“Dasar wanita mabok!”
Hanya itu kalimat dingin yang terucap dari pria di depan Bening. Masih berusaha melepaskan gelayut tangan Bening yang kian memohon untuk tak ditinggal.
“Aku nggak mabuk, Mas!” Suara Bening terdengar kian berat. “Kamu boleh lakuin apapun ke aku! Aku rela!”
Tangannya bahkan entah mengapa begitu gila hingga menggerayangi dada pria di depannya. Pria yang di mata Bening adalah Cakra –Suaminya. Ia merasa takut dan was-was jikalau laki-laki yang memberinya botol dengan label kusam itu akan kembali menggodai dirinya.
“Ayo kita pergi!” ajak Bening menyusul kalimatnya sendiri. Karena pria di depannya masih tampak bingung dan linglung.
“Ayo, Mas!” Begitu saja tangan Bening menarik pria di depannya. Tanpa peduli jika gaunnya yang basah menodai pakaian pria itu.
“Nggak. Lepas!” Kalimat penolakan itu terdengar kian dingin. Disertai tepisan tipis tanda penolakan.
Bening tak menyerah. Tangannya terus merayu dan mengajak supaya mereka lekas hengkang dari sana. “Ayo, Maaaas! Nanti laki-laki itu balik lagi. Aku takuuuut!”
“Ayooo!”
Pria yang awalnya tampak ragu itu pun mulai bergegas mengangkat kaki. Berjalan ke arah Bening menariknya. Lalu membawa Bening pergi. Anehnya, dalam pandangan Bening ... mengapa Cakra tampak berbeda sekarang? Tampak memiliki kulit lebih bersih dan ketampanannya berlipat ganda.
Ah, pasti karena ini adalah malam pertama mereka. Jadi, segalanya tampak lebih indah dan sempurna.
Tanpa disadari Bening sudah melengkungkan bibir. Menatap pria yang ia kira Cakra itu dengan berbunga-bunga. Ia tak sabar untuk tiba di kamar dan bermesraan.
Belum tiba di kamar yang ia impikan, pandangan Bening justru mulai memburam. Kepalanya berat dan semuanya berkunang-kunang. Ia pusing dan ingin muntah. Perutnya mual. Rasanya seperti masuk angin dengan kerongkongan yang pahit.
Hoek!
Tak ayal. Perut Bening yang mual dan kondisi pening menyerang kepalanya membuat seluruh isi perut keluar. Sejadi-jadinya. Ia bahkan masih mendengar suara pria di hadapannya mengomel tapi ia tak peduli karena Cakra pasti akan tetap membersihkan semuanya. Suaminya itu mencintai dirinya. Muntahan pun pasti akan dibersihkan.
Hoek!
“Bajuku astagaaa!” Suara penuh putus asa terdengar menahan amarah.
“Ma-maaf ya, Mas! Tapi perutku mual banget. Pusing juga,” terang Bening dengan suara hampir hilang.
Tubuhnya lemas dan selebihnya ia seperti kehilangan daya. Bagaikan tubuh tanpa tulang penyangga.
Yang hanya terekam oleh Bening adalah bahwa ia digendong masuk ke dalam kamar yang ranjangnya berwarna putih. Persis seperti kamar pengantin. Tapi, di mana taburan mawar merah di atasnya? Mengapa tiada?
Persetan dengan mawar merah. Yang jelas ia sudah berada di kamar bersama Cakra. Tak ada yang perlu ia takutkan lagi. Ia sudah aman.
“Perempuan merepotkan!” Suara terdengar kejam itu disusul napas lelah.
“Aku nggak kenal siapa kamu. Dari mana usulmu. Jadi, malam ini kamu tidur di sini! Besok kalau sudah sadar, kamu bisa urus dirimu sendiri! Oke!”
Tampak pria itu hendak berbalik arah. Tentu saja Bening tak tinggal diam. Suaminya mau ke mana? Mengapa berucap sekejam itu kepadanya? Apakah suaminya amnesia bahwa malam ini adalah malam pertama mereka?
Meski dengan tenaga yang hampir habis, Bening berhasil meraih tangan pria di depannya. Pria yang masih ia kira sebagai suaminya.
“Mas ngomong apa sih? Mas juga mau ke mana?”
“Aku nggak mau yaa ditinggal lagi! Kalau laki-laki jahat tadi ke sini gimana?”
“Nggak mau tau. Ini malam kita. Aku mau Mas di sini.”
“Lagian aneh aja. Masa di malam yang spesial begini Mas malah mau pergi. Mas nggak pengen sama aku?” tanya Bening menatap manik mata legam suaminya itu. Bibirnya pun sengaja dimanyunkan untuk menggoda.
Pria itu terdiam.
Bening tak memberi kesempatan dan memeluk si pria itu dengan erat. “Aku kedinginan, Mas. Bajuku basah ini. Mas bantu lepasin ya!” Terasa oleh dirinya sendiri bahwa kelopak matanya berkedip-kedip pelan. Rileks, santai, dan manja selayaknya kepada yang tercinta.
“Astaga! Jangan panggil mas! Aku ini bukan masmu.”
Lagi. Penolakan itu sungguh terang-terangan. Namun, karena Bening dalam keadaan setengah sadar, ia tak mempedulikan penolakan itu. Ia justru tertantang menggodai sang suami. Bukankah istri yang inisiatif lebih dulu akan disukai suaminya? Dan bukankah yang demikian itu banyak pahalanya?
“Oke. Kalau Mas nggak mau aku panggil mas. Aku panggil dengan sapaan lain. Gimana kalau AYANG? Terdengar mesra, kan?” Bening memamerkan sederet giginya yang kecil nun rapi.
“Ayo dong! Bajuku basah lo ini. Udah muntah-muntah juga. Pasti masuk angin! Ayang nggak khawatir?”
“Aku perlu diangetin!”
Kali ini Bening tidak hanya menyerang lewat kata-kata. Tangannya terus merajai pria di depannya. Meraba sisi-sisi yang ia tahu adalah titik sensitif makhluk adam di bumi. Wajahnya pun bergerak mendekati sang suami. Hendak menghapus jarak di antara mereka.
“Tapi, kok aroma parfum Ayang beda, ya?” Per sekian detik Bening mengendus-endus. Aromanya memang berbeda.
“Ini parfum baru?”
Bening terus bertanya tanpa benar-benar mengharap jawaban. Di telinganya ia merekam jelas bagaimana ritme suara napas pria yang kini sangat dekat dengannya itu. Aroma parfum kali ini pun tak sesegar biasanya. Justru seperti kayu-kayuan yang manis, lembut, dan hangat.
Cup!
Permukaan pipi Cakra pun tidak seperti biasanya. Kali ini sedikit kasar dan membuat kulit wajah Bening terhenyak. Tetapi, sebelum ia sempat mengutarakan tanda tanyanya, pria di depannya lebih dulu memberi peringatan dengan suara gusar.
“Menjauhlah! Lepas bajumu sendiri dan berangkatlah tidur!”
“Atau kau akan menyesal!”
Bening terkekeh. Suaminya ternyata lucu sekali. Mengajaknya bermain drama sebelum masuk ke menu utama. Akan ia ladeni.
Ia akan membuat Cakra tak akan pernah bisa melupakan malam ini. Bening akan menunjukkan sisi dirinya yang lain. Sisi liarnya yang selama ini tidak pernah Cakra tahu. Sisi nakal yang pasti akan sangat suaminya suka.
“Aku bahkan bakalan nyesel kalau malam ini tidur gitu aja, Ayang!” Bening menarik sebelah sudut bibirnya. Mengangat tangannya, bergerak maju, dan mengalungkannya ke leher pria yang masih ia kira sebagai suaminya.
Pria itu hendak bergerak mundur dan menjauhkan tubuh. Namun, Bening tak membiarkan itu terjadi. Justru ia agresif dan lebih dulu mendekatkan wajah mereka. Mencium bibir pria di hadapannya ... yang mengejutkannya beraroma lain, tak seperti aroma bibir Cakra biasanya.
Sempat terhenyak, Bening tak mau mempersoalkan itu. Ia masih membiarkan bibirnya singgah dan mencoba mengenali rasa asing di sana. Tak lama, ciuman singkat itu usai dengan lembut. Diiringi bisikan lembut tetapi tajam menusuk.
“Sudahi kegilaanmu, wanita mabok!”
“Sebelum malam ini menjadi malam yang tidak pernah kamu inginkan terjadi.”
Bening membisu. Tak menyahuti kalimat tersebut. Hanya tubuhnyalah yang kembali mendekat.
“Aku sudah peringkatkan!” Suara itu tak lagi sedingin tadi. Menahan bahu Bening untuk diam tak bergerak.
Bening tersenyum simpul, menatap tangan di bahunya, dan kembali matanya terarah ke bibir yang sekejap lalu memberinya rasa asing yang entah mengapa ... ia kembali penasaran.
Tak berpikir dua kali, Bening kembali melajukan diri. Mendekatkan wajah, menghapus jarak, dan membuat detik waktu seakan berhenti.
Kali ini ciumannya berbalas. Bahkan meskipun asing, rasanya begitu hangat dan dahsyat. Menuntut dan sangat liar. Tubuhnya ringan terbang diiringi aroma kayu-kayuan yang hangat dan membuatnya tentram.
“Semoga kamu tidak pernah menyesal, Nona!” Hanya itu yang Bening dengar sesaat setelah tautan bibir mereka terlepas.
Tubuhnya didorong pelan dan berakhir di atas permukaan ranjang. Sebelum akhirnya tubuhnya benar-benar terbang ke awang. Malam ini ... malam pertama ini, Bening tahu bagaimana rasanya menjadi wanita yang utuh dan penuh.
*****
“MAS!”Bening terpaksa membuka mata setelah tangannya yang merabai sisi kanan-kiri tak mendapati sang suami. Ia menarik tubuh tengkurapnya dan menyunggingkan senyum puas. Teringat peristiwa indah semalam.Ia telah menyerahkan diri kepada sang suami. Setelah 28 tahun menjaganya. Oh indahnya!Kesadaran yang perlahan diperoleh pun membawa pandangan Bening mengitari ruangan. Serba putih. Tapi, ini bukan kamarnya. Bukan kamar pengantinnya.Matanya membola. Bibirnya pun ternganga. “I-ini kamar siapa?”Tubuh Bening berjingkat seketika. “Mas! MAS!”“Mas Cakra!”Bening lebih kaget lagi saat ia hendak menuruni ranjang. Tubuhnya hanya berbalut selimut putih dan dari sana ia mulai sadar bahwa ia sedang berada di hotel.Astaga!“Mas Cakra yang bawa aku ke sini, kan?” gumam Bening kebingungan.Hoek!Perutnya mual tiba-tiba. Ia dengan cepat menuju ke kamar mandi dan menumpahkan isi perutnya. Cairan kuning terakhir yang keluar resmi membuat kerongkongannya pahit bukan main.Ketika tangannya menyeka p
Bening merasa tubuhnya menggigil. Pertanyaan Cakra seumpama palu godam yang menghantam tepat di jantungnya. Ia ingin menjawab, tetapi kata-kata seakan tercekat di tenggorokan. Ia tak pernah menyangka jika kaburnya semalam karena sakit hati justru menyusahkan diri sendiri.“KAMU DARI MANA SEMALEM?”“JAWAB, BENING!”Suara Cakra benar-benar meninggi sekarang. Bening takut bukan main. Ia harus mengatakan apa?“JAWAB!”“A-aku ... aku pergi sama temen-temenku.” Dengan pelan Bening menjawab. Nada bicaranya diatur sedemikian tenang agar semua tampak meyakinkan. Tapi, justru itu terdengar bergetar. Bahkan di telingnya sendiri.Dan tak dapat disangkal, sorot mata Cakra kini menatap penuh curiga. “Temen-temen? Siapa? Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya.”Sengaja Bening menghindari tatapan mata suaminya. Ia menggigiti bibir untuk mendapatkan ketenangan diri. “Aku cuma butuh pelampiasan. Kamu nggak lupa kan apa yang terjadi semalem?” Nada bicaranya mulai kembali tegar demi mengingat peristiwa
“SATU BULAN?”“NGGAK KELAMAAN?”“Mas mau ngapain di sana sampai satu bulan?”Kepala Bening yang baru saja dingin sebab kucuran air shower, kini kembali panas. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Suaminya itu ... serius?“Resto di sana lagi terombang-ambing, Sayang. Dan aku yang dipercaya bisa atasi ini. Dilihat perkembangannya sebulan.”Alasan Cakra itu tak mampu masuk ke akal Bening. lebih-lebih Cakra akan pergi di saat seperti ini? Di hari kedua pernikahan mereka? Di saat mereka belum mendapati malam pertama sebagai sepasang suami-istri? Dan saat masalah –entah salah paham entah memang pengkhianatan antara Cakra dengan Sinta belum terselesaikan?Ya Tuhan!“Tapi, Mas. Kita ini baru nikah loh. Kamu juga udah ambil cuti. Ditambah masalah semalem ... apa nggak bisa ditunda?” Mata Bening terpejam, menahan gejolak emosi di dadanya.“Aku ngerti, Sayang. Ini berat. Bukan cuma buat kamu, aku pun juga berat. Tapi, ini juga demi kita. Aku janji bakalan terus kasih kabar!”Aneh. Sangat aneh.
“Ke mana sih kamu, Mas?”Sinta menggenggam ponselnya setengah was-was. Menunggu balasan pesan dari Cakra begitu membuatnya resah. Mungkinkah Cakra sibuk dengan pekerjaan? Atau jangan-jangan adik iparnya itu sengaja menghindar darinya.Pikiran itu tiba-tiba menyalakan bara di dada Sinta. Ia tidak mau jika sampai Cakra menghindar darinya. Terlepas fakta bahwa Cakra kini adalah suami adiknya sendiri, Sinta tidak peduli. Yang ia inginkan adalah menarik Cakra untuk semakin mendekat dan berakhir memujanya melebihi Bening.Ke sekian kalinya Sinta menatap sendu ke arah layar ponsel. Masih tidak ada pesan balasan dari Cakra. Keresahannya bertambah ganas. Sungguh khawatir jika sampai Cakra sengaja menghindar darinya.“Kalau 15 menit lagi dia nggak bales, aku telepon aja!” ujar Sinta bermonolog.Namun, tak perlu menunggu sampai 15 menit karena beberapa detik berikutnya sebuah notifikasi pesan muncul di layar gawai. Sinta menyungging senyum menyadari bahwa pesan itu berasal dari Cakra. Yang sekali
“Mungkin Mas Cakra lagi terima telepon. Atau nyari udara segar dulu,” ucap Bening bermonolog. Sebab tak menemukan suaminya di kamar pengantin mereka.Bening tak ambil pusing akan hal itu. Ia mengedikkan bahu lalu kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Tersenyum dan kembali bahagia.Tentu saja Bening bahagia. Hari ini secara resmi: agama dan negara ... ia sah menyandang gelar sebagai Nyonya Cakra. Istri dari seorang pria yang menjadi cinta pertamanya bertahun-tahun silam. Sewaktu dirinya belum genap berusia 10 tahun.Tangan Bening yang hendak menghapus riasan pengantin pun diurungkan. Ia terkikik sendiri, membayangkan suaminyalah yang akan menghapus make-up itu dari wajahnya, lalu perlahan melepaskan gaun satin dari tubuhnya, dan ...“Aaaah. Jadi malu.” Tawa Bening kian merekah. Wajahnya pun memerah.Membayangkan malam ini membuat perutnya geli dan dadanya mengembang lantaran seperti ingin terbang. Saking bahagianya.“Mas Cakra!”Bening memutuskan untuk menjauhi cermin dan menuju
“Ke mana sih kamu, Mas?”Sinta menggenggam ponselnya setengah was-was. Menunggu balasan pesan dari Cakra begitu membuatnya resah. Mungkinkah Cakra sibuk dengan pekerjaan? Atau jangan-jangan adik iparnya itu sengaja menghindar darinya.Pikiran itu tiba-tiba menyalakan bara di dada Sinta. Ia tidak mau jika sampai Cakra menghindar darinya. Terlepas fakta bahwa Cakra kini adalah suami adiknya sendiri, Sinta tidak peduli. Yang ia inginkan adalah menarik Cakra untuk semakin mendekat dan berakhir memujanya melebihi Bening.Ke sekian kalinya Sinta menatap sendu ke arah layar ponsel. Masih tidak ada pesan balasan dari Cakra. Keresahannya bertambah ganas. Sungguh khawatir jika sampai Cakra sengaja menghindar darinya.“Kalau 15 menit lagi dia nggak bales, aku telepon aja!” ujar Sinta bermonolog.Namun, tak perlu menunggu sampai 15 menit karena beberapa detik berikutnya sebuah notifikasi pesan muncul di layar gawai. Sinta menyungging senyum menyadari bahwa pesan itu berasal dari Cakra. Yang sekali
“SATU BULAN?”“NGGAK KELAMAAN?”“Mas mau ngapain di sana sampai satu bulan?”Kepala Bening yang baru saja dingin sebab kucuran air shower, kini kembali panas. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Suaminya itu ... serius?“Resto di sana lagi terombang-ambing, Sayang. Dan aku yang dipercaya bisa atasi ini. Dilihat perkembangannya sebulan.”Alasan Cakra itu tak mampu masuk ke akal Bening. lebih-lebih Cakra akan pergi di saat seperti ini? Di hari kedua pernikahan mereka? Di saat mereka belum mendapati malam pertama sebagai sepasang suami-istri? Dan saat masalah –entah salah paham entah memang pengkhianatan antara Cakra dengan Sinta belum terselesaikan?Ya Tuhan!“Tapi, Mas. Kita ini baru nikah loh. Kamu juga udah ambil cuti. Ditambah masalah semalem ... apa nggak bisa ditunda?” Mata Bening terpejam, menahan gejolak emosi di dadanya.“Aku ngerti, Sayang. Ini berat. Bukan cuma buat kamu, aku pun juga berat. Tapi, ini juga demi kita. Aku janji bakalan terus kasih kabar!”Aneh. Sangat aneh.
Bening merasa tubuhnya menggigil. Pertanyaan Cakra seumpama palu godam yang menghantam tepat di jantungnya. Ia ingin menjawab, tetapi kata-kata seakan tercekat di tenggorokan. Ia tak pernah menyangka jika kaburnya semalam karena sakit hati justru menyusahkan diri sendiri.“KAMU DARI MANA SEMALEM?”“JAWAB, BENING!”Suara Cakra benar-benar meninggi sekarang. Bening takut bukan main. Ia harus mengatakan apa?“JAWAB!”“A-aku ... aku pergi sama temen-temenku.” Dengan pelan Bening menjawab. Nada bicaranya diatur sedemikian tenang agar semua tampak meyakinkan. Tapi, justru itu terdengar bergetar. Bahkan di telingnya sendiri.Dan tak dapat disangkal, sorot mata Cakra kini menatap penuh curiga. “Temen-temen? Siapa? Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya.”Sengaja Bening menghindari tatapan mata suaminya. Ia menggigiti bibir untuk mendapatkan ketenangan diri. “Aku cuma butuh pelampiasan. Kamu nggak lupa kan apa yang terjadi semalem?” Nada bicaranya mulai kembali tegar demi mengingat peristiwa
“MAS!”Bening terpaksa membuka mata setelah tangannya yang merabai sisi kanan-kiri tak mendapati sang suami. Ia menarik tubuh tengkurapnya dan menyunggingkan senyum puas. Teringat peristiwa indah semalam.Ia telah menyerahkan diri kepada sang suami. Setelah 28 tahun menjaganya. Oh indahnya!Kesadaran yang perlahan diperoleh pun membawa pandangan Bening mengitari ruangan. Serba putih. Tapi, ini bukan kamarnya. Bukan kamar pengantinnya.Matanya membola. Bibirnya pun ternganga. “I-ini kamar siapa?”Tubuh Bening berjingkat seketika. “Mas! MAS!”“Mas Cakra!”Bening lebih kaget lagi saat ia hendak menuruni ranjang. Tubuhnya hanya berbalut selimut putih dan dari sana ia mulai sadar bahwa ia sedang berada di hotel.Astaga!“Mas Cakra yang bawa aku ke sini, kan?” gumam Bening kebingungan.Hoek!Perutnya mual tiba-tiba. Ia dengan cepat menuju ke kamar mandi dan menumpahkan isi perutnya. Cairan kuning terakhir yang keluar resmi membuat kerongkongannya pahit bukan main.Ketika tangannya menyeka p
“Dasar wanita mabok!”Hanya itu kalimat dingin yang terucap dari pria di depan Bening. Masih berusaha melepaskan gelayut tangan Bening yang kian memohon untuk tak ditinggal.“Aku nggak mabuk, Mas!” Suara Bening terdengar kian berat. “Kamu boleh lakuin apapun ke aku! Aku rela!”Tangannya bahkan entah mengapa begitu gila hingga menggerayangi dada pria di depannya. Pria yang di mata Bening adalah Cakra –Suaminya. Ia merasa takut dan was-was jikalau laki-laki yang memberinya botol dengan label kusam itu akan kembali menggodai dirinya.“Ayo kita pergi!” ajak Bening menyusul kalimatnya sendiri. Karena pria di depannya masih tampak bingung dan linglung.“Ayo, Mas!” Begitu saja tangan Bening menarik pria di depannya. Tanpa peduli jika gaunnya yang basah menodai pakaian pria itu.“Nggak. Lepas!” Kalimat penolakan itu terdengar kian dingin. Disertai tepisan tipis tanda penolakan.Bening tak menyerah. Tangannya terus merayu dan mengajak supaya mereka lekas hengkang dari sana. “Ayo, Maaaas! Nanti
“Mungkin Mas Cakra lagi terima telepon. Atau nyari udara segar dulu,” ucap Bening bermonolog. Sebab tak menemukan suaminya di kamar pengantin mereka.Bening tak ambil pusing akan hal itu. Ia mengedikkan bahu lalu kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Tersenyum dan kembali bahagia.Tentu saja Bening bahagia. Hari ini secara resmi: agama dan negara ... ia sah menyandang gelar sebagai Nyonya Cakra. Istri dari seorang pria yang menjadi cinta pertamanya bertahun-tahun silam. Sewaktu dirinya belum genap berusia 10 tahun.Tangan Bening yang hendak menghapus riasan pengantin pun diurungkan. Ia terkikik sendiri, membayangkan suaminyalah yang akan menghapus make-up itu dari wajahnya, lalu perlahan melepaskan gaun satin dari tubuhnya, dan ...“Aaaah. Jadi malu.” Tawa Bening kian merekah. Wajahnya pun memerah.Membayangkan malam ini membuat perutnya geli dan dadanya mengembang lantaran seperti ingin terbang. Saking bahagianya.“Mas Cakra!”Bening memutuskan untuk menjauhi cermin dan menuju