“Mungkin Mas Cakra lagi terima telepon. Atau nyari udara segar dulu,” ucap Bening bermonolog. Sebab tak menemukan suaminya di kamar pengantin mereka.Bening tak ambil pusing akan hal itu. Ia mengedikkan bahu lalu kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Tersenyum dan kembali bahagia.Tentu saja Bening bahagia. Hari ini secara resmi: agama dan negara ... ia sah menyandang gelar sebagai Nyonya Cakra. Istri dari seorang pria yang menjadi cinta pertamanya bertahun-tahun silam. Sewaktu dirinya belum genap berusia 10 tahun.Tangan Bening yang hendak menghapus riasan pengantin pun diurungkan. Ia terkikik sendiri, membayangkan suaminyalah yang akan menghapus make-up itu dari wajahnya, lalu perlahan melepaskan gaun satin dari tubuhnya, dan ...“Aaaah. Jadi malu.” Tawa Bening kian merekah. Wajahnya pun memerah.Membayangkan malam ini membuat perutnya geli dan dadanya mengembang lantaran seperti ingin terbang. Saking bahagianya.“Mas Cakra!”Bening memutuskan untuk menjauhi cermin dan menuju
“Dasar wanita mabok!”Hanya itu kalimat dingin yang terucap dari pria di depan Bening. Masih berusaha melepaskan gelayut tangan Bening yang kian memohon untuk tak ditinggal.“Aku nggak mabuk, Mas!” Suara Bening terdengar kian berat. “Kamu boleh lakuin apapun ke aku! Aku rela!”Tangannya bahkan entah mengapa begitu gila hingga menggerayangi dada pria di depannya. Pria yang di mata Bening adalah Cakra –Suaminya. Ia merasa takut dan was-was jikalau laki-laki yang memberinya botol dengan label kusam itu akan kembali menggodai dirinya.“Ayo kita pergi!” ajak Bening menyusul kalimatnya sendiri. Karena pria di depannya masih tampak bingung dan linglung.“Ayo, Mas!” Begitu saja tangan Bening menarik pria di depannya. Tanpa peduli jika gaunnya yang basah menodai pakaian pria itu.“Nggak. Lepas!” Kalimat penolakan itu terdengar kian dingin. Disertai tepisan tipis tanda penolakan.Bening tak menyerah. Tangannya terus merayu dan mengajak supaya mereka lekas hengkang dari sana. “Ayo, Maaaas! Nanti
“MAS!”Bening terpaksa membuka mata setelah tangannya yang merabai sisi kanan-kiri tak mendapati sang suami. Ia menarik tubuh tengkurapnya dan menyunggingkan senyum puas. Teringat peristiwa indah semalam.Ia telah menyerahkan diri kepada sang suami. Setelah 28 tahun menjaganya. Oh indahnya!Kesadaran yang perlahan diperoleh pun membawa pandangan Bening mengitari ruangan. Serba putih. Tapi, ini bukan kamarnya. Bukan kamar pengantinnya.Matanya membola. Bibirnya pun ternganga. “I-ini kamar siapa?”Tubuh Bening berjingkat seketika. “Mas! MAS!”“Mas Cakra!”Bening lebih kaget lagi saat ia hendak menuruni ranjang. Tubuhnya hanya berbalut selimut putih dan dari sana ia mulai sadar bahwa ia sedang berada di hotel.Astaga!“Mas Cakra yang bawa aku ke sini, kan?” gumam Bening kebingungan.Hoek!Perutnya mual tiba-tiba. Ia dengan cepat menuju ke kamar mandi dan menumpahkan isi perutnya. Cairan kuning terakhir yang keluar resmi membuat kerongkongannya pahit bukan main.Ketika tangannya menyeka p
Bening merasa tubuhnya menggigil. Pertanyaan Cakra seumpama palu godam yang menghantam tepat di jantungnya. Ia ingin menjawab, tetapi kata-kata seakan tercekat di tenggorokan. Ia tak pernah menyangka jika kaburnya semalam karena sakit hati justru menyusahkan diri sendiri.“KAMU DARI MANA SEMALEM?”“JAWAB, BENING!”Suara Cakra benar-benar meninggi sekarang. Bening takut bukan main. Ia harus mengatakan apa?“JAWAB!”“A-aku ... aku pergi sama temen-temenku.” Dengan pelan Bening menjawab. Nada bicaranya diatur sedemikian tenang agar semua tampak meyakinkan. Tapi, justru itu terdengar bergetar. Bahkan di telingnya sendiri.Dan tak dapat disangkal, sorot mata Cakra kini menatap penuh curiga. “Temen-temen? Siapa? Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya.”Sengaja Bening menghindari tatapan mata suaminya. Ia menggigiti bibir untuk mendapatkan ketenangan diri. “Aku cuma butuh pelampiasan. Kamu nggak lupa kan apa yang terjadi semalem?” Nada bicaranya mulai kembali tegar demi mengingat peristiwa
“SATU BULAN?”“NGGAK KELAMAAN?”“Mas mau ngapain di sana sampai satu bulan?”Kepala Bening yang baru saja dingin sebab kucuran air shower, kini kembali panas. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Suaminya itu ... serius?“Resto di sana lagi terombang-ambing, Sayang. Dan aku yang dipercaya bisa atasi ini. Dilihat perkembangannya sebulan.”Alasan Cakra itu tak mampu masuk ke akal Bening. lebih-lebih Cakra akan pergi di saat seperti ini? Di hari kedua pernikahan mereka? Di saat mereka belum mendapati malam pertama sebagai sepasang suami-istri? Dan saat masalah –entah salah paham entah memang pengkhianatan antara Cakra dengan Sinta belum terselesaikan?Ya Tuhan!“Tapi, Mas. Kita ini baru nikah loh. Kamu juga udah ambil cuti. Ditambah masalah semalem ... apa nggak bisa ditunda?” Mata Bening terpejam, menahan gejolak emosi di dadanya.“Aku ngerti, Sayang. Ini berat. Bukan cuma buat kamu, aku pun juga berat. Tapi, ini juga demi kita. Aku janji bakalan terus kasih kabar!”Aneh. Sangat aneh.
“Ke mana sih kamu, Mas?”Sinta menggenggam ponselnya setengah was-was. Menunggu balasan pesan dari Cakra begitu membuatnya resah. Mungkinkah Cakra sibuk dengan pekerjaan? Atau jangan-jangan adik iparnya itu sengaja menghindar darinya.Pikiran itu tiba-tiba menyalakan bara di dada Sinta. Ia tidak mau jika sampai Cakra menghindar darinya. Terlepas fakta bahwa Cakra kini adalah suami adiknya sendiri, Sinta tidak peduli. Yang ia inginkan adalah menarik Cakra untuk semakin mendekat dan berakhir memujanya melebihi Bening.Ke sekian kalinya Sinta menatap sendu ke arah layar ponsel. Masih tidak ada pesan balasan dari Cakra. Keresahannya bertambah ganas. Sungguh khawatir jika sampai Cakra sengaja menghindar darinya.“Kalau 15 menit lagi dia nggak bales, aku telepon aja!” ujar Sinta bermonolog.Namun, tak perlu menunggu sampai 15 menit karena beberapa detik berikutnya sebuah notifikasi pesan muncul di layar gawai. Sinta menyungging senyum menyadari bahwa pesan itu berasal dari Cakra. Yang sekali
“Terima kasih, Kak! Ditunggu kedatangannya lagi, yaaa!”Suara Flora amatlah merdu memanjakan konsumen. Tetapi, hanya seperti angin lalu bagi Bening yang telah lebih dulu larut merapikan display rak kuenya.Suasana gerai kembali lengang setelah beberapa gerombol anak muda berbondong membeli Korean Cream Cake. Demi membunuh sepi, tangan Bening cekatan merapikan tatanan. Meski yang sebenarnya sedang berserakan adalah pikirannya.Sebentar lagi langit bersulam warna ungu, tetapi tiga panggilannya kepada Cakra tak diangkat. Suaminya itu juga belum berkirim pesan setelah terakhir pagi tadi.Sebagai perempuan yang baru saja menikah, tentu hati Bening resah. Terlebih mengingat bahwa di usia pernikahannya yang belum genap seminggu sudah diwarna noktah, kian menjadikan Bening banyak pikiran.Suara pintu gerai yang terbuka pun tak menghentikan Bening dengan lamunannya yang kian variatif.“Kak, Cromboloni isi cokelat masih?”Bening tak menyahut karena telinganya sedang tertutup lamunan.“Kakaaaak.
“Ke mana sih kamu, Mas?”Sinta menggenggam ponselnya setengah was-was. Menunggu balasan pesan dari Cakra begitu membuatnya resah. Mungkinkah Cakra sibuk dengan pekerjaan? Atau jangan-jangan adik iparnya itu sengaja menghindar darinya.Pikiran itu tiba-tiba menyalakan bara di dada Sinta. Ia tidak mau jika sampai Cakra menghindar darinya. Terlepas fakta bahwa Cakra kini adalah suami adiknya sendiri, Sinta tidak peduli. Yang ia inginkan adalah menarik Cakra untuk semakin mendekat dan berakhir memujanya melebihi Bening.Ke sekian kalinya Sinta menatap sendu ke arah layar ponsel. Masih tidak ada pesan balasan dari Cakra. Keresahannya bertambah ganas. Sungguh khawatir jika sampai Cakra sengaja menghindar darinya.“Kalau 15 menit lagi dia nggak bales, aku telepon aja!” ujar Sinta bermonolog.Namun, tak perlu menunggu sampai 15 menit karena beberapa detik berikutnya sebuah notifikasi pesan muncul di layar gawai. Sinta menyungging senyum menyadari bahwa pesan itu berasal dari Cakra. Yang sekali
“SATU BULAN?”“NGGAK KELAMAAN?”“Mas mau ngapain di sana sampai satu bulan?”Kepala Bening yang baru saja dingin sebab kucuran air shower, kini kembali panas. Bahkan lebih membara dari sebelumnya. Suaminya itu ... serius?“Resto di sana lagi terombang-ambing, Sayang. Dan aku yang dipercaya bisa atasi ini. Dilihat perkembangannya sebulan.”Alasan Cakra itu tak mampu masuk ke akal Bening. lebih-lebih Cakra akan pergi di saat seperti ini? Di hari kedua pernikahan mereka? Di saat mereka belum mendapati malam pertama sebagai sepasang suami-istri? Dan saat masalah –entah salah paham entah memang pengkhianatan antara Cakra dengan Sinta belum terselesaikan?Ya Tuhan!“Tapi, Mas. Kita ini baru nikah loh. Kamu juga udah ambil cuti. Ditambah masalah semalem ... apa nggak bisa ditunda?” Mata Bening terpejam, menahan gejolak emosi di dadanya.“Aku ngerti, Sayang. Ini berat. Bukan cuma buat kamu, aku pun juga berat. Tapi, ini juga demi kita. Aku janji bakalan terus kasih kabar!”Aneh. Sangat aneh.
Bening merasa tubuhnya menggigil. Pertanyaan Cakra seumpama palu godam yang menghantam tepat di jantungnya. Ia ingin menjawab, tetapi kata-kata seakan tercekat di tenggorokan. Ia tak pernah menyangka jika kaburnya semalam karena sakit hati justru menyusahkan diri sendiri.“KAMU DARI MANA SEMALEM?”“JAWAB, BENING!”Suara Cakra benar-benar meninggi sekarang. Bening takut bukan main. Ia harus mengatakan apa?“JAWAB!”“A-aku ... aku pergi sama temen-temenku.” Dengan pelan Bening menjawab. Nada bicaranya diatur sedemikian tenang agar semua tampak meyakinkan. Tapi, justru itu terdengar bergetar. Bahkan di telingnya sendiri.Dan tak dapat disangkal, sorot mata Cakra kini menatap penuh curiga. “Temen-temen? Siapa? Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya.”Sengaja Bening menghindari tatapan mata suaminya. Ia menggigiti bibir untuk mendapatkan ketenangan diri. “Aku cuma butuh pelampiasan. Kamu nggak lupa kan apa yang terjadi semalem?” Nada bicaranya mulai kembali tegar demi mengingat peristiwa
“MAS!”Bening terpaksa membuka mata setelah tangannya yang merabai sisi kanan-kiri tak mendapati sang suami. Ia menarik tubuh tengkurapnya dan menyunggingkan senyum puas. Teringat peristiwa indah semalam.Ia telah menyerahkan diri kepada sang suami. Setelah 28 tahun menjaganya. Oh indahnya!Kesadaran yang perlahan diperoleh pun membawa pandangan Bening mengitari ruangan. Serba putih. Tapi, ini bukan kamarnya. Bukan kamar pengantinnya.Matanya membola. Bibirnya pun ternganga. “I-ini kamar siapa?”Tubuh Bening berjingkat seketika. “Mas! MAS!”“Mas Cakra!”Bening lebih kaget lagi saat ia hendak menuruni ranjang. Tubuhnya hanya berbalut selimut putih dan dari sana ia mulai sadar bahwa ia sedang berada di hotel.Astaga!“Mas Cakra yang bawa aku ke sini, kan?” gumam Bening kebingungan.Hoek!Perutnya mual tiba-tiba. Ia dengan cepat menuju ke kamar mandi dan menumpahkan isi perutnya. Cairan kuning terakhir yang keluar resmi membuat kerongkongannya pahit bukan main.Ketika tangannya menyeka p
“Dasar wanita mabok!”Hanya itu kalimat dingin yang terucap dari pria di depan Bening. Masih berusaha melepaskan gelayut tangan Bening yang kian memohon untuk tak ditinggal.“Aku nggak mabuk, Mas!” Suara Bening terdengar kian berat. “Kamu boleh lakuin apapun ke aku! Aku rela!”Tangannya bahkan entah mengapa begitu gila hingga menggerayangi dada pria di depannya. Pria yang di mata Bening adalah Cakra –Suaminya. Ia merasa takut dan was-was jikalau laki-laki yang memberinya botol dengan label kusam itu akan kembali menggodai dirinya.“Ayo kita pergi!” ajak Bening menyusul kalimatnya sendiri. Karena pria di depannya masih tampak bingung dan linglung.“Ayo, Mas!” Begitu saja tangan Bening menarik pria di depannya. Tanpa peduli jika gaunnya yang basah menodai pakaian pria itu.“Nggak. Lepas!” Kalimat penolakan itu terdengar kian dingin. Disertai tepisan tipis tanda penolakan.Bening tak menyerah. Tangannya terus merayu dan mengajak supaya mereka lekas hengkang dari sana. “Ayo, Maaaas! Nanti
“Mungkin Mas Cakra lagi terima telepon. Atau nyari udara segar dulu,” ucap Bening bermonolog. Sebab tak menemukan suaminya di kamar pengantin mereka.Bening tak ambil pusing akan hal itu. Ia mengedikkan bahu lalu kembali menatap pantulan dirinya di cermin. Tersenyum dan kembali bahagia.Tentu saja Bening bahagia. Hari ini secara resmi: agama dan negara ... ia sah menyandang gelar sebagai Nyonya Cakra. Istri dari seorang pria yang menjadi cinta pertamanya bertahun-tahun silam. Sewaktu dirinya belum genap berusia 10 tahun.Tangan Bening yang hendak menghapus riasan pengantin pun diurungkan. Ia terkikik sendiri, membayangkan suaminyalah yang akan menghapus make-up itu dari wajahnya, lalu perlahan melepaskan gaun satin dari tubuhnya, dan ...“Aaaah. Jadi malu.” Tawa Bening kian merekah. Wajahnya pun memerah.Membayangkan malam ini membuat perutnya geli dan dadanya mengembang lantaran seperti ingin terbang. Saking bahagianya.“Mas Cakra!”Bening memutuskan untuk menjauhi cermin dan menuju