“Mas, aku kerumah utama ya, sarapan sudah aku letakkan di atas meja!” teriakku yang sengaja tidak ingin bertemu dengan mas Andi lagi. Masih malu sangat untuk bertatapan dengan wajahnya, yang tergambar semua kejadian belah duren menari-nari dipikiranku.Dengan santai aku menuju rumah utama, seperti biasa mereka belum melakukan aktifitas. Jam kantor mereka jam 8, baru karyawan masuk kerja dan Gunawan biasanya jam begini masih baru membuka mata bersama istrinya.Sedangkan penghuni lainnya sudah pasti sibuk di dalam kamarnya layaknya nyonya besar, Vanya paling di manja oleh Ibu di karenakan Aryo merupakan salah satu kepala cabang di perbankan kota Seroja. Relasinya adalah orang-orang penting. Hanya saja dia masih berusaha bisa bertemu dengan pemilik mal Srikandi, yang kono katanya sangat misterius.Menurut rumor yang beredar pemilik mal Srikandi adalah salah satu keturunan dari pemimpin kasta tertinggi Dogestan, ada juga yang mengatakan tunangan dari Rere Prasetyo salah satu pewaris Pras
“Tuan Delano, bagaimana bisa menantu Anda yang miskin itu hadir di acara ini. Sepertinya dia hadir sebagai supir dari keluarga Wicaksono, memalukan,” ejek Arga dengan wajah meremehkan.Aku sangat geram tanganku mengepal saat itu juga, inggin rasanya aku membungkam mulutnya dengan bogem mentah. Tapi Ayah yang melihat ke arahku segera memegang tangan ini, membuatku sedikit melunak.“Dia bukan pria miskin lagi, Anda tau itu. Saat ini dia adalah menantu keluarga Wicaksono, tentu saja Tuan Arga harus menghormatinya. Tidak peduli dia dari kasta atau trah rendahan sebelumnya, setelah Andi menikah dengan putri dari kasta Wicaksono maka derajatnya lebih tinggi dari Tuan Arga Dwiguna. Saya minta Tuan Arga sadar akan posisi, jangan membuat saya bertindak tidak menghargai Anda," jelas Ayahku.Tau ngak perasaan apa yang aku rasakan saat ini, Aku sangat bahagia. Bagaimana tidak, Ayahku membela suamiku di depan mantan calon jodohku yang duda sombong.Arga keluar dengan membanting pintu mobil, terli
Aku sangat takut saat mas Andi merebut Wine itu dari tanganku. Apalagi ditambah Arga mengajukan protes atas tindakan mas Andi.“Apa hakmu untuk mengambil Wine kehormatan untuk saya, dari Inggit?” ujar Arga Dwiguna, yang setelahya dia melanjutkan lagi perkataannya.“Tuan Bramasta, kali ini saya sangat tersinggung. Pria di hadapan saya ini sudah menyingung saya untuk kesekian kalinya,” jelasnya.Suasana semakin menegang dan sanggat terasa panas, apalagi aku saat itu merasakan keringat mengucur seperti jagung dari dahiku.“Maaf jika saya lancang, saya adalah Andi Hermawan suami dari Inggit Garnasih Wicaksono. Sebagai Suami dan menantu dari keluarga Wicaksono, saya ingin menggantikan Istri saya untuk menerima kehormatan ini. Karena, kesalahan yang terjadi bukan hanya berasal dari keluarga Wicaksono. Tapi saya juga ikut andil di sana, kiranya Tuan Bramasta mau mengabulkan permohonan ini,” jelas mas Andi.Aku tidak menyangka kalau dia akan berbicara seperti itu dihadapan semua Bangsawan tert
Sesekali memegang wajahku, sesekali mengomel bagai anak kecil. Bahkan ada satu kalimat yang tidak selesai membuatku penasaran.“Hai kamu,” ucapnya sembari menunjuk wajahku di dalam lift. Aku hanya menatapnya tanpa senyuman lagi, sangat lelah. Bahkan dalam hati ini sudah menaruh dendam padanya, saat dia sadar nanti.“Kamu punya telinga ngak, Aku ini adalah Pangeran,” ujarnya lalu dia melanjutkan lagi, “Pangeran Kodok, hahaha...” tawanya lepas, tanpa beban. Aku yang semula kesal ikut tertawa, melihat tingkah konyolnya.Ada peyesalan, melihat kondisi mas Andi saat ini sampai pintu lift terbuka aku masih tetap memasang wajah tanpa senyum. Berusaha membawa mas Andi keluar lift sangat sulit, apalagi saat tangannya dengan segaja menahan pintu lift untuk tertutup lgi.“Mas, kamu harus istirahat,” ucapku yang masih membopoh tubuhnya.“Sttt... kamu jangan berisik, tugasmu hanya menjadi istri yang baik. Kita mainan dulu ini lucu sekali,” jari tanggannya di letakkan tepat di bibirku. Dengan mata
Sepekan dari kejadian yang membuatku terjebak dengan mas Andi, kehidupanku dengannya sekarang mulai baik-baik saja Aku mulai terbiasa dengan tingkah konyolnya. Bahkan saat dia ingin mengambil haknya sebagai suami, tidak seperti diawal-awal yang membuat wajahku memerah bagai kepiting rebus. Terutama kejadian terakhir di Hotel saat dia dalam pengaruh Alkohol.“Mas aku mau melamar pekerjaan di Srikandi, kira-kira masih ada lowongan enggak, ya?” tanyaku pada mas Andi.“Nanti Mas saja yang bawa CV mu, Kebetulan ada staf yang jabatannya lumayan tinggi Mas kenal.” Mendengar ucapan mas Andi membuatku bingung, kenapa bukan dia yang melamar sebagai karyawan di perusahaan itu.“Mas, kalau kenal sama staf dengan jabatan bagus, kenapa bukan mas Saja yang melamar di sana?” tannyaku.“Tidak ada lowongan kerja yang sesuai dengan, Mas,” jawabnya simpel.Aku tertegun, apa maksudnya tidak sesuai dengan Dia, Apa karena dia tidak sekolah? Apa karena lulusan yang sesuai dengannya tidak ada?Pertanyaan sepe
Aku menghindari perseteruan itu, biasa kak Naysila akan mencari gara-gara lagi jika merasa di abaikan. Walau kecewa banget dengan cara Ibu berbicara, lebih baik aku tetap mengalah untuk sementara waktu.“Nggit, tolong ambilkan sosis itu dong,’' pinta kak Naysila lagi.“Aku masih sibuk,” jawabku tanpa mempedulikannya.“Kamu cari gara-gara ya, dari tadi!” Suaranya meninggi, tapi hanya aku balas dengan senyuman sinis. Melepas apron yang aku kenakan saat ini, lalu meninggalkan dia begitu saja.Mengambil sapu untuk melanjutkan membersihkan ruangan demi ruangan, seperti yang aku duga dia akan tetap mencari masalah denganku. Sengaja kak Naysila membuang kulit apel di lantai, aku menyapu dan dia mengulang lagi.Siapa saja kalau di buat seperti itu pasti akan naik pitam, apa lagi aku bukan seperti anak tiri yang bisa di bully habis-habisan. Spontanitas kuambil kulit apel yang berceceran dilantai, lalu aku jadikan satu sama piring buah miliknya.“Mohon maaf, kalau mau makan buah tolong perhatik
“Mas aku mau bergegas, takut terlambat,” ujarku berpamitan dengannya.“Semangat, ya,” ucapnya mengepalkan dua tanggan sambil terus memberiku semangat.“Mas mau pulang makan? Aku sudah siapkan makanan untuk Mas, sengaja aku simpan di kamar kita, di meja yang biasa untuk sarapan,” ucapku lagi.Dia hanya mengangguk tangannya seolah menyuruhku untuk bergegas. Saat itu juga aku meninggalkan mas Andi, sambil terus melambaikan tangan. Aku masih tampak malu-malu, mengingat kelakuan konyol yang aku lakukan.Sambil jalan sedikit langkah lompat girang, bagai anak kecil yang menari-nari di jalanan. “Semoga wawancaranya lancar, aku sangat deg-degkan,” gumamku sepanjang jalan.Tepat di depan mal Srikandi, aku bingung harus ke mana. Tidak mungkin aku mencari ruagan staf mengelilingi mal sebesar ini. Menarik napas panjang aku memberanikan diri bertanya kepada sekuriti.“Maaf Pak, saya mendapat panggilan wawancara ini.” Aku menunjukkan pesan singkat di smartphone milikku.“Oh, ini Wibu milik The nex
Aku masih penasaran dengan pemimpin mal Srikandi ini, selama wawancara dia hanya bertbisik di telinga pak Irawan yang selanjutnya menyampaikan padaku. Apakah suaranya sebegitu rahasia? Bahkan hanya pak Irawan yang boleh mendengarkannya.“Nona, apakah selama percobaan bersedia menjadi SPG di salah satu tenan di mal ini?” tanyanya, dengan wajah sedikit takut-takut, Aku ingin tertawa tapi aku tahan.Bayangkan seorang pemimpin, sengaja mewawancarai secara langsung untuk mempekerjakan di tenan mal. Bukan sebagai staf, unik banget? Sebegitu beruntungnya kah aku, sampai harus beliau yang wawancara. Padahal pekerjaan seremeh ini cukup HRD bagian tenan yang merekrutku.“Saya bersedia, bahkan di letakkan di mana saja saya bersedia,” jawabku dengan senyum tipis.Dia berbisik lagi, yang selanjutnya di sampaikan oleh pak Irawan. “Kalau menjadi Istri Tuan muda?”Aku langsung menelan saliva dalam, rasanya ingin mengumpat tapi tidak sopan. ‘Sumpah, ngak waras ini orang. Sudah jelas-jelas di CV aku st