Hai maaf ya lama gak update, soanya aku harrus ke RS semiggu 3x untuk pengobatan. ini aku udah update lagi ... jangan lupa loh, mas Andi dan Inggit di dukung dengan bintang 5 kalian. terimaksih
Mas Andi yang usai membersihkan diri menyegarkan mataku, dia mengusap-usap rambutnya yang basah. Mataku seolah enggan berpaling darinya.“Kenapa masang wajah begitu, kamu mau bujuk mas ya?” Sebuah pertanyaan yang menyadarkan lamunanku kali ini. Aku mendadak gagu bingung mau bicara apa, sampai dia melempar handuk jatuh di pangkuanku.Sembari menekan hidungku, Mas Andi membuka suara lagi. “Buruan mandi, biar segar jadi pikirannya bisa ikut di-refresh ke mode awal. Kalau sekarang masih bahas masalah tadi, kasihan dong, itu gumpalan yang di dalam kepala perlu juga istirahat.”Panjang lebar kalimat yang dia ucapkan, seperti dongeng bagiku. Mataku hampir terpejam, suaranya yang merdu membuatku selalu terkesima.“Loh malah tidur, buruan mandi.” Mas Andi menarik kedua tanganku lalu mengangkat tubuhku sampai tepat di depan pintu kamar mandi. Aku yang terkejut masih terpaku bingung dengan kelakuan suamiku ini, yang dalam pikiranku sebelumnya dia marah perkara guru privat. Kali ini sudah bisa be
Badanku terasa sakit subuh ini, tepat jam 4 aku bangun, membersihkan rumah serta menyiapkan sarapan pagi. Masih ada beberapa menu dari pesan antar Mas Andi semalam. Melihat Ibu tidak ada di dapur, segera aku memanaskan makanan itu takut keburu basi.Suara air wastafel gemericik ternyata diikuti langkah kaki Mas Andi yang sudah menemaniku di dapur.“Mas, kenapa nggak lanjut tidur? Besok kerjaan siapa tahu banyak. Kata Mas ada bongkaran barang datang hari ini,” ujarku mengambil alih piring yang dipegang Mas Andi.Tangan jahilnya memberikan gumpalan busa di hidungku, aku tertawa dan membalasnya. Sampai dia menunjukkan giginya yang putih dan menjawab pertanyaanku padanya.“Kalau Mas bantuin, Inggit bisa balik ke kamar dengan cepat. Kita bisa mandi bareng,” ajaknya dengan senyum nakal di wajah tampannya.Aku tersipu malu, pria ini bisa membuatku makin bucin padanya. Setiap kali dia berbicara berdua saja, selalu mengodaku dengan kata-kata remeh yang membuat wajahku memerah.“Terserahlah,” j
"Mas.... Aku meregek kesal," tidak bisa membalas cibiran Naysila.Tapi ekspresi Mas Andi tetap tenang bagai air mengalir yang tidak ada hambatan. "Kamu sadar gak, dia tadi membuatku marah," omelku padanya.Bukannya memasang wajah marah, dia malah tersenyum dan mengusap wajahku begitu saja. Mas Andi jalan meninggalkanku lebih dulu, kekesalan ini membuatku berlari dan melompat di punggungnya.Aku pikir dengan menggantung di lehernya, dia akan marah dan berbalik memakiku. Tapi malah menggendongku sampai depan mal Srikandi."Apaan sih, malah digendong kayak anak kecil," protesku."Energi kamu udah banyak keluar dari jam 4 tadi, ditambah aku menganggumu dengan ritual pagi. Lalu emosi dan kegaduhan di rumah pagi ini, aku tidak mau kamu memberi muka masam itu kepada para pengunjung di mal," jelasnya yang setelahnya menarik hidungku dengan wajah tersenyum puas.Entah semua penjelasan itu membuatku tersenyum, serta tertunduk malu. Aku menyadari Mas Andi malas menguras energiku sia-sia. Kalau t
“Maksudnya, Pak?” tanyaku spontan.Pak Irawan tertawa, dia seperti mempermainkanku kali ini. Bahkan tawanya itu sangat puas, sampai dia melihat ke satu sudut dan tawanya berhenti seperti ditutup jin.“Enggak, saya hanya bercanda. Tadi emang kesini bareng beliau, tapi banyak bongkaran. Mungkin dia bersama Andi saat ini,” jelas Pak Irawan, yang menurutku tidak penting sekali.Entah kenapa, walau tidak penting, begitu Pak Irawan menyebutkan kedua nama itu, jantungku terus berdegub kencang. Seolah aku menyukai keduanya, sampai aku harus berusaha menepis perasaan aneh di dadaku.“Pak, maaf, izin bertanya,” ujarku, yang menyodorkan nominal di dalam aplikasi Pay Wallet di smartphoneku. Saldo yang masih aku takut untuk menggunakannya.Windi terlihat penasaran, dia ingin mencuri lihat di sampingku. “Apaan sih, Win? Ini bukan masalahku. Tapi ini masalah suamiku yang gaptek,” ujarku meminta Windi menjauh. Ekspresi wajah Pak Irawan kebingungan kali ini, membuatku mengernyitkan dahi.“Pelit amat s
Setiap malam, aku merenungkan keputusan untuk mengambil langkah ini. Mas Andi selalu ada di sampingku, menguatkan hatiku. Dia tidak pernah mengeluh meski kami bekerja hingga larut malam.Suatu malam, saat kami sedang duduk di depan rumah setelah seharian bekerja, aku menatapnya. "Mas, terima kasih sudah selalu ada untukku. Aku merasa lebih kuat bersamamu."Mas Andi tersenyum. "Kita harus saling mendukung. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama."Namun, saat kami berusaha memperbaiki keadaan, Ibu tampaknya semakin kesal. "Kalian seharusnya bisa lebih baik! Pesta Wicaksono sudah dekat!" teriaknya.Hatiku mulai terbakar lagi. "Bu, kami berusaha! Kami tidak bisa memenuhi semua permintaan tanpa dukungan.""Tapi kamu memilih hidup dengan menantu miskin ini!" Ibu membalas dengan sinis.Aku merasa marah. "Mas Andi bukan hanya menantu, dia suamiku! Tidak ada yang bisa merendahkan dia!"Mendengar kata-kataku, Ibu seakan terdiam. Namun, dia segera menemukan cara untuk kembali menyerang. "Kamu
"Pagi sayang," sapaku.Mas Andi terlihat enggan bangkit dari tempat tidur, aku segera keluar untuk membuat sarapan. Tiba-tiba suara Ibu terdengar mengomel menghampiriku."Nggit, coba kamu tidak menikah dengan dia, kamu pasti tidak harus bersusah payah," ocehnya lagi membuat kupingku panas."Kenapa sih Bu itu terus dibahas, nggak ada habisnya," balas Inggit.Aku lanjut memasak sambil mencuci piring di wastafel, sampai suara Ibu terdengar lagi. Semakin menyulut emosiku."Padahal Arga itu mapan, kamu bisa hidup tanpa harus bekerja dan bersusah payah," ungkap Ibuku yang membuatku geram."Terus kenapa Ibu masih mau? Waktu kakek menawarkan Andi menikah denganku, Ibu takut melawan kakek?" tanyaku yang membuat Ibu langsung membanting pintu kamar mandi.Aku terkejut, jantungku seperti mau copot, bahkan saat ini di pikiranku semua penghuni di dalam rumah juga bangun akibat suara bantingan pintu itu. Tapi, aku pikir sudah berhenti sampai di situ saja, suara kesunyian kembali menemaniku sampai ter
Aku baru merasa lega setelah mendengar penjelasan Mas Andi. Akhirnya masalah uang yang diminta Ibu bisa kami selesaikan tanpa drama tambahan. Namun, naluri dalam diriku seolah terus memanas, memberi firasat bahwa kedamaian ini tidak akan bertahan lama. Apa lagi yang akan Ibu lakukan pada kami? Pikiran itu membuat langkahku terasa berat saat aku dan Mas Andi berjalan menuju mal Srikandi.Di mal, aku memperhatikan gerak-gerik Mas Andi yang sedikit berbeda. Mas Andi terlihat berbisik pada staf Office, lalu menerima sesuatu yang mirip dengan kunci mobil. Kecurigaan langsung menjalar dalam pikiranku. Aku berusaha mendekat tanpa terlihat, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, saat itu juga, seseorang muncul dari arah belakangku. Mas Gunawan, kakak iparku yang bekerjadi juga di mal ini."Sedang apa kamu di sini, Andi?" suara Mas Gunawan terdengar penuh kecurigaan, seperti seorang penjaga yang baru saja menemukan penyusup.Mas Andi terlihat tenang, tetapi nada suaranya tetap rendah.
"Pokoknya, aku nggak mau, Bu!” Aku menolak permintaan Ibuku. Wajah Ibu menjadi merah padam. Dia kesal sekali saat mendengar penolakanku dengan nada tinggi. Ibuku bernama Ana Rahma dan ayahku bernama Delano Wicaksono. Aku sedang berada di ruang tamu bersama mereka membahas masalah perjodohan yang tidak aku inginkan. “Kamu mau buat keluarga Wicaksono malu? Status Arga Dwiguna memang duda, tapi dia kaya raya. Bahkan kalo kamu mau nikah sama dia, kamu bisa lepas dari cap perawan tua!” Suara Ibu semakin meninggi sehingga membuatku kesal, bahkan kali ini aku seperti ingin kabur saja. Namaku Inggit Garnasih Wicaksono, 23 tahun. Aku berasal dari keluarga bangsawan kasta tertinggi nomor empat di negara Dogestan. Aku adalah putri ke-3 dari empat bersaudara. Karena kebiasaan di kotaku yang mengutamakan kasta, hal itulah yang memicu keributan di pagi hari ini. “Dengar baik-baik, Inggit! Hari ini Arga melamar kamu. Jadi, jangan buat malu!" pinta Ibu lagi tanpa memedulikan perasaank