Setelah sesi pelatihan itu, suasana di antara kami berangsur tenang. Namun, pikiranku masih terjebak pada pertanyaan tentang Mas Andi dan hubungannya dengan Pak Irawan.“Mas, sebenarnya kamu sama Pak Irawan itu bagaimana?” tanyaku antusias. Tidak lama kemudian, Windi ikut bergabung duduk di dekatku.“Eh, iya. Katanya Mas Andi hanya buruh serabutan di sini?” tanya Windi, yang membuatku bertanya apa maksud pertanyaannya itu.Mas Andi hanya tersenyum. “Namanya karyawan serabutan, itu pasti nggak terikat. Bisa di parkiran, bisa di gudang. Maklum, nggak ada pekerjaan kantor yang cocok buat saya. Inggit sudah tahu dari awal, kenapa bertanya lagi?” jelasnya, membuatku tertawa masam. Ada perasaan bersalah menanyakan hal sensitif ini.“Tapi, Mas, belum jawab tentang Pak Irawan,” kilahku menunggu jawabannya.“Oh, itu. Karena sering membantu pekerjaan di Mal Srikandi, jadi Pak Irawan dekat. Dia baik juga, sering ngasih uang tip.” Aku merasa lega dengan jawabannya kali ini.Ternyata, Mas Andi buk
Setelah sesi pelatihan yang penuh misteri, aku dan Mas Andi pulang bersama. Kami berjalan kaki dari Mal Srikandi, menikmati suasana malam yang sejuk. Suara bising kendaraan di jalanan mulai berkurang, dan hanya ada desahan angin yang menyapa kami.“Sepertinya hari ini cukup melelahkan, ya?” ucap Mas Andi sambil tersenyum.“Iya, tapi aku senang bisa belajar banyak hal. Rasanya ada yang berbeda kali ini,” balasku.Kami melanjutkan perjalanan, dan meski langkah kami lambat, aku merasa senang bisa menghabiskan waktu bersamanya. Namun, ketika kami sampai di rumah, suasana yang hangat dan penuh cinta mendadak tergantikan oleh ketegangan.Setibanya di rumah, kami mendapati Ibu berdiri dengan wajah masam. “Inggit! Ayo ke sini, sama suamimu!” serunya dengan nada mengancam.Mas Andi dan aku saling bertukar pandang. “Ada apa, Bu?” tanyaku dengan cemas.Ibu langsung membuka suara, “Kita butuh uang untuk pesta keluarga Wicaksono. Kalian harus mencarikan uang itu!”Aku terkejut. “Tapi, Bu, kami engg
Mas Andi yang usai membersihkan diri menyegarkan mataku, dia mengusap-usap rambutnya yang basah. Mataku seolah enggan berpaling darinya.“Kenapa masang wajah begitu, kamu mau bujuk mas ya?” Sebuah pertanyaan yang menyadarkan lamunanku kali ini. Aku mendadak gagu bingung mau bicara apa, sampai dia melempar handuk jatuh di pangkuanku.Sembari menekan hidungku, Mas Andi membuka suara lagi. “Buruan mandi, biar segar jadi pikirannya bisa ikut di-refresh ke mode awal. Kalau sekarang masih bahas masalah tadi, kasihan dong, itu gumpalan yang di dalam kepala perlu juga istirahat.”Panjang lebar kalimat yang dia ucapkan, seperti dongeng bagiku. Mataku hampir terpejam, suaranya yang merdu membuatku selalu terkesima.“Loh malah tidur, buruan mandi.” Mas Andi menarik kedua tanganku lalu mengangkat tubuhku sampai tepat di depan pintu kamar mandi. Aku yang terkejut masih terpaku bingung dengan kelakuan suamiku ini, yang dalam pikiranku sebelumnya dia marah perkara guru privat. Kali ini sudah bisa be
Badanku terasa sakit subuh ini, tepat jam 4 aku bangun, membersihkan rumah serta menyiapkan sarapan pagi. Masih ada beberapa menu dari pesan antar Mas Andi semalam. Melihat Ibu tidak ada di dapur, segera aku memanaskan makanan itu takut keburu basi.Suara air wastafel gemericik ternyata diikuti langkah kaki Mas Andi yang sudah menemaniku di dapur.“Mas, kenapa nggak lanjut tidur? Besok kerjaan siapa tahu banyak. Kata Mas ada bongkaran barang datang hari ini,” ujarku mengambil alih piring yang dipegang Mas Andi.Tangan jahilnya memberikan gumpalan busa di hidungku, aku tertawa dan membalasnya. Sampai dia menunjukkan giginya yang putih dan menjawab pertanyaanku padanya.“Kalau Mas bantuin, Inggit bisa balik ke kamar dengan cepat. Kita bisa mandi bareng,” ajaknya dengan senyum nakal di wajah tampannya.Aku tersipu malu, pria ini bisa membuatku makin bucin padanya. Setiap kali dia berbicara berdua saja, selalu mengodaku dengan kata-kata remeh yang membuat wajahku memerah.“Terserahlah,” j
"Mas.... Aku meregek kesal," tidak bisa membalas cibiran Naysila.Tapi ekspresi Mas Andi tetap tenang bagai air mengalir yang tidak ada hambatan. "Kamu sadar gak, dia tadi membuatku marah," omelku padanya.Bukannya memasang wajah marah, dia malah tersenyum dan mengusap wajahku begitu saja. Mas Andi jalan meninggalkanku lebih dulu, kekesalan ini membuatku berlari dan melompat di punggungnya.Aku pikir dengan menggantung di lehernya, dia akan marah dan berbalik memakiku. Tapi malah menggendongku sampai depan mal Srikandi."Apaan sih, malah digendong kayak anak kecil," protesku."Energi kamu udah banyak keluar dari jam 4 tadi, ditambah aku menganggumu dengan ritual pagi. Lalu emosi dan kegaduhan di rumah pagi ini, aku tidak mau kamu memberi muka masam itu kepada para pengunjung di mal," jelasnya yang setelahnya menarik hidungku dengan wajah tersenyum puas.Entah semua penjelasan itu membuatku tersenyum, serta tertunduk malu. Aku menyadari Mas Andi malas menguras energiku sia-sia. Kalau t
“Maksudnya, Pak?” tanyaku spontan.Pak Irawan tertawa, dia seperti mempermainkanku kali ini. Bahkan tawanya itu sangat puas, sampai dia melihat ke satu sudut dan tawanya berhenti seperti ditutup jin.“Enggak, saya hanya bercanda. Tadi emang kesini bareng beliau, tapi banyak bongkaran. Mungkin dia bersama Andi saat ini,” jelas Pak Irawan, yang menurutku tidak penting sekali.Entah kenapa, walau tidak penting, begitu Pak Irawan menyebutkan kedua nama itu, jantungku terus berdegub kencang. Seolah aku menyukai keduanya, sampai aku harus berusaha menepis perasaan aneh di dadaku.“Pak, maaf, izin bertanya,” ujarku, yang menyodorkan nominal di dalam aplikasi Pay Wallet di smartphoneku. Saldo yang masih aku takut untuk menggunakannya.Windi terlihat penasaran, dia ingin mencuri lihat di sampingku. “Apaan sih, Win? Ini bukan masalahku. Tapi ini masalah suamiku yang gaptek,” ujarku meminta Windi menjauh. Ekspresi wajah Pak Irawan kebingungan kali ini, membuatku mengernyitkan dahi.“Pelit amat s
Setiap malam, aku merenungkan keputusan untuk mengambil langkah ini. Mas Andi selalu ada di sampingku, menguatkan hatiku. Dia tidak pernah mengeluh meski kami bekerja hingga larut malam.Suatu malam, saat kami sedang duduk di depan rumah setelah seharian bekerja, aku menatapnya. "Mas, terima kasih sudah selalu ada untukku. Aku merasa lebih kuat bersamamu."Mas Andi tersenyum. "Kita harus saling mendukung. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama."Namun, saat kami berusaha memperbaiki keadaan, Ibu tampaknya semakin kesal. "Kalian seharusnya bisa lebih baik! Pesta Wicaksono sudah dekat!" teriaknya.Hatiku mulai terbakar lagi. "Bu, kami berusaha! Kami tidak bisa memenuhi semua permintaan tanpa dukungan.""Tapi kamu memilih hidup dengan menantu miskin ini!" Ibu membalas dengan sinis.Aku merasa marah. "Mas Andi bukan hanya menantu, dia suamiku! Tidak ada yang bisa merendahkan dia!"Mendengar kata-kataku, Ibu seakan terdiam. Namun, dia segera menemukan cara untuk kembali menyerang. "Kamu
"Pagi sayang," sapaku.Mas Andi terlihat enggan bangkit dari tempat tidur, aku segera keluar untuk membuat sarapan. Tiba-tiba suara Ibu terdengar mengomel menghampiriku."Nggit, coba kamu tidak menikah dengan dia, kamu pasti tidak harus bersusah payah," ocehnya lagi membuat kupingku panas."Kenapa sih Bu itu terus dibahas, nggak ada habisnya," balas Inggit.Aku lanjut memasak sambil mencuci piring di wastafel, sampai suara Ibu terdengar lagi. Semakin menyulut emosiku."Padahal Arga itu mapan, kamu bisa hidup tanpa harus bekerja dan bersusah payah," ungkap Ibuku yang membuatku geram."Terus kenapa Ibu masih mau? Waktu kakek menawarkan Andi menikah denganku, Ibu takut melawan kakek?" tanyaku yang membuat Ibu langsung membanting pintu kamar mandi.Aku terkejut, jantungku seperti mau copot, bahkan saat ini di pikiranku semua penghuni di dalam rumah juga bangun akibat suara bantingan pintu itu. Tapi, aku pikir sudah berhenti sampai di situ saja, suara kesunyian kembali menemaniku sampai ter
"Kalau kamu merasa dirugikan, Gunawan," Laras melanjutkan dengan senyum yang penuh arti, "lebih baik kita bicara seperti orang dewasa. Tidak perlu mengerahkan tangan untuk membuktikan siapa yang lebih kuat. Kalau mau berdebat, mari berdiskusi dengan tenang." Nadanya sepertinya sedikit mengejek, namun tetap penuh dengan kelas dan kecerdasan. Laras selalu punya cara untuk melontarkan sindiran tanpa kehilangan kewibawaannya.Gunawan menatap Laras dengan penuh kebencian, namun dia tidak melawan. Ada semacam kebingungan yang terpancar dari wajahnya dan aku tahu, dia sedang berjuang untuk mengendalikan dirinya.Tapi, apa yang bisa dilakukan seseorang yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa dia bukanlah satu-satunya yang berkuasa? Aku bisa merasakan ketegangan semakin meningkat, tapi ada hal yang lebih besar yang sedang terjadi di balik semua ini.Mas Andi, dengan ketenangannya, malah menunjukkan pada kita bahwa kadang keheningan lebih berbicara banyak daripada kemarahan.Aku menyandarkan p
Suasana ruangan itu terasa begitu padat. Ketegangan yang semula meletup, kini mulai mereda, namun ada bekasnya. Aku bisa merasakan udara di sekelilingku yang terasa berat. Andi, meskipun baru saja dijatuhkan dan dihina dengan begitu kejam, tetap berdiri tegak.Ada ketenangan dalam dirinya yang benar-benar memukau. Aku selalu tahu dia tidak mudah terpengaruh oleh orang lain, tapi aku tak pernah menyangka dia bisa tetap sabar dan tenang dalam kondisi yang begitu memanas.Mas Andi menatap Gunawan sejenak, matanya tajam, tetapi tidak menunjukkan rasa marah sedikit pun. Dia mengangkat wajahnya yang sempat tertunduk karena luka kecil akibat terjatuh dan dengan senyum tipis, dia berkata, “Saya mungkin jatuh, tapi itu tidak membuat saya kalah. Kalau ada yang mau berdiskusi lebih jauh, saya di sini.”Aku terdiam sesaat, terkesima oleh cara Mas Andi menghadapinya. Dia begitu santai, bahkan bisa tersenyum dalam situasi yang hampir tidak bisa dipercaya ini. Setiap kata yang keluar dari mulutnya t
“Tidak masuk akal,” gumam Naysila yang menatapku tajam.Aku merasakan ketegangan yang semakin membara di ruangan itu. Suara detak jantungku terdengar begitu keras, hampir bersaing dengan suara langkah kaki Gunawan yang kini berdiri dengan ekspresi yang tidak bisa kuartikan. Semua mata tertuju padanya, dan aku bisa merasakan hawa panas yang mulai menyelimuti ruangan. Aku tahu dia pasti marah, marah yang meledak-ledak dan tak terkendali.Gunawan berdiri dengan wajah yang memerah, seolah amarahnya memuncak. "Kek," katanya dengan suara yang hampir bergetar karena kekesalan. "Apa ini tidak terlalu berlebihan? Andi bahkan belum lama menjadi bagian dari keluarga besar ini. Saya yang sudah lama mengabdi dan bekerja keras, kok bisa begitu saja disingkirkan? Ini tidak adil!"Aku menatap Gunawan dengan cemas. Suaranya menggelegar, mengisi ruang makan yang sebelumnya tenang. Aku bisa merasakan gemuruh amarahnya yang hampir tidak bisa dibendung.“Ini bukan keputusanku, akupun tidak tau kalau Andi
Kata-kata itu menggantung di udara seperti petir yang menggelegar. Aku bisa merasakan dadaku berdetak lebih cepat, hatiku penuh dengan pertanyaan. “Komisaris Bramasta Group?” pikirku, masih mencoba mencerna apa yang baru saja Kakek katakan.Bramasta Group adalah nama besar yang tak bisa dipandang sebelah mata. Itu adalah sebuah kerajaan bisnis yang menguasai banyak sektor, dari properti hingga teknologi, dan memiliki jaringan yang sangat kuat. Jadi, bagaimana bisa Andi, yang selama ini dianggap hanya sebagai “kurir,” menjadi perwakilan resmi yang dipercayakan untuk membawa pesan dari mereka?Aku menatap mas Andi dengan rasa bangga yang semakin dalam, meskipun aku tahu bahwa ini adalah awal dari sebuah babak baru yang penuh tantangan dan ketidakpastian. Namun, aku juga bisa merasakan adanya sebuah kegelisahan dalam hatiku. Bagaimana jika Kakek mengharapkan terlalu banyak dari mas Andi? Apa yang sebenarnya akan terjadi selanjutnya?Ibu Ana yang duduk di sebelahku, terlihat semakin pucat
“Apa itu saya, Kek? Tentu saya siap untuk mewakili The Next King Bramasta,” kata Gunawan dengan nada yang lebih tinggi, seolah-olah sudah menganggap dirinya sebagai pilihan utama. Matanya sedikit menyipit, berharap agar Kakek menanggapi dengan cara yang sama seperti yang dia harapkan.Namun, Kakek hanya mengangguk pelan, memberikan jeda yang semakin menambah ketegangan di ruangan itu. Semua orang, termasuk aku, menunggu dengan cemas. Apa yang akan Kakek katakan selanjutnya?Aku setelah mendengar ucapan Gunawan juga sempat berpikir hal yang sama, kalian tau dia posisinya juga lumayan tinggi di mal Srikandi untuk keluarga Wicaksono di banding yang lainnya.Kakek kemudian mengalihkan pandangannya ke arah mas Andi dan sebuah senyum tipis muncul di bibirnya. “Tentu, saya rasa Andi yang akan menjadi perwakilan beliau. Dia yang akan menyampaiakan pesan dari The Next King Bramasta,” ujar Kakek dengan tegas.Suasana di ruangan itu seketika menjadi hening. Gunawan, yang tadinya merasa yakin bah
Suasana yang tadinya sedikit tegang dan penuh sindiran berubah seketika. Saat pintu ruang makan terbuka dengan suara berderit, semua mata langsung tertuju pada sosok yang masuk. Kakek Wicaksono, yang selalu memiliki daya tarik tak terelakkan, berdiri dengan tegap di ambang pintu. Semua tamu yang semula tenggelam dalam percakapan mereka langsung berdiri, memberikan penghormatan dengan sikap yang penuh respek, seolah-olah dunia di sekitar kami tiba-tiba berhenti sejenak.Kakek Wicaksono adalah pusat gravitasi di keluarga ini dan kehadirannya selalu membuat ruang penuh dengan wibawa, tanpa perlu berkata banyak. Senyum ramah namun penuh kekuatan itu, yang selalu aku lihat sejak kecil, masih sama, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menyiratkan bahwa dia membawa kabar penting.“Apa kabar, semuanya?” Kakek menyapa dengan suara tegas namun penuh kehangatan. Matanya yang tajam memindai satu per satu wajah yang hadir, memberi kesan bahwa dia mampu menilai apa pun hanya dengan
“Apa aku terlalu keras tadi?” bisik Laras, sembari menyesap air mineral dari gelasnya.Aku menggeleng kecil. “Tidak, kamu melakukan hal yang benar. Mereka butuh mendengar itu, terutama Gunawan.”Walau sebenarnya aku tahu, pasti mereka akan melakukan segala cara untuk membuat mas Andi dan aku malu nantinya. Hanya sampai saat ini kakek Wicaksono masih belum terlihat.Laras tersenyum tipis, seolah lega. “Kadang, aku hanya ingin memastikan bahwa aku tidak melewati batas.”“Kalau pun iya,” balasku sambil menatapnya, “itu batas yang memang sudah seharusnya dilanggar.”Laras tertawa kecil, melonggarkan suasana yang sempat tegang beberapa saat sebelumnya. Namun, sebelum percakapan kami berlanjut, aku menangkap tatapan samar seseorang yang duduk tidak jauh dari kami.Dia terlihat sibuk berbicara dengan orang di sebelahnya, tapi aku tahu dia mendengar. Cara dia melirik sesekali, dengan sudut senyumnya yang tipis, sudah cukup memberi tanda bahwa dia tahu ada sesuatu yang terjadi di meja ini.“Si
Makan malam itu seperti dirancang untuk menjadi panggung drama penuh jebakan. Setiap kata yang keluar dari mulut Gunawan terasa seperti pisau, tepat mengincar titik paling rentanku. Sejujurnya, aku merasa seperti sedang ditonton dalam acara yang sengaja dibuat untuk membuatku tak nyaman.Gunawan, dengan senyum sinisnya yang seperti trademark, memulai. "Andi, sekarang kerja apa? Masih buruh serabutan?"Aku menahan napas. Rasanya semua orang di meja ini sedang menatap kami, menunggu reaksiku. Tapi Andi, seperti biasa, tetap tenang. Bahkan dia tersenyum, senyum tipis yang jelas-jelas adalah bentuk kontrol diri."Sekarang jadi kurir, Mas," jawabnya santai. "Lumayan, kerja sambil olahraga."Aku bisa merasakan suasana di meja berubah. Udara jadi lebih kaku. Aku tahu Gunawan belum selesai.Gunawan tertawa keras, seperti sengaja menarik perhatian semua orang. "Kurir? Wah, cocok banget sama kamu! Pantesan si Inggit kelihatan makin kurus, ya. Pengaruh dari suami kayaknya."Kalimat itu menghanta
Di tengah acara yang semakin terasa menegangkan, aku merasa seolah-olah terjebak dalam sebuah drama yang tak berujung. Setiap kata yang terucap di antara kami seakan berisi lapisan-lapisan ketegangan, semua berkutat pada bisnis keluarga dan tradisi yang berat. Pandanganku menyapu ruangan, dan aku merasa semakin terperangkap dalam atmosfer yang penuh dengan ketidaknyamanan.”Aku ngak nyaman, sesak di sini,”gumamku lirih mengeluh.Andi duduk di sampingku, senyumannya lelah, mencoba untuk mengerti situasi, meskipun jelas raut cemas mulai terlihat di wajahnya. Aku bisa merasakannya, betapa beratnya bagi dia untuk berada di sini, di tengah keluarga yang penuh dengan tatapan sinis dan kata-kata tajam yang seolah tak pernah berhenti mengarah padaku.”Sabar, ada kejutan nantinya,” ujarnya tetap berusaha terlihat nyaman.”Kamu sok nyaman mas, padahal kamu juga bosan,” protesku yang di balas senyuman dan tatapan tajamnya.Namun, tiba-tiba, di tengah obrolan yang semakin panas, seseorang muncul d