“Mungkin Mas Cakra lagi terima telepon. Atau nyari udara segar dulu,” ucap Bening bermonolog. Sebab tak menemukan suaminya di kamar pengantin mereka.
Bening tak ambil pusing akan hal itu. Ia mengedikkan bahu lalu kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Tersenyum dan kembali bahagia.
Tentu saja Bening bahagia. Hari ini secara resmi: agama dan negara ... ia sah menyandang gelar sebagai Nyonya Cakra. Istri dari seorang pria yang menjadi cinta pertamanya bertahun-tahun silam. Sewaktu dirinya belum genap berusia 10 tahun.
Tangan Bening yang hendak menghapus riasan pengantin pun diurungkan. Ia terkikik sendiri, membayangkan suaminyalah yang akan menghapus make-up itu dari wajahnya, lalu perlahan melepaskan gaun satin dari tubuhnya, dan ...
“Aaaah. Jadi malu.” Tawa Bening kian merekah. Wajahnya pun memerah.
Membayangkan malam ini membuat perutnya geli dan dadanya mengembang lantaran seperti ingin terbang. Saking bahagianya.
“Mas Cakra!”
Bening memutuskan untuk menjauhi cermin dan menuju ranjang. Bersiap jika suaminya sudah berada di sana. Tapi, Cakra belum juga ada.
Yang terpampang adalah ranjang pengantin berwarna putih dengan taburan bunga mawar merah di atasnya. Wangi, intim, dan membuat dada Bening bergetar.
Paras Cakra mendominasi imajinasi Bening. Ia sungguh tak sabar. Harusnya sang suami sudah berada di kamar yang sama mengingat ini adalah malam pertama mereka.
Tetapi kenyataannya, di mana Cakra?
Tak seperti tadi, kini Bening mulai kecewa. Ia gelisah karena suaminya belum di depan mata. Tak tinggal diam dan hanya menunggu, Bening melangkah keluar kamar. Melewati lorong rumah orang tuanya yang sudah sepi dan masih sedikit berantakan usai acara.
Sesekali kepalanya melongok panjang menyapu setiap sudut ruang. Berharap menemukan sang suami di salah satu sudut pengamatan.
“Kamu di mana sih, Mas?” batin Bening semakin gusar.
Langkah kaki Bening kini tiba di depan kamar sang kakak –Sinta. Pintu yang tidak tertutup sempurna membuat Bening penasaran. Rasa penasarannya kian membabi buta tatkala ia mendengar suara kikik tawa yang tak asing. Mesra dan menggoda.
Itu adalah suara Cakra. Suaminya.
“Nggak mungkin.” Bening menggelengkan kepala. Menepis apa yang ia dengar.
Sialnya, suara itu kembali terdengar dan kian nyaring masuk ke telinga.
Dada Bening bergemuruh. Tidak mungkin. Mati-matian ia menyangkal keadaan. Ia pasti hanya berhalusinasi sebab ingin segera bertemu sang suami.
Namun, langkahnya seperti membatu. Ia sungguh-sungguh penasaran apakah benar yang berada di kamar sang kakak adalah Cakra –suaminya.
Dengan tangan gemetar Bening mulai memegangi gagang pintu, hatinya bergejolak antara iya dan tidak. Tetapi suara tawa mesra tadi mengundang rasa penasaran kian mencapai klimaks. Ia menekan dan melebarkan celah agar leluasa melihat fakta di dalamnya.
Jantungnya seperti berhenti berdetak sebab dihantam palu gada. Kakinya benar-benar kaku di sana. Pemandangan yang tersuguh di depan kelewat mencengangkan.
Suaminya tengah membungkuk dengan wajah yang begitu dekat dengan Sinta. Tangan kakaknya itu pun mengalung mesra pada leher suaminya. Pria yang mengucap namanya pada lafal qabul siang tadi. YA, SIANG TADI.
Keduanya bercumbu. Mesra. Panas. Seolah dunia hanya milik berdua. Dan seakan Bening tak ada di sana.
“Mas Cakra ... Mbak Sinta ... .” Suara Bening timbul tenggelam. Bibirnya bergetar. Belum betul-betul yakin bahwa yang ditatap adalah kejadian nyata. Ia berharap bahwa ini hanyalah mimpi buruk.
Kedua insan yang sedang berpatukan itu dengan cepat melepas diri dan mendongak ke arah Bening. Eskpresi Cakra persis rusa yang terkena lampu mobil. Penuh kebimbangan. Tetapi Sinta, Bening tak mendapati keterkejutan di sana.
“Iya, Ning?”
Justru Sinta tampak bertanya dengan nada biasa. Seakan justru Beninglah yang bersalah berada di sana memergoki percumbuan mereka. Tak berhenti di situ, ibu jari Sinta tampak mengusap permukaan bibir bekas cumbuan panas barusan dengan sensual. Sengaja.
Gila!
“Kenapa kaget gitu, Dek?”
Seketika bibir Bening yang tadi seperti bisu, kini panas ingin merutuk. Kepalanya yang seolah penggal dari leher tadi kini kembali. Kakaknya sama sekali tak merasa bersalah.
“Kalian ini apa-apaan? Gila kalian! Sakit jiwa!” Bibir Bening bergetar hebat, tangannya pun sama bergetarnya. Menunjuk keduanya dengan kemarahan yang tidak mampu ia kendalikan. Kepalanya terasa panas.
“Mbak Sinta, kamu gila!”
“Cakra! Bajingan kamu!”
Cakra kalang kabut. Bergegas kepada Bening dan berusaha menjelaskan, “aku bisa jelasin, Sayang! Ini nggak kayak yang kamu lihat!”
“Aku khilaf!”
Bening dengan tatapan kosong menatap manik mata suaminya. Bibirnya kembali kelu. Dadanya penuh, kepalanya ingin meledak. Ia tatap bibir Cakra dengan kecewa. Bibir yang bahkan belum mencumbunya sebagai seorang istri itu justru telah lebih dulu mencumbu kakaknya sendiri. Kakak ipar Cakra. Apa yang pria di depannya telah lakukan?
Benar-benar tragis malam ini!
“Dia yang godain aku, Sayang. Please! Aku minta maaf!”
“Aku nggak sengaja! Aku khilaf!” Cakra meraih tangan Bening dan mengecupinya. Tetapi, kejadian barusan sangat lekat dan Bening tidak amnesia.
Plak!
Begitu saja tangan Bening melayang menghampiri pipi Cakra. “Brengsek kamu, Mas!”
“Aku ini istri kamu. Tapi kamu malah masuk kamar wanita lain. Kamar kakak iparmu sendiri.” Suara Bening mulai patah-patah. Ia semakin kehilangan daya pertahanan.
“Di mana otak kamu?”
“Dan kamu, Mbak. Nggak seharusnya kamu giniin aku!” Tetapi kakaknya justru memasang wajah dihiasi senyum culas. Licik. Wajah yang bahkan belum pernah Bening lihat di 28 tahun hidup ini.
“Bening! Bening! BENIIING!” Suara Cakra yang melolong tak lagi Bening pedulikan.
Hatinya terlalu pedih. Bagaikan disayat-sayat lalu ditaburi garam di atasnya. Perih tak tertahan.
Bayangan bagaimana suaminya mencium kakaknya sendiri membuat dada Bening bak diremas kuat-kuat. Dongeng indahnya kini hancur berserakan. Di malam di mana seharusnya ia menjadi wanita paling bahagia di muka bumi.
Seperti nasib Cinderella, dongeng percintaannya usai tengah malam ini.
“Kamu tega, Mas! Kerasukan apa kamu?”
“Kamu juga, Mbak Sinta. Aku nggak ikhlas!”
“Mbak Sinta aku nggak nyangka. Kamu kejam.”
Bibir Bening terus mengumpati keadaaan. Air matanya leleh sepanjang jalan. Kakinya lurus melarikan diri dari rumah.
Gaun satin yang membungkus tubuh sama sekali tak menghentikan langkahnya. Tak menawar apapun. Yang ada dalam kepala Bening hanyalah takdir malam ini sungguh menyesakkan dada.
Dan semesta pun seperti mengoloknya pula, hujan turun seperti menertawai dirinya.
Namun, Bening tak peduli. Ia hanya ingin lari, lari, dan lari sejauh mungkin. Tak sudi dikejar sang suami. Apalagi kakaknya. Ia jijik setengah mati.
Huh!
Bening lelah. Bajunya basah kuyup. Ia lebih persis orang gila daripada pengantin yang kabur di hari bahagia.
Di sebuah warung kecil temaram ia berhenti. Diam dan menatap sekeliling dengan mata berat sisa tangisan. Dan sebelah tangan menyodorkan botol berlabel kusam ke arahnya, lengkap sungging senyuman.
“Mbaknya butuh ini kayaknya,” ucap laki-laki itu. Seakan mampu membaca keadaan.
“Ini apa?” desis Bening memeriksa. Dahinya berkerut.
“Penawar sesaat,” jawab laki-laki itu. Setengah bercanda, tetapi ada nada serius di ujungnya.
Bening yang tengah porak poranda pun menerima. Aroma menyengat langsung menyeruak. Tanpa berpikir dua kali, ia meneguk minuman yang berasa pahit itu berkali-kali. Anehnya, Bening tak berhenti dan terus meneguknya hingga merasa rileks, ringan, dan terbang.
Namun, kelegaan itu tidak bertahan lama. Laki-laki yang tadi memberinya botol kini mendekat, tatapan matanya berubah liar. Tangan kasarnya menyentuh bahu Bening, memaksanya untuk mendongak.
“Mbaknya lagi butuh perhatian, kan? Nggak usah malu-malu.” Suaranya bernada licik.
Bening terperanjat, tubuhnya yang tadi terasa ringan mendadak kaku. “Jangan sentuh aku!” serunya, berusaha mengelak. Namun, laki-laki itu semakin mendesak, menarik lengannya hingga ia hampir terjatuh.
“Sudahlah! Nggak ada yang bakal tahu…”
Bening meronta, mencoba melawan meskipun tubuhnya terasa lemah akibat minuman tadi. Ia memukul, menendang, tapi sia-sia. Hingga tiba-tiba suara berat memecah ketegangan.
“Lepaskan dia,” ucap seorang pria, tegas dan penuh wibawa.
Laki-laki itu terhenti, menoleh dengan kaget. Seorang pria bertubuh tegap berdiri di depan warung, sorot matanya tajam, wajahnya seperti pilar keadilan di malam yang kelam.
“Ini bukan urusanmu!” bentak laki-laki itu, tapi sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, pria itu melayangkan pukulan ke wajahnya, membuatnya tersungkur ke tanah.
Bening terpaku, tidak tahu harus berbuat apa. Dadanya naik turun, antara ketakutan dan kelegaan. Pria itu berbalik, menatap Bening dengan sorot lembut. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya, suaranya lebih tenang.
Namun, alih-alih berterima kasih, Bening justru tertegun. Mata pria itu… wajahnya… entah kenapa mengingatkan Bening kepada Cakra.
Tanpa berpikir panjang, Bening melangkah maju dan memeluk pria itu erat. Air mata yang tadi tertahan kini mengalir deras.
“Tolong… jangan pergi,” bisiknya, hampir seperti permohonan.
Pria itu terdiam, bingung. “Kamu kenapa?” tanyanya, mencoba melepas pelukan Bening.
Bening mendongak, menatap pria itu dengan mata basah yang penuh kerinduan. Nafasnya tersengal saat ia berbicara, suaranya bergetar di antara tangis. “Aku rela… lakuin apa aja yang kamu mau! Aku… aku nggak peduli lagi! Tolong, jangan pergi!”
Pria itu menatapnya dalam diam.
“Dasar wanita mabok!”Hanya itu kalimat dingin yang terucap dari pria di depan Bening. Masih berusaha melepaskan gelayut tangan Bening yang kian memohon untuk tak ditinggal.“Aku nggak mabuk, Mas!” Suara Bening terdengar kian berat. “Kamu boleh lakuin apapun ke aku! Aku rela!”Tangannya bahkan entah mengapa begitu gila hingga menggerayangi dada pria di depannya. Pria yang di mata Bening adalah Cakra –Suaminya. Ia merasa takut dan was-was jikalau laki-laki yang memberinya botol dengan label kusam itu akan kembali menggodai dirinya.“Ayo kita pergi!” ajak Bening menyusul kalimatnya sendiri. Karena pria di depannya masih tampak bingung dan linglung.“Ayo, Mas!” Begitu saja tangan Bening menarik pria di depannya. Tanpa peduli jika gaunnya yang basah menodai pakaian pria itu.“Nggak. Lepas!” Kalimat penolakan itu terdengar kian dingin. Disertai tepisan tipis tanda penolakan.Bening tak menyerah. Tangannya terus merayu dan mengajak supaya mereka lekas hengkang dari sana. “Ayo, Maaaas! Nanti
“MAS!”Bening terpaksa membuka mata setelah tangannya yang merabai sisi kanan-kiri tak mendapati sang suami. Ia menarik tubuh tengkurapnya dan menyunggingkan senyum puas. Teringat peristiwa indah semalam.Ia telah menyerahkan diri kepada sang suami. Setelah 28 tahun menjaganya. Oh indahnya!Kesadaran yang perlahan diperoleh pun membawa pandangan Bening mengitari ruangan. Serba putih. Tapi, ini bukan kamarnya. Bukan kamar pengantinnya.Matanya membola. Bibirnya pun ternganga. “I-ini kamar siapa?”Tubuh Bening berjingkat seketika. “Mas! MAS!”“Mas Cakra!”Bening lebih kaget lagi saat ia hendak menuruni ranjang. Tubuhnya hanya berbalut selimut putih dan dari sana ia mulai sadar bahwa ia sedang berada di hotel.Astaga!“Mas Cakra yang bawa aku ke sini, kan?” gumam Bening kebingungan.Hoek!Perutnya mual tiba-tiba. Ia dengan cepat menuju ke kamar mandi dan menumpahkan isi perutnya. Cairan kuning terakhir yang keluar resmi membuat kerongkongannya pahit bukan main.Ketika tangannya menyeka p
Bening merasa tubuhnya menggigil. Pertanyaan Cakra seumpama palu godam yang menghantam tepat di jantungnya. Ia ingin menjawab, tetapi kata-kata seakan tercekat di tenggorokan. Ia tak pernah menyangka jika kaburnya semalam karena sakit hati justru menyusahkan diri sendiri.“KAMU DARI MANA SEMALEM?”“JAWAB, BENING!”Suara Cakra benar-benar meninggi sekarang. Bening takut bukan main. Ia harus mengatakan apa?“JAWAB!”“A-aku ... aku pergi sama temen-temenku.” Dengan pelan Bening menjawab. Nada bicaranya diatur sedemikian tenang agar semua tampak meyakinkan. Tapi, justru itu terdengar bergetar. Bahkan di telingnya sendiri.Dan tak dapat disangkal, sorot mata Cakra kini menatap penuh curiga. “Temen-temen? Siapa? Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya.”Sengaja Bening menghindari tatapan mata suaminya. Ia menggigiti bibir untuk mendapatkan ketenangan diri. “Aku cuma butuh pelampiasan. Kamu nggak lupa kan apa yang terjadi semalem?” Nada bicaranya mulai kembali tegar demi mengingat peristiwa
“SATU BULAN?”“NGGAK KELAMAAN?”“Mas mau ngapain di sana sampai satu bulan?”Kepala Bening yang baru saja dingin sebab kucuran air shower, kini kembali panas. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Suaminya itu ... serius?“Resto di sana lagi terombang-ambing, Sayang. Dan aku yang dipercaya bisa atasi ini. Dilihat perkembangannya sebulan.”Alasan Cakra itu tak mampu masuk ke akal Bening. lebih-lebih Cakra akan pergi di saat seperti ini? Di hari kedua pernikahan mereka? Di saat mereka belum mendapati malam pertama sebagai sepasang suami-istri? Dan saat masalah –entah salah paham entah memang pengkhianatan antara Cakra dengan Sinta belum terselesaikan?Ya Tuhan!“Tapi, Mas. Kita ini baru nikah loh. Kamu juga udah ambil cuti. Ditambah masalah semalem ... apa nggak bisa ditunda?” Mata Bening terpejam, menahan gejolak emosi di dadanya.“Aku ngerti, Sayang. Ini berat. Bukan cuma buat kamu, aku pun juga berat. Tapi, ini juga demi kita. Aku janji bakalan terus kasih kabar!”Aneh. Sangat aneh.
“SATU BULAN?”“NGGAK KELAMAAN?”“Mas mau ngapain di sana sampai satu bulan?”Kepala Bening yang baru saja dingin sebab kucuran air shower, kini kembali panas. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Suaminya itu ... serius?“Resto di sana lagi terombang-ambing, Sayang. Dan aku yang dipercaya bisa atasi ini. Dilihat perkembangannya sebulan.”Alasan Cakra itu tak mampu masuk ke akal Bening. lebih-lebih Cakra akan pergi di saat seperti ini? Di hari kedua pernikahan mereka? Di saat mereka belum mendapati malam pertama sebagai sepasang suami-istri? Dan saat masalah –entah salah paham entah memang pengkhianatan antara Cakra dengan Sinta belum terselesaikan?Ya Tuhan!“Tapi, Mas. Kita ini baru nikah loh. Kamu juga udah ambil cuti. Ditambah masalah semalem ... apa nggak bisa ditunda?” Mata Bening terpejam, menahan gejolak emosi di dadanya.“Aku ngerti, Sayang. Ini berat. Bukan cuma buat kamu, aku pun juga berat. Tapi, ini juga demi kita. Aku janji bakalan terus kasih kabar!”Aneh. Sangat aneh.
Bening merasa tubuhnya menggigil. Pertanyaan Cakra seumpama palu godam yang menghantam tepat di jantungnya. Ia ingin menjawab, tetapi kata-kata seakan tercekat di tenggorokan. Ia tak pernah menyangka jika kaburnya semalam karena sakit hati justru menyusahkan diri sendiri.“KAMU DARI MANA SEMALEM?”“JAWAB, BENING!”Suara Cakra benar-benar meninggi sekarang. Bening takut bukan main. Ia harus mengatakan apa?“JAWAB!”“A-aku ... aku pergi sama temen-temenku.” Dengan pelan Bening menjawab. Nada bicaranya diatur sedemikian tenang agar semua tampak meyakinkan. Tapi, justru itu terdengar bergetar. Bahkan di telingnya sendiri.Dan tak dapat disangkal, sorot mata Cakra kini menatap penuh curiga. “Temen-temen? Siapa? Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya.”Sengaja Bening menghindari tatapan mata suaminya. Ia menggigiti bibir untuk mendapatkan ketenangan diri. “Aku cuma butuh pelampiasan. Kamu nggak lupa kan apa yang terjadi semalem?” Nada bicaranya mulai kembali tegar demi mengingat peristiwa
“MAS!”Bening terpaksa membuka mata setelah tangannya yang merabai sisi kanan-kiri tak mendapati sang suami. Ia menarik tubuh tengkurapnya dan menyunggingkan senyum puas. Teringat peristiwa indah semalam.Ia telah menyerahkan diri kepada sang suami. Setelah 28 tahun menjaganya. Oh indahnya!Kesadaran yang perlahan diperoleh pun membawa pandangan Bening mengitari ruangan. Serba putih. Tapi, ini bukan kamarnya. Bukan kamar pengantinnya.Matanya membola. Bibirnya pun ternganga. “I-ini kamar siapa?”Tubuh Bening berjingkat seketika. “Mas! MAS!”“Mas Cakra!”Bening lebih kaget lagi saat ia hendak menuruni ranjang. Tubuhnya hanya berbalut selimut putih dan dari sana ia mulai sadar bahwa ia sedang berada di hotel.Astaga!“Mas Cakra yang bawa aku ke sini, kan?” gumam Bening kebingungan.Hoek!Perutnya mual tiba-tiba. Ia dengan cepat menuju ke kamar mandi dan menumpahkan isi perutnya. Cairan kuning terakhir yang keluar resmi membuat kerongkongannya pahit bukan main.Ketika tangannya menyeka p
“Dasar wanita mabok!”Hanya itu kalimat dingin yang terucap dari pria di depan Bening. Masih berusaha melepaskan gelayut tangan Bening yang kian memohon untuk tak ditinggal.“Aku nggak mabuk, Mas!” Suara Bening terdengar kian berat. “Kamu boleh lakuin apapun ke aku! Aku rela!”Tangannya bahkan entah mengapa begitu gila hingga menggerayangi dada pria di depannya. Pria yang di mata Bening adalah Cakra –Suaminya. Ia merasa takut dan was-was jikalau laki-laki yang memberinya botol dengan label kusam itu akan kembali menggodai dirinya.“Ayo kita pergi!” ajak Bening menyusul kalimatnya sendiri. Karena pria di depannya masih tampak bingung dan linglung.“Ayo, Mas!” Begitu saja tangan Bening menarik pria di depannya. Tanpa peduli jika gaunnya yang basah menodai pakaian pria itu.“Nggak. Lepas!” Kalimat penolakan itu terdengar kian dingin. Disertai tepisan tipis tanda penolakan.Bening tak menyerah. Tangannya terus merayu dan mengajak supaya mereka lekas hengkang dari sana. “Ayo, Maaaas! Nanti
“Mungkin Mas Cakra lagi terima telepon. Atau nyari udara segar dulu,” ucap Bening bermonolog. Sebab tak menemukan suaminya di kamar pengantin mereka.Bening tak ambil pusing akan hal itu. Ia mengedikkan bahu lalu kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Tersenyum dan kembali bahagia.Tentu saja Bening bahagia. Hari ini secara resmi: agama dan negara ... ia sah menyandang gelar sebagai Nyonya Cakra. Istri dari seorang pria yang menjadi cinta pertamanya bertahun-tahun silam. Sewaktu dirinya belum genap berusia 10 tahun.Tangan Bening yang hendak menghapus riasan pengantin pun diurungkan. Ia terkikik sendiri, membayangkan suaminyalah yang akan menghapus make-up itu dari wajahnya, lalu perlahan melepaskan gaun satin dari tubuhnya, dan ...“Aaaah. Jadi malu.” Tawa Bening kian merekah. Wajahnya pun memerah.Membayangkan malam ini membuat perutnya geli dan dadanya mengembang lantaran seperti ingin terbang. Saking bahagianya.“Mas Cakra!”Bening memutuskan untuk menjauhi cermin dan menuju