Aku masih penasaran dengan pemimpin mal Srikandi ini, selama wawancara dia hanya bertbisik di telinga pak Irawan yang selanjutnya menyampaikan padaku. Apakah suaranya sebegitu rahasia? Bahkan hanya pak Irawan yang boleh mendengarkannya.“Nona, apakah selama percobaan bersedia menjadi SPG di salah satu tenan di mal ini?” tanyanya, dengan wajah sedikit takut-takut, Aku ingin tertawa tapi aku tahan.Bayangkan seorang pemimpin, sengaja mewawancarai secara langsung untuk mempekerjakan di tenan mal. Bukan sebagai staf, unik banget? Sebegitu beruntungnya kah aku, sampai harus beliau yang wawancara. Padahal pekerjaan seremeh ini cukup HRD bagian tenan yang merekrutku.“Saya bersedia, bahkan di letakkan di mana saja saya bersedia,” jawabku dengan senyum tipis.Dia berbisik lagi, yang selanjutnya di sampaikan oleh pak Irawan. “Kalau menjadi Istri Tuan muda?”Aku langsung menelan saliva dalam, rasanya ingin mengumpat tapi tidak sopan. ‘Sumpah, ngak waras ini orang. Sudah jelas-jelas di CV aku st
Aku tidak sabar ingin bercerita dengan mas Andi, segera ku berlari ke halaman parkir di mal Srikandi. Berjalan kecil mencari sosok mas Andi, hanya saja sudah hampir dua kali berkeliling tidak aku dapatkan mas Andi, apa kah dia masih di rumah?Teringat kembali postur tinggi mas Andi dan tuan Muda digin itu, mungkin kalau mas Andi memiliki keberuntungan sama seperti dia akan lebih mantap di mata keluargaku, Aku hanya ingin keberuntungan yang di miliki King Bramasta. Sedangkan sifat dan keramahan aku ingin mas Andi, tetap mas Andi sekarang.Bayangan dan impian konyol itu mengelayut di pikiranku saat ini sampai aku tertawa geli sendirian, beberapa mata memperhatikanku kali ini, bahkan ada yang tertawa secara diam- diam saat melintas. Konyol mereka pikir aku gila, akhirnya aku putuskan untuk pulang ke rumah.Masih dengan perasaan bahagia aku membuka pagar yang sanggat tinggi, bahkan tingginya melebihi mas Andi. Teringan saat aku masih usia 7 tahun. Saat itu Ibu sangat marah padaku, untung
“Sudah siap, sayang!?” tanya mas Andi yang menungguku di depan kamar.Aku hari ini sudah bangun sangat pagi, menyelesaikan rumah utama. Bahkan menyiapkan sarapan sampai makan siang, sehingga pagi ini aku sudah bersiap-siap berangkat kerja di mal Srikandi.“Sudah siap, ayo kita berangkat Mas,” ajakku yang menutup pintu kamar.Hampir lupa, hari ini kami sudah tidur di rumah utama . Kamar belakang di persiapkan untuk acara keluarga besar kasta Wicaksono, kemungkinan minggu depan sih acaranya. Langkah mas Andi berdampingan denganku menuruni anak tangga, sedangkan di meja makan sudah ada ayah bersama Ibu, pasukan yang lain masih belum keluar dari kamar mereka masing-masing.“Enggak sarapan dulu, Nggit?” tanya Ayah yang menyapa saat kami menuruni anak tangga.“Sudah bawa bekal, nanti kami sarapan di sana saja,” balasku singkat sembari berpamitan.“Hati-hati di jalan, tetap semangat bekerjanya. Jangan lupa minggu depan ada acara di rumah, jadi usahakan minta libur sama Bos mu,” balas Ayah
“Kamu yakin dengan yang kamu bilang tadi?” tanyaku memastikan, kalau benar itu yang dia katakan. Pasti Bos itu punya tujuan lain, secara logika saja kenapa harus dia yang terjun langsung.‘Kemarin saja saat wawancara dia tidak bisa bicara sendiri, bagaimana cara dia mengajari kami,’ batinku seolah tertawa memikirkannya.Windi belum menjawab pertanyaanku, sepertinya dia juga berpikir. Sampai dia mulai membuka suara lagi. “Kalau di pikir secara logika memang enggak masuk akal, hanya aku berharap itu benar terjadi,” balas Windi, yang membuat aku yakin juga dengan pemikiranku.Aku dan Windi menunggu orang yang akan training kami di tenan ini. Sebenarnya aku sedikit tahu cara menjalanka tenan minuman, Aku hanya takut kalau salah dalam takaran dan jenis minuman yang mau di pasarkan.“Maaf menunggu lama.” Suara yang tidak asing di telingaku.“Mas Andi!” ucapku terkejut. Windi heran aku mengenal mas Andi, sepertinya dia juga kecewa karena yang datang mas Andi“Kalian saling kenal?” tanya nya
Setelah sesi pelatihan itu, suasana di antara kami berangsur tenang. Namun, pikiranku masih terjebak pada pertanyaan tentang Mas Andi dan hubungannya dengan Pak Irawan.“Mas, sebenarnya kamu sama Pak Irawan itu bagaimana?” tanyaku antusias. Tidak lama kemudian, Windi ikut bergabung duduk di dekatku.“Eh, iya. Katanya Mas Andi hanya buruh serabutan di sini?” tanya Windi, yang membuatku bertanya apa maksud pertanyaannya itu.Mas Andi hanya tersenyum. “Namanya karyawan serabutan, itu pasti nggak terikat. Bisa di parkiran, bisa di gudang. Maklum, nggak ada pekerjaan kantor yang cocok buat saya. Inggit sudah tahu dari awal, kenapa bertanya lagi?” jelasnya, membuatku tertawa masam. Ada perasaan bersalah menanyakan hal sensitif ini.“Tapi, Mas, belum jawab tentang Pak Irawan,” kilahku menunggu jawabannya.“Oh, itu. Karena sering membantu pekerjaan di Mal Srikandi, jadi Pak Irawan dekat. Dia baik juga, sering ngasih uang tip.” Aku merasa lega dengan jawabannya kali ini.Ternyata, Mas Andi buk
Setelah sesi pelatihan yang penuh misteri, aku dan Mas Andi pulang bersama. Kami berjalan kaki dari Mal Srikandi, menikmati suasana malam yang sejuk. Suara bising kendaraan di jalanan mulai berkurang, dan hanya ada desahan angin yang menyapa kami.“Sepertinya hari ini cukup melelahkan, ya?” ucap Mas Andi sambil tersenyum.“Iya, tapi aku senang bisa belajar banyak hal. Rasanya ada yang berbeda kali ini,” balasku.Kami melanjutkan perjalanan, dan meski langkah kami lambat, aku merasa senang bisa menghabiskan waktu bersamanya. Namun, ketika kami sampai di rumah, suasana yang hangat dan penuh cinta mendadak tergantikan oleh ketegangan.Setibanya di rumah, kami mendapati Ibu berdiri dengan wajah masam. “Inggit! Ayo ke sini, sama suamimu!” serunya dengan nada mengancam.Mas Andi dan aku saling bertukar pandang. “Ada apa, Bu?” tanyaku dengan cemas.Ibu langsung membuka suara, “Kita butuh uang untuk pesta keluarga Wicaksono. Kalian harus mencarikan uang itu!”Aku terkejut. “Tapi, Bu, kami engg
Mas Andi yang usai membersihkan diri menyegarkan mataku, dia mengusap-usap rambutnya yang basah. Mataku seolah enggan berpaling darinya.“Kenapa masang wajah begitu, kamu mau bujuk mas ya?” Sebuah pertanyaan yang menyadarkan lamunanku kali ini. Aku mendadak gagu bingung mau bicara apa, sampai dia melempar handuk jatuh di pangkuanku.Sembari menekan hidungku, Mas Andi membuka suara lagi. “Buruan mandi, biar segar jadi pikirannya bisa ikut di-refresh ke mode awal. Kalau sekarang masih bahas masalah tadi, kasihan dong, itu gumpalan yang di dalam kepala perlu juga istirahat.”Panjang lebar kalimat yang dia ucapkan, seperti dongeng bagiku. Mataku hampir terpejam, suaranya yang merdu membuatku selalu terkesima.“Loh malah tidur, buruan mandi.” Mas Andi menarik kedua tanganku lalu mengangkat tubuhku sampai tepat di depan pintu kamar mandi. Aku yang terkejut masih terpaku bingung dengan kelakuan suamiku ini, yang dalam pikiranku sebelumnya dia marah perkara guru privat. Kali ini sudah bisa be
Badanku terasa sakit subuh ini, tepat jam 4 aku bangun, membersihkan rumah serta menyiapkan sarapan pagi. Masih ada beberapa menu dari pesan antar Mas Andi semalam. Melihat Ibu tidak ada di dapur, segera aku memanaskan makanan itu takut keburu basi.Suara air wastafel gemericik ternyata diikuti langkah kaki Mas Andi yang sudah menemaniku di dapur.“Mas, kenapa nggak lanjut tidur? Besok kerjaan siapa tahu banyak. Kata Mas ada bongkaran barang datang hari ini,” ujarku mengambil alih piring yang dipegang Mas Andi.Tangan jahilnya memberikan gumpalan busa di hidungku, aku tertawa dan membalasnya. Sampai dia menunjukkan giginya yang putih dan menjawab pertanyaanku padanya.“Kalau Mas bantuin, Inggit bisa balik ke kamar dengan cepat. Kita bisa mandi bareng,” ajaknya dengan senyum nakal di wajah tampannya.Aku tersipu malu, pria ini bisa membuatku makin bucin padanya. Setiap kali dia berbicara berdua saja, selalu mengodaku dengan kata-kata remeh yang membuat wajahku memerah.“Terserahlah,” j
Di tempat kerja, ketegangan semakin terasa. Orang-orang mulai lebih terbuka dengan sikap mereka, dan setiap kata yang terlontar membuat hatiku semakin tergerus.“Nggit dengar-dengar kamu masih dari kasta Wicaksono,” celetuk seseorang yang bersama Lela, aku langsung terkejut mendengarpertanyaannya itu.Belum juga aku menjawab Lela langsung memotongnya, “Percuma kalau terlahir dari keluarga kasta tapi suaminya buruh serabutan.” Sambil tertawa Lela bersama temannya.“Benar perkataanmu Lela, aku jadi merasa kecewa dengan sistem kasta di kota ini. Karena, orang-orang seperti dia ini yanhg menjatuhkannya.” Mata wanita itu penuh ejekan aku sangat ingin membalasnya tapi Lela seperti menyadari apa yang ingin aku lakukan.“Sudahlah, pergi dari sini, buang-buang waktu saja,” ucap Lela yang melempar tawa padaku.Sebelum mereka pergi Lela berbisik tajam, &ldq
Pagi itu, seperti biasa, aku dan mas Andi berangkat bekerja bersama. Tapi suasana di antara kami berbeda, ada ketegangan yang tersisa di udara, meskipun kami berusaha terlihat biasa saja. Kami berjalan di sepanjang trotoar, kaki kami terbenam dalam pemikiran masing-masing. Aku bisa merasakan beban di pundaknya, entah mengapa, aku merasa beban itu sekarang juga menjadi milikku.Di tempat kerja, aku berusaha fokus. Namun, segala sesuatu yang terjadi di luar pekerjaanku terus mengganggu pikiranku. Lela, teman-temanku dan semua suara yang meremehkan mas Andi seperti bayangan yang menempel di kepala. Setiap tatapan, setiap bisikan yang mereka lemparkan, aku tahu bahwa ini tidak akan pernah berakhir. Mereka tak akan berhenti berusaha mengubah pikiranku tentang mas Andi.“Nggit, aku mau antar ini dulu ke gudang,” ucap Windi, yang mengagetkanku dari lamunan.“Oh, iya.”Aku membalas singkat. Windi terlihat
"Inggit, aku tidak mengerti kenapa kamu bertahan dengan orang seperti Andi," suara Lela memecah keheningan di ruang tamu. Suaranya terdengar lembut, tapi menyimpan nada tajam yang tak bisa disembunyikan.Aku meletakkan cangkir teh yang belum sempat kuminum, merasa dadaku mendidih. "Lela, Andi adalah suamiku. Kenapa kamu bicara seolah-olah aku tidak punya pilihan dalam hidupku?"Lela mendekatkan dirinya padaku, menatap lurus ke mataku dengan ekspresi prihatin yang dibuat-buat. "Aku hanya ingin yang terbaik untukmu, Nggit. Kamu tahu aku selalu mendukungmu. Kamu perempuan cerdas, punya pekerjaan bagus, cantik. Kamu bisa hidup dengan seseorang yang sepadan. Kenapa harus mempertahankan dia?"Aku menarik napas panjang, berusaha menjaga agar emosiku tidak meledak di hadapannya. Tangan Andi yang kurasakan di bahuku tadi pagi, masih terasa seperti bayang-bayang perlindungan yang dia berikan. "Lela, mas Andi mungkin bukan orang ka
Esoknya, aku kembali bekerja dengan pikiran yang penuh amarah terpendam. Pekerjaan yang seharusnya bisa kuselesaikan dengan tenang terasa begitu sulit, setiap suara, setiap pandangan dari rekan-rekan kerja seperti membawa kembali semua hinaan dan ejekan yang selama ini mereka lemparkan pada mas Andi.“Win aku ijin istirahat lebih dulu, ya? Soalnya aku mau nemuin, teman sekolahku dulu,” ujarku saat itu yang di balas anggukan oleh Windi.Di waktu istirahat, aku tidak bisa menahan diriku lagi. Aku mendekati Lela, yang sedang duduk dengan rekan-rekan lain di kantin. Mereka berhenti berbicara saat aku tiba, aku bisa merasakan ketegangan yang mulai terbentuk."Lela, kita perlu bicara."Aku memanggilnya, berdiri tepat di depannya duduk.Dia mendongak, tampak terkejut menatap wajahku, tapi berusaha mempertahankan ekspresi tenangnya. "Ada apa, Nggit?"Aku menatapnya tajam, tak
Detik itu juga, kata-katanya seperti pisau yang menusuk hatiku. Aku berdiri terpaku, tidak percaya bahwa kata-kata penuh kebencian itu keluar dari mulut adikku sendiri. Aku mencoba bicara, namun suaraku seakan tercekat di tenggorokan. Mas Andi menggenggam tanganku, memberi isyarat agar aku tidak tersulut lebih jauh.Namun, emosi itu sudah tak terbendung lagi. Aku menarik napas panjang, lalu menatap Vanya dengan tatapan penuh luka dan kekecewaan. "Kamu tahu, Vanya, kebencianmu ini tidak akan membawamu ke mana-mana. Kamu boleh menghina mas Andi, tapi jangan lupa, Kakek memilihnya untukku dengan sadar, dengan sepenuh hati. Kalau kamu tidak bisa menghargainya, maka mungkin kamu juga tidak perlu menghargai kakek sebagai orang tertua di keluarga ini."Wajah Vanya mengeras, tapi dia memilih diam, tak lagi membalas. Kami berdiri dalam keheningan yang menusuk, sampai akhirnya mas Andi menarikku pergi, mengakhiri pertikaian yang terasa membekas dalam benakku.“Ayo kita jalan-jalan lagi, biar te
"Apa-apaan ini, kalian? Baru pulang sudah membuat keributan lagi!" Ibu berkata dengan nada penuh ketidaksukaan. Tatapannya langsung tertuju pada Mas Andi, seolah mencari alasan untuk menyalahkannya lagi."Ibu, ini tidak benar," ujarku, mencoba menahan emosi. "Vanya menuduh Mas Andi tanpa bukti!"Namun, Ibu hanya mendengus dan aku bisa melihat ketidakpedulian dalam matanya. "Perhiasan itu mahal, Inggit. Dan bukankah sudah jelas siapa yang paling mungkin menginginkannya?"Aku merasa darahku mendidih. Mereka memperlakukan Mas Andi seolah dia bukan bagian dari keluarga, seolah dia adalah ancaman. Aku memandang wajah Mas Andi, yang tetap tenang, tapi aku tahu di dalam dirinya, ada amarah yang sedang ditahan.Akhirnya, Mas Andi angkat bicara, suaranya pelan namun tegas. "Saya tidak pernah mencuri, Bu. Apa yang Ibu tuduhkan terlalu jauh."Mata Ibu berkilat dan Mas Andi berbalik pada Vanya. "Coba cari baik-baik, Vanya. Pastikan di mana terakhir kamu meletakkannya. Jangan sembarangan menuduh o
Aku baru merasa lega setelah mendengar penjelasan Mas Andi. Akhirnya masalah uang yang diminta Ibu bisa kami selesaikan tanpa drama tambahan. Namun, naluri dalam diriku seolah terus memanas, memberi firasat bahwa kedamaian ini tidak akan bertahan lama. Apa lagi yang akan Ibu lakukan pada kami? Pikiran itu membuat langkahku terasa berat saat aku dan Mas Andi berjalan menuju mal Srikandi.Di mal, aku memperhatikan gerak-gerik Mas Andi yang sedikit berbeda. Mas Andi terlihat berbisik pada staf Office, lalu menerima sesuatu yang mirip dengan kunci mobil. Kecurigaan langsung menjalar dalam pikiranku. Aku berusaha mendekat tanpa terlihat, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, saat itu juga, seseorang muncul dari arah belakangku. Mas Gunawan, kakak iparku yang bekerjadi juga di mal ini."Sedang apa kamu di sini, Andi?" suara Mas Gunawan terdengar penuh kecurigaan, seperti seorang penjaga yang baru saja menemukan penyusup.Mas Andi terlihat tenang, tetapi nada suaranya tetap rendah.
"Pagi sayang," sapaku.Mas Andi terlihat enggan bangkit dari tempat tidur, aku segera keluar untuk membuat sarapan. Tiba-tiba suara Ibu terdengar mengomel menghampiriku."Nggit, coba kamu tidak menikah dengan dia, kamu pasti tidak harus bersusah payah," ocehnya lagi membuat kupingku panas."Kenapa sih Bu itu terus dibahas, nggak ada habisnya," balas Inggit.Aku lanjut memasak sambil mencuci piring di wastafel, sampai suara Ibu terdengar lagi. Semakin menyulut emosiku."Padahal Arga itu mapan, kamu bisa hidup tanpa harus bekerja dan bersusah payah," ungkap Ibuku yang membuatku geram."Terus kenapa Ibu masih mau? Waktu kakek menawarkan Andi menikah denganku, Ibu takut melawan kakek?" tanyaku yang membuat Ibu langsung membanting pintu kamar mandi.Aku terkejut, jantungku seperti mau copot, bahkan saat ini di pikiranku semua penghuni di dalam rumah juga bangun akibat suara bantingan pintu itu. Tapi, aku pikir sudah berhenti sampai di situ saja, suara kesunyian kembali menemaniku sampai ter
Setiap malam, aku merenungkan keputusan untuk mengambil langkah ini. Mas Andi selalu ada di sampingku, menguatkan hatiku. Dia tidak pernah mengeluh meski kami bekerja hingga larut malam.Suatu malam, saat kami sedang duduk di depan rumah setelah seharian bekerja, aku menatapnya. "Mas, terima kasih sudah selalu ada untukku. Aku merasa lebih kuat bersamamu."Mas Andi tersenyum. "Kita harus saling mendukung. Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama."Namun, saat kami berusaha memperbaiki keadaan, Ibu tampaknya semakin kesal. "Kalian seharusnya bisa lebih baik! Pesta Wicaksono sudah dekat!" teriaknya.Hatiku mulai terbakar lagi. "Bu, kami berusaha! Kami tidak bisa memenuhi semua permintaan tanpa dukungan.""Tapi kamu memilih hidup dengan menantu miskin ini!" Ibu membalas dengan sinis.Aku merasa marah. "Mas Andi bukan hanya menantu, dia suamiku! Tidak ada yang bisa merendahkan dia!"Mendengar kata-kataku, Ibu seakan terdiam. Namun, dia segera menemukan cara untuk kembali menyerang. "Kamu