“SATU BULAN?”
“NGGAK KELAMAAN?”
“Mas mau ngapain di sana sampai satu bulan?”
Kepala Bening yang baru saja dingin sebab kucuran air shower, kini kembali panas. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Suaminya itu ... serius?
“Resto di sana lagi terombang-ambing, Sayang. Dan aku yang dipercaya bisa atasi ini. Dilihat perkembangannya sebulan.”
Alasan Cakra itu tak mampu masuk ke akal Bening. lebih-lebih Cakra akan pergi di saat seperti ini? Di hari kedua pernikahan mereka? Di saat mereka belum mendapati malam pertama sebagai sepasang suami-istri? Dan saat masalah –entah salah paham entah memang pengkhianatan antara Cakra dengan Sinta belum terselesaikan?
Ya Tuhan!
“Tapi, Mas. Kita ini baru nikah loh. Kamu juga udah ambil cuti. Ditambah masalah semalem ... apa nggak bisa ditunda?” Mata Bening terpejam, menahan gejolak emosi di dadanya.
“Aku ngerti, Sayang. Ini berat. Bukan cuma buat kamu, aku pun juga berat. Tapi, ini juga demi kita. Aku janji bakalan terus kasih kabar!”
Aneh. Sangat aneh. Mengapa semua serba kebetulan seperti ini? Bening bingung. Ia hanya tak ingin suaminya pergi begitu saja di saat masalah sedang menyelimuti mereka.
“Aku jadi mikir macem-macem, Mas. Kamu beneran pergi karena kerjaan atau bukan.” Bening menggigit bibirnya sendiri. Pikirannya kacau.
Tangan Cakra merangkum kedua bahu Bening dan lantas memeluknya. “Ya beneran urusan kerjalah, Sayang. Kalau bukan, mana mau aku ninggalin istriku ini. Di saat kita masih anget-angetnya lagi.”
Lagi. Setiap kalimat yang keluar dari bibir Cakra memang serupa mantra. Lembut dan tepat menghujam jantung Bening. Begitu saja ia luluh dan memaklumi. Yang Cakra katakan itu benar. Mana mungkin suaminya bersedia pergi di saat mereka baru saja menikah jika bukan karena hal penting dan menyangkut masa depan mereka pula.
“Kamu janji sering kasih kabar, ya!” pinta Bening yang akhirnya tak punya pilihan selain melepas suaminya menuju ke Semarang.
“Janji, Sayang! Aku pasti kabarin istriku ini selalu!”
“Kalau perlu aku bakalan nyetel alarm biar setiap jam telepon kamu!” Senyuman Cakra mengembang penuh janji. Kedua tangannya menyentuh pipi Bening dan menyusul sebuah kecupan singgah di kening Bening.
Sore yang sejuk itu, tangan Bening masih sibuk melambai ke arah mobil Cakra yang kian menjauh dari halaman rumah. Pandangan mata Bening tak putus dan beralih hingga mobil putih itu berubah menjadi sebuah titik kecil.
“Aku pasti bakalan kangen sama kamu, Mas!” batin Bening yang tiba-tiba merasa sepi nuh hampa.
Ia juga menyesali keputusan bodohnya kemarin yang harus minggat dari rumah seperti anak kecil, harusnya ia komunikasikan semua terlebih dahulu dengan suaminya itu. Jangan-jangan memang dirinyalah yang salah paham dan berlebihan.
“Maafin aku ya, Mas!” Bening masih sibuk dengan gejolak batinnya. Sekarang puing ingatan ia terbangun di sebuah kamar hotel kembali membahana. Membuatnya seperti didera nestapa dan rasa dosa sebab berkhianat.
Dua hari berlalu. Cakra menepati janjinya untuk terus berkirim kabar. Seperti yang diucapkan suaminya itu, hampir setiap jam Bening menerima pesan atau telepon yang membuatnya begitu percaya bahwa Cakra memang pergi karena urusan kerja. Bukan lainnya.
“Senyum-senyum?” Suara ibunya memecah lamunan Bening.
Tangan Bening sigap mematikan kompor yang baru saja berhasil mendidihkan sayur untuk sarapan pagi ini. “Ibu ngagetin aja.”
“Kamu aja yang larut ngelamun, Nduk! Jangan sering-sering ngelamun! Nggak baik.” Tangan lembu Bu Hidayah membelai puncak kepala Bening.
“Aku cuma kepikiran Mas Cakra aja, Buk.” Ia tidak sedang beralasan. Memang itu yang terjadi.
Ibunya tersenyum penuh maklum. “Wajar. Dia suamimu. Kalian juga nikah baru berapa hari harus dipisahkan jarak.”
“Tapi, pesen Ibuk ... percaya sama suamimu! Ibuk yakin Cakra pergi karena tanggung jawabnya di pekerjaan yang dia lakoni!”
“Kamu hanya perlu berdoa, Nduk! Doakan suamimu sehat, dijaga hatinya, dijaga dirinya! Serahkan sama Allah!”
Kalimat penuh nasihat yang teduh itu berhasil menyirami hati Bening yang gersang. Ibunya benar, harusnya ia percaya dan mendoakan Cakra. Menyerahkan semua kehendak kepada Tuhan. Bukan malah curiga dan was-was. Lagi pula Cakra bekerja juga untuk mereka, untuk dirinya.
“Yuk kita sarapan!” ajak Bu Hidayah saat Sinta pun juga sudah tampak terlihat di meja makan.
Bening mengangguk. Ia sengaja masih menciptakan jarak untuk kakaknya itu. Bagaimana pun itu terasa lebih baik daripada bersikap sok manis dan biasa saja meski hatinya masih kalang kabut tak tertata.
Mungkin pula, jika suatu hari ia telah memaafkan, mungkin ia tak akan pernah amnesia terkait kejadian malam itu.
Di tengah-tengah kegiatan sarapan yang tenang dan damai, tiba-tiba Sinta mengutarakan sebuah kalimat yang membuat makanan di kerongkongan Bening sulit ditelan.
“Acaranya di Semarang, Buk. Harusnya ikut yang di Surabaya, sih. Tapi, aku telat info. Jadi, bisanya ikut yang di Semarang.” Sinta berbicara dengan santainya sembari mengaduk-aduk sarapan dalam mangkuknya.
Sementara Bening mulai berkhayal ke mana-mana. Kakaknya itu akan bertandang ke Semarang untuk mengikuti seleksi model di televisi nasional? Mengapa bisa kebetulan sekali ketika suaminya juga sedang bertugas ke Semarang?
Kecurigaan Bening yang sempat padam kini kembali menggumpal pekat. Jangan-jangan memang antara Cakra dengan Sinta bukan sekadar ipar biasa?
“Di Semarang itu yang paling deket?”
Tampak Sinta mengangguki kalimat tanya ibunya. “Iya, soalnya yang Surabaya udah kelewat, Buk.”
Wajah Ibu Hidayah justru tampak lega. Entah karena apa. Tetapi, belum semenit setelahnya, Bening sudah mengetahui alasan wajah sumringah sang ibunda.
“Boleh, Nduk. Cakra adik iparmu kan juga pas ada di sana. Jadi, Ibu nggak akan khawatir banget kamu pergi.”
Sendok di tangan Bening tanpa sengaja lepas dan berdenting dengan piring. Napasnya memburu dan dadanya sesak. Ia hendak melontarkan kalimat tetapi lirikan mata Sinta seperti pengingat sebuah ancaman. Walhasil, ia hanya pura-pura tersedak dan sarapan kembali berlanjut.
“Aku bodoh? Atau terlalu taat menjadi seorang adik dan istri?” Benak Bening bergejolak. Ia tak mungkin membiarkan dirinya mati dikungkung rasa penasaran. Tidak akan!
Pikirannya yang berjubal membawa Bening memutuskan untuk pergi ke gerai kuenya yang mungil. Mungkin di sana ia bisa mendapati jati dirinya kembali setelah banyak kejutan mengiringi surprise pernikahannya.
Ia menata beberapa toples kue yang dipajang rapi di rak. Namun, pikirannya tak benar-benar fokus. Justru melayang jauh. Semua terasa kosong. Bahkan, aroma kue yang biasanya menenangkan, kini terabaikan.
“Bening!” Suara lembut memecah lamunannya. Ia menengok dan mendapati Flora –sahabatnya tersenyum simpul di sebelah meja kasir. Bening membalas senyuman meski wajahnya lesu dan layu.
Sahabatnya itu seolah langsung menangkap radar tak baik-baik saja. “Kamu kenapa? Baru nikah kok malah lesu gitu? Harusnya centil, ceria, dan pamer ke aku!”
Bening terdiam. Ia menatap sahabatnya itu dengan ragu. Haruskah ia cerita semuanya? Tapi, kepalanya sudah teramat sesak seakan hendak pecah untuk menyimpan semua sendirian.
Setelah mendaratkan diri ke kursi di hadapan Flora, Bening menghela napas dalam. “Aku ...”
“Aku nggak tau harus mulai dari mana?”
Wajah Flora yang awalnya sarat menggodai dirinya itu kini berubah drastis. Kedua alis Flora hampir bertaut dan ekspresi ingin tahu menghiasi seluruh wajahnya. Ekspresi curiga lebih tepatnya. “Kamu kenapa, Beniiing?”
“Kamu mulai dari apa yang bikin kamu kelihatan galau gini! Aku sedia dengerin semuanya. Se-mu-a-nya!”
Bening terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menceritakan semuanya—pernikahannya yang baru berjalan dua hari, keberangkatan Cakra ke Semarang selama satu bulan, insiden ciuman yang terjadi antara Cakra dan Sinta, hingga kecurigaannya yang semakin dalam terhadap keduanya saat Sinta pergi ke Semarang dengan alasan mengikuti seleksi model televisi nasional.
Sahabatnya itu mendengarkan tanpa menyela. Hanya sesekali bibir Flora membulat lantaran kaget, sesekali mengangguk, sesekali menepuk bahu Bening saat suaranya bergetar hendak menangis. Dan ketika Bening selesai, sahabat di depannya itu menghela napas panjang nun dalam. “Aku nggak nyangka. Tapi, menurutku kamu nggak salah kalau ngerasa ada yang janggal.”
“Terlebih pas mbakmu kayak ngancem gitu.”
“Tapi aku nggak punya bukti,” balas Bening dengan suara bergetar. “Dan kalau aku salah… aku nggak mau ngerusak hubungan ini tanpa alasan yang jelas.”
Flora menatapnya lekat. “Bening, kalau kamu nggak ada bukti tapi firasatmu ke suami sama mbakmu janggal ... cari bukti!”
“Aku siap bantu!”
Bening lagi-lagi terdiam. Tapi, kali ini ia setuju dan mengangguk.
Sementara di belahan bumi Semarang, Sinta yang baru saja selesai dengan audisi awal –kemampuan tambahan acting dan pose untuk pemotretan–sedang menunggu balasan pesan dari adik iparnya sendiri –Cakra.
Tadi, beberapa menit lalu, Sinta sudah mengirim pesan ke Cakra:
"Mas, aku ada waktu free sampai jam 5. Kalau sempat, kita bisa ketemu sebentar? Aku mau ngomong penting."Tapi hingga kini, belum ada respons dari suami adiknya itu.
*****
“Mungkin Mas Cakra lagi terima telepon. Atau nyari udara segar dulu,” ucap Bening bermonolog. Sebab tak menemukan suaminya di kamar pengantin mereka.Bening tak ambil pusing akan hal itu. Ia mengedikkan bahu lalu kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Tersenyum dan kembali bahagia.Tentu saja Bening bahagia. Hari ini secara resmi: agama dan negara ... ia sah menyandang gelar sebagai Nyonya Cakra. Istri dari seorang pria yang menjadi cinta pertamanya bertahun-tahun silam. Sewaktu dirinya belum genap berusia 10 tahun.Tangan Bening yang hendak menghapus riasan pengantin pun diurungkan. Ia terkikik sendiri, membayangkan suaminyalah yang akan menghapus make-up itu dari wajahnya, lalu perlahan melepaskan gaun satin dari tubuhnya, dan ...“Aaaah. Jadi malu.” Tawa Bening kian merekah. Wajahnya pun memerah.Membayangkan malam ini membuat perutnya geli dan dadanya mengembang lantaran seperti ingin terbang. Saking bahagianya.“Mas Cakra!”Bening memutuskan untuk menjauhi cermin dan menuju
“Dasar wanita mabok!”Hanya itu kalimat dingin yang terucap dari pria di depan Bening. Masih berusaha melepaskan gelayut tangan Bening yang kian memohon untuk tak ditinggal.“Aku nggak mabuk, Mas!” Suara Bening terdengar kian berat. “Kamu boleh lakuin apapun ke aku! Aku rela!”Tangannya bahkan entah mengapa begitu gila hingga menggerayangi dada pria di depannya. Pria yang di mata Bening adalah Cakra –Suaminya. Ia merasa takut dan was-was jikalau laki-laki yang memberinya botol dengan label kusam itu akan kembali menggodai dirinya.“Ayo kita pergi!” ajak Bening menyusul kalimatnya sendiri. Karena pria di depannya masih tampak bingung dan linglung.“Ayo, Mas!” Begitu saja tangan Bening menarik pria di depannya. Tanpa peduli jika gaunnya yang basah menodai pakaian pria itu.“Nggak. Lepas!” Kalimat penolakan itu terdengar kian dingin. Disertai tepisan tipis tanda penolakan.Bening tak menyerah. Tangannya terus merayu dan mengajak supaya mereka lekas hengkang dari sana. “Ayo, Maaaas! Nanti
“MAS!”Bening terpaksa membuka mata setelah tangannya yang merabai sisi kanan-kiri tak mendapati sang suami. Ia menarik tubuh tengkurapnya dan menyunggingkan senyum puas. Teringat peristiwa indah semalam.Ia telah menyerahkan diri kepada sang suami. Setelah 28 tahun menjaganya. Oh indahnya!Kesadaran yang perlahan diperoleh pun membawa pandangan Bening mengitari ruangan. Serba putih. Tapi, ini bukan kamarnya. Bukan kamar pengantinnya.Matanya membola. Bibirnya pun ternganga. “I-ini kamar siapa?”Tubuh Bening berjingkat seketika. “Mas! MAS!”“Mas Cakra!”Bening lebih kaget lagi saat ia hendak menuruni ranjang. Tubuhnya hanya berbalut selimut putih dan dari sana ia mulai sadar bahwa ia sedang berada di hotel.Astaga!“Mas Cakra yang bawa aku ke sini, kan?” gumam Bening kebingungan.Hoek!Perutnya mual tiba-tiba. Ia dengan cepat menuju ke kamar mandi dan menumpahkan isi perutnya. Cairan kuning terakhir yang keluar resmi membuat kerongkongannya pahit bukan main.Ketika tangannya menyeka p
Bening merasa tubuhnya menggigil. Pertanyaan Cakra seumpama palu godam yang menghantam tepat di jantungnya. Ia ingin menjawab, tetapi kata-kata seakan tercekat di tenggorokan. Ia tak pernah menyangka jika kaburnya semalam karena sakit hati justru menyusahkan diri sendiri.“KAMU DARI MANA SEMALEM?”“JAWAB, BENING!”Suara Cakra benar-benar meninggi sekarang. Bening takut bukan main. Ia harus mengatakan apa?“JAWAB!”“A-aku ... aku pergi sama temen-temenku.” Dengan pelan Bening menjawab. Nada bicaranya diatur sedemikian tenang agar semua tampak meyakinkan. Tapi, justru itu terdengar bergetar. Bahkan di telingnya sendiri.Dan tak dapat disangkal, sorot mata Cakra kini menatap penuh curiga. “Temen-temen? Siapa? Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya.”Sengaja Bening menghindari tatapan mata suaminya. Ia menggigiti bibir untuk mendapatkan ketenangan diri. “Aku cuma butuh pelampiasan. Kamu nggak lupa kan apa yang terjadi semalem?” Nada bicaranya mulai kembali tegar demi mengingat peristiwa
“SATU BULAN?”“NGGAK KELAMAAN?”“Mas mau ngapain di sana sampai satu bulan?”Kepala Bening yang baru saja dingin sebab kucuran air shower, kini kembali panas. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Suaminya itu ... serius?“Resto di sana lagi terombang-ambing, Sayang. Dan aku yang dipercaya bisa atasi ini. Dilihat perkembangannya sebulan.”Alasan Cakra itu tak mampu masuk ke akal Bening. lebih-lebih Cakra akan pergi di saat seperti ini? Di hari kedua pernikahan mereka? Di saat mereka belum mendapati malam pertama sebagai sepasang suami-istri? Dan saat masalah –entah salah paham entah memang pengkhianatan antara Cakra dengan Sinta belum terselesaikan?Ya Tuhan!“Tapi, Mas. Kita ini baru nikah loh. Kamu juga udah ambil cuti. Ditambah masalah semalem ... apa nggak bisa ditunda?” Mata Bening terpejam, menahan gejolak emosi di dadanya.“Aku ngerti, Sayang. Ini berat. Bukan cuma buat kamu, aku pun juga berat. Tapi, ini juga demi kita. Aku janji bakalan terus kasih kabar!”Aneh. Sangat aneh.
Bening merasa tubuhnya menggigil. Pertanyaan Cakra seumpama palu godam yang menghantam tepat di jantungnya. Ia ingin menjawab, tetapi kata-kata seakan tercekat di tenggorokan. Ia tak pernah menyangka jika kaburnya semalam karena sakit hati justru menyusahkan diri sendiri.“KAMU DARI MANA SEMALEM?”“JAWAB, BENING!”Suara Cakra benar-benar meninggi sekarang. Bening takut bukan main. Ia harus mengatakan apa?“JAWAB!”“A-aku ... aku pergi sama temen-temenku.” Dengan pelan Bening menjawab. Nada bicaranya diatur sedemikian tenang agar semua tampak meyakinkan. Tapi, justru itu terdengar bergetar. Bahkan di telingnya sendiri.Dan tak dapat disangkal, sorot mata Cakra kini menatap penuh curiga. “Temen-temen? Siapa? Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya.”Sengaja Bening menghindari tatapan mata suaminya. Ia menggigiti bibir untuk mendapatkan ketenangan diri. “Aku cuma butuh pelampiasan. Kamu nggak lupa kan apa yang terjadi semalem?” Nada bicaranya mulai kembali tegar demi mengingat peristiwa
“MAS!”Bening terpaksa membuka mata setelah tangannya yang merabai sisi kanan-kiri tak mendapati sang suami. Ia menarik tubuh tengkurapnya dan menyunggingkan senyum puas. Teringat peristiwa indah semalam.Ia telah menyerahkan diri kepada sang suami. Setelah 28 tahun menjaganya. Oh indahnya!Kesadaran yang perlahan diperoleh pun membawa pandangan Bening mengitari ruangan. Serba putih. Tapi, ini bukan kamarnya. Bukan kamar pengantinnya.Matanya membola. Bibirnya pun ternganga. “I-ini kamar siapa?”Tubuh Bening berjingkat seketika. “Mas! MAS!”“Mas Cakra!”Bening lebih kaget lagi saat ia hendak menuruni ranjang. Tubuhnya hanya berbalut selimut putih dan dari sana ia mulai sadar bahwa ia sedang berada di hotel.Astaga!“Mas Cakra yang bawa aku ke sini, kan?” gumam Bening kebingungan.Hoek!Perutnya mual tiba-tiba. Ia dengan cepat menuju ke kamar mandi dan menumpahkan isi perutnya. Cairan kuning terakhir yang keluar resmi membuat kerongkongannya pahit bukan main.Ketika tangannya menyeka p
“Dasar wanita mabok!”Hanya itu kalimat dingin yang terucap dari pria di depan Bening. Masih berusaha melepaskan gelayut tangan Bening yang kian memohon untuk tak ditinggal.“Aku nggak mabuk, Mas!” Suara Bening terdengar kian berat. “Kamu boleh lakuin apapun ke aku! Aku rela!”Tangannya bahkan entah mengapa begitu gila hingga menggerayangi dada pria di depannya. Pria yang di mata Bening adalah Cakra –Suaminya. Ia merasa takut dan was-was jikalau laki-laki yang memberinya botol dengan label kusam itu akan kembali menggodai dirinya.“Ayo kita pergi!” ajak Bening menyusul kalimatnya sendiri. Karena pria di depannya masih tampak bingung dan linglung.“Ayo, Mas!” Begitu saja tangan Bening menarik pria di depannya. Tanpa peduli jika gaunnya yang basah menodai pakaian pria itu.“Nggak. Lepas!” Kalimat penolakan itu terdengar kian dingin. Disertai tepisan tipis tanda penolakan.Bening tak menyerah. Tangannya terus merayu dan mengajak supaya mereka lekas hengkang dari sana. “Ayo, Maaaas! Nanti
“Mungkin Mas Cakra lagi terima telepon. Atau nyari udara segar dulu,” ucap Bening bermonolog. Sebab tak menemukan suaminya di kamar pengantin mereka.Bening tak ambil pusing akan hal itu. Ia mengedikkan bahu lalu kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Tersenyum dan kembali bahagia.Tentu saja Bening bahagia. Hari ini secara resmi: agama dan negara ... ia sah menyandang gelar sebagai Nyonya Cakra. Istri dari seorang pria yang menjadi cinta pertamanya bertahun-tahun silam. Sewaktu dirinya belum genap berusia 10 tahun.Tangan Bening yang hendak menghapus riasan pengantin pun diurungkan. Ia terkikik sendiri, membayangkan suaminyalah yang akan menghapus make-up itu dari wajahnya, lalu perlahan melepaskan gaun satin dari tubuhnya, dan ...“Aaaah. Jadi malu.” Tawa Bening kian merekah. Wajahnya pun memerah.Membayangkan malam ini membuat perutnya geli dan dadanya mengembang lantaran seperti ingin terbang. Saking bahagianya.“Mas Cakra!”Bening memutuskan untuk menjauhi cermin dan menuju