia bersama Andi saat ini,” jelas Pak Irawan, yang menurutku tidak penting sekali.Entah kenapa, walau tidak penting, begitu Pak Irawan menyebutkan kedua nama itu, jantungku terus berdegub kencang. Seolah aku menyukai keduanya, sampai aku harus berusaha menepis perasaan aneh di dadaku.“Pak, maaf, izin bertanya,” ujarku, yang menyodorkan nominal di dalam aplikasi Pay Wallet di smartphoneku. Saldo yang masih aku takut untuk menggunakannya.Windi terlihat penasaran, dia ingin mencuri lihat di sampingku. “Apaan sih, Win? Ini bukan masalahku. Tapi ini masalah suamiku yang gaptek,” ujarku meminta Windi menjauh. Ekspresi wajah Pak Irawan kebingungan kali ini, membuatku mengernyitkan dahi.“Pelit amat s
Setiap malam, aku merenungkan keputusan untuk mengambil langkah ini. Mas Andi selalu ada di sampingku, menguatkan hatiku. Dia tidak pernah mengeluh meski kami bekerja hingga larut malam.Suatu malam, saat kami sedang duduk di depan rumah setelah seharian bekerja, aku menatapnya. "Mas, terima kasih sudah selalu ada untukku. Aku merasa lebih kuat bersamamu."Mas Andi tersenyum. "Kita harus saling mendukung. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama."Namun, saat kami berusaha memperbaiki keadaan, Ibu tampaknya semakin kesal. "Kalian seharusnya bisa lebih baik! Pesta Wicaksono sudah dekat!" teriaknya.Hatiku mulai terbakar lagi. "Bu, kami berusaha! Kami tidak bisa memenuhi semua permintaan tanpa dukungan.""Tapi kamu memilih hidup dengan menantu miskin ini!" Ibu membalas dengan sinis.Aku merasa marah. "Mas Andi bukan hanya menantu, dia suamiku! Tidak ada yang bisa merendahkan dia!"Mendengar kata-kataku, Ibu seakan terdiam. Namun, dia segera menemukan cara untuk kembali menyerang. "Kamu
"Pagi sayang," sapaku.Mas Andi terlihat enggan bangkit dari tempat tidur, aku segera keluar untuk membuat sarapan. Tiba-tiba suara Ibu terdengar mengomel menghampiriku."Nggit, coba kamu tidak menikah dengan dia, kamu pasti tidak harus bersusah payah," ocehnya lagi membuat kupingku panas."Kenapa sih Bu itu terus dibahas, nggak ada habisnya," balas Inggit.Aku lanjut memasak sambil mencuci piring di wastafel, sampai suara Ibu terdengar lagi. Semakin menyulut emosiku."Padahal Arga itu mapan, kamu bisa hidup tanpa harus bekerja dan bersusah payah," ungkap Ibuku yang membuatku geram."Terus kenapa Ibu masih mau? Waktu kakek menawarkan Andi menikah denganku, Ibu takut melawan kakek?" tanyaku yang membuat Ibu langsung membanting pintu kamar mandi.Aku terkejut, jantungku seperti mau copot, bahkan saat ini di pikiranku semua penghuni di dalam rumah juga bangun akibat suara bantingan pintu itu. Tapi, aku pikir sudah berhenti sampai di situ saja, suara kesunyian kembali menemaniku sampai ter
Aku baru merasa lega setelah mendengar penjelasan Mas Andi. Akhirnya masalah uang yang diminta Ibu bisa kami selesaikan tanpa drama tambahan. Namun, naluri dalam diriku seolah terus memanas, memberi firasat bahwa kedamaian ini tidak akan bertahan lama. Apa lagi yang akan Ibu lakukan pada kami? Pikiran itu membuat langkahku terasa berat saat aku dan Mas Andi berjalan menuju mal Srikandi.Di mal, aku memperhatikan gerak-gerik Mas Andi yang sedikit berbeda. Mas Andi terlihat berbisik pada staf Office, lalu menerima sesuatu yang mirip dengan kunci mobil. Kecurigaan langsung menjalar dalam pikiranku. Aku berusaha mendekat tanpa terlihat, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, saat itu juga, seseorang muncul dari arah belakangku. Mas Gunawan, kakak iparku yang bekerjadi juga di mal ini."Sedang apa kamu di sini, Andi?" suara Mas Gunawan terdengar penuh kecurigaan, seperti seorang penjaga yang baru saja menemukan penyusup.Mas Andi terlihat tenang, tetapi nada suaranya tetap rendah.
"Pokoknya, aku nggak mau, Bu!” Aku menolak permintaan Ibuku. Wajah Ibu menjadi merah padam. Dia kesal sekali saat mendengar penolakanku dengan nada tinggi. Ibuku bernama Ana Rahma dan ayahku bernama Delano Wicaksono. Aku sedang berada di ruang tamu bersama mereka membahas masalah perjodohan yang tidak aku inginkan. “Kamu mau buat keluarga Wicaksono malu? Status Arga Dwiguna memang duda, tapi dia kaya raya. Bahkan kalo kamu mau nikah sama dia, kamu bisa lepas dari cap perawan tua!” Suara Ibu semakin meninggi sehingga membuatku kesal, bahkan kali ini aku seperti ingin kabur saja. Namaku Inggit Garnasih Wicaksono, 23 tahun. Aku berasal dari keluarga bangsawan kasta tertinggi nomor empat di negara Dogestan. Aku adalah putri ke-3 dari empat bersaudara. Karena kebiasaan di kotaku yang mengutamakan kasta, hal itulah yang memicu keributan di pagi hari ini. “Dengar baik-baik, Inggit! Hari ini Arga melamar kamu. Jadi, jangan buat malu!" pinta Ibu lagi tanpa memedulikan perasaank
Hari yang kutunggu tiba. Pagi ini, perasaanku gelisah, tetapi aku antusias. “Sumpah! Hari ini aku nikah! Rasanya masih nggak percaya!” pekikku, antara senang, bingung atau mungkin hambar. Aku dan kedua orang tuaku sudah sampai di mansion keluarga Wicaksono. Aku memakai gaun pengantin milik Ibu. Yaitu gaun pengantin berwarna putih dengan brokat burung Phoenix. Gaun ini begitu cocok dengan tubuhku yang ramping. Sejak pernikahan Vanya adikku satu tahun yang lalu, predikat perawan tua sudah sangat melekat di hidupku. Setiap pertemuan keluarga, selalu saja ada yang bertanya, kapan nikah? Sudah punya pacar belum? Ingin rasanya aku menyumpal mulut mereka dengan tisu toilet. Aku sudah berada di ruang tamu, tetapi orang tuaku masih berada di luar menyapa kerabat yang lain. Aku melihat Kakek tersenyum padaku. Lalu, aku duduk berseberangan dengan Kakek. “Inggit sayang, ini Andi Hermawan." Kakek memperkenalkanku pada calon suamiku. Lalu, aku melihat Kakek tersenyum pada Andi. "Andi, in
Walaupun aku pasrah, mengikuti kemauan ibu membuatku sedikit bersedih. Sebenarnya, aku tidak mempermasalahkan asal-usul Andi. Aku juga tidak mempermasalahkan dia miskin ataupun kaya raya! Hanya saja, Ibu tidak mau kami menjadi bahan lelucon bagi keluarga besar keluarga Wicaksono. Ibu ingin Ayahku selalu menjadi nomor satu di keluarga besar meskipun harus mengorbankan anaknya sendiri. “Berhenti!” Suara Kakek memenuhi ruangan. Kali ini, Kakek marah. Apakah Kakek merasa sudah dipermalukan di depan umum? Saat itu juga, aku menahan malu dan sedih bersamaan. Semuanya karena pernikahan sialan ini! Seandainya saja aku menerima Arga, mungkin hanya aku yang akan menderita, tetapi tidak dengan Kakek. Karena nyatanya, justru Kakek yang dipermalukan di depan keluarga besar oleh Ibuku. “Kalo kamu berani pergi selangkah pun dari sini, saya akan minta Delano untuk menceraikan kamu." Kakek mengancam ibu. Aku menelan saliva saat itu juga. Menurutku, selama ini Ibu menikah dengan Ayah demi m
"Jadi ke kamar mandi, enggak? Apa perlu Mas Andi temani? Siapa tau perlu bantuan ... buka resleting bajumu." Dia menggodaku lagi. Aku merasa, Mas Andi sangat senang menggodaku. “Nggak usah, Mas. Aku bisa sendiri,” jawabku yang gugup. Mas Andi hanya tersenyum, lalu membiarkan aku pergi untuk berganti pakaian dan membersihkan diri. Suara air di kamar mandi saat ini, membuatku sedikit tenang. Hingga keluar dengan perasaan canggung, melihat matanya lekat menatapku dalam. Bahkan Mas Andi melihat diriku dari atas sampai kaki. Pasti pikiran kotor melintas di benaknya. Apa dia pikir aku mau langsung melakukan malam pertama? Padahal sampai saat ini, aku masih gemetar dan takut padanya. Aku masih belum siap melakukan semuanya. “Ayo sini! Aku mau kenal kamu lebih dekat,” pintanya sambil menepuk tempat tidur, di sebelahnya bersandar saat ini. “Aku duduk di sini saja,” balasku yang duduk di kursi meja rias. “Kamu mau kakek Wicaksono tau, kalau kita masih asing? Bukankah pernikahan ini k